Jerry melirik Alya sekilas sebelum berbisik, "Tenang saja. Aku yang akan bicara pada Sean." Senyumnya meyakinkan, tetapi Alya tetap merasa gelisah. Perutnya terasa mual saat tatapan Sean yang tajam menghantamnya, seakan menyelidiki setiap inci keberadaannya di sana.Mereka akhirnya berhenti di depan Sean dan Catherine, dua sosok yang jelas tidak menyambut mereka dengan hangat. Suasana terasa kaku, seperti ada badai yang siap pecah kapan saja."Sejak kapan kalian—?""Bukan urusanmu, Cat," potong Jerry, suaranya dingin dan penuh ketidaksukaan. Sejak awal, ia memang tidak pernah bisa akur dengan Catherine.Namun, bukannya marah, Catherine justru tersenyum mengejek. Ia menegakkan tubuhnya yang sebelumnya bersandar santai di samping Sean."Kalian terlihat cocok," sindirnya, nadanya sarat dengan kepalsuan.Jerry menghela napas, mengerling malas ke arahnya. "Apa kau tuli? Aku malas berdebat denganmu."Catherine mengerucutkan bibir, pura-pura kecewa. Lalu, ia menatap Sean seolah mengharapkan
Alya yang sempat beradu pandang dengan Sean lekas memalingkan wajah, sementara pria itu membelalakkan mata karena tak menyangka jika sang istri juga menyatakan hal yang sama. Sungguh dia kesal bukan main karena tahu ditolak seperti tadi.‘Memang aku mau mengajaknya? Dasar perempuan aneh. Aku juga tak sudi. Berani-beraninya dia mengatakan itu!’ umpat Sean di dalam hatinya."Hei, ada apa dengan kalian?" tanya Tuan Agusta sembari memandangi mereka secara bergantian."A-aku harus mengurus Leon, Kek. Jadi ... tidak bisa. Lagipula Leon baru saja beradaptasi dengan gigi barunya," jawab Alya, suaranya terdengar sedikit gugup.Sean yang seolah mendukung ucapan Alya mengangguk cepat. "Acaranya jam delapan dan mungkin pulang larut malam. Alya tidak akan bisa ikut."Sebelum sang kakek kembali berbicara, Sean lekas memacu langkahnya ke dalam rumah, meninggalkan Alya dan Tuan Agusta yang masih terdiam di taman belakang. Alya menghela napas perlahan, merasa lega sekaligus aneh dengan situasi yang ba
“Lusa umur Leon genap empat bulan. Jadi waktu tersisa dua bulan lagi untuk kami bersama."Alya menjawab dengan tenang. Meskipun semula tampak terkejut usai mendengar pertanyaan barusan, tetapi ia cukup sadar diri.Lain halnya dengan Sean. Ia mengamati wajah Alya yang terlihat datar, tanpa ekspresi berlebihan. Seharusnya ia lega mendengar jawaban itu, bukan? Bukankah itu yang sejak awal ia inginkan? Namun, ada sesuatu yang menusuk dalam dadanya, sesuatu yang tak mampu untuk dijelaskan."Baiklah," jawabnya singkat. Ia membalikkan tubuh, melepas jaketnya, dan meletakkannya di atas kursi. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung merebahkan diri di sisi ranjang, membelakangi Alya.Alya hanya menghela napas. Ia tahu sejak awal bahwa Sean memang seperti itu—dingin dan sulit ditebak. Namun, akhir-akhir ini ada yang berbeda. Tatapan Sean, caranya bersikap, semuanya seolah berusaha menutupi sesuatu. Tapi jika pria itu tidak ingin mengakuinya, buat apa dirinya repot-repot peduli?Hari-hari berlal
Suara ketukan itu terdengar lirih, tetapi cukup untuk membuat Sean dan Alya saling berpandangan dalam diam. Wajah Alya menegang, sementara Sean langsung bangkit dan berjalan menuju pintu dengan langkah hati-hati. Ia membuka pintu sedikit, hanya cukup untuk melihat siapa yang berdiri di luar.Di balik pintu, berdiri seorang pelayan dengan raut wajah cemas. Cahaya temaram di lorong menerangi sosok pria itu yang tampak sedikit gelisah."Ada apa?" tanya Sean dengan nada rendah namun tegas.Pelayan itu menghela napas panjang sebelum berbicara, "Tuan Agusta ingin bertemu dengan Anda sekarang. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan."Sean mengangkat alisnya, sedikit heran. Ia melirik jam di dinding, menunjukkan pukul dua belas lebih lima belas menit. Ini bukan waktu yang biasa bagi Tuan Agusta untuk meminta pertemuan. Ah, dia hampir saja lupa kalau kakeknya itu memang mengalami insomnia akhir-akhir ini. Jadilah mungkin dia yang menjadi sasarannya."Apa itu darurat?" tanya Sean datar
"Uuuh!"Leon yang melihat kehadiran Alya lekas meronta-ronta, tak peduli lagi dengan usaha Jerry yang ingin terus memangkunya.Alya pun mendekat lalu mengangguk sungkan pada Jerry yang tampak keberatan dengan Leon yang sudah mengulurkan tangan padanya. "Maaf, Pak.""Oh iya, tidak masalah. Hummm, namamu siapa?" tanya Jerry dengan senyum khasnya."Leon sudah mengantuk. Bawa saja dia ke kamar," potong Sean cepat untuk memangkas obrolan mereka.Alhasil, Alya segera mengambil alih Leon lalu buru-buru pergi dari sana. Hal itu membuat Jerry kesal.Jerry yang memang memiliki jiwa petualang wanita berkata, "Pantas saja kau berubah. Dia cukup cantik ternyata.""Aku ingin istirahat. Apa kau masih ingin di sini?" tanya Sean dengan nada malas.Jerry langsung tergelak. "Oh ya. Titip salamku padanya, ya.""Aku tak punya waktu berbicara dengan pengasuh," ketus Sean yang sebenarnya sudah kesal sekali.Jerry pun mengangguk cepat. "Kalau begitu boleh dong kalau dia untukku?"Suara tongkat dari arah bela
"Tuan. Apa Anda mendengar saya?"Sean membeku di tempat. Suasana di sekitarnya mendadak sunyi dalam benaknya. Bahkan suara Jerry yang masih berceloteh pun terdengar sayup-sayup.Detik berikutnya, kesadarannya kembali. Sean menegakkan tubuh, napasnya terasa berat. "Siapkan mobil! Aku pulang sekarang juga!" serunya lantang.Jerry yang semula bercuap ria pun spontan mengatupkan mulutnya. Dia langsung mengangguk dan menelepon seseorang untuk memenuhi seruan Sean barusan.Tak lama kemudian, Sean bangkit lalu memacu langkahnya. Disusul oleh Jerry yang ikutmengamati gerak-geriknya. Alhasil, Jerry menawarkan diri untuk mengemudikan mobil Sean.Sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara di antara keduanya. Rahang Sean mengeras dengan raut wajah panik. Hal itu merupakan pemandangan yang sudah lama tak dilihat oleh Jerry. Dia pun penasaran. Namun, tak ingin bertanya mengingat keadaan yang tidak tepat sekarang.“Kenapa berhenti?!” sentak Sean tiba-tiba. Matanya kini melirik tajam ke arah Jer