Share

Bab 7

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-26 21:09:28

Alya duduk di kursi goyang di kamar bayi, mengayun pelan sambil menatap Leon yang tertidur dalam dekapan hangatnya. Nafas kecil bayi itu terdengar lembut, naik turun dalam irama yang menenangkan. Jari-jarinya yang mungil masih menggenggam erat jemari Alya, seolah takut kehilangan kehangatan yang ia berikan.

Dari awal, Alya hanya berniat untuk merawat Leon sebagai bagian dari tugasnya. Tidak lebih. Tapi entah sejak kapan, perasaannya mulai berubah. Semakin lama ia menghabiskan waktu bersama Leon, semakin besar rasa sayangnya pada bayi itu. Setiap kali ia menenangkannya saat menangis, setiap kali Leon tertawa kecil dalam tidurnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan terbuka.

Kenangan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak kembali. Alya menatap wajah mungil Leon dan untuk kesekian kalinya, ia mengingat anaknya sendiri. Anak yang tidak pernah bisa ia lihat tumbuh besar. Perasaan itu datang seperti gelombang besar yang menerjang hatinya tanpa ampun. Ia sudah mencoba membangun tembok tinggi untuk melindungi dirinya sendiri, untuk tidak terlalu terikat secara emosional. Tapi kini, dinding itu mulai retak.

Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya. Dengan hati-hati, ia mencium kening Leon, merasakan kehangatan yang begitu nyata. Seolah bayi ini adalah miliknya sendiri.

Saat itulah pintu kamar bayi terbuka. Alya mendongak dan menemukan Sean berdiri di ambang pintu. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca. Ia mengamati pemandangan di depannya tanpa sepatah kata pun. Tatapan tajamnya tertuju pada Leon, lalu beralih ke Alya yang masih memeluk bayi itu erat.

Alya buru-buru menghapus sisa air matanya dan memperbaiki posisi duduknya. “Maaf, saya tidak menyadari waktu. Saya hanya ingin memastikan Leon tidur dengan nyenyak.”

Sean tetap diam. Ia berjalan mendekat, lalu berhenti di samping kursi goyang itu. Matanya menatap Leon dengan intens, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi tidak bisa.

“Dia semakin nyaman denganmu,” ucap Sean akhirnya. Suaranya terdengar rendah dan dalam.

Alya menelan ludah. “Saya hanya berusaha merawatnya dengan baik.”

Sean mengangguk pelan, tapi ekspresi wajahnya tetap sulit ditebak. “Urusanku belum selesai. Aku akan pergi ke luar kota selama beberapa hari lagi. Pastikan Leon tetap dalam kondisi baik.”

Alya menghela napas. Jadi, ini alasannya datang ke kamar bayi? Hanya untuk memastikan tugasnya berjalan dengan baik?

“Baik, Pak Sean,” jawabnya singkat.

Mata Sean masih menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya ia melangkah pergi. Namun, sebelum pintu tertutup, Alya mendengar bisikan lirihnya. “Ingat. Jangan libatkan perasaan untuk hal ini.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya lebih dalam dari yang ia duga. Apakah ia bisa? Terlambat. Ia sudah terikat.

Keesokan harinya, Alya berusaha mengalihkan pikirannya dengan berkonsentrasi penuh pada Leon. Ia menyiapkan susu, mengganti popoknya, dan membacakan dongeng dengan suara lembut. Leon sudah mulai mengenali suaranya, setiap kali ia berbicara, bayi itu akan menggerakkan kepalanya ke arah Alya. Terkadang, Leon menggenggam jarinya erat, dan itu cukup membuat Alya tersenyum kecil.

Seharusnya, semua ini terasa biasa saja. Seharusnya, ia tidak membiarkan hatinya terlalu lunak. Tapi setiap kali Leon tersenyum padanya, Alya merasa seperti ada sesuatu yang bergeser di dalam dirinya.

Saat sore tiba, Alya duduk di dekat jendela dengan Leon dalam gendongannya. Mata bayi itu membesar, menatap ke luar seolah mencoba memahami dunia yang begitu luas. Alya membelai pipinya dengan lembut, lalu membisikkan sesuatu yang bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.

“Kamu mengingatkanku pada anakku.”

Ia terdiam sejenak setelah mengatakan itu. Hatinya bergetar. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang anaknya. Tidak ada yang tahu luka yang ia sembunyikan begitu dalam.

Dengan cepat, ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir perasaan itu. Ini tidak seharusnya terjadi. Ia seharusnya tetap menjaga jarak. Tapi bagaimana caranya, jika setiap hari ia semakin melihat Leon seperti anaknya sendiri?

Ketika malam tiba, Alya menidurkan Leon di boksnya. Ia berdiri di samping tempat tidur bayi itu cukup lama, memperhatikan bagaimana Leon tertidur pulas dengan ekspresi damai. Tangannya perlahan menyentuh kepala bayi itu, mengusapnya lembut.

“Aku tidak boleh seperti ini,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tidak boleh terlalu terikat.”

Tapi hatinya sudah bicara lebih dulu. Ia sudah jatuh terlalu dalam. Dan ia tahu, ketika saatnya tiba untuk pergi, ia akan sulit melepaskan diri dari bayi kecil yang telah berhasil mencuri hatinya.

Sean kembali lebih cepat dari yang Alya perkirakan. Ketika ia melihat pria itu memasuki rumah, masih mengenakan setelan jas yang rapi, Alya hanya bisa berdiri diam di sudut ruangan. Ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi Sean kali ini—sesuatu yang lebih lelah, lebih dingin dari biasanya.

Ia tidak mengatakan apa-apa saat pertama kali melihat Leon. Ia hanya berdiri di depan boks bayi itu, menatap anaknya dengan tatapan kosong.

Alya menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia ragu apakah Sean akan mendengarkan. Pria itu selalu menjaga jarak, selalu membangun tembok di sekelilingnya, seperti seseorang yang takut terikat.

Lalu tiba-tiba, tanpa diduga, Sean berbicara.

“Kamu terlihat lebih nyaman dengan Leon sekarang.”

Alya menatapnya ragu, lalu mengangguk perlahan. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuknya.”

Sean menoleh ke arahnya, matanya menelisik. “Benarkah hanya itu?”

Pertanyaan itu membuat Alya terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Sean. Ia tahu pria itu bisa merasakan bahwa Alya sudah mulai terikat. Tapi bagaimana ia bisa menghindarinya? Bagaimana ia bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh begitu alami?

Alih-alih menjawab, Alya memilih mengalihkan pandangannya ke Leon yang masih tertidur. “Saya hanya ingin dia merasa aman.”

Sean menghela napas. “Jangan lupa, ini hanya sementara.”

Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Hanya sementara. Alya menggigit bibirnya lebih keras. Ia tahu sejak awal bahwa kehadirannya di rumah ini tidak akan permanen. Ia tahu ia bukan siapa-siapa bagi Leon.

Tapi mengapa hatinya begitu sakit mendengarnya langsung dari mulut Sean?

Ketika Sean beranjak pergi, Alya masih berdiri di tempatnya, menatap Leon dengan perasaan yang semakin berat. Dilema itu semakin nyata. Ia ingin tetap menjaga hatinya, tapi ia tahu, ia sudah tidak bisa berpaling lagi.

Karena tanpa ia sadari, ia sudah mulai mencintai bayi itu seperti anaknya sendiri. Dan mungkin, itulah kesalahannya yang terbesar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 143

    “Sayang, kau duluan masuk kamar saja ya.”“Kau yakin?” tanya Utari yang terdengar ragu.Adrian mengangguk sembari mengelus punggung tangan istrinya. “Kau harus istirahat karena bayi kita pasti kelelahan juga di dalam sana.” Adrian menegakkan badan untuk menyambut kedatangan orang tadi. Suara langkah berat memecah kesunyian di tepi jalan berbatu. Lampu taman di luar kafe itu berpendar lembut, menyorot dua sosok pria yang berdiri saling berhadapan di bawah langit malam yang nyaris tanpa bintang. Adrian menatap Sean dengan sorot mata lelah, seperti seseorang yang sudah terlalu lama dihantui masa lalu. Tangannya menggenggam erat ponsel di saku, sementara napasnya masih berat karena kejutan mendengar panggilan tadi. Sean

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 142

    Langit malam menaburkan cahaya keperakan di atas halaman kecil kafe yang tenang.Udaranya terasa lembap, dan aroma cokelat hangat bercampur wangi tanah basah setelah hujan sore tadi. Adrian duduk di seberang meja, menatap perempuan yang kini tengah menikmati sendok terakhir es krim vanila di tangannya.“Bayinya aktif banget malam ini,” ujar perempuan itu pelan, menatap Adrian dengan mata berbinar. “Tiap kali aku makan yang manis, pasti dianya langsung nendang.”Adrian mengangkat alis, tersenyum sekilas. “Mungkin dia tahu ibunya terlalu suka gula, tapi jangan berlebihan ya. Ingatlah kata dokter, Utari Sayang.”“Eh, kau juga dulu yang nyuruh aku makan es krim biar gak stres, kan?” sergah perempuan bernama Utari tersebut menimpali, terkekeh pelan. “Lagipula dokter bila

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 141

    Malam merambat pelan, membungkus villa yang mereka tempati dalam selimut keheningan yang berat. Hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar berulang, mengisi sela-sela napas orang-orang yang menunggu tanpa kepastian. Rey tertidur di gendongan Sean—atau lebih tepatnya, memejamkan mata tanpa benar-benar tidur. Bahunya yang kecil tersandar di dada sang ayah, sementara jemarinya menggenggam ujung kemeja Sean seolah takut kehilangan pegangan terakhir di dunia. Alya berjalan di sisi mereka, langkahnya pelan namun penuh gundah. Mereka baru saja kembali dari pencarian panjang—menyusuri jalanan yang dingin dan sunyi, berbekal harapan tipis bahwa Adrian masih berada di sekitar. Tapi hasilnya nihil. Seolah pria itu menelan dirinya sendiri dalam kegelapan malam.

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 140

    Alya berdiri di balkon kamar vila, menatap laut sore yang mulai berubah warna. Ombak berdebur perlahan, seakan membisikkan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Sejak pagi tadi, hatinya tak tenang. Ada firasat aneh yang terus menggelayut di dada—halus, tapi menusuk.“Kenapa rasanya seperti ada yang akan terjadi?” gumamnya pelan. Dari jauh, suara tawa anak-anak terdengar samar. Renzo dan Ruelle masih sibuk dengan ember dan sekop pasir mereka, Leon membantu Tuan Agusta mengambil foto, sementara Sean berbincang dengan Alex di sisi barat pantai. Semua tampak damai… tapi batin Alya tetap gelisah.Ia meremas jemari sendiri, mencoba menepis pikiran-pikiran buruk. Sementara itu, di tepi pantai, Rey berdiri mematung. Pandangannya tak lepas dari so

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 139

    Langit Bali siang itu berwarna biru pucat, seolah ikut menyambut kedatangan keluarga besar Sean dengan kelembutan yang menenangkan. Angin laut berembus lembut, membawa aroma asin dan suara deburan ombak yang menenangkan hati. Alya berdiri di balkon vila tepi pantai yang mereka sewa, memandang ke arah laut dengan mata yang dipenuhi syukur. Sudah sebulan lebih sejak hari-hari berat itu berlalu. Waktu penuh kedamaian yang ia pikir tak akan datang secepat ini. Selena kini lebih hangat, lebih terbuka, bahkan sering datang ke dapur untuk membantunya menyiapkan sarapan. Tak ada lagi tatapan dingin atau kalimat yang menyayat. Semua luka perlahan sembuh, digantikan dengan tawa dan percakapan ringan. Suara tawa kecil terdengar dari ruang tengah. Alya menoleh dan tersenyum—di

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 138

    Sudah dua minggu berlalu sejak sore hujan yang menyatukan dua hati perempuan di bawah atap yang sama. Waktu terasa melambat, tapi dengan cara yang menenangkan. Tak ada lagi suara pintu dibanting, tak ada lagi tatapan tajam atau kata-kata yang menusuk. Rumah itu kini bernafas dalam ritme baru — lembut, teratur, dan hangat. Pagi itu, aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Suara tawa anak-anak menggema dari ruang keluarga, bersahut-sahutan dengan musik lembut dari radio yang menyala setengah pelan. Alya berdiri di dapur, mengenakan apron biru muda, mengoleskan selai stroberi ke roti panggang sambil tersenyum.“Jangan rebutan! Semua dapat bagian ya,” serunya, setengah tertawa.“Ruelle ambil duluan!” protes Leon dengan pipi menggembung.“Karena aku yang bantu Tante Selena kepang ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status