Share

Bab 6

Author: A mum to be
last update Last Updated: 2025-06-26 15:06:35

"Saya hanya ingin membuat teh," jawab Alya pelan, mencoba mempertahankan ketenangannya.

Sean mengamati ekspresinya dengan penuh selidik. Wajahnya masih menyiratkan ketegangan dari percakapan yang baru saja terjadi di telepon. Namun, alih-alih menegurnya lebih jauh, Sean menghela napas panjang lalu berjalan melewatinya.

"Sudah malam, sebaiknya kau kembali ke kamar," katanya tanpa menoleh.

Alya mengangguk, memilih untuk tidak membalas. Ia tidak ingin memperkeruh suasana, terutama saat Sean sedang dalam keadaan emosional seperti ini. Namun, ia tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu yang membuat Sean begitu marah—sesuatu yang berkaitan dengan bisnisnya.

Saat ia kembali ke kamarnya, pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa Sean terlihat begitu penuh amarah? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalunya? Alya tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—pria itu menyimpan banyak luka yang belum sembuh.

Keesokan paginya, Alya terbangun lebih awal dari biasanya. Ia menemukan Leon masih tertidur lelap. Wajah mungilnya begitu damai, membuat Alya tersenyum kecil. Meskipun semula ia merasa ragu dengan keputusannya untuk berada di sini, semakin hari ia semakin terikat dengan bayi ini.

Saat ia sedang mengganti popok Leon, pintu kamar terbuka dan Sean muncul. Ia terlihat segar dengan setelan jasnya yang rapi, tetapi ekspresinya tetap seperti biasa—dingin dan tidak terbaca.

"Aku akan pergi ke luar kota hari ini. Mungkin baru kembali besok malam," ucapnya singkat.

Alya mengangkat alis, sedikit terkejut. "Iya, Pak. Apa ada sesuatu yang perlu saya lakukan selain merawat Leon?"

Sean menatapnya beberapa detik sebelum menjawab, "Tetap ikuti aturan. Dan jangan terlalu banyak bertanya."

Alya menghela napas. "Saya tidak pernah bertanya apa pun, Pak Sean."

Pria itu tidak membalas, hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan pergi. Namun, sebelum pintu tertutup, ia berhenti sejenak.

"Jika butuh sesuatu, hubungi Bu Rina."

Setelah itu, ia benar-benar pergi, meninggalkan Alya dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Ia tidak mengerti mengapa Sean selalu menjaga jarak darinya. Pria itu jelas memiliki sisi lembut—ia bisa melihat dari caranya menatap Leon. Tapi di saat yang sama, ia juga membangun tembok tinggi di sekelilingnya.

Hari itu berjalan cukup tenang. Alya menghabiskan waktu dengan Leon, membacakan cerita kecil untuknya sambil sesekali mengajaknya berbicara. Meskipun bayi itu belum bisa memahami kata-kata, Alya tetap merasa nyaman melakukan itu.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Menjelang sore, bel pintu utama berbunyi. Alya yang sedang berada di kamar bayi langsung menoleh, bertanya-tanya siapa yang datang.

Tak lama, suara Bu Rina terdengar dari luar kamar. "Nona Alya, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda."

Alya mengernyit. Tamu? Siapa yang mencarinya di rumah ini?

Dengan hati-hati, ia meletakkan Leon kembali ke dalam boks bayi sebelum keluar kamar dan menuju ruang tamu. Saat ia melihat sosok yang berdiri di sana, jantungnya langsung berdegup kencang.

Di hadapannya berdiri seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang dan wajah yang dipenuhi aura percaya diri. Wanita itu tampak anggun dengan gaun mahal berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Tatapan matanya tajam, seolah menilai Alya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu pasti Alya," katanya, suaranya terdengar tenang tapi menusuk.

Alya mengangguk perlahan. "Ya. Maaf, Anda siapa?"

Wanita itu menyunggingkan senyum kecil, tetapi ada sesuatu di balik senyumannya yang terasa berbahaya. "Aku Catherine. Mantan tunangan Sean."

Alya merasakan tubuhnya menegang. Mantan tunangan?

"Aku ingin berbicara denganmu," lanjut Catherine tanpa basa-basi. "Tentunya tidak mengganggu pekerjaan utamamu mengasuh bayi itu.”

Alya tahu ia tidak bisa menolak. Dengan hati-hati, ia duduk di sofa, sementara Catherine mengambil tempat di seberangnya. Ada ketegangan di udara, seolah-olah pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa.

"Aku tidak akan bertele-tele," kata Catherine sambil menyilangkan kakinya. "Aku ingin tahu apa sebenarnya hubunganmu dengan Sean."

Alya menelan ludah. "Saya hanya ibu susu Leon. Tidak lebih."

Catherine menyipitkan mata, seolah menilai apakah Alya berkata jujur atau tidak. "Hanya itu?"

"Ya. Saya di sini untuk merawat Leon, bukan untuk hal lain."

Catherine menghela napas kecil lalu tersenyum miring. "Kamu tahu, Sean bukan pria yang mudah dekat dengan seseorang. Dia sangat berhati-hati dalam memilih orang-orang di sekitarnya. Jika dia membiarkanmu tinggal di rumah ini, pasti ada alasan lain."

Alya menggenggam tangannya sendiri di pangkuan. "Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, Nona Catherine."

Wanita itu tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar dingin. "Jangan terlalu percaya diri, Alya. Aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal—Sean tidak percaya pada siapa pun. Dan jika kamu berpikir bisa mengubahnya, kau akan kecewa."

Alya tidak menyukai nada suara Catherine. "Saya tidak pernah punya niatan seperti itu."

"Bagus," jawab Catherine singkat, lalu ia bangkit dari duduknya. "Kuharap kamu ingat kata-kataku. Karena pada akhirnya, tidak ada yang bisa benar-benar masuk ke dalam dunia Sean Alexander."

Alya hanya diam saat wanita itu melangkah pergi, meninggalkannya dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di benaknya.

Apa maksud Catherine sebenarnya? Mengapa wanita itu merasa perlu datang dan memperingatkannya? Dan yang paling penting—apa yang sebenarnya terjadi antara Catherine dan Sean?

Saat malam tiba, Alya masih belum bisa mengusir perasaan gelisahnya. Mungkin benar kata Catherine. Mungkin Sean adalah pria yang tidak bisa didekati oleh siapa pun. Namun, satu hal yang pasti—ia mulai menyadari bahwa dirinya sudah terlibat terlalu jauh dalam kehidupan pria itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 167 (Tamat)

    Lombok sore itu diselimuti langit lembut berwarna keemasan. Angin laut berhembus pelan membawa aroma asin yang menenangkan, seolah ikut mengucapkan selamat tinggal pada perjalanan panjang keluarga Sean dan Alya. Setelah seminggu penuh kenangan di Lombok mengunjungi bayi Aksara, membantu Adrian dan Utari, hingga menyapa anak-anak di Lombok Utara, hari itu mereka bersiap untuk pulang ke Jakarta. Suasana di bandara penuh tawa dan pelukan perpisahan. “Terima kasih sudah datang,” ucap Adrian sambil menepuk bahu Sean. “Utari masih sering menangis haru tiap kali ingat kalian.” Sean tersenyum, lalu merangkul sahabatnya itu. “Kau sudah seperti saudaraku, Adrian. Ini bukan perpisahan, hanya jeda sebelum kita bertemu lagi.” Alya menyalami Utari dan mengelus pipinya lembut. “Jaga diri baik-baik, ya. Dan kalau Aksara sudah bisa jalan, janji kirim videonya ke aku.” Utari tertawa kecil. “Pasti. Mbak Alya juga, jangan terlalu sibuk, Alya. Dunia butuh lebih banyak ibu sekaligus perempuan yang sek

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 166

    Tanpa pikir panjang, Sean menerima panggilan itu. Begitu wajah Adrian muncul di layar, terdengar tangisan bayi kecil di latar belakang. Alya spontan mendekat, matanya langsung berbinar.“Sean! Alya!” seru Adrian dengan senyum lebar. “Kalian harus lihat ini!” Ia menggeser kamera, memperlihatkan seorang wanita berambut panjang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Utari, istrinya, tampak pucat tapi tersenyum hangat sambil menggendong bayi mungil yang masih dibalut selimut biru muda.“Ya Tuhan…” Alya menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. “Utari sudah melahirkan?”Adrian tertawa pelan. “Baru saja, dua jam lalu. Putra kami namanya Aksara Adrian. Dia kecil, tapi suaranya… lumayan menggetarkan telinga.”“Oh ya ampun. Tern

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 165

    Dan di sana, berdiri seorang pria tinggi dengan jas krem dan kacamata hitam, menenteng koper hitam di tangan kanannya. Senyum lebar langsung mengembang di wajahnya begitu pandangannya bertemu Sean.“Bos besar!” serunya sambil membuka kacamata. “Masih tetap tampan seperti dua tahun lalu, ya!”Sean tertegun sejenak sebelum akhirnya tertawa lepas. “Jerry? Astaga, Jerry!” Mereka berpelukan hangat, saling menepuk punggung penuh semangat nostalgia. Alya yang datang menyusul tampak kaget sekaligus senang.“Pak Jerry?” tanyanya, separuh tak percaya.“Lama tidak berjumpa, Bu Alya.” Jerry menunduk sop

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 164

    Hari itu, langit biru cerah seolah ikut merayakan semangat pagi keluarga kecil itu. Udara segar membawa aroma bunga dari taman sekolah yang baru disiram. Di halaman sekolah Rey, suara anak-anak bercampur dengan tawa para orang tua. Balon warna-warni bergelantungan di sepanjang jalan menuju aula besar tempat pentas seni akan digelar. Alya menggandeng tangan Rey erat, sementara Sean membawa kamera di lehernya. Mereka berjalan berdampingan, tak banyak bicara, tapi langkah mereka seirama. Setelah beberapa waktu dingin di antara mereka, pagi itu terasa berbeda, yakni lebih lembut, lebih tenang.“Daddy, nanti kalau aku lupa dialog, jangan tertawa ya,” kata Rey lirih, wajahnya setengah gugup, setengah bersemangat.Sean menunduk dan merapikan kerah kostum Rey yang agak miring. “Daddy tidak akan ketawa. Daddy malaahan yak

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 163

    Sinar matahari pagi menembus lembut lewat tirai gorden, menciptakan semburat keemasan di kamar tidur yang masih diselimuti aroma teh jahe dan kehangatan malam sebelumnya. Di ranjang besar itu, Sean masih memeluk Alya erat dari belakang, napasnya teratur, sementara rambut Alya terurai di atas bantal dengan wajah damai. Alya membuka mata perlahan, matanya langsung menangkap wajah Sean yang tampak lebih tenang dari beberapa hari terakhir. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, yakni senyum lega, karena akhirnya jarak yang dingin di antara mereka sudah mencair. Ia berbalik pelan, menatap wajah suaminya yang masih tertidur, lalu membisik pelan, “Pagi, Sayang…”Sean membuka matanya sedikit. “Pagi, Alya,” gumamnya serak, suaranya berat tapi lembut.

  • Ibu Susu Untuk Bayi Tuan Sean   Bab 162

    Malam turun perlahan di rumah itu. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar masuk dari jendela dapur. Alya berdiri di depan meja, menatap cangkir teh jahe yang baru saja ia tuang. Uapnya naik perlahan, seperti doa kecil yang ia titipkan pada langit agar malam ini berjalan lebih tenang dari sebelumnya. Di meja makan, jam berdetak pelan. Sudah lewat pukul sepuluh, dan Sean belum pulang.Ia menatap layar ponsel yang sunyi hingga akhirnya getar pendek muncul.Sean: [Masih di kantor. Ada rapat mendadak. Besok aku ingin izin pulang lebih cepat, supaya bisa datang ke acara Rey.]

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status