Di dalam ruangan dokter, Kira tengah diperiksa oleh seorang dokter wanita. Sementara Grace duduk di kursi yang ada di samping ranjang.Grace tampak gugup saat ia melihat janin seukuran kacang merah di layar monitor. Detak jantung janin itu terdengar menggema di dalam ruangan.“Itu… cucu saya?” gumam Grace dengan tenggorokan tercekat.Kira mengalihkan pandangannya dari layar monitor, ke arah Tante Grace. “Iya, Tante. Ini cucu Tante.”Grace kembali terdiam. Tatapan matanya seakan enggan beralih dari janin itu. Sekilas Kira melihat mata ibu mertuanya itu berkaca-kaca, sebelum akhirnya Grace memalingkan wajahnya ke arah lain seolah-olah matanya yang menggenang itu tak ingin dilihat oleh siapapun.“Bagaimana kondisi janin dan… ibunya, Dok?” tanya Grace kemudian. “Apa mereka baik-baik saja?”Sang dokter pun tersenyum ramah. “Kondisi janinnya sangat baik, Bu. Detak jantungnya normal, ukurannya juga sesuai dengan usia kehamilan delapan minggu. Dan ibunya juga dalam kondisi sehat, hanya perlu
Kira terbangun dari tidurnya saat Kai memberinya ciuman lembut di bibir. Mata Kira yang terasa lengket perlahan terbuka. Dan hal pertama yang ia dapati saat membuka mata adalah wajah tampan suaminya yang tengah memandanginya dengan lekat.“Tidurmu nyenyak sekali,” komentar Kai seraya tersenyum kecil.“Hm? Jam berapa sekarang, Mas?” Kira bertanya dengan suara serak. Ia mengerjapkan mata berkali-kali.“Jam tujuh.”“Jam tujuh? Astaga….” Kira seketika bangkit duduk hingga selimut yang menutupi tubuh polosnya melorot, membuat Kira sadar bahwa tak ada satu helai benang pun yang membaluti tubuhnya selain selimut itu.Cepat-cepat Kira menarik selimut kembali sebatas dada dan mengapitnya di ketiak. “Ish! Ini gara-gara kamu tadi malam nggak ngebiarin aku tidur, jadinya kesiangan, ‘kan?” gerutu Kira dengan bibir merengut.Kai terkekeh kecil, ia ikut bangkit duduk dan membiarkan dada polosnya terekspose. “Jangan salahkan aku, Baby. Suruh siapa kamu terlalu menggoda?”Pipi Kira seketika terasa mem
“Mas, kamu kenapa?” tanya Kira saat melihat suaminya tampak gusar dengan rahang mengeras.Kai mengalihkan tatapannya dari televisi di hadapan mereka, ke arah Kira. Lantas dirangkulnya bahu Kira dengan posesif. “Baby, sebenarnya… tadi Mami suka sekali sama sup buatan kamu. Dia menghabiskannya. Dari sekian banyak makanan yang disodorkan sejak sakit, Mami cuma mau makan sup buatan kamu.”Mendengarnya, Kira pun tertegun. Matanya seketika berbinar-binar. “Sungguh? Tante Grace menghabiskannya?”Kai mengangguk.“Syukurlah…,” ucap Kira dengan riang.Kening Kai berkerut dalam seraya masih menatap Kira. Ia menarik dagu wanita itu agar menatapnya. “Baby, kamu senang?”“Hm! Tentu saja.” Kira tersenyum lebar, menampilkan sederet giginya yang rapi.Kai tertegun. Ia pikir, Kira akan marah pada ibunya karena tadi sempat membentaknya. Namun, di luar dugaan. Kira terlihat sama sekali tidak marah.“Mami ingin memakannya lagi besok. Tapi sekarang aku marah sama Mami,” gumam Kai sembari menghela napas pan
“Nona Kira dipanggil oleh Nyonya Grace.”Ucapan kepala pelayan tersebut membuat Kira tertegun. Ia menggigit bibir bawah, merasa tak enak perasaan. Kenapa ibu mertuanya itu memanggilnya? Apakah ada yang salah dengan sup buatannya?Kira menarik napas dalam-dalam, lalu menganggukkan kepalanya pelan. “Baik, aku ke sana sekarang.”Kira melangkahkan kakinya menuju kamar Tante Grace. Lalu tangannya terangkat, mengetuk pintu di hadapannya dengan buku jari tangan yang dikepalkan.“Masuk!” seru Grace di dalam sana.Kira menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ia mendorong pintu tersebut dan melangkah memasuki kamar.Setibanya di dalam kamar itu, Kira melihat Grace tengah duduk bersandar di headboard. Dengan kepala tegak seolah-olah tidak sedang terlihat sakit. Namun, wajahnya yang pucat tak bisa menyembunyikan fakta bahwa Grace sedang tidak enak badan.“Tante memanggil saya?” tanya Kira sambil berdiri di samping ranjang. “Ada apa, Tante?”Grace menoleh, tatapannya datar saat menatap Kira. “
Grace tidak mau makan. Setiap makanan yang masuk ke mulutnya selalu dimuntahkan lagi. Kira jadi tidak tega melihatnya. Wanita yang selalu tampil menarik dan anggun itu kini terlihat lemah dan pucat.Kira berpikir cukup lama seraya memandangi wajah Grace–yang tampak malas menatap Kira. Lantas, Kira pamit pada Kai yang berdiri di sampingnya, untuk keluar dari kamar tersebut.Kira menyeret langkahnya menuju dapur. Seorang kepala pelayan menyambutnya dengan ramah.“Apa sejak sakit, Tante Grace nggak mau makan?” tanya Kira pada wanita paruh baya di hadapannya.Wanita itu menganggukkan kepalanya. “Betul, Non. Setiap kali penyakitnya kambuh, Nyonya Grace selalu sulit makan. Setiap makanan yang kami buat selalu dimuntahkannya lagi.”Kira terdiam sejenak, lantas ia kembali berkata. “Em… boleh aku pinjam dapurnya sebentar?”Kening wanita paruh baya itu mengernyit, lalu ia mengangguk kembali. “Boleh, Nona. Silahkan.”“Terima kasih.” Kira lalu masuk lebih dalam ke dapur yang sedikit lebih luas di
“Maksudnya… kamu terlalu manis untuk didiamkan,” bisik Kai dengan suara berat dan serak, seraya menyapukan jemarinya di garis rahang Kira.Kira menggigit bibir bawahnya, menahan senyum malu-malu. “Mas, kita lagi di mobil, lho.”Satu sudut bibir Kai terangkat. “Kaca mobilnya gelap. Jalannya sepi. Nggak akan ada yang lihat kita,” katanya dengan senyuman penuh arti.Mata Kira mendelik seraya memukul pelan dada bidang suaminya. “Nanti kita bisa ditilang kalau ketahuan bermesraan di dalam mobil.”“Memangnya siapa yang berani menilangku?” timpal Kai dengan pongah, yang membuat Kira merotasi matanya dengan malas.Kira lalu terkekeh-kekeh. “Ya… ya… baiklah, aku akui memang tidak akan ada yang berani macam-macam pada tuan yang satu ini.”Kai kembali tersenyum, senyuman yang membuat Kira sempat menahan napasnya sesaat. Senyum itu terlalu menawan hingga mampu meruntuhkan pertahanan Kira.Kai mendaratkan ciuman di pipi Kira satu persatu.