Anthony melangkah dengan tenang menuju gerobak bubur tempat Naura dan Lila menikmati sarapan mereka. Dengan sikap santai, ia memesan semangkuk bubur kepada penjual, matanya sesekali melirik ke arah gadis kecil yang tengah lahap menyantap makanannya.
Naura tidak terlalu memperhatikan kehadiran pria itu. Baginya, Anthony hanyalah pelanggan lain yang kebetulan datang di saat yang sama. Ia lebih fokus pada Lila, memastikan putrinya menikmati sarapan pertamanya di Indonesia.
"Enak, kan, sayang?" tanya Naura sambil tersenyum.
Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku like banget!"
Anthony yang duduk tak jauh dari mereka memperhatikan interaksi ibu dan anak itu dengan saksama. Waktu yang diberikan Dirga kepadanya tidak banyak. Ia harus segera menyelesaikan tugasnya tanpa menarik perhatian.
Saat Naura mengambil dompet dari dalam tasnya untuk membayar, Anthony bergerak cepat. Dengan gerakan yang terlatih, ia menjatuhkan sendoknya ke tanah. "Ah, maaf," gumamnya sambil berjongkok, berpura-pura mengambil sendok yang jatuh.
Dalam sekejap, ia meraih sehelai rambut Lila yang tersangkut di kerah bajunya dan menyelipkannya ke dalam plastik kecil yang sudah ia siapkan di sakunya. Semuanya berlangsung begitu cepat dan tanpa kecurigaan sedikit pun dari Naura.
Setelah itu, Anthony bangkit kembali dan tersenyum sopan. "Maaf, tangan saya agak licin," ujarnya sambil tertawa kecil, lalu melanjutkan makannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Naura hanya tersenyum singkat sebelum kembali fokus pada putrinya. Setelah selesai makan, ia menggandeng tangan Lila dan berpamitan kepada penjual bubur.
"Terima kasih, Pak. Buburnya enak sekali!" ucap Naura ramah.
"Sama-sama, Bu. Semoga suka dan sering-sering mampir, ya!" balas penjual bubur dengan senyum lebar.
Tanpa menyadari bahwa seseorang telah mengambil sesuatu yang sangat berharga darinya, Naura dan Lila melanjutkan perjalanan mereka dengan hati yang ringan. Namun, di sisi lain, Anthony segera beranjak pergi dengan membawa bukti yang bisa mengubah segalanya.
Tak lama setelah itu, ia menghubungi Dirga.
"Sampel sudah saya dapatkan, Bos. Akan saya kirimkan untuk uji DNA segera."
Di seberang telepon, Dirga tersenyum tipis. "Bagus. Aku ingin hasilnya secepat mungkin. Jika dia benar-benar anakku, maka Naura tidak akan bisa lari dariku lagi."
***
Keesokan harinya, Naura harus menghadiri wawancara kerja sebagai desainer di tempat yang direkomendasikan oleh Raffa, sahabatnya. Namun, sebelum itu, ia harus menitipkan Lila di daycare terpercaya.
Meski awalnya penuh drama karena Lila tidak mau ditinggal, Naura terus membujuknya dengan penuh kesabaran. "Sayang, Mommy harus bekerja supaya kita bisa hidup nyaman. Hanya sebentar saja, nanti Mommy jemput lagi, ya?"
Lila menggeleng dengan mata berkaca-kaca. "Aku mau sama Mommy aja! Aku nggak mau di sini!" suaranya bergetar, dan pelafalan huruf "R"-nya yang belum sempurna semakin terdengar jelas.
Naura menarik napas panjang dan berlutut di hadapan putrinya. "Lila, kamu anak pintar, kan? Coba satu hari aja, nanti kalau nggak suka, Mommy cari tempat lain. Deal?"
Lila menatap ibunya ragu-ragu, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Oke... tapi Mommy jangan lama-lama, ya?"
Naura tersenyum lega dan mencium kening Lila. "Janji. Mommy sayang Lila."
Setelah memastikan Lila sudah tenang, Naura bergegas menuju tempat wawancaranya, berharap hari ini menjadi langkah awal untuk kehidupan yang lebih baik bagi mereka berdua.
***
Setibanya di butik yang direkomendasikan oleh Raffa, Naura disambut oleh seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan penampilan elegan. Wanita itu adalah Bu Dian, pemilik butik sekaligus sosok yang akan mewawancarainya.
"Selamat pagi, Naura. Saya Dian. Silakan duduk," ujar Bu Dian dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Bu Dian. Terima kasih atas kesempatan ini," balas Naura sopan sambil duduk di kursi yang disediakan.
Bu Dian membuka berkas yang berisi portofolio desain Naura. Ia mengamati setiap lembar dengan ekspresi serius namun tetap santai. "Saya sudah melihat beberapa hasil desain Anda. Sangat menarik. Bisa ceritakan lebih lanjut tentang pengalaman Anda di bidang ini?"
Naura tersenyum percaya diri. "Saya sudah bekerja sebagai desainer selama beberapa tahun di London. Fokus saya lebih pada desain pakaian modern dengan sentuhan klasik. Saya suka menggabungkan elemen tradisional dengan konsep yang lebih segar dan dinamis."
Bu Dian mengangguk, tampak terkesan. "Saya menyukai pemikiran Anda. Butik ini sedang mencari seseorang yang bisa membawa nuansa baru dalam koleksi kami. Bagaimana jika Anda diberikan kebebasan untuk mendesain koleksi musim depan? Apa yang akan Anda lakukan?"
Naura berpikir sejenak sebelum menjawab, "Saya ingin membuat koleksi yang memadukan keanggunan khas Indonesia dengan tren global. Misalnya, batik atau tenun yang disajikan dalam potongan kontemporer. Saya ingin menampilkan keunikan budaya kita dengan cara yang modern dan mudah diterima pasar internasional."
Senyum Bu Dian semakin lebar. "Itu ide yang bagus. Saya rasa Anda memiliki potensi besar untuk bergabung di sini. Kami akan mempertimbangkan Anda, dan dalam beberapa hari ke depan, saya akan menghubungi Anda untuk hasil akhirnya."
Naura merasa lega mendengar tanggapan positif itu. "Terima kasih, Bu Dian. Saya sangat menghargai kesempatan ini."
Setelah wawancara selesai, Naura melangkah keluar butik dengan perasaan optimis. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru—sebuah langkah penting untuk masa depan dirinya dan Lila.
***
Naura bergegas menuju daycare untuk menjemput putrinya. Sepanjang perjalanan, ia berharap Lila sudah mulai terbiasa dengan tempat barunya. Namun, begitu ia tiba dan memasuki ruangan bermain, matanya melebar terkejut.
Di sudut ruangan, Lila tampak sedang bermain dan bercanda dengan seorang pria. Tawanya renyah, tanpa rasa takut atau canggung sedikit pun. Namun, yang membuat jantung Naura nyaris copot adalah sosok laki-laki itu.
Dirga.
Napasnya tercekat. Apa yang dilakukan pria itu di sini? Mau apa lagi dia? Segala kekhawatiran yang selama ini ia tekan mendadak muncul kembali.
"Mommy!" seru Lila dengan penuh semangat saat melihatnya. Gadis kecil itu segera berlari dan memeluknya erat. "Aku senang di sini! Aku main sama Papa!"
Naura membeku seketika. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir mungil putrinya membuat darahnya berdesir. Mata cokelatnya menatap tajam ke arah Dirga, yang kini berdiri dengan ekspresi santai, seolah tidak ada yang salah dengan situasi ini.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Naura bergetar menahan emosi.
Dirga hanya tersenyum tipis, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Aku hanya ingin bermain dengan putriku. Benarkan, sweetheart?" tanyanya sambil menatap Lila dengan penuh kelembutan.
Lila mengangguk penuh semangat. "Iya, Mommy! Aku mau main sama Papa. Asyik sekali!" serunya polos, tidak menyadari ketegangan yang merayap di antara kedua orang dewasa di hadapannya.
Naura merasakan dadanya sesak. Pandangannya bergantian menatap Lila dan Dirga. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, ada kemarahan yang membara di hatinya. Namun, ia tahu tempat ini bukanlah tempat yang tepat untuk bertengkar.
Ia merunduk dan menatap putrinya dengan penuh kelembutan. "Sayang, Mommy sudah datang menjemput. Kita pulang sekarang, ya?" ujarnya dengan suara selembut mungkin, mencoba mengalihkan perhatian Lila dari pria di sampingnya.
Lila tampak sedikit ragu. "Tapi... aku mau main sama Papa lagi. Boleh kan, Mommy?" pintanya dengan mata berbinar.
Sebelum Naura sempat menjawab, Dirga kembali angkat bicara. "Tentu saja boleh, sayang. Papa pasti akan menemui Lila lagi," ucapnya dengan nada penuh kepastian, lalu menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan.
Naura menggigit bibirnya, menahan kemarahan yang hampir meledak. Ia harus segera membawa Lila pergi sebelum situasi semakin tak terkendali.
"Kita pulang sekarang," tegasnya, lalu menggandeng tangan Lila erat. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Dirga berbisik pelan di telinganya.
"Kita perlu bicara, Naura. Kau tidak bisa terus bersembunyi dariku."
Tubuh Naura menegang, tapi ia tidak memberikan tanggapan. Dengan langkah cepat, ia membawa Lila keluar dari daycare, meninggalkan Dirga yang masih berdiri dengan senyum penuh arti.
Namun, satu hal yang pasti.
Dirga tidak akan menyerah begitu saja.
Hari berjalan seperti biasa. Dirga mengantar Lila ke sekolah, lalu kembali ke rutinitas kantornya. Tapi kali ini, semua terasa… lain. Ia tak bisa sepenuhnya fokus. Wajah Naura terus terbayang, begitu juga nama itu—Bima.Selama ini, ia pikir semua sudah selesai. Ia percaya, masa lalu Naura hanyalah bagian dari cerita yang tak perlu disentuh lagi. Tapi kenyataan semalam mengguncang keyakinan itu.Ia mencoba menahan diri untuk tidak menghubungi Naura. Janji mereka sudah jelas: nanti malam. Tapi rasa penasaran, cemas, dan… cemburu, terus menggerogoti.Ketika malam akhirnya datang, Dirga muncul kembali di depan pintu rumah Naura. Kali ini tanpa Lila, yang sudah tertidur lelap di dalam kamar.Naura membukakan pintu, wajahnya lelah tapi tenang. Ia membiarkan Dirga masuk tanpa kata.Mereka duduk di ruang tengah, lampu temaram menyinari ruangan. Di antara mereka, ada jarak yang biasanya tak pernah ada.“Aku nggak suka caramu diem-diem ketemu Bima di apartemenku,” kata Dirga membuka percakapan,
Tengah malam, Dirga terbangun perlahan. Tenggorokannya terasa kering, dan tubuhnya masih berat karena efek obat. Ia mengerjap pelan, mencoba membiasakan mata pada gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan.Refleks, tangannya meraba sisi ranjang. Kosong.Ia menoleh. Tak ada Lila, tak ada Naura. Hanya selimut yang sedikit berantakan dan boneka kelinci yang tergeletak sendirian, seperti kehilangan pemiliknya. Dirga mendadak sepenuhnya sadar. Ia bangkit duduk, menahan pusing yang masih berdenyut pelan di pelipisnya.“Naura…?” panggilnya lirih, berharap sosok itu muncul dari kamar mandi atau dapur. Tapi tak ada jawaban. Hening.Ia segera bangkit dari ranjang, meski lututnya masih terasa lemas. Langkahnya membawanya ke ruang tengah. Tak ada siapa pun. Sepatu kecil dan sepatu perempuan yang tadi sempat tertata rapi di depan pintu juga sudah tak ada. Meja masih sama, kursi masih di tempatnya, hanya udara yang terasa… berbeda. Kosong.Dirga menoleh ke meja kerja
