Pernikahan ini bukan atas dasar cinta, melainkan sebuah kontrak dingin demi menyelamatkan keluargaku. Aku dipaksa menjadi istri seorang CEO arogan yang terkenal dingin dan tak berperasaan. Malam pertama yang seharusnya penuh kasih sayang, justru berubah menjadi awal dari hubungan berbahaya. Dia berjanji tak akan mencintaiku, tapi setiap tatapan dan sentuhannya membuatku semakin terperangkap dalam dekapannya. Antara benci dan cinta, antara luka dan nafsu… mampukah aku bertahan sebagai istri kontrak, atau justru menyerahkan seluruh hatiku pada pria yang hanya menganggapku sebagai permainan? ---
Lihat lebih banyakGaun putih ini terasa seperti belenggu, bukan lambang kebahagiaan. Kainnya berat, menjuntai hingga menyapu lantai marmer kamar hotel megah yang disewa khusus untuk pernikahan. Aku menatap bayangan diriku di cermin besar—wajah cantik dengan make-up sempurna, bibir merah muda, dan senyum yang dipaksakan. Tapi mataku… kosong.
“Kenapa harus aku…?” bisikku lirih. Pintu kamar berderit terbuka. Ayahku masuk dengan setelan jas abu-abu. Rambutnya yang mulai memutih terlihat rapi, tapi wajahnya penuh kerisauan. “Kau sudah siap?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku menoleh, menatapnya dengan getir. “Ayah, aku tidak bisa. Aku tidak mencintainya. Bahkan aku tidak mengenalnya.” Suara ayahku mengeras. “Ini bukan soal cinta, ini soal masa depan keluarga kita. Jika perusahaan bangkrut, kita kehilangan segalanya. Hanya pernikahan ini yang bisa menyelamatkan kita.” Air mataku hampir jatuh. “Jadi… aku hanya tumbal untuk keserakahan bisnis?” Ayah terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kau anak Ayah. Kau harus berkorban demi keluarga. Jangan egois.” Kata-kata itu menghantam dadaku. Egois? Bukankah aku yang dikorbankan? Aku ingin menolak, ingin berteriak, tapi kakiku terlalu lemah. Hatiku hancur, tapi aku tahu tak ada jalan lain. Aku berjalan keluar kamar, melewati lorong panjang yang dipenuhi dekorasi bunga putih. Musik lembut mengalun, seakan merayakan kebahagiaan yang tidak pernah kumiliki. Di ujung altar, aku melihatnya—pria itu. Tinggi, tegap, dengan jas hitam yang membalut tubuh atletisnya. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, menonjolkan rahang tegasnya. Wajahnya tampan, terlalu tampan, tapi tatapannya… sedingin es. Dia menoleh ke arahku. Tatapan mata hitam itu tidak menunjukkan kekaguman, tidak pula kebahagiaan. Yang kulihat hanyalah dingin, keras, dan penuh perhitungan. Aku berjalan dengan langkah goyah, setiap detik terasa begitu panjang. Tanganku bergetar saat ayah menyerahkan tanganku pada pria asing itu. Genggamannya dingin, kuat, seolah memberi peringatan bahwa aku kini sepenuhnya berada dalam kekuasaannya. Upacara berlangsung cepat. Janji pernikahan diucapkan tanpa perasaan. Dan ketika cincin melingkar di jari manisku, aku merasa seperti terikat rantai yang tak bisa kuputus. Saat semua orang bertepuk tangan, aku hanya ingin berteriak. Tapi suaraku terkunci di tenggorokan. Malam itu, setelah pesta usai, aku dibawa ke kamar pengantin. Ruangan luas dengan ranjang besar berhias kelambu putih. Lampu redup menambah suasana yang seharusnya romantis, tapi bagiku terasa mencekam. Aku duduk di tepi ranjang, gaun pengantin masih melekat di tubuh. Tanganku mengepal di pangkuan, jantungku berdegup kencang. Pintu terbuka. Dia masuk dengan langkah mantap. Jasnya sudah ia lepaskan, menyisakan kemeja hitam yang membentuk tubuhnya. Dia menatapku tanpa senyum. “Mulai malam ini kau adalah istriku,” katanya dingin. Suaranya berat, dalam, menusuk telinga. Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Apakah… apakah kau benar-benar mau pernikahan ini?” Dia berjalan mendekat, berhenti tepat di depanku. Tangannya meraih daguku, mengangkat wajahku agar menatap matanya. “Dengarkan baik-baik,” ucapnya dengan suara rendah. “Aku tidak pernah menginginkan istri. Aku tidak pernah menginginkanmu. Ini hanya perjanjian, kontrak, dan aku tak akan pernah mencintaimu.” Jantungku seakan diremas. Kata-katanya menusuk lebih dalam daripada belati. Dia melepaskan daguku, lalu berbalik melepas dasinya. “Tapi,” lanjutnya tanpa menoleh, “kau harus menjalankan kewajibanmu sebagai istri. Malam ini… kau milikku.” Tubuhku bergetar hebat. Ketakutan, marah, tapi juga… ada sesuatu yang aneh, yang tak bisa kujelaskan. Aku menutup mata erat-erat, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi genggaman kuat di pinggangku membuatku sadar—malam pertama ini adalah awal dari pernikahan yang tak pernah kuinginkan. ---Malam itu rumah besar masih dikepung kesunyian, lampu-lampu luar menyala terang, penjaga mondar-mandir, tapi di kamar utama suasana jauh berbeda, Aisyah duduk di tepi ranjang dengan wajah letih, rambutnya tergerai berantakan menutupi bahunya, matanya sembab setelah seharian dihantam badai gosip, komentar kasar, dan fitnah yang menyebar ke mana-mana; ponselnya sudah ia matikan, ia tak sanggup lagi membaca kata-kata orang asing yang menusuk seperti duri, setiap kalimat itu seakan menghancurkan sedikit demi sedikit harga dirinya, dan ia merasa tak ada ruang untuk bersembunyi, bahkan dinding kamar ini pun tak cukup kuat menahan rasa sakitnya, air matanya jatuh lagi meski ia berusaha menahan, tubuhnya gemetar, jantungnya berdetak cepat, dan saat itulah pintu kamar terbuka pelan, Arga masuk dengan wajah tegas, tatapannya langsung menangkap sosok Aisyah yang rapuh di ujung ranjang, dan hatinya teriris, karena perempuan yang ia peluk mati-matian semalam kini kembali runtuh.Tanpa b
Pagi berikutnya hadir bukan dengan cahaya yang menenangkan, melainkan dengan awan kelabu yang menggantung rendah, seolah langit ikut menekan dada semua orang yang tinggal di rumah besar keluarga Arga, udara dingin menusuk masuk lewat celah jendela meski tirai sudah ditutup rapat, dan di ruang tamu, Aisyah duduk dengan wajah letih, matanya sembab karena semalaman tak bisa benar-benar tidur, setiap kali ia memejamkan mata, bayangan tiga orang penyusup yang menerobos masuk terus muncul, suara kaca pecah, percikan peluru, dan darah yang mengalir di lantai dapur kembali terulang, membuat tubuhnya bergetar meski Arga selalu berada di sampingnya; Arga sendiri sejak fajar sudah sibuk, ia berbicara di telepon dengan nada tegas, memberi instruksi pada bawahannya untuk meningkatkan pengamanan, menghubungi kenalannya di kepolisian untuk memastikan laporan perampokan ditindaklanjuti tanpa terlalu banyak membuka aib rumah tangga, lalu menutup telepon dengan wajah kaku, rahangnya tegang, karena ia
Pagi menyingsing dengan wajah kelabu, seolah langit pun menolak tersenyum menyambut hari itu, dan di rumah besar keluarga Arga, udara masih sarat dengan ketegangan sisa malam sebelumnya, di mana kata-kata tajam, air mata, dan ancaman telah menghantui setiap sudut ruangan, meninggalkan bekas yang tak mudah dihapus; Aisyah terbangun dengan mata sembab, tubuhnya lelah bukan karena kurang tidur saja melainkan karena pikiran yang terus berputar, wajah Rania yang masuk dengan penuh keyakinan, suara ancamannya yang dingin, dan pengakuan Arga yang mengejutkan masih terputar-putar di kepalanya, membuat ia tak yakin apakah itu kenyataan atau hanya mimpi aneh; ia duduk di tepi ranjang, memegangi perutnya yang masih bergejolak karena stres, sementara di luar jendela, matahari tertutup awan pekat, burung-burung enggan berkicau, hanya suara angin yang sesekali menerobos celah, membuat tirai berkibar-kibar seperti tangan-tangan tak kasat mata yang ingin mengingatkan bahwa badai belum benar-benar p
Udara malam itu terasa berat, seperti menyimpan rahasia yang tak seorang pun berani mengungkap, dan di balik kesunyian yang menekan, langkah-langkah cepat terdengar di lorong rumah besar keluarga Arga, langkah yang penuh dengan kegelisahan dan ketakutan bercampur amarah, karena sejak percakapan terakhirnya dengan lelaki yang kini sah menjadi suaminya, Aisyah tak bisa tidur, pikirannya penuh dengan bayangan akan masa depan yang semakin rumit, sementara rasa cinta dan rasa sakit saling bertabrakan di dalam dadanya, membuat setiap helaan napasnya seperti membawa beban yang tak terkatakan; Arga sendiri duduk termenung di ruang kerjanya, selembar kertas kontrak yang sudah lama ia tandatangani tergeletak di meja, dan ia sadar bahwa semua yang dimulainya dengan dingin dan penuh perhitungan kini berbalik menjadi jerat yang menahannya sendiri, jerat bernama Aisyah, seorang perempuan yang seharusnya hanya menjadi istri kontrak namun perlahan merusak benteng pertahanan hatinya, sehingga setiap
Malam itu kota masih berguncang, seakan api perang enggan padam meski fajar sudah lewat berjam-jam. Jalanan penuh puing, kaca berserakan di aspal, lampu jalan berkelip mati-hidup, sirene meraung tanpa henti, dan di udara masih menggantung bau besi terbakar bercampur asap plastik. Orang-orang bersembunyi di balik pintu rumah, jendela ditutup rapat, tapi rasa takut tak bisa dihalau, menyelinap ke setiap lorong dan gang sempit. Kota yang dulu penuh kehidupan kini bagai kuburan hidup, menunggu detik berikutnya meledak lagi. Di atap sebuah gedung tua, Arka berdiri dengan tubuh berlumuran luka. Darah kering menempel di bajunya, pelipisnya masih basah oleh cairan merah yang belum sempat dibersihkan, bahunya terasa berat seakan dipaku timah. Namun matanya tetap tajam menatap ke arah pusat kota, di mana nyala merah dari reruntuhan gedung komunikasi masih menjulang ke langit. Malam sebelumnya mereka sudah mempertaruhkan segalanya untuk menghentikan siaran daftar kedua, dan mesk
Langit malam di atas kota masih berwarna kelabu pekat, asap sisa ledakan semalam belum hilang, seakan api perang enggan padam. Jalanan penuh dengan kendaraan terbakar, lampu jalan mati sebagian, hanya nyala api kecil dari reruntuhan yang memberi cahaya samar. Arka berjalan pelan di antara puing dengan tubuh penuh perban, langkahnya berat tapi matanya tetap tajam. Setiap langkah terasa bagai membawa beban seribu ton, bukan hanya luka di tubuh tapi juga tekanan di dada, karena ia tahu waktu mereka hampir habis. Di tangannya ia menggenggam selembar kertas lusuh, print out peta yang Jendra berikan, blueprint resort mewah yang menjadi pusat cadangan Helios.Markas darurat mereka kini dipindahkan ke gudang tua di pinggir rel kereta, dindingnya berkarat, atapnya bocor, udara lembab menusuk tulang. Tim yang tersisa berkumpul di sana, wajah mereka pucat, penuh luka, namun mata mereka masih menyala dengan sisa semangat. Jendra duduk di meja kayu reyot dengan laptop kecilnya, layar pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen