Sudah satu minggu ini, aku kembali ke rumah setelah peristiwa kehilangan itu. Namun, rumah tangga kami terasa lebih dingin dan berjarak dari sebelumnya.
Bahkan, seminggu ini mas Bara selalu pulang larut malam dari pekerjaannya. Padahal aku tau, kerja di ladang hanya sampai jam lima sore lalu setelah itu kemana dia? Entahlah, mungkin kerumah ibunya. Aku menghela napas dalam, berusaha menguatkan hatiku yang terasa begitu rapuh. Setelah perdebatan di rumah sakit itu, mas bara tak pernah memberikan keputusan siapa yang akan ia pilih namun dari sikapnya sungguh membuatku kecewa. Mungkin sebentar lagi aku akan di buang olehnya. Mataku terus saja menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul satu malam, namun entah mengapa malam ini aku tidak bisa memejamkan mata. Mungkin, tidak ada mas Bara yang memelukku seperti biasanya. Clek. Atensiku beralih saat mendapati mas Bara membuka pintu kamar kami. Ia melangkah dengan gontai mendekatiku, matanya merah serta tubuhnya tercium bau alkohol yang begitu menyengat. "Mas, kamu mabuk?" tanyaku takut-takut saat ia merebahkan dirinya di sampingku. Ia tak menjawab, namun tangannya terulur menarik tubuhku. "Tolong pijat kepalaku," pintanya dingin. Aku menurut, memijatnya secara perlahan meski indra penciumanku begitu tak tahan mencium aroma yang begitu asing ini. "Mas, sejak kapan kamu begini?" tanyaku pelan. "Tidak perlu ikut campur, lakukan saja tugasmu!" jawabnya dengan nada tinggi. Aku menghembuskan napas pasrah. Sejak peristiwa kehilangan bayi yang kami impikan, sikap mas Bara begitu berubah total. Sungguh. "Mas, jangan seperti ini. Aku tau kamu kecewa, aku pun bahkan lebih kecewa. Sedih, marah semuanya campur aduk mas. Tapi aku lebih sedih kalau mas seperti ini," ucapku berusaha meluapkan keresahan yang selama beberapa hari ini ku pendam. Mas Bara terdiam sejenak, kemudian ia mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang kamu tau tentang kesedihan Vanes?" tanyanya dengan suara serak, seolah menahan tangis. "Kamu tak tahu betapa hancurnya aku. Bayi itu merupakan impianku. Kau tak tahu bagaimana rasanya kehilangan harapan yang sudah aku nanti begitu lama!" Aku terdiam, rasanya hatiku kembali teriris mendengar pernyataannya. Bahkan, aku pun begitu. Apa dia tak pernah melihatku terluka? Selama ini bahkan hampir setiap malam aku menangis ketika asi-ku keluar dengan derasnya padahal sudah ku mintai obat untuk menghentikannya tetapi tetap saja, obat itu tidak bereaksi sama sekali. "Mas, aku pun juga kehilangan," ucapku pelan, mencoba menahan tangis. "Aku juga merasa hancur. Tapi bukan ini caranya, mas. Jangan menghukum dirimu seperti ini." Mas Bara bangkit dari pembaringan, duduk menghadapku dengan wajah merah padamnya menahan emosi."Kamu pikir aku bisa mendengarkan itu semua sekarang? Semua ini salahmu. Kalau kamu lebih kuat, kita tidak akan sampai seperti ini. Lagian ngapain so soan pergi ke ladang buat antar makan siang, padahal sudah aku katakan sekarang musim hujan. Licin, kamu di rumah saja!" Aku menelan saliva dengan susah payah mendengar perkataan mas Bara membuat dadaku begitu sesak. Rasanya seperti ditusuk begitu dalam, aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Aku hanya bisa menatapnya dengan hati yang penuh luka. "Jika saja sifat keras kepalamu itu sedikit saja berkurang, kita tidak akan kehilanhan anak yang kita impikan sejak dulu. Lima tahun Vanes, lima tahun kita menunggu" ujarnya menggebu-gebu. Tangannya terangkat menunjukan lima jari dihadapanku. "Maaf mas, aku-" suaraku tercekat tak mampu melanjutkan perkataanku. Mas Bara mendekat, tangannya mencengkram wajahku. "Kamu tau Vanes, aku bukan hanya kehilangan bayi kita tapi juga kepercayaan keluargaku. Harta yang aku miliki dan bahkan