Senja menorehkan gradasi oranye pada kaca-kaca gedung pencakar langit. Di puncak menara Alfaruq Group, ruang kerja Hannan menyajikan panorama metropolis yang tak pernah tidur.Tirai kantor tersapu cahaya jingga dari matahari terbenam, memantulkan kilau lembut pada meja kayu tua yang selalu dipenuhi tumpukan berkas dan layar laptop. Di sudut ruangan, Ira—asisten pribadi sekaligus kepercayaan Hannan—duduk di kursi tamu, setengah bersandar, tablet di tangannya menampilkan laporan terakhir.Hannan menutup map kemudian menatap Ira dengan serius. Dia meninggalkan kursi kerjanya, lalu berjalan pelan menuju rak buku."Ira, ada kabar terbaru tentang pemegang saham?" tanyanya, suara datar namun jelas mengandung pertanyaan tajam.Ira mengamati ekspresi Hannan sejenak, lalu menjawab. "Beberapa saham utama sedang beralih tangan, Pak. Itu jadi topik terhangat di sidang dewan kemarin.""Pak, jika boleh berpendapat, menurut saya ini adalah kesempatan bagus untuk Andini mengambil posisi pemegang saham
Andini berdiri, mendekat. "Aku bukan orang besar, bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang ibu, seorang wanita biasa. Maka dari itu, jika aku harus masuk ke dunia kamu, aku harus tahu aku masuk bukan sebagai beban. Aku ingin punya pijakan sendiri, Mas. Aku ingin kamu izinkan aku tetap bekerja."Hannan terdiam. Rahangnya menegang. Bukan karena marah, melainkan sedang menimbang."Aku tidak minta dilindungi dari dunia kamu, Mas. Aku minta diperbolehkan berdiri sejajar, bahkan kalau suatu saat aku harus ikut jatuh. Aku mau jadi pasangan kamu, bukan pelengkap di kartu atau keadaan."Hannan menatap lama. Lalu perlahan, lelaki itu menghela napas dan mengangguk. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.Hannan menarik napas pelan. "Saya tidak mencintai kamu karena kamu cukup, Andini. Saya mencintai kamu karena kamu adalah kamu. Kalau itu syaratmu, maka saya akan pastikan dunia membuka semua pintunya untuk kamu.""Syarat darimu saya anggap sudah dipenuhi. Kamu boleh bekerja. Tapi perlu diingat, di
Andini bersandar di sandaran kepala ranjang dengan selimut hangat menutupi tubuhnya. Ruangan itu tenang, hanya sesekali terdengar suara lembut dari alat humidifier yang mengepulkan uap di sudut kamar. Jendela besar menghadap taman, cahaya pagi menelusup lembut melalui tirai tipis.Hannan sedang sibuk di ruang kerja, memberi waktu bagi ibunya untuk menemani Andini pagi ini. Lena datang dengan baki berisi semangkuk bubur hangat, segelas air putih, dan obat."Sudah cukup baikan untuk makan, Nak?" tanya Lena lembut. Wanita paruh baya itu duduk di tepi ranjang, meletakkan baki di atas meja kecil.Andini mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu. Maaf sudah merepotkan."Lena terkekeh, menyendokkan bubur ke dalam mangkuk yang lebih kecil. "Kamu ini, baru sakit sebentar sudah merasa merepotkan. Padahal aku sudah lama ingin mengurus seseorang lagi."Andini menunduk malu. Ada getaran canggung dalam dadanya. Dirawat oleh calon ibu mertua—jika sebutan itu memang sudah pantas digunakan—bukanlah hal yang
Cahaya pagi menyelinap pelan lewat celah tirai jendela kamar, mewarnai seisi ruangan dengan nuansa keemasan yang hangat. Di atas ranjang berbalut linen putih bersih, tubuh Andini masih terbaring tenang. Sementara Hannan duduk di sisi tempat tidur, tubuh tegap itu tak bergeming semalaman. Mata tajam yang biasa penuh ketegasan kini menatap lembut wajah Andini.Andini membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram, namun suara lembut Hannan langsung menyambut kesadarannya."Aku di mana?" tanya Andini serak."Rumah," jawab Hannan dengan suara yang lebih pelan, seolah takut mengusik kelemahan calon istrinya. "Kamu ingat? Kamu keracunan, Andini. Tapi kamu sudah aman sekarang."Andini mengangguk pelan. Kepalanya berat, namun dia cukup sadar untuk membaca sorot mata Hannan yang penuh tekanan—satu malam tanpa tidur tak cukup menyembunyikan kekhawatiran lelaki itu."Kamu yang jagain aku semalaman, Mas?""Saya tidak pergi sedikit pun." Hannan duduk lebih dekat ke sisi ranjang. "Bahkan kalau wak
Tidak sampai lima belas menit, aula rumah penuh. Semua staf rumah tangga berdiri kaku. Tak seorang pun berani angkat suara.Semua orang berdiri dalam barisan tegang. Kepala tertunduk, tangan saling menggenggam gelisah. Aura dalam ruangan berubah mencekam ketika langkah Hannan memasuki aula dengan Ira di belakangnya. Tak perlu banyak kata, keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat semua yang hadir merasa seperti sedang menunggu vonis mati.Di ruangan itu, waktu seolah berhenti. Andini masih di kamar atas, di bawah pengawasan dokter pribadi yang Hannan datangkan dalam waktu kurang dari dua puluh menit sejak kabar keracunan itu menghantam telinganya.Hannan berdiri di hadapan mereka. Mengenakan kemeja gelap yang masih kusut, rambut acak-acakan, dan mata yang tampak seperti tidak tidur berhari-hari. Aura dominannya begitu kuat hingga tidak ada yang berani menatap langsung."Saya hanya akan bicara sekali," ucapnya, dengan nada tenang. Sangat tenang—hingga membuat bulu kuduk siapa pun be
Cahaya lampu kristal di langit-langit memantul pada kaca meja rapat yang memanjang. Kursi-kursi kulit hitam tampak rapi, meski atmosfer di ruangan begitu berat. Para kepala divisi duduk dengan tegang, sebagian menggulirkan tablet di tangan, sisanya menatap gelisah ke ujung meja tempat Hannan Alfaruq duduk.Dengan jas hitam yang presisi dan jam tangan mahal yang mencolok diam di pergelangannya, pria itu tak perlu mengucapkan sepatah kata pun untuk membuat semua orang menahan napas. Wibawa dan dominasi terpancar dari setiap gerak tubuhnya."Saya lihat ada yang mulai bersikap tak nyaman akhir-akhir ini," suara Hannan datar, serendah gumaman, tapi menggema ke seluruh ruangan. "Padahal, seharusnya kalian semua tahu, ketidaknyamanan adalah awal dari ketidakbecusan."Suasana menjadi hening. Ada yang menelan ludah. Ada yang salah tingkah.Ruang rapat eksekutif itu seperti biasa: dingin, mewah, dan menyilaukan. Namun pagi ini, dinginnya tak hanya dari suhu ruangan. Ada hawa yang jauh lebih men