“Boleh aku menginginkanmu sekarang?”
Pertanyaan Kai yang diucapkan dengan suara berat dan serak itu sontak membuat pipi Kira tersipu-sipu. Kira melihat tatapan suaminya sudah berubah sayu dan tidak sabaran.Tanpa malu-malu, Kira mendaratkan bibirnya di atas bibir tipis Kai dengan lembut, membuat pria itu menegang seketika.“Hey, katanya aku harus istirahat?” Kira mengingat ucapan Kai beberapa saat yang lalu.“Iya juga, sih.” Kai menghela napas lesu. “Kamu harus banyak istirahat.”“Lagi pula di luar masih ada Tante Grace.”“Sepertinya sudah pulang.”Kira menggelengkan kepalanya. “Tapi aku belum dengar suara mobilnya pergi, Mas.” Ia mengukir senyuman di bibir kecilnya. “Kamu temui Tante Grace dulu, ya. Aku mau istirahat dulu.”Kai menelan saliva dengan susah payah. “Jadi, kamu menolakku, Kira?”Mendengarnya, Kira pun terkekeh-kekeh. “Bukan begitu,” sanggahnya sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Kai.Kira tercenung.Namun sebelum sempat Kira berkata-kata, Kai sudah menggenggam bahu Kira dengan kedua tangannya.“Kira, kita tunda keberangkatannya, ya. Aku harus mencari Violet karena aku nggak bisa tenang kalau belum menemukannya.”Kata-kata itu bagai ujung pedang yang menusuk tepat di jantung Kira, membuat Kira merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.Kira ingin protes, ingin berteriak karena babymoon yang ia nanti-nantikan harus batal begitu saja. Namun saat melihat sorot mata Kai yang gelisah dan penuh rasa bersalah membuat kata-kata itu tak sanggup keluar dari bibir Kira. Kira hanya mengangguk sambil menahan nyeri di dada.“Aku ikut,” gumam Kira.Kai menggeleng. Matanya menatap wajah Kira lurus-lurus. “Nggak, Kira, kamu lagi hamil, nggak boleh kelelahan. Aku akan mengantarmu ke rumah. Hm?”Kira ingin menolak, tapi ia tahu sekarang bukan saatnya mementingkan egonya.“Setelah Violet ketemu, aku akan langsung pulang dan meneruskan perjalanan kita yang tertunda ini,” ujar Kai lagi dengan
Kai benar-benar membuktikan ucapannya. Kira tidak perlu mempersiapkan apapun yang dibutuhkan untuk liburan mereka, karena Kai yang telah menyiapkan semuanya. Kira hanya perlu mengemasi pakaiannya saja yang akan digunakan selama di Bali.Hari ini akhirnya mereka akan pergi ke Bali untuk babymoon, sesuai rencana Kai sebelumnya.Saat Kira sedang mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya, Kai masuk ke dalam kamarnya dan memeluknya dari belakang. Kira tidak begitu terkejut karena ia sempat melihat kedatangan Kai melalui cermin.“Sudah selesai?” tanya Kai sambil membenamkan wajah di ceruk leher Kira, menghidu aroma tubuh wanita itu dalam-dalam.Beruntung Kira sudah selesai mengaplikasikan lipstik. Jika belum, maka Kira yakin lipstiknya akan belepotan karena tingkah Kaisar.“Sudah, Mas. Ayo.” Kira menaruh lipstik itu ke dalam tasnya, bersatu dengan alat make up-nya yang lain.Namun, Kai tampak enggan melepaskan Kira. Pria itu justru malah semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah t
“Boleh aku menginginkanmu sekarang?”Pertanyaan Kai yang diucapkan dengan suara berat dan serak itu sontak membuat pipi Kira tersipu-sipu. Kira melihat tatapan suaminya sudah berubah sayu dan tidak sabaran.Tanpa malu-malu, Kira mendaratkan bibirnya di atas bibir tipis Kai dengan lembut, membuat pria itu menegang seketika.“Hey, katanya aku harus istirahat?” Kira mengingat ucapan Kai beberapa saat yang lalu.“Iya juga, sih.” Kai menghela napas lesu. “Kamu harus banyak istirahat.”“Lagi pula di luar masih ada Tante Grace.”“Sepertinya sudah pulang.”Kira menggelengkan kepalanya. “Tapi aku belum dengar suara mobilnya pergi, Mas.” Ia mengukir senyuman di bibir kecilnya. “Kamu temui Tante Grace dulu, ya. Aku mau istirahat dulu.”Kai menelan saliva dengan susah payah. “Jadi, kamu menolakku, Kira?”Mendengarnya, Kira pun terkekeh-kekeh. “Bukan begitu,” sanggahnya sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Kai.
“Ada yang mau Mami bicarakan sama kamu, Kai, berdua,” ucap Grace saat Kira dan Kai sudah duduk di hadapannya.“Aku juga, ada yang mau aku bicarakan sama Mami,” timpal Kai.Grace menatap tangan Kai yang terus menggenggam tangan Kira, lalu Grace memalingkan wajahnya ke arah lain.Sementara itu, Kira merasa dirinya di sini tidak dibutuhkan karena jelas ibu mertuanya hanya ingin bicara berdua dengan Kai.“Mas, aku mau nyiapin minuman dulu untuk kamu sama Tante Grace, ya.” Kira menatap Kai, berharap suaminya itu mau melepaskan genggaman tangannya.Namun, Kai justru malah mengeratkan genggamannya, membuat Kira urung untuk berdiri. “Biar Ani yang melakukannya. Kamu temani aku di sini.”Kira terdiam, ia tidak mungkin menolak jika Kai sudah bicara setegas itu. Akhirnya Kira memilih diam di samping Kai meski tatapan Grace membuatnya tidak nyaman.Sedangkan Kai meminta Ani agar menyiapkan minuman untuk mereka bertiga. Setelah itu Kai menatap ibunya kembali. “Apa yang mau Mami bicarakan?” tanyany
Kai baru bisa menghela napas lega setelah Kira berpakaian lengkap. Kini Kai menggendong Kira, dan menurunkannya di atas ranjang. Ia menatap wajah wanita itu yang kini tampak jauh lebih segar dan semakin… cantik.Kai menelan saliva dengan berat. Gairah yang sudah terbangun tidak serta merta bisa dihilangkan begitu saja. Bayangan tubuh polos Kira yang terus menghantui pikirannya membuat tubuh Kai kembali menegang.“Mas, kenapa, sih? Kok tegang banget wajahnya?” tanya Kira, heran.Kai mengerjap. Lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Siapa yang tegang?” elaknya sambil berdehem keras. Lalu menggerak-gerakkan kepalanya seperti sedang melakukan pemanasan sebelum berolahraga. “Aku cuma… cuma… pegal-pegal saja, kok.”“Mau aku pijitin?” tawar Kira.Tidak. Itu berbahaya. Kalau Kira menyentuhnya, bisa-bisa Kai kehilangan kendali. Kai lalu tersenyum kecil, jemarinya terulur menyentuh pipi Kira dengan lembut. “Nggak usah. Kamu istirahat saja, ya.”Kira masih mengerutkan keningnya dengan heran
“Pujaan hati? Yang benar saja, Mas,” gerutu Kira, “lagian siapa yang senyum-senyum terus sih, Mas? Aku cuma senyum biasa aja, kok. Masa aku harus cemberut ketemu orang lain?” Bibir Kira kembali merengut.Kai menatap bibir Kira sejenak, lalu melihat ke sekeliling. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihat ke arah mereka, Kai menundukkan wajahnya, menaruh kedua tangan di lengan kursi roda Kira, lantas dikecupnya bibir istrinya itu sesaat.Kira sontak berjengit kaget. “Mas!” protesnya dengan pipi merona. “Kamu nggak sadar kita lagi ada di mana?”Kai menjauhkan sedikit wajahnya supaya bisa menatap Kira. “Makanya jangan tersenyum semanis itu pada orang lain, aku bisa cemburu,” gumam Kai sambil berdehem pelan.Cemburu?Kira tertegun mendengarnya. Ia menatap wajah Kaisar lamat-lamat dengan tatapan penasaran. Sebenarnya seperti apa perasaan laki-laki itu terhadapnya? Kenapa pria itu harus cemburu kalau memang tidak ada cinta untuknya?Lamunan Kira buyar saat Kai kembali mencium bibirnya
Hari kedua dirawat di rumah sakit, Kai masih belum pergi ke kantor. Pagi itu Kai sedang duduk di sofa, membuka email pekerjaannya yang dikirimkan Lia. Demi menunggui Kira, Kai membatalkan beberapa janji pertemuan dengan klien sejak kemarin.Kai mengalihkan tatapannya dari layar MacBook, ke arah Kira yang terlelap setelah mengonsumsi obatnya. Melihat Kira, Kai pun tersenyum.Ia memilih meninggalkan pekerjaannya, dan menghampiri sang istri.Lantas dikecupnya perut Kira yang tertutupi selimut dengan kecupan lembut. Setiap kali Kai menyadari ada kehidupan di dalam perut Kira, hati Kai rasanya tak karuan. Di satu sisi ia merasa bahagia, tapi di sisi lain dadanya berdenyut nyeri karena teringat Aksa yang tak pernah mendapat perhatian darinya.Dan setiap kali mengingat Aksa, hati Kai selalu dirundung perasaan gelisah. Seperti saat ini.“Mas?” gumam Kira dengan suara serak khas orang bangun tidur. “Kenapa kamu melamun?”Entah berapa lama Kai melamun di samping Kira sambil menggenggam tanganny
“Kenapa dia lama sekali?” gumam Kira sambil melirik jam di layar ponselnya yang sudah menunjukkan hampir pukul dua siang. “Apa jangan-jangan dia kesasar, ya?”Kira lalu menggelengkan kepalanya, berusaha menghalau pikirannya itu. Kai orang dewasa, tidak mungkin pria itu kesasar, pikirnya.Namun, tetap saja Kira merasa khawatir. Kira mencoba menghubungi nomor telepon Kaisar. Akan tetapi panggilannya tidak terangkat. Kira menggigit bibir bawahnya ragu, sebelum akhirnya ia mengirim pesan pada lelaki itu.[Mas, kenapa lama? Ketemu nggak sekolahannya?][Balas ya, jangan bikin aku khawatir.]Namun, pesan Kira masih ceklis abu-abu, pertanda pria itu belum membacanya.Ia baru akan menelepon Kai lagi saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Kira mendongak ke arah pintu. Ia pikir, perawat yang datang. Namun saat itu juga Kira terkejut kala melihat Violet melongokan wajahnya di pintu yang terbuka itu.“Boleh aku masuk?” tanya Violet dengan senyuman manis, tapi Kira tahu, itu senyuman palsu.Dari ma
Kai memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di seberang sebuah Sekolah Dasar di pinggiran kota. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, di depan sekolahan tersebut banyak penjual jajanan–yang entah makanan apa namanya, Kai tidak tahu. Sebab dulu, sewaktu ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, tidak ada yang berjualan seperti itu di sekolahannya. Lagi pula, Kai hampir tidak pernah jajan di luar, orang tuanya selalu membawakannya bekal makanan dari rumah. Kai lalu menghampiri salah satu penjual yang sedang mengipasi lehernya dengan topi. “Selamat pagi, Pak,” sapanya dengan ekspresi datar. Si penjual itu sempat melongo melihat kedatangan Kai. Walaupun Kai hanya memakai celana jeans dan kaos putih berlengan pendek, tapi aura orang kayanya sama sekali tidak luntur. “Iya, selamat pagi, Pak. Ada apa, Pak?” tanya si penjual itu sambil mendongak menatap Kai. “Bapak kenal sama penjual siomay dan es lilin yang namanya Pak Tono?” Kai menyebutkan nama penjual yang tadi sempat disebutkan