“Aku akan bicara dengan jelas, Tristan,” tukas Sydney tegas dengan mata menyalang. “Kau tidak akan bisa mengambil apa pun dari Morgan. Termasuk cinta istrinya.”
Tristan menatap Sydney dalam, seolah kata-kata itu justru menjadi bahan bakar yang meningkatkan hasrat bersaingnya. “Aku tidak akan merampasnya dengan kasar, Sydney. Tenang saja.” Senyum tipis di bibir Tristan muncul, getir tapi berbahaya. “Kau pikir aku akan percaya?” Sydney mengangkat kedua alisnya. “Percaya atau tidak, itu urusanmu. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku tidak akan pernah memaksamu. Jatuh cinta padaku atau tidak, itu sepenuhnya hakmu. Tugasku hanya satu, yaitu memperjuangkanmu.” Sydney terperangah. Napas wanita itu terasa berat, seolah ruangan tiba-tiba mengecil. “Berjuang? Kau sungguh tidak masuk akal, Tristan.” Sydney menggeleng pelan. WaSuara seseorang terdengar pelan dari walkie-talkie yang menempel di telinga kanan Anton. Pria berperawakan tegap itu mengernyitkan dahi, mendengarkan dengan seksama. Tidak lama kemudian, Anton menekan tombol kecil di alat komunikasi itu. Tidak ada suara yang terdengar lagi dari walkie-talkie-nya. Anton menoleh dan menghadapkan tubuh ke arah Sydney yang masih duduk di ranjang. Wanita itu tampak pucat, matanya sembab setelah percakapan tegang dengan Nenek Tristan beberapa menit sebelumnya. “Nyonya Sydney,” panggil Anton sopan, dan juga berhati-hati. “Tuan Morgan dan anak-anak sudah sampai di lobi.” Sydney refleks menyeka sisa air mata di pipinya dengan punggung tangan. “Rahasiakan soal Nenek Tristan,” pinta Sydney lirih. “Dan, tolong ambilkan air. Aku perlu cuci muka.” Anton menunduk, lalu menyahut pelan, “Baik, Nyonya.” Dalam waktu singkat, satu wadah berukuran sedang berisi air bersih sudah di ada tepi ranjang Sydney. Sydney mencipratkan air ke wajah, membiarkan dinginnya m
“Aku kasihan pada anak dalam kandunganmu,” cibir wanita tua itu lagi. “Dia akan menanggung dosa yang sama seperti ibunya.” Sydney mengusap perutnya pelan. Jemarinya bergetar menahan amarah yang mendidih di dada. Darah terasa naik ke kepala, tetapi napas Sydney tetap tertata. Sydney menunduk sebentar, lalu menegakkan punggung dengan tenang, meski matanya mulai berembun. Anton yang berdiri di dekat pintu mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Anak buah Morgan itu hampir saja maju dan menarik wanita tua itu keluar paksa, tetapi gerakan tangan Sydney yang terangkat pelan menghentikannya. “Tidak apa-apa,” sergah Sydney berusaha terlihat meyakinkan. Anton mengembuskan napas berat, menunduk dengan patuh, meski matanya menyorotkan ketidaksetujuan yang jelas. Wanita tua itu berdecih, matanya berputar sinis. “Sikapmu itu …” Nenek Tristan menatap Sydney meneli
Beberapa hari setelah proses pengurusan kepindahan sekolah Jade dan Jane selesai, suasana siang di kediaman tempat anak-anak Draxus tinggal terasa berbeda. Langit cerah, tetapi halaman rumah tampak lengang. Mobil-mobil hitam berjejer di depan pagar, berbaris rapi seperti rombongan penting yang siap berangkat. Suara mesin mobil satu per satu menyala. Para pengasuh sibuk membantu mengangkat koper kecil ke dalam bagasi. Anak-anak berlarian sebentar di teras, lalu naik ke mobil sesuai arahan Primus. Morgan berdiri tidak jauh dari pintu, memandangi rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke mobil. Udara siang itu terasa berat. Banyak kenangan tersimpan di balik dinding rumah itu. Tangis, tawa, juga kehilangan. Namun kini, semua kenangan itu harus Morgan tutup rapat. Saat mobil terakhir bersiap meluncur, seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri pagar. Pria itu mengunci gerbang dengan gembok besar, lalu memasang spanduk bertuliskan ‘Rumah Dijual’ di sisi gerbang. D
Saat pagi tiba, Morgan sengaja menyempatkan diri untuk mengantar Jade dan Jane sekolah.“Papi, Mami kapan pulang?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Jane begitu mobil hitam Morgan melaju keluar gerbang rumah.Morgan melirik ke kaca spion, menatap wajah mungil anak perempuannya yang duduk di kursi belakang.Mata Jane berbinar penuh harap.“Kami lindu Mami,” sambung Jade dengan suara lebih pelan, tetapi matanya sama-sama berkilat. “Apalagi adik bayi. Apakah dia baik-baik saja, Papi?”Morgan tidak langsung menjawab.Kedua tangannya menegang di setir, sementara napasnya terdengar berat.Suara anak-anak itu menusuk hatinya, membuat rasa bersalah yang sudah menumpuk semakin menggerogoti.“Mami sedang beristirahat,” sahut Morgan akhirnya. “Adik bayi juga baik. Dokter menjaganya dengan sangat hati-hati.”Morgan sengaja tidak menjawab dengan detail tentang situasi Sydney dan salah satu janin dalam kandungannya yang gagal diselamatkan.“Kalau begitu, kapan kita boleh beltemu Mami?” Jane kembal
Arena es dalam ruangan itu terasa dingin, cahaya lampu putih memantul pada permukaan yang licin.Udara sejuk menusuk kulit, tetapi kehangatan terpancar dari tawa riang yang sudah terdengar sejak pintu masuk dibuka.Morgan berdiri tegak dengan mantel panjangnya.Tangan pria itu bersedekap saat mengawasi keempat anaknya yang baru pertama kali melihat gelanggang ice skating.Mata anak-anak itu membelalak penuh takjub.“Waaah … ini luas sekali!” Jane melompat-lompat antusias.“Sepelti danau beku saat musim salju,” komentar Jade, yang berusaha tampak lebih tenang, meski sebenarnya sama penasarannya.Si kembar kedua langsung berpegangan tangan, berjingkat-jingkat di sepatu bot kecil mereka sambil berteriak, “Es! Es! Kita akan jalan di atas es!”Morgan menurunkan pandangannya ke arah mereka.Bibir pria itu melengkung dalam senyum tipis.Ada sesuatu di dalam hatinya yang nyaris meledak. Rasa rindu, bersalah, sekaligus syukur bercampur jadi satu.Momen ini terasa seperti hadiah luar biasa untu
“Aku ingin pulang ke Highvale bersamamu.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Sydney, seakan hati wanita itu sudah lama menyimpannya. Morgan menatap istrinya lekat-lekat. Sepasang mata kelam itu seolah menimbang ribuan kemungkinan atas permintaan Sydney. Bibir Morgan sempat terbuka, tetapi tidak ada kata keluar. “Darling,” panggil Morgan pelan. “Kau tahu kondisimu sekarang tidak memungkinkan. Perjalanan panjang bisa membahayakanmu.” Sydney memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas. Wajah wanita itu tetap terlihat lembut, tetapi sorot matanya menyimpan tekad yang sulit dibantah. “Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Aku hanya ingin dirawat di mansion. Aku ingin tidur denganmu di sampingku, mendengar anak-anak berlarian di halaman, dan tahu bahwa kita semua berada di tempat yang sama. Itu akan membuatku jauh lebih tenang,” sahut Sydney memberi alasan. Morgan terdiam lagi. Ruangan seketika hening, hanya suara detak jarum jam yang terdengar. “Aku tidak meminta