"Dasar tidak becus, ngapain aja kamu selama hamil? bisa-bisanya melenyapkan cucuku!" suara ibu mertuaku terus terdengar berkali-kali dengan begitu menyakitkan digendang telinga ini membuatku terdiam tak mampu membalas perkataan pedasnya.
"Lemah, pake harus dioperasi sesar segala. Biaya operasi itu mahal!" Lagi, makian itu datang menyakitkan. Aku masih terdiam, menunduk tak berani menatap wajah kekesalannya. Ah, baru saja aku bertaruh nyawa dan harus rela kehilangan bayi yang sudah kami nantikan selama sembilan bulan. Tiba-tiba ibu mertuaku datang menjenguk dengan wajah tak ramah, penuh kebencian, memaki diri ini. Ah, rasanya seolah ia tengah menyesali apa yang terjadi dalam kehidupan kami. "Ini akibatnya kalau kamu manjain istri kampungan ini!" Aku mendongak, menahan air mata yang sudah berdesakan di pelupuk mata ini, berusaha sekuat mungkin untuk tidak membiarkannya jatuh. Sementara suamiku, sedari tadi hanya terdiam. Tatapan kosongnya seolah menembus kedalam diri ini seakan tak peduli dengan apa yang terjadi padaku. "Sia-sia kamu bertahan selama lima tahun dengan perempuan miskin kaya dia!" Suara ibu mertuaku semakin terdengar begitu tajam. Rasanya, ingin sekali aku berteriak, membela diri namun rasanya tak mampu. Kata-kata yang hendak keluar dalam diriku seakan tercekik di kerongkongan. Sakit, rasanya seluruh dunia kini menyalahkan ku. "Kamu tahu sekarang kan Bara, inilah mengapa ibu tak pernah merestui hubungan kalian. Gadis kampungan seperti Vanessa ini hanya akan membawa kesialan dalam keluarga ini, gara-gara dia kamu terpaksa menjual kebun yang mendiang ayahmu berikan. Gara-gara dia, kamu terpaksa ngutang sana-sini untuk membayar biaya operasi sesar. Tapi apa yang dia berikan? Bayi yang kamu impikan selama hampir lima tahun itu malah tiada!" Kata-kata ibu mertuaku itu bagaikan pisau yang mengiris hatiku. Runtuh sudah pertahanku mendengarnya, kini aku terisak, menatapnya sementara suamiku masih setia dengan keterdiamannya. Tak ada pembelaan sekali pun darinya seolah sudah tak ada lagi rasa sayang yang ia tunjukan padaku. Hanya keheningan yang semakin membuatku merasa sendirian di dunia ini. Sakit, sungguh sakit. Tubuhku rasanya begitu lelah. Baru saja sayatan di perutku selesai di jahit, dan aku harus kehilangan bayi mungil yang kami tunggu selama sembilan bulan ini. Aku bahkan tidak di beri kesempatan untuk melihatnya pertama dan terakhir kali. Entah apa yang ada di pikiran keluarga suamiku itu, mereka begitu tega tak memberikanku kesempatan melihat wajah bayi mungil itu. Entah mirip dengan siapa bayi itu, yang jelas dia laki-laki. Ku rasa akan persis seperti mas Bara. Sungguh sangat di sayangkan, aku menyesali semua ini dan kali ini semua yang ada hanyalah kesepian serta perkataan pedas yang terus menghujam jantungku dengan sangat tajamnya. "Sekarang, apa yang harus kamu lakukan? Ibu tidak bisa membantu kamu membayar hutang yang sudah menumpuk itu," lanjut ibu mertuaku, suaranya terdengar sinis. Seolah menambah derita yang aku rasakan. "Bu, ini bukan waktunya untuk membicarakan hal itu" ucapku lirih. "Diam kamu, tak usah melawan kalau ujung-ujungnya kamu tak bisa membantunya. Lagian so manja, pengen bersalin di rumah sakit elit kaya gini!" Aku menggeleng, tubuh yang lemah memaksaku untuk melawan. "Itu bukan keinginanku bu, dokter di klinik tidak sanggup menangani dan terpaksa harus di rujuk" kuusahakan untuk membela diri ini. Tidak. Aku tidak boleh lemah, selama lima tahun ini aku diam saat ibu mertua datang memaki karena pernikahan kami tak direstui keluarganya tetapi kali ini, sungguh aku sudah muak. Aku tak akan diam, biarlah suamiku nanti marah padaku yang terpenting harga diri ini jangan terlalu di injak-injak olehnya. "Halah, kamu hanya mencari-cari alasan. Semua itu karena kamu sendiri yang terlalu lemah! Kalau kamu memang bisa menjaga diri, tak akan terjadi semua ini. Kamu bukan hanya menyia-nyiakan waktu putraku, tapi juga menyusahkan kami semua." ucapnya yang semakin tajam saja perkataannya. Aku menghela napas berat, menahan segala sesak di dada. Air mata yang sedari tadi luruh, ku usap pelan. "Bu," ucapku dengan suara bergetar. "Sudah cukup puaskah? Aku lelah, selama ini ibu datang hanya untuk memaki. Aku sabara, tapi untuk kali ini aku kesabaranku sudah habis bu. Aku sudah kehilangan anakku, aku sudah berjuang, dan aku juga sudah cukup menderita tanpa harus mendengar ini semua lagi." Ibu mertuaku terdiam sejenak, tatapannya masih menyiratkan kebencian yang semakin mendalam. Sementara suamiku masih menyaksikan perdebatan kami dengan keterdiamannya, seolah bingung harus bereaksi seperti apa. Aku memandang suamiku, berharap setidaknya dia bisa melihat aku sebagai istri, sebagai seseorang yang juga butuh dukungan. Tapi tidak ada. Tidak ada apapun di matanya. "Pengorbananmu tidak seberapa, Vaness dibanding putraku yang rela keluar dari zona nyamannya. Padahal, jika bukan dengan kamu dia bisa hidup dengan sukses. Dia bisa hidup di Jepang seperti yang di impikannya, tapi sialnya gara-gara kamu dia rela mengubur mimpinya karena tidak mau berpisah dengan gadis yatim piatu saat itu!" Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang semakin menggenang. Apa lagi yang harus ku katakan? Sementara yang ibu mertuaku bilang itu ada benarnya. Itulah faktanya, aku yang menyebabkan mas Bara tidak jadi ke Jepang untuk mengejar mimpinya gara-gara ia khawatir dengan kehidupanku setelah kedua orangtuaku meninggal waktu itu. Ya, akulah penyebabnya. "Kamu pikir aku akan peduli dengan kesulitanmu? Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk memperbaiki semua ini. Kamu sudah gagal, bahkan tak bisa memberi apa-apa selain masalah." sambungnya tak peduli seberapa besar pesakitan yang ia berikan padaku akibat mulut pedasnya. Aku hanya bisa terdiam, mencoba menahan semuanya agar tidak meledak. "CUKUP!" kami tersentak, saat mas Bara tiba-tiba berdiri dengan bentakan. Suara seketika hening, dan aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadaku. "Bara, kau tidak perlu membentak. Ibu hanya sedang membelamu, sadarlah." ucap ibu mertua berusaha merayunya. Aku menghela napas dalam-dalam berharap suamiku itu sudi membela perempuan lemah ini dihadapan ibunya. "Cukup bu, aku paham. Tapi tolong, jangan sekarang. Aku lelah, aku masih berduka" mas Bara berucap dengan merendahkan suaranya, begitu sopan terhadap ibu yang tega menghina istrinya itu. "Gak, sekarang waktu yang tepat. Pilihan ada di tanganmu, ceraikan dia atau kau akan hidup menderita selamanya?" Aku memandang ibu mertua dengan tak percaya. Sejahat itukah? Padahal dia sama-sama perempuan, apa dia tidak merasakan betapa sakitnya aku sekarang? "Mas," lirihku memegang tangannya dengan gemetar berharap ia tak menuruti apa yang ibunya katakan. "Bara, kau tidak perlu lagi mengasihani dia. Dia sudah cukup membuat kamu menderita selama ini, hutang kamu banyak. Rumah yang sudah susah payah kamu buat dengan keringatmu sendiri bahkan terancam di sita oleh bank. Ibu juga tidak bisa membantu, ekonomi ibu juga lagi sulit. Turuti perkataan ibu, ini perintah!" Suasana semakin tegang setelah ibu mertuaku mengucapkan kalimat itu. Suara yang penuh amarah dan penuh ancaman menggema di ruangan serba putih ini, seolah mengguncang dasar keberadaan ku. Hatiku berdebar kencang, seolah waktunya telah tiba untuk Bara memilih antara aku dan ibunya. Ah apa dia akan menuruti ibunya kali ini atau justru masih setia membersamaiku?setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men
Aku berdiri kaku di sisi ranjang kecil rumah sakit, disana nampak seorang bayi laki-laki tengah menangis begitu kerasnya seolah ia tengah kelaparan.Beberapa perawat dan satu wanita paruh baya berusaha untuk mencoba menenangkannya, beberapa kali bayi yang terbaring itu digendong lalu di letakan kembali berharap tangisnya mereda. Namun sayang, tangisnya malah semakin pecah.Mataku berkaca-kaca, teringat akan anakku yang bahkan belum sempat aku lihat bagaimana rupanya, belum sempat aku sentuh bagaimana hangatnya."Tolong aku Vaness, dia membutuhkan asi. Ibunya sedang koma, entah kapan bangun. Dia bahkan alergi susu formula, yang mahal sekali pun" ujarnya, wajahnya masih datar tak ada ekspresi memohon. Bawaannya selalu saja tenang."Saya sudah membelimu seharga lima ratus juta, maka jadilah ibu susu untuk anak ku!"Aku tertegun. Napasku tercekat.Kalimat itu menikamku seperti sembilu“Saya sudah membelimu… jadilah ibu susu untuk anakku.”Seolah-olah nilai tubuh dan jiwaku ini telah dihit
Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak! Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani. Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku. "Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya. "Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai sa
Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini. Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku. Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu."Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis. Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan s