Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Bab 1"Ibu! Ibu, sengaja merusak bajuku ini ya! " Aku yang baru menginjakkan kaki di teras rumah, terkejut mendengar suara bentakan dari Mbak Sinta, kakak iparku. Tanpa mengucapkan salam aku langsung melangkah cepat memasuki rumah. Setelah berada didalam rumah aku mencari asal suara tadi. Sepertinya dari arah dapur. Benar dugaanku di dapur aku melihat ibuku sedang tertunduk, dan didepannya terlihat Mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang, dengan mata melotot melihat kearah ibuku. "Jawab, Bu! Ibu memang sengaja kan! " bentak Mbak Sinta lagi. Ibuku hanya diam diperlakukan seperti itu. Aku yang tak terima ibuku di perlakukan seperti itu, langsung melangkah cepat menghampiri ibuku. "Ini ada apa, Mbak! Mbak Sinta kenapa membentak Ibuku seperti itu! " tanyaku dengan penuh amarah. Siapa yang tidak akan marah kalau ibunya diperlakukan seperti itu. "Bagus, Anak manja sudah pulang! Bilangin tuh sama Ibu kamu, kalau ngerjain sesuatu itu yang benar, bukan seenaknya sendiri, " ucap Mbak Sin
Ini adalah rumah milik orangtuaku, kenapa juga ibuku mau-maunya diperlakukan buruk oleh menantunya. Ibuku yang memiliki hak penuh atas rumah ini, ibu bisa dengan mudah mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Tetapi tidak, ibuku malah dengan sabar menghadapi kelakuan menantunya yang super menyebalkan itu. Kalau aku jadi ibu, pasti sudah lama aku mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Biarkan dia tinggal bersama orangtuanya aja. "Huss ..., kamu itu ngomong apa toh, Nak! " tegur ibuku yang sedang mengambil penggorengan. "Habisnya aku kesel banget sama Mbak Sinta. Lagaknya kayak bos besar. Huuh," ucapku kesal. "Sinta itu istri dari Mas mu, Nak. Jadi dia bukan orang lain dikeluarga kita. Jangan kamu ngomong ngusir-ngusir gitu. Nggak baik, " tutur ibuku yang sedang menggoreng ayam. "Terserah Ibu aja kalau gitu. Aku lapar mau makan dulu. " Aku segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk kesukaanku ini, tahu balado. Aku in
Bab 3Pov Sinta"Tumben cepat, Dek? " tanya Mas Dika kala aku baru saja duduk di kursi sebelah Mas Dika. "Mas, aku ada kabar baik, " ucapku dengan senyum terkembang di bibirku. "Kabar baik? Apa itu, Dek? " tanya Mas Dika seraya menghadap ke arahku. "Sebentar, " ucapku seraya membuka dompetku, dan mengeluarkan isinya. "Aku dapat arisan, Mas, " ucapku sambil mengipaskan uang ku ke wajahku. Aroma uang ini begitu harum, yang membuat hatiku berbunga-bunga. Pokoknya aku akan habiskan uang ini untuk bersenang-senang. "Emang dapat berapa sih, Dek? Kok kelihatannya banyak banget. ""Ada tiga juta, Mas, " ucapku merasa senang. Siapa yang nggak seneng coba, kemarin habis dikasih jatah bulanan Mas Dika. Hampir semua gaji Mas Dika diberikan padaku. Terus sekarang dapat arisan. Sungguh beruntungnya diri ini. "Wah, banyak juga ya, Dek, " ucap Mas Dika ikut senang. "Iya dong, Mas. Po
Bab 4"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya. "Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya. Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya. Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar. Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus dis
"Astagfirullahaladzim ..., ada apa ini, Nak? " Aku menoleh ternyata ibu sudah berada di pintu masuk dapur, dengan ekspresi terkejut melihat hampir semua belanjaan berceceran di lantai. "Tanya sama menantu kesayangan Ibu itu, " ucapku menunjuk ke arah Mbak Sinta yang bersikap angkuh seolah-olah tak merasa bersalah. Ish, pengen ku cakar wajah Mbak Sinta itu. "Ini ada apa, Nak Sinta? " tanya ibu mendekat ke arah ku dan Mbak Sinta. "Tanya aja sama anak manja ini, " jawab Mbak Sinta acuh tanpa adanya sopan santun, seperti tak menghormati ibuku sebagai mertuanya. "Heh, Mbak Sinta! Jelas-jelas Mbak yang berantakin semua ini! Sekarang tanggung jawab, beresin semua ini!" bentakku dengan melotot ke arah Mbak Sinta."Enak aja, situ yang salah kenapa aku yang harus beresin, " ucap Mbak Sinta sambil memainkan kuku-kuku panjangnya. Aku juga heran dengan Mbak Sinta, dia punya bayi tapi kok malah memanjangkan kuku nya. Seperti tak takut kal
"Apa? Apa yang kamu katakan tadi? Kamu mau mengganti uang itu? Ha ha ha, kamu mau mengganti uang itu dengan apa? Dengan daun? Atau dengan batu? Ha ha ha. Sudah deh, jangan bercanda! Ha ha ha. " Tawa mengejek dari Mbak Sinta menggelegar di ruang dapur ini. "Sudah, Nak. Nggak usah diperpanjang, biar ibu saja yang menanggungnya, " ucap ibuku yang masih mengalirkan air matanya. "Tapi, Bu ..., " ucapku memelas, tapi terpotong oleh elusan ibuku di lenganku. Dan gelengan lemah kepalanya. "Sudah deh, nggak usah drama gitu. Kamu anak manja sekarang beresin ini semua. Dan Ibu cepat buatkan aku sarapan. Aku mau rebahan dulu, capek meladeni anak manja ini, " ucap Mbak Sinta kemudian melenggang pergi. Hatiku rasanya sangat panas mendengar ejekan dari Mbak Sinta. Memang benar untuk sekarang aku belum bisa mengganti uang itu, tapi aku akan bertekad mengganti uang itu, agar ibuku tak diperlakukan semena-mena lagi. "Nak, yang sabar ya. Sudah ngg
Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku