Alya duduk di kursi goyang di kamar bayi, mengayun pelan sambil menatap Leon yang tertidur dalam dekapan hangatnya. Nafas kecil bayi itu terdengar lembut, naik turun dalam irama yang menenangkan. Jari-jarinya yang mungil masih menggenggam erat jemari Alya, seolah takut kehilangan kehangatan yang ia berikan.
Dari awal, Alya hanya berniat untuk merawat Leon sebagai bagian dari tugasnya. Tidak lebih. Tapi entah sejak kapan, perasaannya mulai berubah. Semakin lama ia menghabiskan waktu bersama Leon, semakin besar rasa sayangnya pada bayi itu. Setiap kali ia menenangkannya saat menangis, setiap kali Leon tertawa kecil dalam tidurnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan terbuka.
Kenangan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak kembali. Alya menatap wajah mungil Leon dan untuk kesekian kalinya, ia mengingat anaknya sendiri. Anak yang tidak pernah bisa ia lihat tumbuh besar. Perasaan itu datang seperti gelombang besar yang menerjang hatinya tanpa ampun. Ia sudah mencoba membangun tembok tinggi untuk melindungi dirinya sendiri, untuk tidak terlalu terikat secara emosional. Tapi kini, dinding itu mulai retak.
Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya. Dengan hati-hati, ia mencium kening Leon, merasakan kehangatan yang begitu nyata. Seolah bayi ini adalah miliknya sendiri.
Saat itulah pintu kamar bayi terbuka. Alya mendongak dan menemukan Sean berdiri di ambang pintu. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca. Ia mengamati pemandangan di depannya tanpa sepatah kata pun. Tatapan tajamnya tertuju pada Leon, lalu beralih ke Alya yang masih memeluk bayi itu erat.
Alya buru-buru menghapus sisa air matanya dan memperbaiki posisi duduknya. “Maaf, saya tidak menyadari waktu. Saya hanya ingin memastikan Leon tidur dengan nyenyak.”
Sean tetap diam. Ia berjalan mendekat, lalu berhenti di samping kursi goyang itu. Matanya menatap Leon dengan intens, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi tidak bisa.
“Dia semakin nyaman denganmu,” ucap Sean akhirnya. Suaranya terdengar rendah dan dalam.
Alya menelan ludah. “Saya hanya berusaha merawatnya dengan baik.”
Sean mengangguk pelan, tapi ekspresi wajahnya tetap sulit ditebak. “Urusanku belum selesai. Aku akan pergi ke luar kota selama beberapa hari lagi. Pastikan Leon tetap dalam kondisi baik.”
Alya menghela napas. Jadi, ini alasannya datang ke kamar bayi? Hanya untuk memastikan tugasnya berjalan dengan baik?
“Baik, Pak Sean,” jawabnya singkat.
Mata Sean masih menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya ia melangkah pergi. Namun, sebelum pintu tertutup, Alya mendengar bisikan lirihnya. “Ingat. Jangan libatkan perasaan untuk hal ini.”
Kata-kata itu menusuk hati Alya lebih dalam dari yang ia duga. Apakah ia bisa? Terlambat. Ia sudah terikat.
Keesokan harinya, Alya berusaha mengalihkan pikirannya dengan berkonsentrasi penuh pada Leon. Ia menyiapkan susu, mengganti popoknya, dan membacakan dongeng dengan suara lembut. Leon sudah mulai mengenali suaranya, setiap kali ia berbicara, bayi itu akan menggerakkan kepalanya ke arah Alya. Terkadang, Leon menggenggam jarinya erat, dan itu cukup membuat Alya tersenyum kecil.
Seharusnya, semua ini terasa biasa saja. Seharusnya, ia tidak membiarkan hatinya terlalu lunak. Tapi setiap kali Leon tersenyum padanya, Alya merasa seperti ada sesuatu yang bergeser di dalam dirinya.
Saat sore tiba, Alya duduk di dekat jendela dengan Leon dalam gendongannya. Mata bayi itu membesar, menatap ke luar seolah mencoba memahami dunia yang begitu luas. Alya membelai pipinya dengan lembut, lalu membisikkan sesuatu yang bahkan ia sendiri terkejut mendengarnya.
“Kamu mengingatkanku pada anakku.”
Ia terdiam sejenak setelah mengatakan itu. Hatinya bergetar. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang anaknya. Tidak ada yang tahu luka yang ia sembunyikan begitu dalam.
Dengan cepat, ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir perasaan itu. Ini tidak seharusnya terjadi. Ia seharusnya tetap menjaga jarak. Tapi bagaimana caranya, jika setiap hari ia semakin melihat Leon seperti anaknya sendiri?
Ketika malam tiba, Alya menidurkan Leon di boksnya. Ia berdiri di samping tempat tidur bayi itu cukup lama, memperhatikan bagaimana Leon tertidur pulas dengan ekspresi damai. Tangannya perlahan menyentuh kepala bayi itu, mengusapnya lembut.
“Aku tidak boleh seperti ini,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tidak boleh terlalu terikat.”
Tapi hatinya sudah bicara lebih dulu. Ia sudah jatuh terlalu dalam. Dan ia tahu, ketika saatnya tiba untuk pergi, ia akan sulit melepaskan diri dari bayi kecil yang telah berhasil mencuri hatinya.
Sean kembali lebih cepat dari yang Alya perkirakan. Ketika ia melihat pria itu memasuki rumah, masih mengenakan setelan jas yang rapi, Alya hanya bisa berdiri diam di sudut ruangan. Ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi Sean kali ini—sesuatu yang lebih lelah, lebih dingin dari biasanya.
Ia tidak mengatakan apa-apa saat pertama kali melihat Leon. Ia hanya berdiri di depan boks bayi itu, menatap anaknya dengan tatapan kosong.
Alya menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia ragu apakah Sean akan mendengarkan. Pria itu selalu menjaga jarak, selalu membangun tembok di sekelilingnya, seperti seseorang yang takut terikat.
Lalu tiba-tiba, tanpa diduga, Sean berbicara.
“Kamu terlihat lebih nyaman dengan Leon sekarang.”
Alya menatapnya ragu, lalu mengangguk perlahan. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuknya.”
Sean menoleh ke arahnya, matanya menelisik. “Benarkah hanya itu?”
Pertanyaan itu membuat Alya terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Sean. Ia tahu pria itu bisa merasakan bahwa Alya sudah mulai terikat. Tapi bagaimana ia bisa menghindarinya? Bagaimana ia bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh begitu alami?
Alih-alih menjawab, Alya memilih mengalihkan pandangannya ke Leon yang masih tertidur. “Saya hanya ingin dia merasa aman.”
Sean menghela napas. “Jangan lupa, ini hanya sementara.”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Hanya sementara. Alya menggigit bibirnya lebih keras. Ia tahu sejak awal bahwa kehadirannya di rumah ini tidak akan permanen. Ia tahu ia bukan siapa-siapa bagi Leon.
Tapi mengapa hatinya begitu sakit mendengarnya langsung dari mulut Sean?
Ketika Sean beranjak pergi, Alya masih berdiri di tempatnya, menatap Leon dengan perasaan yang semakin berat. Dilema itu semakin nyata. Ia ingin tetap menjaga hatinya, tapi ia tahu, ia sudah tidak bisa berpaling lagi.
Karena tanpa ia sadari, ia sudah mulai mencintai bayi itu seperti anaknya sendiri. Dan mungkin, itulah kesalahannya yang terbesar.
Jerry terbahak begitu melihat Sean yang terus membungkam bibirnya. Mata lelaki itu bersinar penuh kemenangan, seolah menikmati reaksi canggung yang ditunjukkan sahabatnya tersebut.Dengan ekspresi penuh selidik, ia pun bersuara, "Kenapa? Apa yang kutuding barusan benar bukan?"Sean menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Alya bersedia hidup denganku. Itu saja sudah cukup.""Oh ya? Apa kau yakin?" Jerry menyeringai, menyandarkan tubuh ke kursi sambil melipat tangannya di dada. "Kau tak ingin kesalahan sama terulang seperti hubungan toksikmu dengan Catherine, bukan?""Jerry!" tegur Sean dengan rahang yang mulai mengeras.Mata Jerry sedikit menyipit, menangkap perubahan raut wajah sahabatnya. "Alya adalah perempuan yang berbeda," lanjut Sean, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Jerry pun mengangguk mengiyakan. "Saran saja dariku, Sean. Ungkapkan perasaanmu secara verbal. Lalu tuntut dia untuk melakukan hal sama. Kalian berdua butuh keyakinan yang dalam.""Apa itu pen
Sean tidak membuang waktu. Keesokan harinya, ia mengatur pertemuan dengan beberapa kolega bisnis yang terpengaruh oleh rumor yang beredar. Ia memilih restoran eksklusif yang biasa menjadi tempat berkumpul para pebisnis ternama. Mengenakan setelan terbaiknya, Sean memasuki ruangan dengan langkah mantap, tatapannya tajam dan penuh ketegasan.Ketika Richard dan beberapa pengusaha lainnya tiba, mereka mendapati Sean sudah duduk menunggu dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ia menegakkan punggungnya, memancarkan aura seorang pria yang tidak bisa diremehkan."Terima kasih sudah datang," ucap Sean, mengangkat gelas anggurnya sedikit sebelum meletakkannya kembali. "Aku dengar ada pembicaraan yang menarik mengenai istriku."Richard dan beberapa yang lain saling bertukar pandang, mencoba menyembunyikan rasa canggung mereka. Namun, Sean tidak memberinya kesempatan untuk menyangkal."Aku ingin meluruskan sesuatu." Suaranya tetap tenang, tetapi ada ketegasan yang tak terbantahkan. "Alya adala
“Apa kata dunia jika Sean menggelar pernikahan resmi tanpa kehadiran ayahnya?”Suara Tuan Agusta barusan membuat para tamu yang hadir kompak mengangguk paham. Sementara Miranda berdiri di tempatnya dengan perasaan gelisah.“Aku dengar Tuan Alex masih sibuk di Singapura,” sahut yang lain.“Pekan depan dia akan hadir di pesta pernikahan Alya dan Sean,” tukas Tuan Agusta sekaligus menutup obrolan mereka malam itu.Malam semakin meninggi. Satu per satu tamu undangan mereka mulai berpamitan. Hanya Miranda yang terlihat di sana. Tuan Agusta sudah masuk ke kamarnya setengah jam yang lalu, sedangkan Sean dan Alya lebih dulu menghilang dengan alasan ingin menidurkan Leon bersama.“Maaf,” ucap Sean begitu melihat Alya ke luar dari kamar mandi.Istrinya itu mengernyit keheranan. “Kenapa?”“Ibu masih belum bisa menerimamu,” ucap Sean lagi. Dia meraih pergelangan tangan Alya hingga keduanya bisa bersitatap dengan jarak dekat.“Ibumu benar. Aku akan kesulitan berhadapan dengan dunia kalian.”“Hei!”
Miranda melirik arlojinya sekilas, lalu menoleh ke arah para pelayan yang sibuk di dapur. Dengan nada tegas, ia memberikan perintah, "Pastikan meja makan sudah tertata dengan sempurna. Gunakan peralatan makan dari koleksi perak. Jangan sampai ada noda sedikit pun. Dan siapkan anggur terbaik kita."Para pelayan langsung mengangguk dan bergerak lebih cepat, mengerti bahwa malam ini bukanlah sekadar makan malam biasa. Miranda kembali tersenyum penuh arti, lalu beralih ke Tuan Agusta yang duduk santai di sofa ruang tengah, menyesap teh hangat."Aku mengundang beberapa kolega bisnis Sean untuk makan malam," katanya ringan, seolah hal itu bukan sesuatu yang luar biasa.Tuan Agusta tampak terkejut. Pria sepuh itu memandangnya dengan tatapan penuh selidik. "Tanpa memberitahu Sean terlebih dahulu?"Miranda mengangkat bahu. "Mengapa harus? Ini juga demi kebaikan Sean. Lagipula, aku ingin memastikan bahwa kita semua ada di halaman yang sama. Alya tidak pantas berada di lingkungan kita, dan para
Pagi menjelang dengan sinar matahari yang menghangatkan seluruh kediaman keluarga Agusta. Di dalam kamar, Alya bangun lebih dulu, menatap wajah Sean yang masih terlelap di sampingnya. Lelaki itu tampak lebih damai dalam tidurnya, seakan semua ketegangan yang terjadi kemarin tidak pernah ada.Alya mengalihkan pandangannya ke arah boks bayi. Leon masih terlelap dengan tenang, sesekali jemari mungilnya bergerak dalam tidurnya. Tidak jauh dari sana, Rey masih tertidur pulas di kamar sebelah setelah Sean memindahkannya semalam.Alya bangkit perlahan, berniat untuk beranjak ke kamar mandi. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, sebuah tangan besar menangkap pergelangan tangannya.“Kau mau ke mana?” suara serak Sean terdengar dalam kantuknya.Alya tersenyum kecil. “Ke kamar mandi. Lepaskan dulu.”Sean menghela napas sebelum akhirnya melepaskan genggamannya. Alya pun berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Sean yang masih bergelung di balik selimut.Beberapa saat kemudian, suara tangisan ba
"Ibu tidak setuju kalau anak kandung Alya itu tinggal di sini. Apa kata orang-orang nanti? Kau terpincut oleh janda beranak pula. Aduh aduh! Pengumuman pernikahan kalian saja sudah berat, ini malah ditambah lagi dengan drama yang rumit. Tidak habis pikir jadinya."Miranda terus menyampaikan aksi protes atas penjelas Sean padanya tadi. Kini kepalanya menggeleng tegas dengan mata yang menatap tajam wajah tampan sang putra."Ini adalah hidupku. Ibu tidak berhak ikut campur!!" bantah Sean, suaranya bergetar menahan amarah. Tangannya mengepal di sisi tubuh, sementara rahangnya mengeras."Apa katamu??" Miranda tertawa hambar, sorot matanya tajam menusuk. "Ayahmu juga tidak akan setuju, Sean. Jadi sebelum banyak orang yang tahu, lebih baik urus semua kekacauan ini."Ketegangan menggantung di udara. Sean menatap ibunya dengan rahang mengatup rapat, berusaha menahan gejolak dalam dadanya. Miranda tidak mau mundur, wajahnya penuh keteguhan, seolah ia tidak akan goyah sedikit pun.Tiba-tiba, ket