Julian baru saja selesai menghadiri rapat penting saat ia mendapat telepon dari ibunya. Julian menghela napas panjang sambil menatap layar ponsel. Ia sudah tahu apa yang akan ibunya bicarakan. Meski begitu, Julian tetap menerima panggilan tersebut dengan enggan.
“Julian, kenapa nggak balas chat Mommy?” cecar Sandra di seberang telepon. Julian memijat pelipis. Tadi pagi ibunya memang sempat mengiriminya pesan, yang berisi alamat tempat pertemuan kencan buta dengan anak salah seorang kenalan ibunya itu. “Mom, sudah aku bilang, aku nggak tertarik ikut perjodohan lagi.” Julian bersikukuh. “Aku bisa cari calon istri sendiri.” “Kalau gitu buktiin dong ke Mommy dan Daddy. Dari dulu kamu selalu bilang begitu, tapi buktinya mana?” Sandra berdecak pelan. “Mau sampai kapan kamu hidup sendiri, Julian?” “Aku masih dua puluh sembilan tahun. Masih banyak waktu untuk memikirkan pernikahan,” timp“Jadi, kamu yang namanya Resti?” tanya Julian sambil duduk di kursi kebesarannya, menatap seorang perawat yang berdiri di hadapannya–yang tampak tak berani menatapnya. “I-Iya, Pak.” Resti gemetaran. Tak biasanya seorang perawat dipanggil ke ruangan CEO. Dan hal itu membuat Resti semakin takut. “A-Ada apa Bapak memanggil saya?” “Jangan gugup.” Julian menghela napas pelan. “Saya cuma mau minta beberapa informasi dari kamu. Kamu ingat pasien melahirkan yang bernama Audy Saskirana atau Kira?” Resti mengerutkan kening, seperti tengah berusaha mengingat-ingat. Setelah cukup lama ia mengingat-ingat, Resti pun mengangguk mengiakan. “Ingat, Pak. Kebetulan waktu itu saya yang mendampingi Bu Kira.” Julian terdiam sejenak, ia sangat penasaran terhadap sesuatu. “Saya dengar… dia melahirkan sendirian–maksud saya nggak ada yang menemani dia dari keluarganya?” Sekali lagi Resti mengangguk. “Betul, Pak. Nggak ada keluarga yan
Sepanjang perjalanan, Kai membaca draft tersebut sambil sesekali berusaha melonggarkan dasinya.Entah mengapa ia tiba-tiba merasa aneh. Melihat cara Kira menjelaskan dengan penuh percaya diri, melihat bagaimana bibir kecil tapi penuh itu berbicara, dan tatapan Kira yang berbeda membuat Kai merasakan sesuatu yang asing di hatinya.Sial!‘Kenapa aku jadi begini?’ gerutu Kai di dalam hati sambil mengembuskan napas kasar.Setibanya di restoran tempat pertemuannya dengan Mr. Diego beberapa saat kemudian, Kai dan Kira pun turun dari mobil.Begitu masuk ke dalam ruangan VIP, seorang pria berkebangsaan Eropa dengan setelan mahal sudah menunggu mereka. Pria itu tampak berusia sekitar lima puluh tahunan.“Mr. Kaisar, senang bertemu lagi denganmu,” ujar Mr. Diego dengan aksen Inggris yang kental, tangannya terulur menjabat tangan Kai, yang langsung disambut dengan jabatan tangan yang kuat oleh Kai.“Sama-sama, Mr. Diego.” Kai tersenyum penuh wibawa. Ia berbicara dalam bahasa Inggris dan menunjuk
Setelah mereka tiba di mobil, Kai masuk lebih dulu dan langsung bersedekap dada sambil memandang ke depan lurus-lurus dengan tatapan tajam. Kira duduk di kursi depan, tepat di samping sopir.“Kira, pindah ke belakang!” titah Kai tepat saat sopir baru saja melajukan kendaraannya, membuat sang sopir secara spontan mengerem mendadak.Kira menoleh ke belakang dengan kening berkerut. “Tuan, Anda butuh sesuatu?”“Aku bilang pindah!” titah Kai sekali lagi dengan nada jauh lebih tegas.Kira berbalik ke depan, memejamkan mata dengan jengkel, sebelum akhirnya ia kembali menoleh ke belakang dan tersenyum profesional–yang membuat Kai seketika tertegun. “Baik, Tuan Kai yang terhormat. Saya akan pindah.”Sang sopir bergegas turun membukakan pintu untuk Kira. Kira pindah ke kursi belakang, tepat di samping Kaisar.Mobil kembali melaju. Kira melirik bosnya itu yang tampak sedang merengut. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, mencekam. Kira bahkan sempat menahan napasnya karena khawatir deru napasnya
