Share

Chapter 6

Author: Your Grace
last update Last Updated: 2025-03-03 14:32:47

Lima tahun lalu.

Naura menatap dua garis merah di test pack yang masih digenggamnya erat. Tangannya bergetar, matanya panas, dan jantungnya berdetak kencang. Ini tidak seharusnya terjadi. Ini seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya, ia hamil. Dan ia sangat tahu siapa yang harus bertanggung jawab.

Arjuna Dirga Wiratama.

Kakak dari pria yang selama ini ia cintai, atau lebih tepatnya, mantan kekasihnya.

Naura menggigit bibirnya, berusaha menguatkan diri. Dirga harus tahu. Seburuk apa pun situasinya, sekelam apa pun masa lalu mereka, ia tidak bisa menyembunyikan ini. Lila—bayi yang sekarang ada di dalam perutnya—berhak memiliki ayah.

Dengan tekad yang bulat, ia mengambil tasnya dan pergi menuju kantor pusat Wiratama Hospitality Group. Naura tahu bahwa Dirga adalah pewaris utama, CEO yang memegang kendali penuh atas perusahaan itu. Meski baru sebulan tak bertemu, ia yakin Dirga masih seperti yang dulu—penuh percaya diri, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.

Sesampainya di depan gedung megah dengan logo ‘Wiratama Hospitality Group’ yang terpampang besar, Naura menarik napas dalam.

Naura menelan ludah, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman akibat tatapan menghakimi resepsionis itu. Dengan suara yang tetap tenang meskipun ada sedikit getaran, ia berkata,

"Saya ingin bertemu dengan Pak Dirga. Bisakah Anda memberitahu saya di ruangan mana beliau berada?"

Resepsionis itu mengangkat alis, jelas-jelas meremehkan penampilan Naura yang jauh dari kesan profesional atau elegan. Dengan nada skeptis, ia bertanya,

"Maaf, Anda sudah membuat janji sebelumnya?"

Naura menggeleng pelan. "Tidak. Tapi saya perlu bertemu dengannya. Ini penting."

Sang resepsionis mendengus kecil, lalu menatap layar komputer di depannya. "Maaf, Pak Dirga sedang sibuk. Jika Anda tidak memiliki janji, saya tidak bisa membiarkan Anda masuk begitu saja."

Naura mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Haruskah ia pergi dan mencari cara lain? Atau tetap bersikeras menemui pria itu sekarang juga? 

***

Naura menoleh cepat begitu mendengar namanya dipanggil. Seorang pria dewasa, mungkin seusia Dirga, berdiri tidak jauh darinya dengan senyum ramah. Berbeda dengan resepsionis yang memandangnya dengan tatapan meremehkan, pria ini tampak santai dan bersahabat.

"Ah, kamu Naura, kan?" tanyanya dengan nada akrab.

Naura mengernyit bingung. "Iya, saya Naura."

Pria itu mengulurkan tangan. "Perkenalkan, saya Robi. Sahabat Dirga. Dia pernah bercerita tentang kamu sebelumnya."

Naura sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa Dirga pernah menyebut namanya di hadapan sahabatnya. Ia menjabat tangan Robi dengan ragu-ragu, sementara di sudut matanya, ia bisa melihat resepsionis tadi memasang ekspresi terkejut sekaligus canggung.

"Kamu ke sini mau bertemu Dirga?" tanya Robi lagi.

 Naura mengangguk pelan.

"Mari ikut saya," kata Robi santai. "Ruangan Dirga ada di lantai 35. Itu area eksklusif khusus CEO, jadi memang tidak sembarang orang bisa masuk."

Pembawaan pria itu begitu humble dan ramah, membuat Naura sedikit lebih tenang. Ia mencoba tersenyum meskipun terasa canggung.

Saat mereka berjalan menuju lift pribadi di sisi lobi, Robi melirik Naura sekilas. "Kelihatannya kamu agak tegang. Apa yang ingin kamu bicarakan dengan Dirga?" tanyanya dengan nada penasaran.

Naura menegang sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Namun, sebelum ia sempat merespons, Robi mengangkat tangan sedikit, seolah menyadari ketidaknyamanannya.

"Oh, maaf kalau pertanyaan saya membuatmu kurang nyaman. Tidak usah dijawab kalau kamu tidak mau," katanya dengan senyum menenangkan.

Naura menghela napas lega. "Terima kasih."

Lift terus naik, melewati beberapa lantai dengan cepat. Saat angka di layar digital menunjukkan lantai 30, Robi bergerak sedikit ke depan.

"Saya akan turun di sini," katanya, menekan tombol untuk menghentikan lift. "Kamu tinggal lanjut saja sampai lantai teratas. Ruangan Dirga ada di ujung koridor. Tidak akan sulit menemukannya."

Naura mengangguk pelan. "Terima kasih, Mas Robi."

Pria itu tersenyum sekilas sebelum melangkah keluar. Begitu pintu lift tertutup kembali, Naura menatap pantulan dirinya di dinding baja yang mengilap. Tangannya meremas tali tas, jantungnya berdetak lebih cepat.

Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ini bukan saatnya ragu.

Beberapa detik kemudian, lift berbunyi pelan, menandakan bahwa ia telah sampai di lantai 35. Dengan langkah hati-hati, Naura melangkah keluar, matanya langsung disambut oleh koridor luas dengan desain mewah. 

Di ujung sana, sebuah pintu besar dengan nama Arjuna Dirga Wiratama terpampang jelas.

***

Dunia Naura seakan runtuh dalam sekejap.

Kakinya terasa lemas, dadanya sesak, dan kepalanya mendadak pusing. Tangannya yang hendak mengetuk pintu langsung membeku di udara.

Suara tawa di dalam ruangan terdengar begitu jelas, seolah menikam hatinya dengan belati tajam.

"Lo berhasil nidurin pacar adik lo itu?"

"Jelas dong, dan ternyata dia masih perawan."

"Gila, beruntung banget lo bisa dapetin perawan di zaman sekarang!"

Naura merasa mual. Ia ingin menutup telinganya, tetapi suara mereka terus menghantamnya tanpa ampun.

"Terus lo keluar di mana?"

"Jelas di dalam lah, bro! Kalau di luar, nggak enak."

 Lalu tawa mereka pecah. Riang, puas, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Oh iya, taruhan mobil keluaran terbaru fix milik lo dong?"

"Jelas lah!"

Dirga hanya tersenyum smirk sambil menghembuskan asap rokoknya, tampak santai seolah tidak ada yang salah dengan semua ini.

"Gila, bro! Lo cuma butuh tidur sama dia, terus langsung dapet mobil mahal!"

Dirga tertawa kecil, lalu berkata dengan nada meremehkan, "Sebenarnya, gue lebih dari mampu kalau cuma buat beli mobil itu doang."

"Iya deh, dasar sultan!" teman satunya menimpali, ikut tertawa.

Dirga kembali menarik napas dalam-dalam dari rokoknya sebelum menghembuskan asap perlahan.

"Oh iya, gimana caranya lo bisa nidurin tuh cewek?" tanya salah satu temannya, penuh rasa ingin tahu.

Dengan santai, Dirga menjawab, "Gampang. Gue buat skenario seolah-olah si Bima selingkuh. Dia percaya, sakit hati, terus datang ke klub buat mabuk. Begitu dia udah teler, dia malah godain gue duluan. Semudah itu ternyata."

*** 

Sementara Naura berdiri di luar, dengan tangan gemetar, merasakan bagaimana hatinya hancur berkeping-keping.

Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Bayi yang ada di dalam sana… Apakah ini yang harus ia ceritakan kepada pria yang bahkan tidak menganggapnya lebih dari sekadar permainan semalam?

Air matanya menggenang di sudut mata.

Ia harus pergi.

Tanpa suara, tanpa jejak, Naura melangkah mundur, meninggalkan tempat itu sebelum ia benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

***

Setelah kedua temannya pergi, Dirga tetap duduk di kursinya, mengisap rokok terakhirnya sebelum mematikannya di asbak kaca di atas meja. Senyuman smirk yang tadi ia tunjukkan mulai memudar, digantikan dengan ekspresi kosong yang sulit dijelaskan.

Ada perasaan aneh yang menyelusup ke dalam dadanya. Rasa bersalah yang sejak tadi ia pendam mulai mengusik pikirannya. Ia menghela napas berat, mencoba menyangkalnya. Seharusnya ini bukan masalah besar. Ini hanya taruhan, permainan biasa, bukan? Tapi entah mengapa, bayangan wajah Naura terus muncul di benaknya.

‘Sial,’ batinnya.

Apakah ia keterlaluan? Apakah seharusnya ia tidak melakukan itu? Tidak, itu sudah terjadi, dan ia harus menerima konsekuensinya. Tapi tetap saja, ada bagian dalam dirinya yang merasa menyesal. Ia sudah terlalu jauh melangkah.

Saat sedang larut dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Dirga sontak menoleh dengan alis mengernyit.

Robi berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bingung. "Dirga? Mana Naura?"

Dirga mengerutkan dahi. "Naura?"

"Iya, tadi dia ke sini. Katanya mau ketemu lo," ujar Robi sambil melangkah masuk, memandang sekeliling ruangan.

Dirga semakin kebingungan. "Dia nggak pernah ke sini. Gue nggak ketemu dia sama sekali."

Robi mengerutkan alis. "Tapi tadi gue anter dia ke lift, langsung ke lantai ini. Kalau bukan di sini, terus dia ke mana?"

Hati Dirga mendadak terasa semakin tidak nyaman. Ada firasat buruk yang tiba-tiba menghantamnya. Ia segera bangkit dari kursinya, matanya menatap pintu yang masih terbuka lebar.

‘Jangan bilang dia ada di luar tadi…’

Tenggorokannya terasa kering. Jika benar Naura ada di luar ruangan ini sebelumnya… Berarti dia mendengar semuanya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu dari Anak Kakaknya Mantan   Chapter 38

    Hari berjalan seperti biasa. Dirga mengantar Lila ke sekolah, lalu kembali ke rutinitas kantornya. Tapi kali ini, semua terasa… lain. Ia tak bisa sepenuhnya fokus. Wajah Naura terus terbayang, begitu juga nama itu—Bima.Selama ini, ia pikir semua sudah selesai. Ia percaya, masa lalu Naura hanyalah bagian dari cerita yang tak perlu disentuh lagi. Tapi kenyataan semalam mengguncang keyakinan itu.Ia mencoba menahan diri untuk tidak menghubungi Naura. Janji mereka sudah jelas: nanti malam. Tapi rasa penasaran, cemas, dan… cemburu, terus menggerogoti.Ketika malam akhirnya datang, Dirga muncul kembali di depan pintu rumah Naura. Kali ini tanpa Lila, yang sudah tertidur lelap di dalam kamar.Naura membukakan pintu, wajahnya lelah tapi tenang. Ia membiarkan Dirga masuk tanpa kata.Mereka duduk di ruang tengah, lampu temaram menyinari ruangan. Di antara mereka, ada jarak yang biasanya tak pernah ada.“Aku nggak suka caramu diem-diem ketemu Bima di apartemenku,” kata Dirga membuka percakapan,

  • Ibu dari Anak Kakaknya Mantan   Chapter 37

    Tengah malam, Dirga terbangun perlahan. Tenggorokannya terasa kering, dan tubuhnya masih berat karena efek obat. Ia mengerjap pelan, mencoba membiasakan mata pada gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan.Refleks, tangannya meraba sisi ranjang. Kosong.Ia menoleh. Tak ada Lila, tak ada Naura. Hanya selimut yang sedikit berantakan dan boneka kelinci yang tergeletak sendirian, seperti kehilangan pemiliknya. Dirga mendadak sepenuhnya sadar. Ia bangkit duduk, menahan pusing yang masih berdenyut pelan di pelipisnya.“Naura…?” panggilnya lirih, berharap sosok itu muncul dari kamar mandi atau dapur. Tapi tak ada jawaban. Hening.Ia segera bangkit dari ranjang, meski lututnya masih terasa lemas. Langkahnya membawanya ke ruang tengah. Tak ada siapa pun. Sepatu kecil dan sepatu perempuan yang tadi sempat tertata rapi di depan pintu juga sudah tak ada. Meja masih sama, kursi masih di tempatnya, hanya udara yang terasa… berbeda. Kosong.Dirga menoleh ke meja kerja

  • Ibu dari Anak Kakaknya Mantan   Chapter 36

    Setelah makan dan minum obat, Dirga mulai tertidur dengan lebih tenang. Napasnya sudah tak seberat tadi, meski sesekali masih terdengar batuk kecil. Lila ikut berbaring di sisi Dirga, memeluk boneka kelincinya dan sesekali menatap wajah ayah yang baru beberapa bulan lalu ia kenal, tapi sudah langsung ia peluk seperti dunia kecil miliknya.Naura duduk di kursi dekat ranjang, tangannya menyentuh lututnya sendiri—bingung harus menatap ke mana. Ia belum terbiasa dengan suasana ini. Satu ruangan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya, tapi entah bagaimana, perlahan terasa... familiar. Hangat. Aneh.Pandangan matanya melayang ke sekeliling ruangan. Rapi, minimalis, dan sangat sunyi. Tak ada tanda-tanda kehadiran perempuan lain, bahkan tak ada hiasan yang menunjukkan kehidupan sosial. Hanya... kesepian.Di meja kerja, sebuah bingkai foto menarik perhatiannya. Ia bangkit, melangkah pelan ke sana dan meraihnya. Terlihat Lila tertawa lepas, memeluk boneka kelincinya sambil berdiri di depan

  • Ibu dari Anak Kakaknya Mantan   Chapter 35

    Naura menatap Lila yang masih berbicara di telepon dengan semangat, meskipun sesekali terdengar nada cemberut kecil dari suaranya. Ia tahu, betapapun Lila marah karena tak dijemput, rindu tetap lebih besar dari kecewa. Setelah beberapa menit, Lila akhirnya mengembalikan ponsel itu, wajahnya sedikit lebih tenang."Sudah, Mom. Daddy bilang nanti kalau udah sehat, dia jemput lagi," ujar Lila sambil mengelus boneka kelincinya, seolah boneka itu pun perlu diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Naura tersenyum kecil, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir terlambat."Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang," ucapnya lembut sambil menggandeng tangan putrinya.Lila mengernyit. "Pakai mobil siapa, Mom? Mobil kita kan di bengkel."Naura menarik napas, matanya memandang keluar jendela ke jalanan yang mulai ramai. "Kita naik taksi, Sayang. Mommy udah pesan tadi."Beberapa hari yang lalu, mobil mereka tiba-tiba mogok di tengah perjalanan pulang, dan sejak itu masih belum s

  • Ibu dari Anak Kakaknya Mantan   Chapter 34

    Sesampainya di kebun binatang, Lila langsung melompat kegirangan. Matanya berbinar melihat berbagai spanduk dan patung hewan yang menyambut pengunjung di pintu masuk. Ia menggenggam tangan Dirga dan Naura erat, menarik mereka berdua dengan penuh semangat."Daddy, Mommy, ayo cepat! Aku mau lihat jilaft dulu!" serunya dengan penuh antusias.Dirga dan Naura hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah putri kecil mereka. Mereka pun berjalan mengikuti Lila yang setengah berlari menuju kandang jerapah. Begitu sampai, Lila langsung menempel di pagar pembatas, menatap kagum ke arah jerapah yang tengah mengunyah dedaunan."Daddy, Daddy! Itu jilaft, kan?" tanyanya dengan penuh semangat, sembari mengangkat kamera kecilnya untuk mengambil foto.Dirga mengangguk. "Iya, sayang. Itu jerapah. Jerapah punya leher panjang supaya bisa mengambil daun di pohon yang tinggi."Lila manggut-manggut sambil mengarahkan kameranya. "Aku halus foto!" katanya, lalu mengabadikan momen itu dengan lensa kecilnya. Setelah

  • Ibu dari Anak Kakaknya Mantan   Chapter 33

    Setelah sarapan bersama yang disiapkan oleh Dirga, suasana mulai mencair. Meski masih ada ketegangan di antara mereka, setidaknya mereka bisa menikmati momen kecil sebagai keluarga. Dirga dengan sigap membantu Lila memakai sepatu, sementara Naura merapikan tas kecil putrinya."Kita siap berangkat?" tanya Dirga sambil tersenyum."Siap!" seru Lila dengan semangat.Mereka bertiga pun berangkat ke sekolah Lila. Selama di perjalanan, Lila bercerita dengan antusias tentang tugas sekolahnya. "Mommy, Daddy, di sekolah aku ada tugas! Aku halus foto sama binatang!" katanya dengan mata berbinar.Dirga melirik Naura sekilas sebelum menatap putri kecilnya dengan penuh kasih. "Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang?" usulnya santai.Lila langsung menoleh dengan wajah penuh kegembiraan. "Leally, Daddy?" tanyanya dengan mata berbinar.Dirga terkekeh dan mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Of course, honey. Kita bisa pergi setelah sekolah. Gimana, Mommy?" Kini tatapannya tertuju pada Naura,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status