Naura Devi Lark telah menjalin hubungan yang penuh cinta dengan Bima Satya Wiratama sejak masa sekolah menengah. Perjalanan mereka penuh suka dan duka, hingga mereka melanjutkan kisah cinta itu ke bangku kuliah. Naura percaya bahwa cinta mereka akan bertahan selamanya, hingga suatu malam segalanya runtuh. Ia memergoki Bima, sosok yang selama ini ia cintai, tengah bercumbu mesra dengan perempuan lain. Hati Naura hancur berkeping-keping. Didorong oleh rasa sakit hati dan keinginan untuk membalas dendam, Naura mulai mendekati Arjuna Dirga Wiratama, kakak Bima yang dewasa, mapan, dan penuh wibawa. Dirga, seorang pria dengan karisma yang memikat, tidak menyangka bahwa permainan Naura akan mengubah hidupnya. Dalam kehangatan malam yang penuh gairah, mereka melampaui batas yang tak terduga. Naura menyimpan rahasia besar dari peristiwa itu. Ia menyadari bahwa ia hamil dan memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri, jauh dari bayang-bayang keluarga Wiratama. Dari rahasia itu lahirlah seorang anak perempuan bernama Lila Amora Lark—gadis kecil yang tumbuh menjadi sosok yang manis, lucu, dan menggemaskan. Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Bertahun-tahun kemudian, Dirga dan Naura kembali dipertemukan. Rahasia yang selama ini tersembunyi di balik senyum Lila perlahan mulai terkuak. Bagaimana Dirga akan menerima kenyataan bahwa ia adalah ayah Lila? Akankah hubungan Naura dan Bima dapat diperbaiki, atau justru Dirga menjadi sosok yang tak tergantikan dalam hidup Naura?
Lihat lebih banyakHappy Reading
Di sebuah bandara internasional yang ramai, Naura Devi Lark menggenggam erat tangan kecil putrinya, Lila Amora Lark. Wajahnya terlihat tenang, meski ada banyak perasaan yang bercampur dalam hatinya. Hari ini, mereka akan kembali ke tanah air setelah bertahun-tahun tinggal di London. Masa berlaku visanya telah habis, dan ini adalah saatnya untuk pulang. Lila, yang baru berusia empat tahun, tampak bersemangat. Gadis kecil itu terus berceloteh dengan bahasa Inggris dan Indonesia yang bercampur, membuat beberapa orang di sekitar mereka tersenyum mendengarnya. "Mommy, are we really going to Indonesia? Like, for real?" tanyanya dengan mata berbinar. Naura tersenyum, mengusap lembut rambut cokelat berkilau putrinya. "Yes, sweetheart. Kita akan ke Indonesia." Lila melompat-lompat kecil di tempat, lalu menatap koper berwarna merah muda yang ia tarik sendiri. "Do they have chocolate waffles in Indonesia, Mommy?" tanyanya dengan nada khawatir. Naura terkekeh pelan. "Of course, baby. And maybe even better ones!" Lila mengangguk puas, lalu melanjutkan ocehannya. "And Daddy Yafa? Apakah Daddy akan datang juga?" Naura terdiam sejenak. Rafael Aditya Klein, sahabatnya yang selama ini tinggal bersama mereka di London, tidak ikut dalam perjalanan ini. Ada banyak hal yang masih harus ia urus di sana, dan meskipun mereka telah berjanji untuk tetap berhubungan, perpisahan tetaplah perpisahan. "Daddy Yafa harus tinggal di sana dulu, sayang. Tapi dia berjanji akan mengunjungi kita segera," jawab Naura dengan lembut. Lila tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Okay! But he has to bring me chocolates!" Naura tertawa kecil, mengangguk setuju. Mereka terus berjalan menuju gerbang keberangkatan, sementara suara panggilan penerbangan terdengar di seluruh penjuru bandara. Di dalam hatinya, Naura merasa sedikit cemas tentang kepulangan mereka. Namun, melihat keceriaan Lila, ia tahu bahwa selama mereka bersama, segalanya akan baik-baik saja. Saat mereka akhirnya duduk di ruang tunggu, Lila bersandar di bahu Naura. "Mommy, can we have an adventure in Indonesia?" tanyanya dengan mata berbinar penuh harapan. Naura tersenyum hangat, mencium puncak kepala putrinya. "Of course, my love. A big, exciting adventure." Dan dengan itu, perjalanan baru mereka pun dimulai. *** Sementara itu, di sisi lain bandara, seorang pria berperawakan tegap dengan setelan kasual namun elegan baru saja melangkah keluar dari gerbang kedatangan internasional. Arjuna Dirga Wiratama baru saja tiba setelah perjalanan bisnisnya dari New York. Matanya tajam menyapu keramaian, mencari sosok yang akan menjemputnya. Meski lelah setelah penerbangan panjang, aura kewibawaan dan ketenangannya tetap terpancar. Tanpa disadari, di tempat yang sama, hanya beberapa meter darinya, Naura dan Lila baru saja menginjakkan kaki kembali di tanah air. Takdir seakan mempertemukan mereka di bawah langit yang sama, dalam momen yang mungkin akan mengubah perjalanan hidup mereka. Mata tajam Dirga tiba-tiba terpaku pada sosok seorang gadis di tengah keramaian. Ada sesuatu tentang wanita itu yang begitu familiar, mengguncang hatinya. Sudah hampir lima tahun dia mencari gadis itu, sejak malam panas yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Seakan waktu berhenti, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Apakah itu benar-benar Naura? Tapi kenapa dia bersama seorang gadis cilik? Keraguan menyelusup ke dalam pikirannya, namun keinginan untuk memastikan lebih besar daripada rasa ragu yang menyelimuti. Naura tersentak saat merasa tarikan kuat di lengannya. Dengan jantung berdebar, ia menoleh ke belakang, dan matanya langsung bertemu dengan sepasang mata tajam yang dulu begitu ia kenal. Mata yang membawa ingatan akan malam yang ingin ia lupakan. "Dirga..." bisiknya nyaris tak terdengar, namun pria di depannya menangkap setiap nada ketakutan dalam suaranya. Dirga menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara marah, terkejut, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu. Ia menelan ludah, berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dadanya. "Jadi ini alasan kamu menghilang selama ini, Naura?" suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang mengandung kemarahan terpendam. Naura menegakkan bahunya, mencoba menyusun kata-kata. "Aku tidak menghilang, Dirga. Aku hanya... pergi." "Tanpa sepatah kata pun," potong Dirga tajam. "Dan tiba-tiba aku menemukanmu di sini, dengan seorang anak kecil..." Matanya beralih ke Lila yang memandang mereka dengan kebingungan, lalu kembali ke Naura dengan tatapan penuh selidik. "Dia... siapa?" Naura merasakan napasnya tercekat. Ini adalah situasi yang paling ia hindari sejak memutuskan kembali ke Indonesia. Ia tahu cepat atau lambat Dirga akan mengetahui tentang Lila, tapi tidak secepat ini. Belum sekarang. "Bukan urusanmu, Dirga," ucap Naura dingin, berusaha menarik lengannya, tapi genggaman pria itu semakin erat. "Jawab aku, Naura." Nada suaranya lebih dalam, lebih menekan. "Dia anakku, bukan?" Naura terdiam. Ia bisa merasakan tangan Lila yang kecil menggenggam ujung bajunya dengan erat, seakan menyadari ketegangan di antara mereka. "Lepaskan aku, Dirga," ucapnya dengan suara gemetar. "Ini bukan tempat yang tepat untuk membahas ini." Dirga menatapnya dalam, seolah mencoba membaca kebenaran di wajahnya. Ia ingin memaksa jawaban keluar dari bibir Naura, tapi melihat ketakutan di matanya, ia mengendurkan genggamannya. "Baik," katanya akhirnya. "Tapi ini belum selesai, Naura. Kita akan bicara. Dan kali ini, aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi." Naura menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tangan Lila erat-erat sebelum melangkah pergi. Namun, ia tahu, langkahnya tidak akan bisa sejauh yang ia harapkan. Karena kini, masa lalunya telah menemukannya kembali. *** Naura berjalan cepat, menarik Lila yang masih bingung dengan kejadian tadi. Di belakang mereka, Dirga tetap berdiri di tempat yang sama, matanya tidak lepas dari sosok Naura yang perlahan menjauh. Hatinya bergejolak. Selama bertahun-tahun, ia mencoba untuk melupakan wanita itu—wanita yang meninggalkannya tanpa kata, tanpa jejak. Tapi sekarang, di sini, di tanah air mereka, dia menemukan Naura lagi. Dan kali ini, tidak ada jalan untuk melarikan diri. Di ruang tunggu bandara yang ramai, Naura duduk di bangku dengan tangan gemetar. Lila yang masih tampak kebingungan duduk di sampingnya, menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Naura menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, bayangan wajah Dirga—wajah yang dulu sangat ia kenal—terus menghantui pikirannya. “Mommy, what happened? Who was that man?” Lila bertanya dengan polos, menatap ibunya dengan mata besar. Naura mengusap rambut putrinya, mencoba tersenyum. “It’s nothing, sayang. Just someone from the past.” Lila merenung sejenak, lalu mengangguk, seolah bisa merasakan bahwa ibunya sedang mengalami sesuatu yang berat. “Are we okay, Mommy?” tanya Lila dengan suara lembut. Naura mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Yes, we’re okay. Always, sweetie.” Namun, dalam dirinya, Naura tahu bahwa pertemuan tadi bukanlah kebetulan. Dirga, dengan segala ketegasannya, tidak akan membiarkannya begitu saja. Ia bisa merasakan bahwa pria itu masih menyimpan banyak pertanyaan—pertanyaan yang tidak akan bisa ia hindari selamanya.Hari berjalan seperti biasa. Dirga mengantar Lila ke sekolah, lalu kembali ke rutinitas kantornya. Tapi kali ini, semua terasa… lain. Ia tak bisa sepenuhnya fokus. Wajah Naura terus terbayang, begitu juga nama itu—Bima.Selama ini, ia pikir semua sudah selesai. Ia percaya, masa lalu Naura hanyalah bagian dari cerita yang tak perlu disentuh lagi. Tapi kenyataan semalam mengguncang keyakinan itu.Ia mencoba menahan diri untuk tidak menghubungi Naura. Janji mereka sudah jelas: nanti malam. Tapi rasa penasaran, cemas, dan… cemburu, terus menggerogoti.Ketika malam akhirnya datang, Dirga muncul kembali di depan pintu rumah Naura. Kali ini tanpa Lila, yang sudah tertidur lelap di dalam kamar.Naura membukakan pintu, wajahnya lelah tapi tenang. Ia membiarkan Dirga masuk tanpa kata.Mereka duduk di ruang tengah, lampu temaram menyinari ruangan. Di antara mereka, ada jarak yang biasanya tak pernah ada.“Aku nggak suka caramu diem-diem ketemu Bima di apartemenku,” kata Dirga membuka percakapan,
Tengah malam, Dirga terbangun perlahan. Tenggorokannya terasa kering, dan tubuhnya masih berat karena efek obat. Ia mengerjap pelan, mencoba membiasakan mata pada gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan.Refleks, tangannya meraba sisi ranjang. Kosong.Ia menoleh. Tak ada Lila, tak ada Naura. Hanya selimut yang sedikit berantakan dan boneka kelinci yang tergeletak sendirian, seperti kehilangan pemiliknya. Dirga mendadak sepenuhnya sadar. Ia bangkit duduk, menahan pusing yang masih berdenyut pelan di pelipisnya.“Naura…?” panggilnya lirih, berharap sosok itu muncul dari kamar mandi atau dapur. Tapi tak ada jawaban. Hening.Ia segera bangkit dari ranjang, meski lututnya masih terasa lemas. Langkahnya membawanya ke ruang tengah. Tak ada siapa pun. Sepatu kecil dan sepatu perempuan yang tadi sempat tertata rapi di depan pintu juga sudah tak ada. Meja masih sama, kursi masih di tempatnya, hanya udara yang terasa… berbeda. Kosong.Dirga menoleh ke meja kerja
Setelah makan dan minum obat, Dirga mulai tertidur dengan lebih tenang. Napasnya sudah tak seberat tadi, meski sesekali masih terdengar batuk kecil. Lila ikut berbaring di sisi Dirga, memeluk boneka kelincinya dan sesekali menatap wajah ayah yang baru beberapa bulan lalu ia kenal, tapi sudah langsung ia peluk seperti dunia kecil miliknya.Naura duduk di kursi dekat ranjang, tangannya menyentuh lututnya sendiri—bingung harus menatap ke mana. Ia belum terbiasa dengan suasana ini. Satu ruangan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya, tapi entah bagaimana, perlahan terasa... familiar. Hangat. Aneh.Pandangan matanya melayang ke sekeliling ruangan. Rapi, minimalis, dan sangat sunyi. Tak ada tanda-tanda kehadiran perempuan lain, bahkan tak ada hiasan yang menunjukkan kehidupan sosial. Hanya... kesepian.Di meja kerja, sebuah bingkai foto menarik perhatiannya. Ia bangkit, melangkah pelan ke sana dan meraihnya. Terlihat Lila tertawa lepas, memeluk boneka kelincinya sambil berdiri di depan
Naura menatap Lila yang masih berbicara di telepon dengan semangat, meskipun sesekali terdengar nada cemberut kecil dari suaranya. Ia tahu, betapapun Lila marah karena tak dijemput, rindu tetap lebih besar dari kecewa. Setelah beberapa menit, Lila akhirnya mengembalikan ponsel itu, wajahnya sedikit lebih tenang."Sudah, Mom. Daddy bilang nanti kalau udah sehat, dia jemput lagi," ujar Lila sambil mengelus boneka kelincinya, seolah boneka itu pun perlu diyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Naura tersenyum kecil, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir terlambat."Ayo, Sayang. Kita harus berangkat sekarang," ucapnya lembut sambil menggandeng tangan putrinya.Lila mengernyit. "Pakai mobil siapa, Mom? Mobil kita kan di bengkel."Naura menarik napas, matanya memandang keluar jendela ke jalanan yang mulai ramai. "Kita naik taksi, Sayang. Mommy udah pesan tadi."Beberapa hari yang lalu, mobil mereka tiba-tiba mogok di tengah perjalanan pulang, dan sejak itu masih belum s
Sesampainya di kebun binatang, Lila langsung melompat kegirangan. Matanya berbinar melihat berbagai spanduk dan patung hewan yang menyambut pengunjung di pintu masuk. Ia menggenggam tangan Dirga dan Naura erat, menarik mereka berdua dengan penuh semangat."Daddy, Mommy, ayo cepat! Aku mau lihat jilaft dulu!" serunya dengan penuh antusias.Dirga dan Naura hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah putri kecil mereka. Mereka pun berjalan mengikuti Lila yang setengah berlari menuju kandang jerapah. Begitu sampai, Lila langsung menempel di pagar pembatas, menatap kagum ke arah jerapah yang tengah mengunyah dedaunan."Daddy, Daddy! Itu jilaft, kan?" tanyanya dengan penuh semangat, sembari mengangkat kamera kecilnya untuk mengambil foto.Dirga mengangguk. "Iya, sayang. Itu jerapah. Jerapah punya leher panjang supaya bisa mengambil daun di pohon yang tinggi."Lila manggut-manggut sambil mengarahkan kameranya. "Aku halus foto!" katanya, lalu mengabadikan momen itu dengan lensa kecilnya. Setelah
Setelah sarapan bersama yang disiapkan oleh Dirga, suasana mulai mencair. Meski masih ada ketegangan di antara mereka, setidaknya mereka bisa menikmati momen kecil sebagai keluarga. Dirga dengan sigap membantu Lila memakai sepatu, sementara Naura merapikan tas kecil putrinya."Kita siap berangkat?" tanya Dirga sambil tersenyum."Siap!" seru Lila dengan semangat.Mereka bertiga pun berangkat ke sekolah Lila. Selama di perjalanan, Lila bercerita dengan antusias tentang tugas sekolahnya. "Mommy, Daddy, di sekolah aku ada tugas! Aku halus foto sama binatang!" katanya dengan mata berbinar.Dirga melirik Naura sekilas sebelum menatap putri kecilnya dengan penuh kasih. "Bagaimana kalau kita pergi ke kebun binatang?" usulnya santai.Lila langsung menoleh dengan wajah penuh kegembiraan. "Leally, Daddy?" tanyanya dengan mata berbinar.Dirga terkekeh dan mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Of course, honey. Kita bisa pergi setelah sekolah. Gimana, Mommy?" Kini tatapannya tertuju pada Naura,
Setelah Bima pergi, keheningan kembali menyelimuti ruang tamu. Naura duduk memeluk dirinya sendiri, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan bayangan dirinya—wajah yang dulu penuh harapan, kini hanya menyisakan lelah dan luka.Hatinya terasa kosong. Semua yang ia pendam selama bertahun-tahun akhirnya terucap, namun mengapa rasanya masih seberat ini? Apakah karena kenyataan tak pernah benar-benar bisa menghapus masa lalu? Ataukah karena bayang-bayang itu akan selalu mengikutinya, kemanapun ia pergi?Naura menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh dalam dadanya. Lila sedang tidur di kamar, tidak tahu apa yang baru saja terjadi antara ibunya dan pria yang dulu ia cintai. Dan kini, Naura harus memikirkan langkah selanjutnya.Pikirannya melayang ke London—tempat yang dulu memberinya pelarian, tempat di mana ia sempat merasakan kebebasan, jauh dari bayang-bayang Bima, Dirga, dan semua kenangan pahit yang menyesakkan. Ia bisa kembali ke sana, memulai dari awal sekali lagi. Lond
Setelah semua tenang—setelah isak Naura perlahan mereda dan Bima duduk terpaku di lantai, masih dengan dada yang sesak dan wajah tertunduk dalam diam—Naura akhirnya mengambil napas panjang. Ia berdiri perlahan, menarik piyamanya yang terbuka, lalu mengancingkannya satu per satu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak ada kemarahan di wajahnya, hanya kelelahan dan luka yang baru saja bertambah satu.Dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan, Naura berkata, “Kita ke ruang tamu, ya.”Bima hanya mengangguk, tak mampu menatap mata Naura. Ia mengikuti langkah perempuan itu, duduk di ujung sofa yang sempit, sementara Naura duduk tak jauh darinya, menyisakan jarak di antara mereka—jarak yang terasa lebih lebar dari sekadar satu dudukan kursi.Beberapa detik hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Lalu Naura bicara, pelan dan hati-hati.“Ada yang mau kamu bicarakan, Bim?” tanyanya pelan, tanpa menoleh.Bima terdiam sejenak. Hatinya masih berdegup kencang, bukan karena amarah, tapi kar
Saat ini, di kediaman keluarga Wiratama, suasana jauh dari kata tenang. Raden Wijaya Kusuma Wiratama, sang kepala keluarga, berdiri di tengah ruang tamu dengan napas berat dan rahang mengeras. Sorot matanya tajam, menyimpan bara yang sudah lama terpendam, kini disulut oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar—dari mulut anak keduanya, Bima.“Jadi maksudmu, selama ini Dirga menyembunyikan semuanya dari kita?” suaranya berat, tapi tetap berwibawa. “Dan kamu tahu… tapi baru bilang sekarang?”Bima menunduk sedikit, menyadari ketegangan yang ia picu. “Bima gak tahu semua detailnya, Pah. Tapi itu benar… itu anaknya Mas Dirga. Bima udah pastikan sendiri, langsung nanya ke Mas Dirga.”Dalam hati, Bima berharap dengan membuka semuanya seperti ini, Dirga akan menjauh dari Naura. Ia tahu betul watak sang ayah—Raden Wijaya Kusuma Wiratama—lelaki yang menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga. Seseorang seperti Ayahnya pasti tidak akan bisa menerima cucu yang lahir dari hubungan di lu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen