Masuk"Ya, tentu saja. Aku yang pernah cerita tentang mujizat sama kamu," kata sang istri.
Pria itu tersenyum dan berkata dengan nada pelan, "Kita gak akan pernah tahu kalau ternyata ada mujizat yang menanti di depan. Dokter boleh mendiagnosa tapi tetap kehendak 'takdir' yang bicara. Selama hidup bareng kamu, aku akan percaya tentang mujizat." Mereka kembali berpelukan dan sang istri bicara dengan merasa bahagia, "Sayang, aku beruntung banget dijodohkan sama kamu." Ya. Mereka bertemu karena perjodohan dari kedua orang tua masing-masing yang bertemu dalam urusan bisnis. Namun, mereka menyetujui perjodohan bukan karena bisnis tapi secara naluri saling menemukan kecocokkan, dan memiliki perasaan kuat bahwa jodoh sudah dekat. "Aku yang bahagia. Kamu sosok yang lembut dan tangguh ya, meskipun keras kepala," kata sang suami dengan mengangkat bahu. Dia sengaja sedikit jahil agar bisa menghilangkan ketegangan yang baru saja terjadi di antara mereka, sedangkan sang istri pura-pura kesal dengan mengerucutkan bibirnya. Akhirnya mereka tertawa bersama. Sang istri pun merasa lega karena ternyata suaminya mau mengangkat anak meski belum menemukan alasan yang tepat di hadapan orang tua. Di tempat lain .... Merasa sudah jauh dari rumahnya yaitu di tempat yang terpencil, Denada terduduk di pinggir jalan. "Aku harus ke mana?" batin Denada bingung. Suasana gelap dan sepi membuat dirinya waspada, khawatir ada orang jahat yang datang. Denada memaksa otaknya untuk berpikir. Selang beberapa jam kemudian, dia memutuskan untuk datang ke kota kecil dan terpencil, yang dulu sempat diceritakan mamanya. "Aku pergi ke sana saja," batin Denada dengan berdiri. Gadis itu melangkahkan kakinya sampai ke jalan raya dan melihat taksi lewat lalu menghentikannya dengan tangan kanan. Taksi itu berhenti tepat di depannya lalu Denada membuka pintu dan masuk ke dalamnya. "Mau ke mana, Mbak?" tanya dia dengan menoleh sebentar kepada Denada. "Terminal, Pak," jawab Denada lirih. Supir taksi mengemudi kembali menuju tempat yang dituju konsumennya lalu gadis itu memikirkan kembali nasib yang menimpanya. Dia masih tidak mengerti dengan sikap kekasihnya itu. Tidak, bukan kekasihnya lagi melainkan sudah jadi mantan. Seharusnya Tristan juga berpikir tidak cuma dia yang tersiksa tapi juga dirinya. Meskipun gadis itu yatim piatu tapi tetap saja rasa bersalah terhadap mendiang orang tuanya, yang tidak bisa menjaga diri terus menghantui sejak hubungan terlarang itu terjadi. Denada ditinggal oleh mamanya ketika masih duduk di bangku SMA, kelas XI. Ketika itu dirinya dijemput ketika jam pelajaran masih berlangsung. Dia bingung dan papanya masih terdiam sepanjang perjalanan. Melihat mimik beliau, Denada mulai punya firasat bahwa ada sesuatu yang gawat sedang terjadi. Ternyata benar, dirinya diajak ke rumah sakit. Ketika sampai di sebuah ruang rawat, dia melihat mamanya yang terbaring tidak berdaya dan sudah menutup kedua mata dengan suhu tubuh yang dingin. Seketika tangisannya pecah mengetahui hari itu juga dia kehilangan sosok mamanya. Semenjak tidak adanya mama di sisi papa, beliau menjalani hidup tanpa semangat lagi. Beliau cerita bahwa kematian istrinya memang mendadak. Beliau tidak pernah tahu kalau selama ini dia punya penyakit jantung. Beliau menarik kesimpulan dia sengaja menyembunyikan hal itu. Entahlah alasannya apa? Seketika itu juga tangisan Denada pecah lagi. Hari yang banyak dilewati, Denada melihat papanya menjalani hidup dengan terpaksa karena tanpa ada belahan jiwanya. Beliau mulai sakit sehingga sering tidak masuk kerja dan suatu hari dimana Denada kenaikan kelas, beliau tidak datang untuk mengambil rapot. Dia merasa sedih karena berpikir papanya sudah tidak peduli lagi. Tidak bisa dipungkiri, selama ini dia merasakan perubahan sikap beliau. Terkesan tidak menganggap dirinya ada. Denada didatangi wali kelas untuk kesekian kalinya. Dia pikir beliau akan tanya tentang papanya yang belum juga datang mengambil rapot tapi ternyata bukan. Beliau mengatakan bahwa salah satu tetangga memberitahukan bahwa papanya ada di rumah sakit sedang ditangani dokter. Gadis itu segera mengucapkan terima kasih dan berlari untuk pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, beliau sudah sadar tapi semakin lama dia melihat tatapannya kosong. Gadis remaja itu terus memanggil hingga beliau menoleh dan melihat dirinya dengan pelan. "Anakku," panggil beliau lirih. "Ya, Pa. Ini aku," kata Denada sedih. Beliau akan meraih tangan Denada meskipun dengan gerakan lemah. Dirinya yang paham akhirnya meraih tangan sang papa. "Maafkan ... papa ya?" kata beliau lirih. Seketika air mata Denada jatuh membahasi tulang pipinya. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi. "Papa kenapa? Kenapa papa harus menyiksa diri? Aku yakin kalau mama masih ada, pasti sedih melihat papa yang begini," kata Denada sedih. "Maafkan papa tapi, papa mau kamu menjaga diri sendiri ya? Tetap jadilah anak, yang baik. Jangan mudah ... terjerumus. Sayangi diri kamu. Mama menitipkan kamu kepada papa tapi papa--" Denada menyela ucapan sang papa dengan berusaha menenangkan orang tua satu-satunya itu, "Pa, sudah jangan bicara lagi. Iya. Aku pasti akan tetap jadi anak yang baik tapi tolong ... papa jangan terpuruk lagi. Kita tetap menganggap mama ada ya? Papa juga masih punya aku, kan?" Napas beliau mulai tersengal-sengal sehingga membuat Denada bingung, tapi tetap membesarkan hatinya dengan berkata, "Papa akan baik saja, bukan? Iya. Papa harus baik-baik saja." "Papa gak bisa, menjaga kamu lagi tapi meskipun begitu, papa selalu sayang kamu," kata beliau dengan anggukan lemah. Denada semakin mengeluarkan air mata karena selama ini dirinya salah paham. Ternyata beliau masih begitu menyayangi persis seperti sebelum mamanya meninggal. Meskipun dengan tatapan yang sayu tapi hari itu kedua sorot mata beliau menunjukkannya, ya, masih menyayangi sebagai orang tua. Gadis remaja itu berkata dengan sedih, "Aku minta maaf, Pa." Seketika napas beliau semakin memburu dan Denada yang tidak mengerti apa pun teriak memanggil. Semakin lama pegangan beliau lemah dan dia membelalakkan kedua mata dengan melihat sekilas tangan besar itu karena tidak merasakan lagi pegangannya. Secara perlahan beliau menutup kedua matanya dan alat di sebelahnya berbunyi .... Tiiiiiiiiiiiit! "Pa! Papa! Bangun! Bangun!" teriak Denada dengan memeluk beliau dan menangis keras. *** Denada tersadar dari lamunannya, berusaha menahan air mata agar tidak keluar lalu melihat ke arah lain dengan penuh penyesalan. Dia tidak ingin supir taksi bertanya heran di dalam hati tentang dirinya yang menangis. Gadis itu sudah sangat malu karena hamil di luar pernikahan. Jangan sampai menambah malu lagi dengan menangis di dalam taksi. "Pa, Ma, aku minta maaf. Ternyata aku gak bisa menjaga diriku. Aku sampai hamil anak dari cowok yang ternyata gak mau bertanggung jawab. Selama ini aku tertipu olehnya. Dia gak sebaik yang aku kira," batin Denada terpuruk. Supir sudah berhenti menyetir tanda sampai di tempat tujuan yaitu terminal. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam yaitu jam satu, dini hari. Denada memberikan dua lembar uang berwarna merah dan supir itu mengambil dengan mengucapkan terima kasih lalu gadis itu keluar dari taksi dan masuk ke dalam terminal.Di tengah kerumunan, Pak RT berdiri dengan tangan bersedekap, matanya menatap Denada dengan seksama dan merasa ingin tahu."Mamamu siapa, Neng?" tanya Pak RT, nadanya tidak menghakimi, tapi di sisi lain merasa penasaran agar lebih jelas maksud ucapan Denada."Rianti Valentine. Memang beliau tidak sempat mengajak saya datang ke sini karena mama berperang melawan penyakitnya. Dia pindah dari sini karena menikah sama papa saya, Pak," jawab Denada lirih, mengingat tentang kedua orang tuanya.Seketika, kening Pak RT berkerut, tanda mengingat ucapan Denada. Hal ini berkenaan dengan salah satu warganya terdahulu, dia berusaha untuk mengingat kenangan yang sudah lama termakan usia dan secara perlahan mulai teringat sesuatu, terlihat dari sorot kedua matanya."Ya ampun, Mbak Rianti itu? Iya, iya ... saya sudah ingat. Dia itu wanita yang baik, sopan, suaminya yang dari kota itu, ya? Waktu pindah ke kota, dia sempat pamit ke rumah saya dan memberikan bingkisan. Astaga. Sudah berapa puluh tahun,
Ketika, sepasang suami isteri itu ada di depan rumah, gerombolan warga datang sehingga mereka berhenti berjalan. Salah satu dari mereka berseru, "Nah! Ini Pak RT! Kebetulan sekali!"Mereka langsung menceritakan semua yang terjadi di rumah kontrakkan Denada dengan sesekali menambahkan, agar terkesan meyakinkan. Bu Bagas selaku istri dari Pak RT, jadi tidak tenang. Dia sudah sepenuhnya terhasut oleh aduan dari warga."Sabar, Ibu-ibu. Lebih baik kita langsung datang ke sana dan jangan main hakim sendiri. Jangan sampai nama baik desa ini tercoreng karena warganya yang main hakim sendiri," kata Pak RT berseru dan menenangkan emosi para warga. Akhirnya mereka setuju dan segera menuju ke kontrakkan Denada. Hal itu juga mengundang rasa ingin tahu anak Pak RT yang masih duduk di bangku SMA sehingga ikut serta datang ke sana.Ketika mereka hampir saja sampai, Pak RT merentangkan kedua tangannya untuk memberikan isyarat agar semua warga berhenti lalu menghimbau dengan berkata tenang, "Ibu-ibu, m
"Gak mungkin, Bu RT. Kalau memang bener yang dikatakan Ibu begitu, seharusnya waktu pertama kali datang ke sini dia itu sama suaminya, kan? Lah, buktinya dia datang sendiri lalu mendadak kita tahu kalau ternyata hamil. Kampung kita ini terkenal bersih, kalau ada yang seperti itu lalu nanti ditiru sama semua anak muda gimana? Mau dibawa kemana negara ini, Bu?" kata wanita itu, mendesak Bu Bagas untuk percaya dengan ucapannya.Bu RT menghela napas pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berusaha untuk tetap adil antara satu warga dengan warga lainnya, apalagi selama ini tahu bahwa Denada bekerja keras dengan hanya mengandalkan warung kecilnya itu. Bu Bagas berkata, "Bu, kita tidak boleh bicara tanpa bukti, nanti kalau Ibu dituntut dengan pencemaran nama baik gimana? Kita harus hati-hati dalam menilai orang."Wanita itu masih bersikeras memutar otaknya untuk cari ide agar Bu Bagas percaya dirinya sehingga bisa mengusir Denada. Dia berkata, "Bu, sebenarnya bukan cuma saya yang liat
Bab 7 Nyinyiran TetanggaDenada melihat perutnya dan membatin dengan mimik terharu, "Sabar, ya, Nak. Selalu doakan mamamu ini, biar bisa cari uang yang banyak buat proses kelahiranmu nanti."Dia merasa terharu karena sampai detik ini masih bertahan hidup. Dia yakin bahwa semuanya itu kekuatan dari sang calon bayi.Keesokan harinya. Pukul 05.30.Denada sudah siap membuka warungnya kembali. Setiap hari menjadi rutinitasnya, dan ramai dari pembeli. Nyaris tidak ada waktu untuk duduk, meski kedua kaki pegal tapi dia berusaha menahan lelah di tubuhnya, demi kehidupan calon bayi. Dulu, ketika dia harus memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri saja, selalu dengan semangat apalagi sekarang, dimana dirinya akan menjadi calon orang tua tunggal.Menjelang sore hari, pukul 14.00, dia baru bisa duduk untuk istirahat, lalu meraih kotak kecil yang sudah disediakan untuk mengisi perutnya. Saat ini, yang butuh asupan nutrisi bukan hanya dia tapi janin yang dikandungnya."Mbak, nasi bungkus satu sama m
Denada menyapu tempat itu untuk mencari bus yang tersedia dan bertanya dengan petugas di sana. Akhirnya diarahkan ke bus yang terparkir di ujung sendiri. Denada melangkahkan kakinya menuju bus itu dan tanya kepada seorang lelaki paruh baya tentang tujuan bus itu. Mendengar tujuan yang dicapai sesuai dengan rencananya maka gadis itu naik dan duduk di bangku bagian tengah.Sementara itu, di tempat lain ...Seorang wanita yang sudah terlelap, merasa dipeluk dan dicium mesra oleh seseorang. Dia membuka kedua mata dengan pelan. Sayup-sayup mendengar bisikan lembut di telinganya dan melihat sang suami yang ternyata sudah pulang."Kamu, Sayang?" tanya dia, untuk meyakinkan dirinya tidak salah lihat karena membuka kedua mata."Siapa lagi, Sayang? Hmm? Apa masih tanya?" bisik sang suami lembut. Kedua mata wanita itu sudah terbuka sepenuhnya, lalu tersenyum malu dan mereka saling menatap.Namun, wanita itu melepaskan tatapan untuk melihat jam dinding. Sontak dia mengerucutkan bibirnya dan berka
"Ya, tentu saja. Aku yang pernah cerita tentang mujizat sama kamu," kata sang istri. Pria itu tersenyum dan berkata dengan nada pelan, "Kita gak akan pernah tahu kalau ternyata ada mujizat yang menanti di depan. Dokter boleh mendiagnosa tapi tetap kehendak 'takdir' yang bicara. Selama hidup bareng kamu, aku akan percaya tentang mujizat." Mereka kembali berpelukan dan sang istri bicara dengan merasa bahagia, "Sayang, aku beruntung banget dijodohkan sama kamu." Ya. Mereka bertemu karena perjodohan dari kedua orang tua masing-masing yang bertemu dalam urusan bisnis. Namun, mereka menyetujui perjodohan bukan karena bisnis tapi secara naluri saling menemukan kecocokkan, dan memiliki perasaan kuat bahwa jodoh sudah dekat. "Aku yang bahagia. Kamu sosok yang lembut dan tangguh ya, meskipun keras kepala," kata sang suami dengan mengangkat bahu. Dia sengaja sedikit jahil agar bisa menghilangkan ketegangan yang baru saja terjadi di antara mereka, sedangkan sang istri pura-pura kesal dengan







