Share

Bab 2 Dibutakan Cinta

Ini adalah rumah milik orangtuaku, kenapa juga ibuku mau-maunya diperlakukan buruk oleh menantunya. Ibuku yang memiliki hak penuh atas rumah ini, ibu bisa dengan mudah mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Tetapi tidak, ibuku malah dengan sabar menghadapi kelakuan menantunya yang super menyebalkan itu.

Kalau aku jadi ibu, pasti sudah lama aku mengusir menantu seperti Mbak Sinta itu. Biarkan dia tinggal bersama orangtuanya aja.

"Huss ..., kamu itu ngomong apa toh, Nak! " tegur ibuku yang sedang mengambil penggorengan.

"Habisnya aku kesel banget sama Mbak Sinta. Lagaknya kayak bos besar. Huuh," ucapku kesal.

"Sinta itu istri dari Mas mu, Nak. Jadi dia bukan orang lain dikeluarga kita. Jangan kamu ngomong ngusir-ngusir gitu. Nggak baik, " tutur ibuku yang sedang menggoreng ayam.

"Terserah Ibu aja kalau gitu. Aku lapar mau makan dulu. " Aku segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk kesukaanku ini, tahu balado. Aku ingin membantu ibuku memasak tadinya, tapi karena mengingat ayam yang digoreng ibu itu untuk Mbak Sinta, aku jadi malas dan memilih mengisi perutku sendiri yang sudah minta diisi.

Saat aku sudah selesai memindahkan isi piring ku kedalam perutku, terlihat ibu juga sudah selesai menggoreng telur dan ayam untuk menantu kurang ajarnya itu. Upss, maksudku Mbak Sinta.

Selesai meletakkan ayam dan telur goreng itu ke meja makan, ibu kembali ke dapur dan mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, kemudian kembali ke meja makan. Mungkin ibu juga ingin makan, pikirku.

Aku segera beranjak membawa piring kotor ku ke wastafel untuk ku cuci.

"Ibu! Kenapa ibu makan ayam gorengku! " Suara Mbak Sinta terdengar lantang.

Aku segera meletakkan piring yang sudah aku cuci ke rak piring, lalu segera menuju ke ruang makan. Terlihat Mbak Sinta sudah berkacak pinggang dihadapan ibuku yang sedang duduk di kursi makan. Aku segera menghampiri ibuku, dan berdiri disisi kanan ibuku. Terlihat didepan ibuku ada piring berisi nasi, dan sepotong kecil ayam goreng. Masih terlihat banyak karena mungkin ibu masih makan sesuap.

"I-Ibu ju-juga la-lapar, Nak, " ucap Ibu terbata.

"Kalau Ibu lapar ya jangan makan ayam gorengku itu lah, Bu! Ibu kan juga bisa makan pakai tahu balado yang Ibu masak tadi! " bentak Mbak Sinta lagi.

"Sudah cukup, Mbak Sinta! " bentakku sambil melihat Mbak Sinta dengan mataku yang melotot.

Aku sangat geram pada Mbak Sinta, dia sudah sangat keterlaluan. Hanya perihal ibu makan dengan ayam goreng yang hanya secuil aja, dia marahnya seperti ibu mengambil berliannya berkilo-kilo. Toh yang masak dan goreng ayam itu kan ibu. Dia hanya tau matangnya saja.

"Hei, kamu anak manja. Nggak tau apa-apa sebaiknya diam saja! Ini urusanku dengan Ibu! " Mbak Sinta tak mau kalah melotot padaku. Dikiranya aku akan takut? Oh tidak. Sudah cukup dulu aku tak bisa membela ibuku. Sekarang akan aku tunjukkan siapa Zahra ini.

"Ibu itu adalah Ibuku, jadi kalau kau berurusan dengan Ibuku, berarti kau berurusan dengan ku, Mbak! " ucapku tegas sambil menatap Mbak Sinta dengan tajam.

"Sudah cukup, Nak, " ucap ibuku lembut, sambil menarik-narik tanganku agar tak meladeni Mbak Sinta.

"Bu, biarkan aku bicara, Bu. " Mohon ku sambil menatap ibuku. "Mbak! Kenapa Mbak sampai membentak Ibuku seperti tadi?! "

"Kamu tahu? Ibu sudah makan dengan ayam goreng milikku! " bentak Mbak Sinta menunjuk ke piring ibu.

"Astagfirullahaladzim ..., Mbak Sinta ..., hanya perkara ayam goreng secuil, Mbak Sinta sampai membentak Ibuku seperti itu? Sungguh keterlaluan kamu, Mbak! " ucapku geleng-geleng.

"Apa kamu bilang hanya secuil? Secuil ayam goreng yang kamu maksud itu aku yang beli dengan uangku. Jadi Ibu nggak boleh makan tanpa izin dariku! " ucap Mbak Sinta lantang.

Aku semakin geram dengan tingkah Mbak Sinta. Aku mengambil secuil ayam yang berada di piring ibuku, lalu aku lemparkan ke muka Mbak Sinta. "Nih, silahkan ambil ayam gorengmu itu. Dasar nggak tau diri! "

"Zahra! " Teriak Mbak Sinta, menatap nyalang padaku.

"Apa! " tanyaku tak mau kalah, dengan menatap balik Mbak Sinta.

"Awas saja aku akan laporkan ini pada Mas Dika! " ancam Mbak Sinta sambil menunjuk diriku dengan jari telunjuknya.

"Oh, silakan. Aku tidak takut! Dasar tukang adu! " berangku, menatap Mbak Sinta tajam.

"Kamu akan menyesal, Zahra! " bentak Mbak Sinta lagi lalu berjalan menghentakkan kakinya menuju kamarnya.

Blang!

Suara pintu ditutup dengan sangat keras oleh Mbak Dina. Aku tak akan takut pada Mbak Sinta lagi. Bukan aku yang akan dilaporkan ke Mas Dika, tetapi akulah yang akan melapor duluan pada Mas Dika tentang kelakuan istri tercintanya.

***

Keesokan paginya, aku sedang membantu ibuku memasak di dapur. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, jadi aku bisa seharian dirumah.

"Zahra! Tolong buatin Mas kopi! " Aku menoleh ternyata Mas Dika sudah duduk di kursi ruang makan yang tak jauh dari dapur.

"Kok nyuruh aku sih, Mas! Harusnya istri kamu yang buatin kopi buat kamu, kan! " tanyaku yang sedang sibuk menggoreng kerupuk.

"Nak? Nggak boleh gitu sama kakakmu. Biar Ibu yang lanjutin goreng kerupuknya. Kamu tolong buatin kopi Mas Dika ya, " ucap Ibu sambil mengambil alat masak ditanganku.

Terpaksa aku membuatkan kopi untuk Mas Dika.

"Ini, Mas. Kopinya, " ucapku sambil meletakkan secangkir kopi panas ke meja depan Mas Dika.

"Terimakasih, Ra, " ujar Mas Dika sambil mengambil secangkir kopi itu.

"Mas Dika! Mbak Sinta kok nggak bantu Ibu masak sih? " tanyaku jengkel.

"Mbak Sinta sedang mandi, Dek. Mungkin sebentar lagi keluar terus bantu Ibu. Lagian kasihan dia, Dek. Tadi malam Sindi agak rewel jadi mungkin kurang tidur juga, " ucap Mas Dika kemudian menyeruput kopi buatanku itu.

"Selalu itu terus alasannya, " ucapku lirih.

"Kamu ngomong sesuatu, Ra? " tanya Mas Dika menoleh padaku.

"Nggak ngomong apa-apa, kok, " ucapku, kemudian berbalik ingin kembali ke dapur, menggoreng kerupuk.

"Mas Dika, aku minta uang dong. Buat bayar arisan. " Suara Mbak Sinta membuatku yang sudah berada di dapur menoleh melihat ke arah Mas Dika dan Mbak Sinta. Terlihat Mbak Sinta sudah berpakaian bagus, dan berdandan agak tebal.

'Mau arisan aja, dandannya kayak mau ke kondangan, dasar norak,' batinku sambil terus melihat kearah ruang makan.

"Kamu mau berangkat arisan sekarang, Mah? " tanya Mas Dika, dan aku lihat dia merogoh sakunya dan mengeluarkan dompetnya.

"Iya, Mas. Kan biasanya juga aku arisan jam segini, " ucap Mbak Sinta yang mengulurkan tangannya meminta uang.

"Ini. Terus Bian sama Sindi gimana? " tanya Mas Dika sambil mengulurkan beberapa lembar uang kepada Mbak Sinta.

"Kan ada kamu, Ibu, sama Zahra. Lagian Bian udah main sendiri. Kalau Sindi dia masih tidur kok, " ucap Mbak Sinta memasukkan uang itu ke dompetnya kemudian berlalu keluar rumah.

"Wah kesempatan nih. Mumpung Mbak Sinta nggak ada dirumah, aku beritau aja ke Mas Dika kelakuan Mbak Sinta kemarin, " ucapku lirih.

"Zahra! Kamu kenapa ngomong sendiri! " Aku terkejut karena ibu memegang pundakku tiba-tiba.

"Eh, anu, Bu. Aku nggak apa-apa kok. Hehehe, " ujarku cengengesan.

"Kamu itu, Nak. Hem ..., oh iya. Ibu mau ke kamar mandi dulu. Itu masukkannya udah matang semua, tolong kamu taruh di meja makan ya, " pinta ibuku. Aku mengangguk dan Ibu segera berlalu kekamar mandi.

Segera aku membawa masakan ibu ke meja ruang tamu. Ada sayur asam, ikan asin dan tempe. Tak lupa kerupuk yang aku goreng tadi.

Mas Dika belum beralih dari ruang tamu. Selesai meletakkan semua masakan ibu, aku duduk di kursi sebelah Mas Dika.

"Mas aku mau cerita, " ucapku membuka percakapan.

"Cerita apa, Ra? " tanya Mas Dika yang masih asyik dengan ponsel ditangannya.

"Ini tentang Mbak Sinta. " Mendengar nama istrinya kusebut, Mas Dika meletakkan ponselnya di meja kemudian menoleh kearahku.

"Sinta? Sinta kenapa? " tanya Mas Dika. Dari pertanyaan Mas Dika sepertinya Mbak Sinta belum menceritakan kejadian kemarin.

"Mas Dika tau, nggak? Kemarin Mbak Sinta bentak-bentak Ibu. Mbak Sinta seenakknya menyuruh Ibu mencuci bajunya, " ucapku dengan sedikit penekanan.

"Ha? Masak iya sih, Ra? Kamu salah paham mungkin. Sinta itu perempuan yang baik." tanya Mas Dika, sepertinya tak percaya.

Ish ... beginilah kalau sudah dibutakan oleh cinta. Mas Dika terlalu mencintai Mbak Sinta sehingga tak melihat sikap asli Mbak Sinta.

"Iya, Mas. Dan lagi, kemarin itu .... "

"Mas, aku pulang! " Teriakan Mbak Sinta membuatku tak melanjutkan ucapanku.

"Ish, kenapa tumben dia pulang cepat sih? " gerutuku lirih.

"Kenapa, Ra? " tanya Mas Dika.

"Enggak, Mas. Aku sakit perut mau ke kamar mandi dulu. "

Aku segera beranjak dari dudukku, aku kesal kenapa disaat aku ingin mengadu pada Mas Dika malah Mbak Sinta datang di waktu yang tidak tepat sih!

Tapi aku akan mencari celah lagi supaya bisa menceritakan kelakuan Mbak Sinta pada Mas Dika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status