Share

Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!
Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!
Penulis: Rachma

Bab 1 Seperti Pembantu

Bab 1

"Ibu! Ibu, sengaja merusak bajuku ini ya! " Aku yang baru menginjakkan kaki di teras rumah, terkejut mendengar suara bentakan dari Mbak Sinta, kakak iparku.

Tanpa mengucapkan salam aku langsung melangkah cepat memasuki rumah. Setelah berada didalam rumah aku mencari asal suara tadi. Sepertinya dari arah dapur.

Benar dugaanku di dapur aku melihat ibuku sedang tertunduk, dan didepannya terlihat Mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang, dengan mata melotot melihat kearah ibuku.

"Jawab, Bu! Ibu memang sengaja kan! " bentak Mbak Sinta lagi. Ibuku hanya diam diperlakukan seperti itu.

Aku yang tak terima ibuku di perlakukan seperti itu, langsung melangkah cepat menghampiri ibuku.

"Ini ada apa, Mbak! Mbak Sinta kenapa membentak Ibuku seperti itu! " tanyaku dengan penuh amarah. Siapa yang tidak akan marah kalau ibunya diperlakukan seperti itu.

"Bagus, Anak manja sudah pulang! Bilangin tuh sama Ibu kamu, kalau ngerjain sesuatu itu yang benar, bukan seenaknya sendiri, " ucap Mbak Sinta dengan ketus.

"Emangnya kenapa, Mbak? Apa yang Ibuku lakukan?" tanyaku penuh penekanan.

"Tanya aja sama Ibumu itu, " sahut Mbak Sinta sambil menatap sinis ibuku.

"Ini ada apa, Bu? " tanyaku lembut pada seseorang yang telah melahirkanku ini.

"Ma-maafkan I-Ibu, Nak. I-Ibu ng-nggak sengaja membuat ba-baju Mbak mu lu-luntur, " ucap ibuku tergagap, seperti ketakutan. Dan itu membuat hatiku merasa sakit, karena belum bisa melindunginya.

"Apa! Ibu bilang nggak sengaja? " bentak Mbak Sinta lagi.

"I-iya, Ibu nggak sengaja, " jawab ibuku lirih.

"Jangan mengelak, Bu! Ibu itu memang sengaja mau ngerusak bajuku ini, kan! Ini tuh baju kesayanganku, Bu! Harganya mahal! " tuduh Mbak Sinta sambil menunjuk Ibu dengan telunjuknya.

"Mbak Sinta! " bentakku pada Mbak Sinta. Aku menurunkan telunjuk Mbak Sinta dengar kasar. Rasanya aku ingin mematahkan telunjuk itu, yang beraninya digunakan untuk menunjuk ibuku. "Mbak Sinta sudah mendengar sendiri, kalau Ibuku nggak sengaja melakukannya, kan? Lagi pula, kenapa bisa baju Mbak Sinta dicuci sama Ibuku! "

Wajah Mbak Sinta memerah, sepertinya dia kesal aku menanyakan itu.

"Ya, karena aku sedang sibuk mengurus Sindi. Jadi aku minta Ibu mencuci bajuku. Kenapa? Ada masalah? " tanya Mbak Sinta dengan mudahnya.

"Mbak Sinta pikir Ibu itu pembantu di rumah ini. Ibu itu pemilik rumah ini! Mbak Sinta itu yang menumpang dirumah ini. Jadi perlu Mbak camkan, kalau Ibuku bukan pembantumu, Mbak! " ucapku dengan tegas.

Ibuku memegang pundakku, dan menyuruhku untuk diam. "Sudah, Nak. Jangan begitu sama Kakak iparmu, Ibu juga yang salah karena tak hati-hati, sehingga baju Sinta jadi luntur. "

"Kamu dengar itu Anak manja! Jadi aku nggak mau tau Ibu harus ganti rugi karena itu baju mahal! " bentak Mbak Sinta seraya melemparkan baju yang berada di tangannya ke muka ibuku. Lalu setelah itu melenggang pergi seenaknya.

"Mbak Sinta! " teriakku, tetapi Mbak Sinta tetap melangkah dan mengabaikan panggilanku.

"Sudah, Nak. Ibu nggak apa-apa, " ucap ibuku sambil mengusap pundakku.

"Ibu. Mbak Sinta itu sudah keterlaluan, Bu. Kenapa Ibu selalu begini, mengalah, mengalah dan selalu mengalah. Kenapa, Bu? " tanyaku sambil menatap mata ibuku.

"Sudah, Nak. Ibu nggak apa-apa, " jawab ibuku. Tetapi aku melihat ada raut kesedihan dimata ibuku.

Tak tahan melihat itu aku berlari menuju kamarku, dan segera menelungkupkan wajahku kebantal. Pasti wajahku sudah penuh dengan deraian air mata yang membasahi pipiku. Aku sakit hati, aku tak terima kalau ibuku diperlakukan seperti itu. Tapi aku juga kecewa dengan ibuku yang selalu mengalah pada menantunya itu.

Sudah hampir tiga tahun ibuku selalu diperlakukan seperti itu. Sejak Bapakku meninggal saat aku masih mengenyam bangku SMP. Dan sekarang aku sudah mau lulus SMA, tinggal menunggu pengumuman.

Mbak Sinta adalah istri dari Mas Dika, kakak kandungku. Mereka menikah sudah hampir enam tahun ini. Dan sekarang mereka sudah dikarunia dua orang anak, Bian dan Sindi. Bian sudah berumur lima tahun kurang sedikit. Sedangkan Sindi dia baru beberapa bulan lahir.

Awal pernikahan mereka, semua baik-baik saja. Karena tiga tahun pertama Mbak Sinta dan Mas Dika bertempat tinggal di rumah orang tua Mbak Sinta.

Tetapi semenjak bapakku meninggal, ibuku meminta Mas Dika untuk tinggal bersama kami. Dan sejak itulah Mbak Sinta mulai semena-mena pada ibuku.

Apalagi sejak kelahiran Sindi, ibuku seperti dijadikan pembantu oleh Mbak Sinta. Pernah suatu ketika saat aku pulang dari sekolah, sekitar jam sepuluhan. Masih pagi, karena aku sedang melaksanakan Ujian nasional. Aku melihat ibuku menyapu rumah, mungkin hal yang wajar, tetapi yang aku heran Mbak Sinta dengan nyamannya duduk di sofa sambil memangku Sindi, dan memakan kuaci yang kulitnya dibuang ke lantai dengan sembarangan. Aku saat itu belum berani membentak Mbak Sinta.

Aku segera meletakkan tasku ke kamar, dan melepas sepatuku. Kemudian aku menghampiri ibuku dan mengambil alih sapu itu dari tangan ibuku. Awalnya ibu menolak aku bantu, dengan alasan kasihan karena aku baru saja pulang sekolah. Tetapi setelah aku yakinkan akhirnya ibuku mau.

"Mbak, kalau makan kuaci kulitnya dikumpulin dong. Jangan di buang sembarangan begini, " ucapku, ketika menyapu didekat Mbak Sinta.

"Terserah aku lah. Kan ada kamu yang beresin, " sahut Mbak Sinta enteng.

"Enak banget. Mbak yang makan kuaci aku yang suruh bersihin kulitnya, "ucapku mencoba sabar.

"Kan aku sedang sibuk ngurusin Sindi, jadi nggak ada waktu untuk bersih-bersih, "tungkas Mbak Sinta masih terus memakan kuacinya.

"Itu Sindi kan sudah tidur, Mbak. Mbok ya ditidurin di kamar saja, jadi Mbak bisa bantu-bantu Ibu bersih-bersih, " ucapku sambil melongok Sindi yang sudah tidur dipangkuan Mbak Sinta.

"Nggak, ah. Aku juga ngantuk, karena capek ngurusin Sindi. Aku juga mau tidur aja, " ucap Mbak Sinta sambil beranjak dari duduknya dan melenggang menuju kamarnya.

***

Siang harinya setelah capek menangis, dan merasakan perutku sudah keroncongan. Aku bangun dari berbaring ku, dan menuju toilet untuk mencuci mukaku. Saat aku melewati dapur ingin ke toilet, aku melihat ibuku yang sedang memasak. Dimanakah istri kesayangan Mas Dika itu? Kok ibu masak sendiri?

Segera aku masuk ke toilet dan membersihkan wajahku dan sekalian mengambil air wudhu.

"Bu, gorengin Bian telur! Sama aku pingin makan ayam goreng, jadi goreng ayam sekalian ya! " Suara Mbak Sinta terdengar sampai ke dalam toilet.

Aku yang mendengarnya mengepalkan tanganku, menahan emosi. 'Astagfirullah, Mbak Sinta. Kamu itu keterlaluan! '

geramku dalan hati.

Aku segera keluar dari toilet, tetapi terlihat Mbak Sinta yang sudah melenggang pergi dari dapur menuju kamarnya.

"Ibu ..., kenapa Ibu diam saja, diperlakukan Mbak Sinta kayak gitu? " ucapku lesu.

"Sudahlah, Nak. Nggak apa-apa. Kamu pasti lapar ya, ayo makan. Ibu udah masakin tahu balado kesukaanmu. " Mendengar jawaban ibuku, perutku makin keroncongan. Tetapi aku masih kesal pada ibuku, yang tak melawan ketertidasan Mbak Sinta itu.

"Bu ..., Mbak Sinta itu juga punya tangan dan kaki. Masak cuma goreng telur sama ayam aja harus perintah Ibu, sih? " tanyaku mencoba lebih tenang. Tapi dalam hatiku aku mengucapkan istigfar agar tak terpancing emosi.

"Ibu, nggak apa-apa, Nak. Mungkin Mbakmu sedang capek karena mengurus Sindi dan Bian," ucap ibuku sembari mengambil telur dan ayam ungkep dikulkas.

"Teruuusss ..., aja itu alasannya. Sampai bosen aku, Bu. Kenapa Ibu nggak ngusir Mbak Sinta aja sih, Bu. "

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status