"Saya hanya ingin membuat teh," jawab Alya pelan, mencoba mempertahankan ketenangannya.
Sean mengamati ekspresinya dengan penuh selidik. Wajahnya masih menyiratkan ketegangan dari percakapan yang baru saja terjadi di telepon. Namun, alih-alih menegurnya lebih jauh, Sean menghela napas panjang lalu berjalan melewatinya. "Sudah malam, sebaiknya kau kembali ke kamar," katanya tanpa menoleh. Alya mengangguk, memilih untuk tidak membalas. Ia tidak ingin memperkeruh suasana, terutama saat Sean sedang dalam keadaan emosional seperti ini. Namun, ia tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu yang membuat Sean begitu marah—sesuatu yang berkaitan dengan bisnisnya. Saat ia kembali ke kamarnya, pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa Sean terlihat begitu penuh amarah? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalunya? Alya tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—pria itu menyimpan banyak luka yang belum sembuh. Keesokan paginya, Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Ia menemukan Leon masih tertidur lelap. Wajah mungilnya begitu damai, membuat Alya tersenyum kecil. Meskipun semula ia merasa ragu dengan keputusannya untuk berada di sini, semakin hari ia semakin terikat dengan bayi ini. Saat ia sedang mengganti popok Leon, pintu kamar terbuka dan Sean muncul. Ia terlihat segar dengan setelan jasnya yang rapi, tetapi ekspresinya tetap seperti biasa—dingin dan tidak terbaca. "Aku akan pergi ke luar kota hari ini. Mungkin baru kembali besok malam," ucapnya singkat. Alya mengangkat alis, sedikit terkejut. "Iya, Pak. Apa ada sesuatu yang perlu saya lakukan selain merawat Leon?" Sean menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, "Tetap ikuti aturan. Dan jangan terlalu banyak bertanya." Alya menghela napas. "Saya tidak pernah bertanya apa pun, Pak Sean." Pria itu tidak membalas, hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan pergi. Namun, sebelum pintu tertutup, ia berhenti sejenak. "Jika butuh sesuatu, hubungi Bu Rina." Setelah itu, ia benar-benar pergi, meninggalkan Alya dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Ia tidak mengerti mengapa Sean selalu menjaga jarak darinya. Pria itu jelas memiliki sisi lembut—ia bisa melihat dari caranya menatap Leon. Tapi di saat yang sama, ia juga membangun tembok tinggi di sekelilingnya. Hari itu berjalan cukup tenang. Alya menghabiskan waktu dengan Leon, membacakan cerita kecil untuknya sambil sesekali mengajaknya berbicara. Meskipun bayi itu belum bisa memahami kata-kata, Alya tetap merasa nyaman melakukan itu. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Menjelang sore, bel pintu utama berbunyi. Alya yang sedang berada di kamar bayi langsung menoleh, bertanya-tanya siapa yang datang. Tak lama, suara Bu Rina terdengar dari luar kamar. "Nona Alya, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Alya mengernyit. Tamu? Siapa yang mencarinya di rumah ini? Dengan hati-hati, ia meletakkan Leon kembali ke dalam boks bayi sebelum keluar kamar dan menuju ruang tamu. Saat ia melihat sosok yang berdiri di sana, jantungnya langsung berdegup kencang. Di hadapannya berdiri seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang dan wajah yang dipenuhi aura percaya diri. Wanita itu tampak anggun dengan gaun mahal berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Tatapan matanya tajam, seolah menilai Alya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kamu pasti Alya," katanya, suaranya terdengar tenang tapi menusuk. Alya mengangguk perlahan. "Ya. Maaf, Anda siapa?" Wanita itu menyunggingkan senyum kecil, tetapi ada sesuatu di balik senyumannya yang terasa berbahaya. "Aku Catherine. Mantan tunangan Sean." Alya merasakan tubuhnya menegang. Mantan tunangan? "Aku ingin berbicara denganmu," lanjut Catherine tanpa basa-basi. "Tentunya tidak mengganggu pekerjaan utamamu mengasuh bayi itu.” Alya tahu ia tidak bisa menolak. Dengan hati-hati, ia duduk di sofa, sementara Catherine mengambil tempat di seberangnya. Ada ketegangan di udara, seolah-olah pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa. "Aku tidak akan bertele-tele," kata Catherine sambil menyilangkan kakinya. "Aku ingin tahu apa sebenarnya hubunganmu dengan Sean." Alya menelan ludah. "Saya hanya ibu susu Leon. Tidak lebih." Catherine menyipitkan mata, seolah menilai apakah Alya berkata jujur atau tidak. "Hanya itu?" "Ya. Saya di sini untuk merawat Leon, bukan untuk hal lain." Catherine menghela napas kecil lalu tersenyum miring. "Kamu tahu, Sean bukan pria yang mudah dekat dengan seseorang. Dia sangat berhati-hati dalam memilih orang-orang di sekitarnya. Jika dia membiarkanmu tinggal di rumah ini, pasti ada alasan lain." Alya menggenggam tangannya sendiri di pangkuan. "Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, Nona Catherine." Wanita itu tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar dingin. "Jangan terlalu percaya diri, Alya. Aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal—Sean tidak percaya pada siapa pun. Dan jika kamu berpikir bisa mengubahnya, kau akan kecewa." Alya tidak menyukai nada suara Catherine. "Saya tidak pernah punya niatan seperti itu." "Bagus," jawab Catherine singkat, lalu ia bangkit dari duduknya. "Kuharap kamu ingat kata-kataku. Karena pada akhirnya, tidak ada yang bisa benar-benar masuk ke dalam dunia Sean Alexander." Alya hanya diam saat wanita itu melangkah pergi, meninggalkannya dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di benaknya. Apa maksud Catherine sebenarnya? Mengapa wanita itu merasa perlu datang dan memperingatkannya? Dan yang paling penting—apa yang sebenarnya terjadi antara Catherine dan Sean? Saat malam tiba, Alya masih belum bisa mengusir perasaan gelisahnya. Mungkin benar kata Catherine. Mungkin Sean adalah pria yang tidak bisa didekati oleh siapa pun. Namun, satu hal yang pasti—ia mulai menyadari bahwa dirinya sudah terlibat terlalu jauh dalam kehidupan pria itu.Alya duduk di kursi goyang di kamar bayi, mengayun pelan sambil menatap Leon yang tertidur dalam dekapan hangatnya. Nafas kecil bayi itu terdengar lembut, naik turun dalam irama yang menenangkan. Jari-jarinya yang mungil masih menggenggam erat jemari Alya, seolah takut kehilangan kehangatan yang ia berikan.Dari awal, Alya hanya berniat untuk merawat Leon sebagai bagian dari tugasnya. Tidak lebih. Tapi entah sejak kapan, perasaannya mulai berubah. Semakin lama ia menghabiskan waktu bersama Leon, semakin besar rasa sayangnya pada bayi itu. Setiap kali ia menenangkannya saat menangis, setiap kali Leon tertawa kecil dalam tidurnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan terbuka.Kenangan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak kembali. Alya menatap wajah mungil Leon dan untuk kesekian kalinya, ia mengingat anaknya sendiri. Anak yang tidak pernah bisa ia lihat tumbuh besar. Perasaan itu datang seperti gelombang besar yang menerjang hatinya tanpa ampun. Ia sudah mencoba me
"Saya hanya ingin membuat teh," jawab Alya pelan, mencoba mempertahankan ketenangannya.Sean mengamati ekspresinya dengan penuh selidik. Wajahnya masih menyiratkan ketegangan dari percakapan yang baru saja terjadi di telepon. Namun, alih-alih menegurnya lebih jauh, Sean menghela napas panjang lalu berjalan melewatinya."Sudah malam, sebaiknya kau kembali ke kamar," katanya tanpa menoleh.Alya mengangguk, memilih untuk tidak membalas. Ia tidak ingin memperkeruh suasana, terutama saat Sean sedang dalam keadaan emosional seperti ini. Namun, ia tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu yang membuat Sean begitu marah—sesuatu yang berkaitan dengan bisnisnya.Saat ia kembali ke kamarnya, pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa Sean terlihat begitu penuh amarah? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalunya? Alya tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—pria itu menyimpan banyak luka yang belum sembuh.Keesokan paginya, Aly
Alya bertanya secara tiba-tiba, tanpa sadar suara hatinya keluar.Sean menatapnya, ekspresinya mengeras. "Karena aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama. Leon hanya butuh seseorang untuk menyusuinya, bukan sosok ibu pengganti. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan harapan yang tidak nyata."Ada kepedihan dalam suara barusan, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Alya tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu ada sesuatu di masa lalu Sean yang membuatnya seperti ini. Namun, ia juga tidak ingin memaksakan diri untuk mengetahuinya.Saat itu, suara tangis Leon memenuhi ruangan. Alya segera mengambil bayi itu dan menggendongnya dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh kecil itu bergerak gelisah, mencari kenyamanan. Perlahan, Alya mulai menyusuinya dengan posisi berbalik badan.Sean memperhatikan tanpa berkata apa-apa. Matanya tidak lagi sekadar menilai, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Sesuatu yang hampir menyerupai kekaguman.Alya menunduk, fokus pada Leon. Ia tidak tahu ke mana arah
Alya berdiri di depan apartemen mewah milik Sean Alexander. Udara malam yang sejuk menerpa wajahnya, membawa serta rasa gugup yang semakin menguasai dirinya. Sejak pertemuan mereka di rumah sakit sore tadi, semuanya terasa begitu cepat. Kini, ia benar-benar akan tinggal di rumah seorang pria asing untuk merawat bayi yang bukan darah dagingnya.Pintu besar itu terbuka secara otomatis setelah Sean mengetikkan kode pada panel di sampingnya. Ia melangkah masuk tanpa menoleh ke belakang, membuat Alya harus buru-buru mengikutinya. Begitu melewati ambang pintu, Alya tertegun.Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan interior modern yang didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Setiap furnitur tampak mahal dan tertata rapi, memberikan kesan dingin dan formal, sangat mencerminkan pemiliknya."Ikut aku," kata Sean singkat, berjalan menuju sebuah ruangan di sudut apartemen. Alya mengikuti tanpa suara.Ruangan itu adalah kamar bayi. Tidak seperti bagian apartemen lainnya yang terasa d
“Alya, aku tahu ini nggak mudah," kata Dinda pelan, penuh kehati-hatian. "Tapi di sini, di rumah sakit ini, ada bayi kecil yang sangat membutuhkan ASI. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan dia belum mendapatkan cukup asupan susu."Alya menatap Dinda dengan mata berkabut. "Bayi itu... tidak punya ibu?"Dinda mengangguk. "Ya. Dia kehilangan ibu yang melahirkannya. Seperti kamu yang sedang kehilangan Rey, bayi itu juga kehilangan ibunya."Air mata Alya mulai menggenang. Ia meremas selimutnya erat-erat, merasakan gelombang perasaan yang tak bisa dijelaskan. Sakit karena kehilangan Rey masih menggerogoti hati, tetapi ada sesuatu dalam kata-kata Dinda yang menyentuh sisi terdalam jiwanya.Dinda kembali melanjutkan kata-katanya. "Kamu sedang dalam kondisi menyusui, dan aku tahu kamu pasti merasa kesakitan karena ASI-mu enggak keluar. Bayi itu butuh ASI, dan kamu butuh cara untuk mengatasinya. Ini bisa jadi solusi untukmu."Alya menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangka
Alya tak sadarkan diri sejak keputusan hakim menghancurkan harapannya. Tubuhnya limbung, lalu jatuh begitu saja di lantai ruang sidang yang dingin. Sementara itu suara panik Hanum menggema, memanggil namanya berulang kali."Alya! Astaga! Tolong!" Hanum lantas berlutut, menepuk-nepuk pipi sahabatnya yang pucat pasi. Panik dan tak tahu harus berbuat apa, ia menoleh ke arah petugas keamanan yang berjaga. "Tolong panggil ambulans! Dia butuh pertolongan!"Tak lama kemudian, sirene ambulans meraung di luar gedung pengadilan. Para petugas medis dengan sigap mengangkat tubuh Alya ke atas tandu dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Hanum mengekor, tangannya menggenggam erat jari sahabatnya yang lemah.Setibanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit, Alya segera diperiksa oleh dokter. Hanum berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Ia tak pernah melihat Alya sejatuh ini. Kehilangan Rey telah menghabiskan semangat hidup perempuan malang tersebut.Saat itulah