Setelah makan dan minum obat, Dirga mulai tertidur dengan lebih tenang. Napasnya sudah tak seberat tadi, meski sesekali masih terdengar batuk kecil. Lila ikut berbaring di sisi Dirga, memeluk boneka kelincinya dan sesekali menatap wajah ayah yang baru beberapa bulan lalu ia kenal, tapi sudah langsung ia peluk seperti dunia kecil miliknya.Naura duduk di kursi dekat ranjang, tangannya menyentuh lututnya sendiri—bingung harus menatap ke mana. Ia belum terbiasa dengan suasana ini. Satu ruangan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya, tapi entah bagaimana, perlahan terasa... familiar. Hangat. Aneh.Pandangan matanya melayang ke sekeliling ruangan. Rapi, minimalis, dan sangat sunyi. Tak ada tanda-tanda kehadiran perempuan lain, bahkan tak ada hiasan yang menunjukkan kehidupan sosial. Hanya... kesepian.Di meja kerja, sebuah bingkai foto menarik perhatiannya. Ia bangkit, melangkah pelan ke sana dan meraihnya. Terlihat Lila tertawa lepas, memeluk boneka kelincinya sambil berdiri di depan
Naura menatap Lila yang masih berbicara di telepon dengan semangat, meskipun sesekali terdengar nada cemberut kecil dari suaranya. Ia tahu, betapapun Lila marah karena tak dijemput, rindu tetap lebih besar dari kecewa. Setelah beberapa menit, Lila akhirnya mengembalikan ponsel itu, wajahnya sedikit lebih tenang."Sudah, Mom. Daddy bilang nanti kalau udah sehat, dia jemput lagi," ujar Lila sambil mengelus boneka kelincinya, seolah boneka itu pun perlu diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Naura tersenyum kecil, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir terlambat."Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang," ucapnya lembut sambil menggandeng tangan putrinya.Lila mengernyit. "Pakai mobil siapa, Mom? Mobil kita kan di bengkel."Naura menarik napas, matanya memandang keluar jendela ke jalanan yang mulai ramai. "Kita naik taksi, Sayang. Mommy udah pesan tadi."Beberapa hari yang lalu, mobil mereka tiba-tiba mogok di tengah perjalanan pulang, dan sejak itu masih belum s
Sesampainya di kebun binatang, Lila langsung melompat kegirangan. Matanya berbinar melihat berbagai spanduk dan patung hewan yang menyambut pengunjung di pintu masuk. Ia menggenggam tangan Dirga dan Naura erat, menarik mereka berdua dengan penuh semangat."Daddy, Mommy, ayo cepat! Aku mau lihat jilaft dulu!" serunya dengan penuh antusias.Dirga dan Naura hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah putri kecil mereka. Mereka pun berjalan mengikuti Lila yang setengah berlari menuju kandang jerapah. Begitu sampai, Lila langsung menempel di pagar pembatas, menatap kagum ke arah jerapah yang tengah mengunyah dedaunan."Daddy, Daddy! Itu jilaft, kan?" tanyanya dengan penuh semangat, sembari mengangkat kamera kecilnya untuk mengambil foto.Dirga mengangguk. "Iya, sayang. Itu jerapah. Jerapah punya leher panjang supaya bisa mengambil daun di pohon yang tinggi."Lila manggut-manggut sambil mengarahkan kameranya. "Aku halus foto!" katanya, lalu mengabadikan momen itu dengan lensa kecilnya. Setelah
Setelah sarapan bersama yang disiapkan oleh Dirga, suasana mulai mencair. Meski masih ada ketegangan di antara mereka, setidaknya mereka bisa menikmati momen kecil sebagai keluarga. Dirga dengan sigap membantu Lila memakai sepatu, sementara Naura merapikan tas kecil putrinya."Kita siap berangkat?" tanya Dirga sambil tersenyum."Siap!" seru Lila dengan semangat.Mereka bertiga pun berangkat ke sekolah Lila. Selama di perjalanan, Lila bercerita dengan antusias tentang tugas sekolahnya. "Mommy, Daddy, di sekolah aku ada tugas! Aku halus foto sama binatang!" katanya dengan mata berbinar.Dirga melirik Naura sekilas sebelum menatap putri kecilnya dengan penuh kasih. "Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang?" usulnya santai.Lila langsung menoleh dengan wajah penuh kegembiraan. "Leally, Daddy?" tanyanya dengan mata berbinar.Dirga terkekeh dan mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Of course, honey. Kita bisa pergi setelah sekolah. Gimana, Mommy?" Kini tatapannya tertuju pada Naura,