Kira tidak mengerti apa yang merasuki atasan sekaligus suaminya itu. Wajah Kai tetap saja merengut.Bahkan saat berjalan kaki menuju ruangannya, Kai mengibaskan bagian bawah jas hitam yang ia kenakan ke belakang dengan kasar.Setiap karyawan yang ia lewati dan yang menatap Kira lebih dari dua kali, selalu mendapatkan tatapan tajam dari Kai.“Hari ini benar-benar melelahkan,” keluh Kira sambil mengempaskan tubuhnya di kursi yang ada di dalam ruangannya.CEO-nya yang hobinya mengamuk itu sudah masuk ke ruangannya beberapa saat yang lalu sambil membanting pintu.“Kira, gimana? Pertemuannya lancar?” tanya Lia yang menghampiri Kira dengan senyuman lebar. Lia menarik kursi, duduk di depan meja Kira.“Mm-hm. Diskusinya berjalan sedikit alot tapi semuanya lancar.” Kecuali mood bosnya yang sulit ditebak bagai cuaca akhir-akhir ini, lanjut Kira dalam hati.“Aku tahu kamu pasti bisa diandalkan, Kira.” Lia menatap pintu ruangan CEO dengan kening b
Rutinitas Kira sepulang kerja hari ini tidak jauh berbeda dengan kemarin-kemarin. Ia pulang bersama Kai–yang masih merengut. Lalu mandi dan makan malam. Setelah itu Kira akan pergi ke rumah Violet untuk menemui Luna dan memberikan stok ASI perah yang ia pompa siang tadi. Dan seperti biasa, Luna sedang menangis saat Kira datang, lalu tangisannya berhenti saat Luna berpindah ke pangkuan Kira. “Tadi siang anteng-anteng aja, Non. Tapi begitu jam lima, Luna langsung nangis kejer, kayaknya Luna tahu kalau Non Kira bakal datang. Mungkin kangen kali ya?” Rina menyampaikan kondisi Luna dengan jujur. Kira yang tengah menyusui Luna di dalam kamar pun tersenyum. Ia menunduk menatap wajah bayi yang semakin hari semakin berisi. Bahkan pipinya sudah terlihat agak chubby. “Beneran kamu kangen aku?” goda Kira sambil menjawil pipi Luna. “Udah mulai manja ya sekarang?” Kira terkekeh kecil. Mata Luna mengerjap pelan, s
“Honey, aku datang,” ucap Violet dengan suara yang lebih pelan sambil menghampiri Kai dan Kira. “Kamu nggak menyadari kedatanganku, ya?” Kai mengerjap. Ia menoleh dan terkejut seolah-olah baru menyadari bahwa Violet sudah pulang. Secara spontan Kai menarik tangan kanannya dari kepala Kira, membuat Kira terantuk lalu terbangun. “Oh? Sayang, aku pikir kamu nggak akan pulang,” gumam Kai sambil memundurkan tubuhnya dari Kira. Violet tersenyum. Ia bergelayut manja di lengan Kai. “Aku pulang karena aku kangen kamu dan Luna.” Kira yang baru terjaga pun mengerjapkan matanya. Lalu, ia tercenung begitu melihat pemandangan di hadapannya. “Violet, kamu sudah pulang?” ucap Kira dengan suara serak khas orang bangun tidur. Ia membetulkan posisi tubuhnya dan sempat mengecek Luna yang terlelap dalam pangkuannya. “Iya, tadinya aku masih ada kerjaan, tapi aku kangen Luna.” Violet tersenyum. “Terima kasih, Kira. Aku nggak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan rasa terima kasihku.” Satu sudut
Entah perasaan Kira saja atau bukan, tapi Kira merasa… tatapan Julian sering tertuju ke arahnya selama rapat berlangsung. Kira sendiri memilih fokus pada catatan di tangannya–menulis poin-poin penting dalam pertemuan pagi itu. Saat Kira mendongak, ia melihat Julian tersenyum kecil ke arahnya, sebelum akhirnya Julian mengalihkan pandangan ke arah lain. Hal itu terjadi beberapa kali. Sementara di samping Kira, Kai berdiskusi dengan Julian dan juga seorang arsitek, membahas project rumah sakit yang akan mereka bangun bersama. Kai menyadari tatapan Julian sering tertuju pada Kira. Ia berusaha untuk tidak peduli. Toh, di kantor Kira hanyalah bawahannya. Namun, entah mengapa, tatapan intens Julian pada Kira lama kelamaan membuat Kai terusik. Saat coffee break berlangsung, ketiga pria di ruangan rapat itu mengobrol ringan. Kai menatap Julian yang tersenyum samar pada Kira, lalu Kai mengalihkan tatapannya ke arah Kira yang juga sedang tersenyum kikuk pada Julian. Julian dan Kira sal
[Jangan lupa makan biskuitnya untuk mengganjal perut.]Kira tersenyum kala membaca pesan yang baru saja dikirimkan Julian padanya. Julian sudah pergi hampir dua puluh menit yang lalu.Kira kemudian memotret plastik biskuit yang sudah habis ia makan, lalu mengirimkannya pada Julian.[Sudah aku habiskan. Terima kasih :).][Sama-sama. Setelah laporannya selesai, langsung cari makan. Jangan ngebiarin perut kosong,] balas Julian.Kira terkekeh kala membaca pesan tersebut. Memang tidak ada yang lucu dari pesan Julian, tapi Kira merasa senang saat membacanya. Walaupun hanya kata-kata sederhana, tapi selama ini Kira tidak pernah mendapatkan perhatian sekecil itu dari suaminya sendiri.[Siap, Bapak Julian yang terhormat :-D.] Kira membalas dan dibubuhi emot tertawa diakhir kalimat.Kira menaruh ponselnya kembali ke atas meja dan ia fokus mengerjakan laporan yang diminta Kai. Namun, belum sempat Kira mengetik, interkom di sudut mejanya berbunyi.“Kira, masuk ke ruanganku. Sekarang!” Siapa lagi
Kira tertegun. Ia merasakan dadanya bergemuruh hebat, merasa bahagia, bingung dan takut bercampur menjadi satu.Pandangan Kira lalu beralih pada Kai yang tampak mematung, rasa nyeri itu seketika menyergap hati Kira. Ia penasaran bagaimana reaksi Kai mendengar kabar kehamilan ini.Apakah… pria itu akan menolaknya dan tidak peduli pada kehamilannya seperti dulu?“H-Hamil?” tanya Kira sekali, seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar.Dokter Amira kembali tersenyum. “Saya tahu, kabar ini cukup mengejutkan. Tapi kondisi janinnya dalam keadaan baik untuk sekarang. Asalkan Bu Kira cukup istirahat dan menjaga pola makan, semuanya akan baik-baik saja dan berjalan lancar. Selama satu sampai tiga hari ke depan, Bu Kira akan dirawat untuk observasi.”Kira hanya mengangguk dengan tatapan penuh kebingungan. Selepas kepergian Dokter Amira yang hilang di balik tirai, suasana di antara Kai dan Kira terasa hening.Kira menggigit bibir bawahnya, ia mengelus perutnya pelan dengan mata ya
Langit-langit ruangan berwarna putih adalah hal pertama yang Kira dapati saat ia membuka mata. Ia mengerjapkan mata berkali-kali untuk menyesuaikan retina matanya dengan cahaya lampu. Bau obat-obatan terasa cukup menyengat. ‘Di mana aku?’ batin Kira sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Yang jelas, ini bukan di kamarnya. Langit-langit dan aroma ruangan itu terasa asing baginya. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Namun yang ia dapati justru tirai yang menjuntai menutupi sekelilingnya. Kira berusaha mengingat apa yang terjadi padanya. Namun, hal terakhir yang ia ingat adalah kepalanya yang terasa pusing setelah mendapat pesan dari Violet bahwa Kai sedang berada di rumahnya saat itu. Sebuah kabar yang membuat dada Kira sesak. Setelah berjuang menahan rasa nyeri di kepala, Kira tidak ingat apa-apa lagi. Lamunan Kira buyar tatkala ia melihat Kai datang dengan raut muka panik. Pria itu terkejut menatap Kira yang sudah siuman. “Kira, kamu sudah bangun?” g
“Kai? Kamu di sini?”Kai mengalihkan tatapannya dari Luna yang tengah terlelap, ke arah Violet yang baru saja memasuki kamar Luna.Wanita itu tampak tersenyum, akan tetapi Kai tahu, senyuman itu mengandung luka. Kai berusaha meraba-raba perasaannya. Masihkah ada rasa cinta di hatinya untuk wanita itu?Namun, Kai tidak bisa memastikannya. Yang jelas, kini sudah tidak ada lagi debar di hatinya saat melihat Violet.Ia menganggukkan kepala. Lalu menghampiri Violet dan berkata, “Kita bicara.”Violet sempat terdiam. Sebelum akhirnya mengikuti langkah kaki Kai yang berjalan ke luar lebih dulu.“Mau aku buatin kopi?” tawar Violet sambil tersenyum lembut.Kai terdiam sesaat. Kepalanya kini terasa penuh, mungkin kafein bisa meringankan beban di kepala, pikirnya. Kai akhirnya mengangguk. “Boleh.”“Baiklah, tunggu sebentar.”Kai menunggu di sofa ruang keluarga. Tatapannya tertuju pada Violet yang kini tengah sibuk dengan mesin pembuat kopi. Kai kembali meraba-raba perasaannya. Namun, hasilnya tet
Kai berjalan mondar-mandir di bawah tangga. Sesekali mengusap tengkuk. Sesekali menghela napas resah seraya menatap pintu kamar Kira di lantai dua.Sejak kemarin sore, Kira tidak keluar kamar selain hanya untuk makan. Itupun saat makan bersama, Kira tidak banyak bicara. Kira hanya bersuara ketika Kai bertanya, membuat Kai dirundung perasaan gelisah.“Astaga… apa yang harus kulakukan?” erang Kai sembari meraup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menghela napas kasar.Kai lalu duduk di sofa dengan kedua siku bertumpu di lutut, sementara jari jemarinya saling bertaut di bawah dagu.Ia tengah berusaha meraba-raba perasaannya. Sebenarnya bagaimana perasaannya terhadap Kira dan Violet? Siapa yang kini lebih ia cintai?Jika itu dulu, setiap kali bersama Violet, ada perasaan senang yang menyelimuti hati. Namun sekarang, ia merasa lebih tenang dan nyaman ketika sedang bersama Kira. Sudah tidak ada lagi debar untuk Violet setiap kali mereka bersama.‘Apa perasaanku untuk Violet sudah hilang?’ ba
Kai menatap kepergian Kira dengan rahang mengeras. Ia berbalik menatap ibunya. “Mami sudah keterlaluan,” ucapnya, dingin. Tanpa sempat menunggu tanggapan dari sang ibu, saat itu juga Kai pergi menyusul Kira. Dengan langkah setengah berlari ia keluar dari rumah Violet, membiarkan pintu di belakangnya terbuka tanpa sempat menutupnya. Kai menyapukan pandangannya ke sekeliling jalanan komplek, ia menemukan Kira yang sedang berjalan cepat di hadapannya. Bergegas Kai menghampiri wanita itu. “Kira, tunggu…!” seru Kai sambil berlari. Namun, Kira seolah tidak memedulikan seruan Kai. Kira terus saja melangkah tanpa menoleh ke belakang. “Kira….” Kai akhirnya berhasil meraih tangan Kira, membuat langkah kaki wanita itu seketika terhenti. Lalu Kai memutar tubuh Kira dan ia tertegun kala melihat mata Kira yang berkaca-kaca. “Kira, maafkan aku,” gumam Kai dengan tenggorokan tercekat. Kira membuang muka, berul
Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan tengah duduk di sofa ruang tamu. Kai langsung mengernyit, langkahnya terhenti seketika. Tangannya yang menggenggam tangan Kira mengencang tanpa sadar.Sementara Kira… hanya diam mematung dengan ekspresi terkejut yang berusaha ia sembunyikan. Kira menatap wanita itu dan Violet–yang duduk saling berhadapan, dengan tatapan penuh kebingungan dan keterkejutan.“Mami,” gumam Kai nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kenapa Mami ada di sini?”Ya, wanita paruh baya itu adalah Grace.Grace tersenyum tipis. Namun, itu bukan senyuman hangat. Melainkan senyuman yang seolah menyimpan sesuatu.“Kebetulan sekali kalian datang,” kata Grace dengan tenang. Ia sama sekali tidak melirik Kira. “Ada yang ingin Mami bicarakan sama kamu, Kai.”Kai melirik Violet yang tampak seperti habis menangis. Violet seketika memalingkan wajahnya dari Kai. Tatapan Kai lalu tertuju pada Kira yang masih terdiam.“Ayo, kita duduk,” ucap Kai pada Kira.Kira menganggu
“Mana kopiku?” bisik Kai di dekat telinga Kira sambil memeluk Kira dari belakang. Kira sempat terkesiap sesaat, sebelum akhirnya ia sedikit menelengkan kepala agar bisa menatap suaminya. “Sebentar lagi selesai, Mas,” kata Kira sambil menunjuk mesin pembuat kopi yang sedang bekerja. Kai tersenyum kecil, lalu menaruh dagu di pundak Kira sambil memperhatikan mesin kopi dengan saksama. Seharian ini Kai diam di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kira. Dan ternyata berinteraksi dengan Kira tanpa adanya ketegangan, terasa begitu menyenangkan dan menenangkan. Jika itu dulu, setiap kali libur kerja, Kai lebih memilih menyibukkan diri di ruangan kerjanya atau pergi bersama Violet. Namun hari ini berbeda. Sejak bangun pagi tadi, Kai belum melepaskan Kira dari pandangannya. Bahkan ketika Kira turun ke dapur untuk membuat sarapan, Kai tetap mengikutinya seperti bayangan yang enggan berpisah. Saat Kira pergi ke perpustakaan di rumahnya untuk membaca buku, Kai mengikutinya dan pu
Hal pertama yang Kira dapati saat ia membuka mata pagi itu adalah wajah Kaisar. Napas hangat Kai menerpa wajah Kira. Pelukan eratnya membuat Kira terkungkung dan sulit bergerak. ‘Kenapa jantungku selalu berdebar-debar?’ batin Kira seraya memandangi wajah Kai dengan tatapan dalam. Kira tidak tahu perasaan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaan itu terasa asing tapi menyenangkan. Dan entah sejak kapan memandangi wajah suaminya terasa begitu menenangkan. Tangan kanan Kira terangkat, ia menyapukan jemarinya dengan gerakan seringan kapas di pipi Kai yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Kira tersenyum kecil saat mengingat bagaimana tegasnya wajah Kai ketika mengumumkan status pernikahan mereka tadi malam. “Terima kasih,” bisik Kira nyaris tak terdengar. Jemari Kira kini bergerak ke hidung tinggi Kaisar, lalu berakhir di bibir tipis yang semalam memagutnya habis-habisan. Mengingat apa yang Kai lakukan di lantai dansa, dan di kamar ini tadi malam, pipi Kira seketika m
Selama acara berlangsung, Kai benar-benar tidak melepaskan Kira dari genggamannya.Lelaki itu selalu membawa Kira ke manapun ia pergi. Kai menyapa para kolega yang datang, dan Kira selalu menemaninya.Hampir semua yang mereka temui memuji kecantikan Kira, dan hal itu membuat Kai semakin merangkul Kira dengan posesif.Apalagi saat Kai bertemu dengan Julian, ia semakin protektif pada Kira.Sementara itu, para wanita banyak yang menatap iri pada Kira, sebab Kira bisa menjadi pendamping seorang Kaisar yang digilai banyak wanita.Julian yang sedang menatap Kira dan Kai dari kejauhan, hanya tersenyum samar. Ia tak menyangka bahwa malam ini Kai akan membuat semua orang terkejut dengan pengakuannya tadi.“Kai… kurasa kamu benar-benar sudah berubah,” gumam Julian sebelum menyesap minumannya. “Tapi aku nggak akan tinggal diam kalau kamu sampai menyakitinya lagi.”“Pak Julian?” Seseorang menyapa Julian, membuat Julian sontak mengalihkan tatapannya ke arah kenalannya itu. Dan seketika Julian pun