Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”
Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.
Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu.
Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.
Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati.
"Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak meninggalkanku.
Sial. Pria macam apa dia?
Aku mendengus pelan, menatap punggung tegapnya yang menjauh begitu saja tanpa menoleh.
Raka tetaplah Raka, pria yang ku kenal sepuluh tahun lalu. Tetap dengan sikapnya yang dingin.
Namun, ada satu hal yang berbeda. Dulu, tatapannya masih menyimpan kehangatan meski ia jarang bicara. Kini… matanya seolah tembok baja, dingin dan rapat, tak menyisakan celah sedikit pun untuk kutembus.
Aku meraih perutku yang masih perih, mencoba berdiri dengan susah payah. Rasa sakit itu justru membuatku semakin sadar betapa rapuhnya aku di hadapannya. Dan betapa ia, meski tak lagi sama, tetap menjadi satu-satunya orang yang bisa kulihat sebagai tempat berlindung. Ironis sekali.
“Vanessa.” Suaranya terdengar lagi, mengejutkanku. Aku tak sadar ia rupanya berhenti di ambang pintu.
Aku buru-buru menyembunyikan kegugupan dengan berpura-pura sibuk merapikan bajuku yang sempat tersingkap. "Apa?" tanyaku ketus.
"Kau jangan coba-coba untuk kabur dariku, sadewa butuh kamu untuk waktu yang cukup lama dan satu lagi, Bara masih mengincar kamu jadi bertahanlah di sisi saya. Saya akan melindungi kamu"
Wajahku menegang seketika. Kata-katanya bukan lagi perintah dingin seorang dokter pada pasien, tapi seperti garis peringatan yang tak bisa ditawar.
Aku menatap punggungnya yang setengah berbalik. Aura tegas itu menempel padanya, membuatku ingin menantang, tapi sekaligus gemetar dalam hati.
“Melindungi?” gumamku lirih, hampir tak terdengar. Bibirku menekuk pahit. “Melindungi sambil mengikatku seperti tawanan, begitu?”
Raka menoleh sedikit. Tatapannya menancap tajam, tapi di balik dinginnya aku melihat sesuatu yang berbeda. Ada keresahan, samar, yang ia sembunyikan di balik ketegasan.
“Kalau itu satu-satunya cara menjaga nyawa anakku, ya.” Jawabannya lugas, tanpa basa-basi.
Aku terdiam. Bibirku kering, seolah tak mampu lagi melawan logika kejam yang ia lontarkan. Nyawa anaknya. Itu saja alasan yang membuatku terikat padanya. Bukan karena aku, bukan karena hatinya, apalagi karena peduli pada luka-lukaku.
Raka benar-benar berubah. Ia sama saja seperti Bara, kejam.
Ia melangkah keluar meninggalkanku, menutup pintu tanpa suara. Tapi gema ucapannya terus berputar di kepalaku, lebih menyakitkan dari perih di perutku. Aku merasa terjebak, seperti burung yang dipaksa masuk sangkar dengan alasan keselamatan.
Tangisku akhirnya pecah begitu saja. Bukan tangis keras, hanya isakan lirih yang tercekat di tenggorokan. Aku benci terlihat lemah, tapi malam itu aku kalah. Kalah dari suamiku, ibu mertuaku dan saat ini aku kalah dari mantan pacarku.
Ya tuhan, kenapa nasibku seperti ini?
"Vaness," Sebuah suara wanita paruh baya membuatku tersentak. Aku buru-buru mengusap air mata dengan punggung tanganku.
"Sadewa kembali menangis, mungkin dia lapar. Bisakah kamu menyusuinya lagi?"
Aku terdiam sejenak, menahan napas. Air mataku masih hangat di pipi, tapi aku cepat-cepat menyekanya agar tidak ketahuan.
Wanita itu, adiknya Raka. Namanya Irma, teman SMA ku dulu. Ia berdiri di ambang pintu sambil menggendong Sadewa. Bayi mungil itu meringis, matanya merah karena tangis yang tak kunjung reda.
Aku ternganga sesaat melihat wajah Irma. Bertahun-tahun tidak bertemu, dan kini ia hadir di hadapanku dengan bayi mungil dalam gendongannya. Kenangan masa SMA kami berkelebat singkat, tawa, rahasia, dan kisah remaja yang dulu terasa begitu ringan. Namun semua itu runtuh begitu saja saat realita kembali menamparku.
“Irma…” panggilku lirih, lebih sebagai gumaman ketimbang sapaan.
Ia tersenyum tipis, lelah tapi hangat. “Kau masih sama seperti dulu, Vaness. Selalu menangis diam-diam.” Tatapannya sekilas menyapu wajahku, lalu berhenti di pipi yang masih basah. Aku buru-buru menunduk, malu.
"Biar aku…” Aku segera meraih Sadewa dari lengannya dengan hati-hati. Bayi itu langsung menempel erat padaku, mencari sumber kenyamanan yang hanya bisa ia kenali, yaitu tubuhku.
Tangisnya perlahan mereda saat aku menyusukannya. Di dalam kamar yang
pengap oleh rasa sakit dan kenangan pahit, hanya suara isapan kecil itu yang terdengar. Entah kenapa, detik itu aku merasa… hidup kembali.
Sementara itu Irma duduk di kursi dekat ranjang, menatapku tanpa berkata apa-apa. Ada banyak tanya di matanya, tapi ia memilih diam.
"Apa kabar?" Aku memulai percakapan ketika kecanggungan begitu pengap menghiasi ruang kamar rawat ini.
Irma mendongak, lalu tersenyum tipis. Tipis sekali. "Seperti yang kau lihat, aku dan abang baik-baik saja" jawabnya.
Aku mengangguk. "Maaf," lirihku.
“Maaf?” Irma mengerutkan keningnya. “Untuk apa kau minta maaf, Vaness?”
Aku menunduk, rasa bersalah semakin menghantuiku. "Aku dulu menghianati abangmu. Mungkin ini karma untukku yang sudah mengkhianati Raka, aku benar-benar menyesal Irm,"
Irma terdiam lama. Matanya menatapku lekat, seakan ingin menembus setiap lapisan hatiku. Aku menunduk makin dalam, takut menghadapi tatapan itu.
“Apa menurutmu,” Irma akhirnya bersuara lirih, “Abang masih menyimpan luka dari pengkhianatanmu?”
Dadaku sesak. “Bukankah jelas? Lihat saja caranya memperlakukanku. Dingin. Seperti aku bukan siapa-siapa lagi. Bukan Vaness yang dulu pernah dia cintai…” Suaraku tercekat, bibirku bergetar. “Mungkin ini balasannya. Aku pernah meninggalkan dia, sekarang giliran aku yang ditinggalkan oleh pria yang aku cintai. Bukan, aku bukan ditinggalkan tapi lebih tepatnya aku dijual pada hidung pria belang demi selembaran uang yang tak seberapa."
Irma tersenyum kecut. "Tapi abangku baik kan? Ia masih menyelamatkan mu tadi?"
Aku tercekat mendengar kalimatnya. "Tapi dia memaksaku untuk,"
"Vanes, dia begitu karena luka dihatinya belum pulih. Itu mungkin sebagai bentuk balas dendam dia padamu, tapi selama dia tidak menyakitimu secara fisik kenapa tidak?"
Suasana di kamar itu mendadak jadi lebih berat. Ucapan Irma menggantung di udara, seolah menamparku dengan kenyataan yang selama ini aku coba abaikan.
Aku terdiam. Menatap wajah Sadewa yang kini sudah tenang dalam pelukanku, bibir mungilnya masih menempel di tubuhku. Bayi itu polos, tak tahu betapa rumit dan kacau keadaan orang dewasa di sekelilingnya.
"Luka yang belum pulih?"
ulangku, suaraku hampir berbisik. “Sudah sepuluh tahun, Irm. Seharusnya luka itu sudah hilang, kan?”
Irma menggeleng pelan. “Luka di hati itu beda dengan luka di tubuh, Vanes. Kadang bekasnya tetap ada, bahkan kalaupun sudah kering. Dan abangku… dia bukan tipe yang mudah melupakan. Apa pun yang menyakitinya, dia simpan rapat-rapat, sampai akhirnya jadi dingin seperti sekarang.”
"Tapi Ir, seharusnya-"
dia bisa memilih untuk memaafkan, kan?” suaraku pecah di ujung kalimat. Aku menggigit bibir bawahku, menahan perasaan yang kembali meledak. “Aku tahu aku salah… aku tahu aku hancurkan hatinya. Tapi aku tidak bisa menjadi ibu susu anaknya, lagi pula bayi ini masih punya ibukan?"
Irma tertawa menyepelekan. "Kau kaya tidak tau saja abangku Nes, dia orangnya keras. Dia tidak mudah memaafkan, dan dia bilang kau sudah dia beli dengan harga mahal jadi kau sudah menjadi budaknya. Maka nikmatilah, ini baru awal"
Suasana di kamar itu mendadak membeku. Aku menatap Irma, tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. “Budaknya? Apa maksudmu?” suaraku bergetar, campuran antara marah dan takut.
Irma tersenyum tipis, namun matanya tetap dingin. “Aku hanya mengatakan apa yang abangku maksud. Baginya, kau sekarang terikat padanya, Nes. Dan harga yang ia bayar… bukan cuma uang, tapi seluruh kepercayaan dan keselamatan bayi itu.”
Aku menelan ludah. Jantungku berdegup kencang, dada sesak seperti tertekan benda berat. “Jadi… aku harus menerima ini? Menjadi… budak susu anaknya? Seumur hidup?”
Irma menggeleng, menepuk bahuku perlahan. “Bukan selamanya, Vanes. Tapi untuk saat ini… ya, itu satu-satunya cara ia merasa aman. Jangan salahkan dia terlalu keras. Ia terluka, dan luka itu membuatnya begitu."
"Aku tidak mau Irma, tolong aku" mohonku padanya.
Irma menggeleng. "Maaf, gak bisa. Aku ada dipihak abangku, meski kamu teman baikku dulu"
Aku menunduk, rasa putus asa menekan dada seperti ada ribuan batu besar yang menindih ulu hatiku. Sungguh, hanya karena luka yang belum pulih. Raka sedendam itu padaku?
Ya tuhan ... Ini mah keluar kandang singa, masuk ke kandang buaya.
setelah memberikan Sadewa pada Raka, aku tak menunggu keduanya berbicara justru aku buru-buru untuk meninggalkan tempat yang rasanya begitu sesak. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menarik-narik pundakku, memaksaku untuk menjauh sebelum aku benar-benar runtuh.Tapi sebelum langkahku benar-benar menjauh, tiba-tiba saja tangan Raka mencengkram lenganku dan sontak membuatku menoleh kearahnya. "mau kemana? kau mau berusaha kabur dariku?" Tanyanya tanpa ekspresi. aku menelan saliva susah payah, bingung hendak menjawab apa. Raka benar-benar tau apa yang akan aku lakukan sekarang. "Sudah saya katakan Vanes, kau sudah menjadi milik saya dan saya mau kau menjadi ibu susu untuk putra semata wayangku, Sadewa!"Aku terdiam. Kalimat Raka barusan seperti petir yang menyambar tepat di ubun-ubun. "Menjadi milik saya"? "Ibu susu"? Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dia klaim sesuka hati?Napas terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena marah yang coba kutahan agar tidak t
"Bang, apakah keputusan yang abang ambil ini sudah tepat?" Irma bertanya dengan nada keheranan ketika ia menemui Raka diruang kerjanya setelah meninggalkan sang keponakan bersama dengan Amara, perempuan yang abangnya pungut dari club malam. "Jangan bertanya itu sekarang dek, abang lagi pusing" jawabnya Raka dengan kesal. Mendengar hal itu membuat Irma mendengus kesal, segera ia memilih duduk disamping sang kakak yanh kini tengah memijat pelan kedua pelipisnya. "Bang, jangan karena pusing abang jadi nggak mau mikirin logika," ucap Irma, nada suaranya tegas. "Ini menyangkut keponakanku, masa depan anak sekecil itu. Apa abang nggak takut salah langkah?" Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. "Irma, abang tahu kamu sayang sama keponakanmu. Abang juga. Justru karena itulah abang ambil keputusan ini. Abang gak mau anak abang itu mati kelaparan, kamu tau sendirikan dek sudah berapa banyak merek susu formula yang abang coba kasih ke dia, tapi tidak ada satu pun yang coc
Aku membeku. Ucapannya menusuk seperti pisau tajam yang diputar perlahan di ulu hati. “Saya hanya memintamu sebagai ibu susunya, bukan untuk menjadi teman tidurku.”Ya Tuhan… kenapa hatiku justru terasa lebih sakit dengan kalimat itu? Seolah aku memang tidak pantas lagi dicintai, hanya cukup dipakai seperlunya, lalu disisihkan ketika sudah tak dibutuhkan.Tunggu dulu, ini baru permulaan. Aku harus kuat, setidaknya hari ini aku selamat dari pria hidung belang di tempat terkutuk itu. Aku menghembuskan nafas dalam, menatap kedua tanganku yang bergetar di atas pangkuan.“Baiklah,” jawabku lirih, suaraku nyaris tenggelam. “Kalau itu yang kau mau.”Raka tak merespons. Ia hanya kembali merapikan perban di perutku dengan gerakan dingin, rapi, presisi seperti seorang dokter yang tengah mengobati pasien tanpa melibatkan hati."Selesai ..." Aku terperanjat kaget saat Raka berdiri dengan menepuk-nepukan kedua tangannya tanda ia sudah selesai mengobatiku. Kemudian tanpa berpamitan ia beranjak men
Aku berdiri kaku di sisi ranjang kecil rumah sakit, disana nampak seorang bayi laki-laki tengah menangis begitu kerasnya seolah ia tengah kelaparan.Beberapa perawat dan satu wanita paruh baya berusaha untuk mencoba menenangkannya, beberapa kali bayi yang terbaring itu digendong lalu di letakan kembali berharap tangisnya mereda. Namun sayang, tangisnya malah semakin pecah.Mataku berkaca-kaca, teringat akan anakku yang bahkan belum sempat aku lihat bagaimana rupanya, belum sempat aku sentuh bagaimana hangatnya."Tolong aku Vaness, dia membutuhkan asi. Ibunya sedang koma, entah kapan bangun. Dia bahkan alergi susu formula, yang mahal sekali pun" ujarnya, wajahnya masih datar tak ada ekspresi memohon. Bawaannya selalu saja tenang."Saya sudah membelimu seharga lima ratus juta, maka jadilah ibu susu untuk anak ku!"Aku tertegun. Napasku tercekat.Kalimat itu menikamku seperti sembilu“Saya sudah membelimu… jadilah ibu susu untuk anakku.”Seolah-olah nilai tubuh dan jiwaku ini telah dihit
Aku pikir, saat aku terbangun penderitaanku telah usai. Nyatanya tidak! Bahkan sekarang aku sudah berada ditengah-tengah para manusia jahat yang tak punya hati nurani. Tubuhku menggigil, telingaku pengang mataku tak jelas melihat ketika cahaya remang-remang serta dentuman musik menggema di gedung yang ku tempati. Aroma alkohol menusuk hidung, suara tawa lelaki mabuk bersahutan, dan perempuan-perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang, seolah ini adalah neraka yang dipoles kemewahan.Aku mencoba untuk duduk dengan tagap, lalu ku menyadari saat menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut gaun tipis yang baru dan sepatu hak tinggi yang bahkan bukan milikku. "Sudah bangun rupanya," suara itu dingin, mencibir, dan sangat menjijikkan muncul dari seorang pria yang pernah ku cintai bahkan sangat ku cintai. Bukan pernah, tapi masih tapi tidak. Mulai hari ini aku akan menghapus rasa ini untuknya. "Lepaskan aku mas, kalau kamu tidak ingin mempertahankan rumah tangga kita. Ayo, kita bercerai sa
Takdir seolah tengah bercanda padaku. Kejam sekali! Apa masih kurang? Selama lima tahun ini hidupku tak pernah menemukan bahagia yang sebenarnya, aku seperti terjebak dalam kepedihan selama ini. Ibu mertua yang kuharap menyayangiku seperti ibu kandung sendiri nyatanya bak seperti ibu tiri yang kejam selama ini. Dari awal ibu mertua dan keluarga suamiku yang lain memang tak pernah menyetujui pernikahanku dengan alasan aku seorang yatim piatu yang sangat miskin dan tak berpendidikan. Tapi aku tak pernah menyangka kalau mereka akan sekejam itu padaku, selama ini aku hanya berlidung dipunggung suamiku. Dan, malam ini aku sungguh menyesal mengapa menemuinya. Air mataku tak berhenti melesak jatuh saat ibu mertuaku menyeret tubuh ini kesebuah tempat hiburan yang tak pernah sekali pun kami kunjungi. Ia membawaku memasuki lift menuju lantai enam, entah tempat apa itu."Ibu, ini maksudnya apa? Mengapa kita kesini?" tanyaku disela isak tangis. Ibu mertuaku berdecak, mencekal lenganku dengan s