Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang kacau. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban. Bagaimana bisa Dirga tahu? Apakah dia sudah mendapatkan bukti? Dan jika iya, apa yang akan dia lakukan selanjutnya?
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Lila masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk di sofa, memainkan bonekanya dengan riang, seolah pertemuan di daycare tadi hanyalah kejadian biasa.
"Sayang, sekarang waktunya tidur siang," ujar Naura lembut, berusaha menyembunyikan kecemasannya.
Lila mengerucutkan bibir. "Tapi aku belum ngantuk, Mommy."
Naura tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya. "Kalau begitu, kita baca buku sebentar, lalu tidur, ya?"
Lila akhirnya mengangguk setuju. Naura mengambil salah satu buku dongeng favorit putrinya dan mulai membacakan cerita. Tak butuh waktu lama sebelum kelopak mata Lila mulai tertutup perlahan, napasnya menjadi lebih teratur. Naura menarik selimut dan mencium kening gadis kecilnya sebelum bangkit dari tempat tidur.
Baru saja ia hendak beristirahat sejenak, bel pintu rumahnya berbunyi. Jantungnya berdegup kencang. Dengan sedikit ragu, ia berjalan ke arah intercom dan melihat siapa yang datang.
Dirga.
Masih mengenakan setelan yang sama seperti di daycare, pria itu berdiri di depan pintunya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Naura menggigit bibirnya, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tahu cepat atau lambat Dirga akan datang menemuinya, tapi ia tidak menyangka secepat ini.
Sejenak, ia mempertimbangkan untuk tidak membuka pintu. Namun, ia tahu Dirga tidak akan pergi begitu saja tanpa mendapatkan jawaban. Dengan napas yang berat, ia akhirnya membuka pintu sedikit, cukup untuk berbicara namun tetap menjaga jarak.
"Apa yang kau mau, Dirga?" tanyanya dengan suara bergetar, meski ia berusaha terdengar tegas.
Dirga menatapnya lekat-lekat, mata tajamnya menyelidik seolah ingin menembus pertahanannya. "Aku rasa kau sudah tahu jawabannya, Naura. Kita perlu bicara."
Naura menggenggam kenop pintu erat, mencoba menahan emosinya. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Pergilah."
Dirga menatapnya dengan tatapan tajam, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kalau kau tidak membiarkanku masuk, maka jangan sampai kau menangis menyesal, Naura."
Jantung Naura berdebar kencang. Ancaman itu bukan sekadar gertakan kosong. Ia sangat tahu siapa Arjuna Dirga Wiratama di negeri ini. Pria itu memiliki kekuatan dan pengaruh yang bisa menghancurkan siapa pun yang berani menentangnya. Jika ia tetap bersikeras menolak, maka konsekuensinya bisa lebih buruk dari yang ia bayangkan.
Dengan tangan gemetar, ia akhirnya membuka pintu lebih lebar, memberi jalan bagi Dirga untuk masuk. Tanpa menunggu undangan lebih lanjut, pria itu melangkah masuk dengan penuh keyakinan, aura dominannya memenuhi ruangan. Dengan pongah, ia langsung duduk di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri.
Naura menutup pintu dengan perasaan bercampur aduk, lalu berbalik menghadap Dirga. "Katakan apa yang kau mau, lalu pergi," ujarnya tegas, meskipun suaranya tidak sepenuhnya stabil.
Dirga menyandarkan tubuhnya, menatap Naura dengan mata penuh perhitungan. "Aku ingin kejelasan, Naura. Kenapa kau pergi tanpa mengatakan apa pun padaku? Kenapa kau menyembunyikan Lila dariku?"
Naura mengepalkan tangannya. "Aku tidak menyembunyikan siapa pun. Aku hanya melakukan yang terbaik untukku dan Lila. Dan lagi Lila bukan putrimu."
Naura mengepalkan tangannya erat, mencoba menahan emosi yang membuncah di dadanya. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Dirga tiba-tiba terkekeh pelan, lalu berubah menjadi tawa sinis yang menggema di dalam ruangan.
"Kau masih berani berbohong, Naura?" ucapnya dingin.
Tiba-tiba, Dirga mengeluarkan sebuah amplop dari dalam sakunya dan melemparkannya ke atas meja. Amplop putih itu memiliki logo rumah sakit terkenal yang langsung membuat darah Naura berdesir.
"Buka," perintah Dirga tajam. "Dan lihat sendiri kebenarannya."
Naura menatap amplop itu dengan napas tersengal. Tangannya bergetar saat ia mengulurkan jari untuk meraihnya. Bagian dalam dirinya ingin mengabaikannya, tapi rasa penasaran dan ketakutan mendorongnya untuk membuka segelnya.
Saat ia menarik keluar selembar kertas dari dalamnya, matanya langsung menangkap sederet angka dan tulisan medis yang sulit ditampik. Hasil tes DNA.
Matanya bergerak liar, mencari informasi utama. Dan di sana, hitam di atas putih, tertera hasilnya.
99,999%
Lila adalah putri kandung Arjuna Dirga Wiratama.
Napas Naura tersangkut di tenggorokan. Kepalanya terasa berputar, seakan dunia runtuh di sekelilingnya. Tangannya melemas, hampir saja kertas itu jatuh dari genggamannya. Dirga akhirnya tahu.
Sementara itu, Dirga menatapnya tajam, penuh kemenangan. "Sekarang, masih berani bilang dia bukan anakku?"
***
Naura menarik napas panjang, berusaha menenangkan debaran di dadanya yang tak terkendali. Ia menatap Dirga dengan sorot mata penuh emosi, campuran kemarahan, kepedihan, dan kelelahan yang selama ini ia pendam.
"Oke," ucapnya lirih, suaranya bergetar. "Lila memang putrimu. Tapi, apa yang akan berubah, Dirga?"
Dirga menatapnya tajam, namun Naura tak gentar. Ia melanjutkan, suaranya kini lebih tegas.
"Aku yang mengandungnya sendirian, aku yang berjuang melewati setiap rasa sakit tanpa seorang pun di sisiku. Aku yang melahirkannya tanpa tahu apakah aku akan bertahan atau tidak. Dan selama ini, aku yang membesarkannya, aku yang ada setiap kali dia menangis, aku yang menemaninya di setiap langkah pertamanya!"
Matanya kini berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri tegak, menolak terlihat lemah di hadapan pria itu.
"Sementara kau, Dirga? Kau bahkan tidak tahu dia ada! Jadi sekarang, kau datang dan mengklaimnya sebagai putrimu seolah-olah kau punya hak?"
Dirga membeku. Rahangnya mengeras, matanya menyala penuh kemarahan.
"Naura…" desisnya, suaranya dalam dan berbahaya.
"Apa?" Naura menantang. "Kau marah karena aku menyembunyikan Lila? Lalu di mana kau selama ini? Saat aku membutuhkanmu? Saat aku nyaris kehilangan segalanya?!"
Dirga mengepalkan tangannya di atas pahanya, matanya gelap, ekspresinya berubah semakin kelam. Kemarahan berdenyut di sekujur tubuhnya.
"Aku. Tidak. Tahu." Dirga mengucapkannya dengan penuh tekanan, suaranya terdengar begitu dingin hingga udara di sekitarnya terasa menegang. "Dan jika aku tahu—jika kau memberitahuku sejak awal—aku tidak akan membiarkanmu melewati semua itu sendirian, Naura!"
"Tidak akan membiarkanku?" Naura tertawa sinis, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. "Lucu sekali. Kau pikir aku akan mempercayai kata-katamu setelah semua yang terjadi?"
Dirga menatapnya, matanya berkilat penuh emosi. Ia menggertakkan giginya, tubuhnya menegang seakan sedang menahan sesuatu.
"Kau sudah mengambil hakku, Naura," suaranya merendah, tapi tak kalah berbahaya. "Dan sekarang, aku akan mengambil hakku kembali."
Naura tertegun.
"Mulai sekarang," lanjut Dirga dengan nada penuh kepastian, "aku tidak akan pergi dari kehidupan Lila. Aku tidak peduli bagaimana cara kau menolakku—kau tidak akan bisa lagi menyembunyikannya dariku."
Tatapan Naura melebar, dadanya bergemuruh.
"Dan jika kau mencoba menghalangiku…" Dirga mendekat, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, sebelum akhirnya berbisik dengan nada tajam yang menusuk.
"…kau akan tahu seberapa jauh aku bisa melangkah."
Hari berjalan seperti biasa. Dirga mengantar Lila ke sekolah, lalu kembali ke rutinitas kantornya. Tapi kali ini, semua terasa… lain. Ia tak bisa sepenuhnya fokus. Wajah Naura terus terbayang, begitu juga nama itu—Bima.Selama ini, ia pikir semua sudah selesai. Ia percaya, masa lalu Naura hanyalah bagian dari cerita yang tak perlu disentuh lagi. Tapi kenyataan semalam mengguncang keyakinan itu.Ia mencoba menahan diri untuk tidak menghubungi Naura. Janji mereka sudah jelas: nanti malam. Tapi rasa penasaran, cemas, dan… cemburu, terus menggerogoti.Ketika malam akhirnya datang, Dirga muncul kembali di depan pintu rumah Naura. Kali ini tanpa Lila, yang sudah tertidur lelap di dalam kamar.Naura membukakan pintu, wajahnya lelah tapi tenang. Ia membiarkan Dirga masuk tanpa kata.Mereka duduk di ruang tengah, lampu temaram menyinari ruangan. Di antara mereka, ada jarak yang biasanya tak pernah ada.“Aku nggak suka caramu diem-diem ketemu Bima di apartemenku,” kata Dirga membuka percakapan,
Tengah malam, Dirga terbangun perlahan. Tenggorokannya terasa kering, dan tubuhnya masih berat karena efek obat. Ia mengerjap pelan, mencoba membiasakan mata pada gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan.Refleks, tangannya meraba sisi ranjang. Kosong.Ia menoleh. Tak ada Lila, tak ada Naura. Hanya selimut yang sedikit berantakan dan boneka kelinci yang tergeletak sendirian, seperti kehilangan pemiliknya. Dirga mendadak sepenuhnya sadar. Ia bangkit duduk, menahan pusing yang masih berdenyut pelan di pelipisnya.“Naura…?” panggilnya lirih, berharap sosok itu muncul dari kamar mandi atau dapur. Tapi tak ada jawaban. Hening.Ia segera bangkit dari ranjang, meski lututnya masih terasa lemas. Langkahnya membawanya ke ruang tengah. Tak ada siapa pun. Sepatu kecil dan sepatu perempuan yang tadi sempat tertata rapi di depan pintu juga sudah tak ada. Meja masih sama, kursi masih di tempatnya, hanya udara yang terasa… berbeda. Kosong.Dirga menoleh ke meja kerja
Setelah makan dan minum obat, Dirga mulai tertidur dengan lebih tenang. Napasnya sudah tak seberat tadi, meski sesekali masih terdengar batuk kecil. Lila ikut berbaring di sisi Dirga, memeluk boneka kelincinya dan sesekali menatap wajah ayah yang baru beberapa bulan lalu ia kenal, tapi sudah langsung ia peluk seperti dunia kecil miliknya.Naura duduk di kursi dekat ranjang, tangannya menyentuh lututnya sendiri—bingung harus menatap ke mana. Ia belum terbiasa dengan suasana ini. Satu ruangan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya, tapi entah bagaimana, perlahan terasa... familiar. Hangat. Aneh.Pandangan matanya melayang ke sekeliling ruangan. Rapi, minimalis, dan sangat sunyi. Tak ada tanda-tanda kehadiran perempuan lain, bahkan tak ada hiasan yang menunjukkan kehidupan sosial. Hanya... kesepian.Di meja kerja, sebuah bingkai foto menarik perhatiannya. Ia bangkit, melangkah pelan ke sana dan meraihnya. Terlihat Lila tertawa lepas, memeluk boneka kelincinya sambil berdiri di depan
Naura menatap Lila yang masih berbicara di telepon dengan semangat, meskipun sesekali terdengar nada cemberut kecil dari suaranya. Ia tahu, betapapun Lila marah karena tak dijemput, rindu tetap lebih besar dari kecewa. Setelah beberapa menit, Lila akhirnya mengembalikan ponsel itu, wajahnya sedikit lebih tenang."Sudah, Mom. Daddy bilang nanti kalau udah sehat, dia jemput lagi," ujar Lila sambil mengelus boneka kelincinya, seolah boneka itu pun perlu diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Naura tersenyum kecil, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir terlambat."Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang," ucapnya lembut sambil menggandeng tangan putrinya.Lila mengernyit. "Pakai mobil siapa, Mom? Mobil kita kan di bengkel."Naura menarik napas, matanya memandang keluar jendela ke jalanan yang mulai ramai. "Kita naik taksi, Sayang. Mommy udah pesan tadi."Beberapa hari yang lalu, mobil mereka tiba-tiba mogok di tengah perjalanan pulang, dan sejak itu masih belum s
Sesampainya di kebun binatang, Lila langsung melompat kegirangan. Matanya berbinar melihat berbagai spanduk dan patung hewan yang menyambut pengunjung di pintu masuk. Ia menggenggam tangan Dirga dan Naura erat, menarik mereka berdua dengan penuh semangat."Daddy, Mommy, ayo cepat! Aku mau lihat jilaft dulu!" serunya dengan penuh antusias.Dirga dan Naura hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah putri kecil mereka. Mereka pun berjalan mengikuti Lila yang setengah berlari menuju kandang jerapah. Begitu sampai, Lila langsung menempel di pagar pembatas, menatap kagum ke arah jerapah yang tengah mengunyah dedaunan."Daddy, Daddy! Itu jilaft, kan?" tanyanya dengan penuh semangat, sembari mengangkat kamera kecilnya untuk mengambil foto.Dirga mengangguk. "Iya, sayang. Itu jerapah. Jerapah punya leher panjang supaya bisa mengambil daun di pohon yang tinggi."Lila manggut-manggut sambil mengarahkan kameranya. "Aku halus foto!" katanya, lalu mengabadikan momen itu dengan lensa kecilnya. Setelah
Setelah sarapan bersama yang disiapkan oleh Dirga, suasana mulai mencair. Meski masih ada ketegangan di antara mereka, setidaknya mereka bisa menikmati momen kecil sebagai keluarga. Dirga dengan sigap membantu Lila memakai sepatu, sementara Naura merapikan tas kecil putrinya."Kita siap berangkat?" tanya Dirga sambil tersenyum."Siap!" seru Lila dengan semangat.Mereka bertiga pun berangkat ke sekolah Lila. Selama di perjalanan, Lila bercerita dengan antusias tentang tugas sekolahnya. "Mommy, Daddy, di sekolah aku ada tugas! Aku halus foto sama binatang!" katanya dengan mata berbinar.Dirga melirik Naura sekilas sebelum menatap putri kecilnya dengan penuh kasih. "Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang?" usulnya santai.Lila langsung menoleh dengan wajah penuh kegembiraan. "Leally, Daddy?" tanyanya dengan mata berbinar.Dirga terkekeh dan mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Of course, honey. Kita bisa pergi setelah sekolah. Gimana, Mommy?" Kini tatapannya tertuju pada Naura,