satu minggu lagi rumah hasil jerih payahku semasa muda ini akan di sita gara-gara membiayai operasi sesarmu!" Sejenak ku pejamkan mata, berusaha untuk menikmati setiap perih di pipi akibat cengkraman kuat suamiku. "Mas ... Tolong lepaskan," lirihku. Mas Bara menggeleng, "ini belum seberapa Vanes. Sakitku bahkan lebih dari ini" gumamnya. "Aku tau mas, tapi kita disini sama-sama hancur. Aku juga tidak meminta semua ini terjadi. Aku juga merasa bersalah, tapi... tolong jangan salahkan aku atas semua ini, mas." Pintaku dengan lirih. Mas Bara tak langsung menjawab, ia melepaskan cengkaraman tangannya diwajahku dengan begitu kasar. Kemudia menarik piyamaku, hingga kancingnya terlepas. "Mas apa yang kamu lakukan?" tanyaku penuh ketakutan. Ia terdiam, kini air matanya lolos membasahi pipi. "Jahitan ini bahkan tak seberapa dibanding rasa sakitku!" Kembali mas Bara berucap dengan menekan jahitan panjang di perutku bekas operasi sesar. Aku meringis menahan nyeri. "Kalau saja kamu bisa lebih mengerti..." bisikku, nyaris tak terdengar. "Kita sama-sama terluka, mas." Mas Bara menjauhkan tangannya dari perutku, kemudian ia mengacak rambutnya prustasi. "kau tidak mengerti Vanes." ucapnya dengan nada dingin, penuh kebencian yang sulit untuk dibendung. "Kamu tak tahu betapa sulitnya ini. Dan kamu hanya bisa menangis tanpa mau membantuku keluar dari jurang penderitaan ini!" "Apa yang harus aku bantu mas? Aku bahkan belum pulih, untuk bekerja pun siapa yang mau menerimaku? Ibumu benar, aku gadis kampungan yang tidak punya keahlian selain menyusahkanmu" "Ya, ibuku benar. Sangat benar, kamu hanya pembawa masalah untukku dan aku baru menyadarinya sekarang!" Mataku terbelalak, tak menyangka denga apa yang mas Bara katakan. Hatiku hancur berkeping-keping, tubuhku lelah dan mataku menatap kosong kearah pria yang kini tengah menatapku tajam, sungguh begitu jauh dari dari yang kukenal. Rasanya, aku tidak mengenal pria yang berdiri di depanku ini. Sosok yang dulu penuh cinta, yang pernah menjadi teman hidup dan harapan, kini berubah menjadi sosok yang penuh kebencian dan amarah. Air mata mulai mengalir begitu saja tanpa bisa kutahan. "Mas, aku minta maaf. Aku-" "Maaf saja tidak cukup," ujarnya dingin. "Lalu, aku harus apa mas? Mengembalikan anak kita? Sungguh itu tidak mungkin, mas. Jangan seperti ini, aku mohon. Aku sangat mencintaimu mas, tolong maafkan aku," pintaku lirih. Mas Bara terdiam sejenak. Kedua tangannya meremas rambutnya frustasi. "Ternyata cinta saja tidak cukup Vanes. Aku sudah lelah, aku menyerah" ujarnya serak. Aku menggelengkan kepala diiringi tangis. Tubuhku yang semula terdiam kaku kini bergerak, memeluknya erat. "Jangan seperti ini Mas,Aku tidak bisa tanpa kamu, Mas. Aku tahu aku banyak salah, aku tahu aku punya banyak kekurangan, tapi aku juga berjuang, Mas. Aku berjuang untuk kita, untuk keluarga kita. Aku mohon, jangan biarkan ini hancur begitu saja." ucapku begitu panik, takut akan kehilangannya. "Cukup Vanes, jangan membuatku semakin sulit untuk melepaskanmu!" bentaknya melepaskan pelukanku. Aku tersentak, tak percaya dengan apa yang terjadi. "Kau hanya benalu bagiku!" ucapnya. Aku semakin terisak. "Lalu, apa yang harus aku lakukan agar tidak lagi menjadi benalu di hidupmu?" tanyaku gemetar. "Mari kita bercerai saja," ajaknya jelas aku menolaknya mentah-mentah. "Mas, aku mohon. Aku bisa melakukan apa pun asalkan jangan bercerai" pintaku. Ia menggeleng. "Hidup kita akan semakin menderita kalau pernikahan ini dipertahankan" "Siapa yang bilang mas? Ibu kamu? Besok pagi aku akan menemuinya, aku akan meminta agar dia tidak lagi ikut campur dengan rumah tangga kita mas" kesalku. "Tidak perlu, aku memilih ibuku. Kau pergi saja," Aku menjerit, tak terima dengan keputusannya. "Jangan mas, aku gak punya siapa-siapa. Aku gak tau harus bagaimana, kau harus tetap memilihku" pintaku meronta-ronta. "Besok malam, temui ibuku. Biar dia yang memberi keputusan. Aku tidak ingin, kembali menjadi anak durhaka!" Mas Bara menatapku lama, lalu menurunkan pandangannya ke arah lain. Tiba-tiba, ia berdiri dan berjalan menuju pintu, meninggalkan aku yang terdiam di tempat. Aku ingin berlari mengejarnya, namun tubuhku terasa kaku. Aku tahu, meskipun aku ingin memperbaiki semuanya, tak semua hal bisa dipaksakan. Beberapa luka terlalu dalam untuk disembuhkan dengan cepat. Sungguh, aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya.Aku menatapnya dengan wajah sulit dipercaya, suaraku tercekat di tenggorokan.“Ya,” jawab Raka singkat, suaranya tegas dan dingin. “Mulai hari ini kamu tinggal di sini. Bersama saya. Bersama Sadewa.”Deg. Jantungku berdentum keras.“Tidak mungkin… Raka, ini—ini gila!” aku mundur selangkah, tubuhku bergetar hebat. “Aku nggak bisa begitu saja tinggal di rumah asing, di bawah aturanmu. Aku masih punya hidupku sendiri!”Raka mendekat, langkahnya berat, setiap detik membuatku kian terpojok. Bayi Sadewa yang terlelap di gendongannya tampak damai, seolah tak terganggu oleh badai yang tengah menghantamku.“Kamu pikir kamu masih punya pilihan, Vanes?” suaranya merendah, tapi justru terdengar lebih mengancam. “Dengar baik-baik. Di luar sana, Bara dan ibu mertuamu masih mencarimu. Satu langkah saja kamu pergi tanpa saya, hidupmu habis. Dan Sadewa…,” matanya menunduk menatap bayi itu, sorotnya meredup sejenak, “Nyawanya terancam, dia butuh asi kamu. Mengertilah.”Aku menggigit bibir bawahku pelan
"Kita mau kemana?" Aku bertanya lirih saat sedini hari ini tiba-tiba saja Raka menyeretku kedalam mobilnya bersamaan dengan bayi Sadewo digendongannya. Raka tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus ke jalanan yang masih sepi, hanya lampu-lampu jalan yang menjadi saksi perjalanan kami. Satu tangannya memegang setir erat, sementara tangan lain tak pernah lepas mengusap lembut punggung kecil Sadewo yang tertidur pulas dalam gendongannya."Aku tanya sekali lagi, kita mau kemana?" tanyaku dengan tegas. Sontak Raka menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada jalanan. Aku berdesis, kesal. "Apa kau tuli?"Cittt…Mobil berhenti mendadak hingga tubuhku terdorong ke depan, untung saja sabuk pengaman menahanku. Sadewo menggeliat kecil di pelukan Raka, hampir terbangun, tapi kemudian kembali tenang setelah digoyang lembut oleh dekapan ayahnya.“Gila, kamu!” Aku menatapnya dengan mata melebar, napasku terengah. “Kau mau bunuh kita semua, hah?”Kedua mata Raka memejam sejenak, kemudian ia m
Aku masih duduk terpaku di sofa, dengan dada yang rasanya naik-turun tak beraturan. Kalimat terakhir Raka terus berdengung di telingaku. “Kalau aku harus memohon, aku akan memohon.”Tanganku meremas kain baju sendiri, mencoba mencari pegangan. Bagaimana bisa Raka yang aku kenal dengan begitu baik kini menjelma menjadi seseorang yang akan membuatku menderita?Derit pintu ruangan di ujung lorong terbuka perlahan. Nampak Irma masuk dengan wajah yang cemas, bayi Sadewa masih dalam gendongannya. Tangis kecilnya terdengar, lirih tapi menusuk sampai ke ulu hati.Aku menelan ludah. Bayi itu… seolah memanggilku.Raka berdiri di sisi pintu, memberi isyarat halus padaku. Tidak ada kata, tidak ada paksaan—hanya tatapan penuh harap. Tapi justru tatapan itulah yang membuat kakiku gemetar.Aku tahu… begitu aku mendekat dan menyentuhkan Sadewa ke tubuhku, aku sedang menyerahkan satu bagian dari diriku. Dan dari sana, semuanya bisa berubah."Cepatlah Vaness, kau dibeli hanya untuk itu!" geram Raka ket
setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men