“Siapa kau sebenarnya?” tanya Sydney pelan sambil memandangi layar ponsel yang kini gelap, hanya memantulkan wajahnya sendiri yang tegang.
Sydney menarik napas dalam dan mencoba menghubungi nomor tersebut.Nada sambung tidak terdengar. Hanya satu tulisan yang muncul di layar. Nomor belum terdaftar dalam jaringan.“Apa dia menggunakan nomor sementara?” tanya Sydney pada diri sendiri sambil mengernyit.Gumaman itu meluncur begitu saja dari bibir Sydney, disertai gerakan jari yang kini lincah menelusuri daftar kontaknya.Hingga akhirnya, jempol Sydney berhenti di satu nama, yaitu Zya. Tanpa ragu, Sydney menekan tombol telepon dan menempelkan ponsel ke telinga.“Ya, Nyonya?” sapa Zya langsung menyambut, sigap seperti biasa.Sydney menelan ludah, lalu menjawab dengan suara bergetar, “Cari tahu tentang Kak Irene, istri Kak Chester. Aku juga akan mengirimkan sebuah nomor padamu … cari tahu sia“Aku tahu apa yang aku lakukan,” tukas Morgan dengan tegas. Namun, alih-alih membalas dengan kemarahan, Sydney hanya menunduk. Bibir wanita itu terlipat rapat, dan matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir tumpah. Tidak ada amarah, maupun bentakan. Yang tertinggal hanya luka yang tidak bisa dilihat dari permukaan. Setelah beberapa detik yang sunyi, Sydney mengangkat wajahnya. Pandangan wanita itu bertaut kembali dengan mata Morgan, dan dia menghela napas dalam-dalam. “Aku sudah memikirkannya selama beberapa jam terakhir ini. Dan seperti yang aku bilang … aku akan menjadi cahaya untukmu,” desak Sydney. Kerutan di dahi Morgan semakin dalam. Mata pria itu menyipit curiga. “Apa maksudmu?” tanya Morgan terlihat tidak suka. Sydney tidak langsung menjawab. Dia justru menggenggam kedua tangan Morgan dengan lembut. “Kau mencintaiku, bukan?” tanya Sydney dengan suara bergetar. Jika Sydney tidak bisa menemukan pemilik nomor yang mengiriminya pesan tadi pagi, maka wanita itu h
Tanpa menunggu lebih lama, suara tenang Zya langsung mengalir dari seberang, “Baik, Nyonya. Nyonya Irene sekarang tinggal di sebuah pedesaan di Sevhastone bersama anaknya. Beliau menjalani hidup seperti orang desa pada umumnya dan sibuk mengurus perkebunan keluarga.”Bola mata Sydney bergerak liar, mencoba mencari adanya suatu kemungkinan dari informasi itu.“Kalau pemilik nomor yang aku kirim?” tanya Sydney berubah tajam.“Nomor itu belum didaftarkan atas nama siapa pun, Nyonya,” jawab Zya. “Kemungkinan besar itu nomor sementara atau nomor satu arah.”Sydney mendengkus pelan. Mata wanita itu menyipit.‘Satu-satunya jawaban saat ini, ada seseorang yang menghubungiku menggunakan nomor sementara. Dan dia berpura-pura menjadi Kak Irene,’ batin Sydney berspekulasi.“Terima kasih, Zya. Teruskan pekerjaanmu,” ujar Sydney sebelum menutup panggilan.Sydney langsung mengangkat tangan untuk memijat batang hidungnya yang terasa berat.“Siapa kau?” bisik Sydney pada dirinya sendiri. “Apa yang seb
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Sydney pelan sambil memandangi layar ponsel yang kini gelap, hanya memantulkan wajahnya sendiri yang tegang.Sydney menarik napas dalam dan mencoba menghubungi nomor tersebut.Nada sambung tidak terdengar. Hanya satu tulisan yang muncul di layar. Nomor belum terdaftar dalam jaringan.“Apa dia menggunakan nomor sementara?” tanya Sydney pada diri sendiri sambil mengernyit.Gumaman itu meluncur begitu saja dari bibir Sydney, disertai gerakan jari yang kini lincah menelusuri daftar kontaknya.Hingga akhirnya, jempol Sydney berhenti di satu nama, yaitu Zya. Tanpa ragu, Sydney menekan tombol telepon dan menempelkan ponsel ke telinga.“Ya, Nyonya?” sapa Zya langsung menyambut, sigap seperti biasa.Sydney menelan ludah, lalu menjawab dengan suara bergetar, “Cari tahu tentang Kak Irene, istri Kak Chester. Aku juga akan mengirimkan sebuah nomor padamu … cari tahu sia
“Diamlah, jangan bergerak,” bisik Morgan sembari mengusap pelan rambut panjang Sydney yang masih basah oleh peluh dan kenangan beberapa menit lalu.Sydney hanya mengangguk lemah. Kepalanya bersandar di dada telanjang Morgan, sementara tubuh mereka hanya dibalut selimut lembut warna gading.Napas mereka masih hangat. Masih bersatu dengan aroma tubuh masing-masing. Masih ada dentum di dada Morgan, seirama dengan embusan napas pelan Sydney.“Aku juga kehilangan Chester,” ucap Morgan pelan dengan suara berat. “Tapi perjanjian tetaplah perjanjian, Darling.”Sydney tidak langsung menanggapi. Tangan wanita itu justru bergerak pelan menyusuri garis dada Morgan, menggambar bentuk imajiner dengan ujung jari telunjuknya.“Bagaimana dengan Kak Irene dan anaknya?” bisik Sydney akhirnya.“Mereka selamat,” sahut Morgan tanpa ragu. “Chester cukup cerdas dengan mengganti nama belakang mereka sebelum aku mengeksekusi dia. Sesuai kesepakatan, aku hanya akan memusnahkan Keluarga Ryder.”Sydney mengangguk
Sydney berdiri di depan pintu ruang kerja Morgan yang tertutup rapat. Wanita itu mengepalkan jemarinya, lalu membuka, lalu mengepal lagi.Dada Sydney naik turun. Napasnya masih belum stabil. Dia menahan diri untuk tidak langsung mengetuk saat pertama kali berdiri di depan pintu ini lima menit lalu.Namun, semakin lama Sydney menunda, semakin sesak perasaannya.Dan akhirnya, Sydney mengetuk.Tok! Tok! Tok!“Aku sedang sibuk,” sahut Morgan dari dalam dengan suara datar tanpa jeda.Sydney mendengkus pelan. Namun dia tetap membuka pintu itu dan masuk ke dalam tanpa izin lebih lanjut.Ruangan itu dipenuhi aroma kayu, tumpukan berkas di meja, dan bunyi jam dinding yang berdetak pelan.Morgan duduk di kursinya, masih menunduk memeriksa dokumen tebal. Namun saat mendengar pintu ditutup, pria itu mendongak.“Kau tidak mendengarku?” tanya Morgan dengan wajah datar.Sydney tidak langsung menjawab. Dia per
Sydney hendak membalas pelukan Morgan lebih lama, tetapi suara denting dari ponsel mengalihkan perhatiannya.“Aku akan menyapa putri-putri kecilku,” ujar Morgan sambil mencium kening Sydney pelan, sebelum beranjak ke sisi lain.Morgan juga mendengar ponsel Sydney berdenting, jadi pria itu ingin memberikan ruang bagi istrinya untuk membalas pesan masuk itu.Sementara Sydney duduk di kursi kayu dekat boks si kembar kedua, lalu membuka layar ponselnya.Satu pesan masuk dari nama yang sangat dikenalnya, Timothy.[Kak Chester meninggal dunia, ditembak seseorang. Aku sedang berusaha mencari pelakunya, tapi polisi tidak banyak membantu. Kak Sydney, Kak Morgan adalah seorang penguasa, bukan? Bisakah Kak Morgan membantuku mencari tahu siapa pembunuh Kak Chester?]Sydney membeku.Tangan Sydney yang memegang ponsel mulai gemetar, dan keringat dingin membasahi punggungnya meski matahari masih bersahabat.Sydney tidak perlu