Share

Bab 3 Dasar tak tau malu!

Bab 3

Pov Sinta

"Tumben cepat, Dek? " tanya Mas Dika kala aku baru saja duduk di kursi sebelah Mas Dika.

"Mas, aku ada kabar baik, " ucapku dengan senyum terkembang di bibirku.

"Kabar baik? Apa itu, Dek? " tanya Mas Dika seraya menghadap ke arahku.

"Sebentar, " ucapku seraya membuka dompetku, dan mengeluarkan isinya.

"Aku dapat arisan, Mas, " ucapku sambil mengipaskan uang ku ke wajahku.

Aroma uang ini begitu harum, yang membuat hatiku berbunga-bunga. Pokoknya aku akan habiskan uang ini untuk bersenang-senang.

"Emang dapat berapa sih, Dek? Kok kelihatannya banyak banget. "

"Ada tiga juta, Mas, " ucapku merasa senang.

Siapa yang nggak seneng coba, kemarin habis dikasih jatah bulanan Mas Dika. Hampir semua gaji Mas Dika diberikan padaku. Terus sekarang dapat arisan. Sungguh beruntungnya diri ini.

"Wah, banyak juga ya, Dek, " ucap Mas Dika ikut senang.

"Iya dong, Mas. Pokoknya nanti anterin aku shopping ya, Mas. Aku pingin beli baju baru, " ucapku sambil memegang lengan Mas Dika.

Mas Dika tersenyum, dan mengusap pipiku. "Apapun akan kulakukan untukmu, Sayang. "

"Ehemm .... "

Terlihat ibu mertua yang baru saja keluar dari dapur, dan dibelakangnya ada si anak manja, Zahra. Dan apa itu, Zahra menatapku dengan tatapan sinis. Dikiranya aku akan takut apa? Aku balas tatapan itu dengan tatapan tajam. Dasar anak manja yang tak tau diuntung.

"Bian mana, Dik? " tanya ibu mertua setelah duduk dikursi ruang makan. Zahra juga ikut duduk disebelah ibunya.

"Masih main kayaknya, Bu. Sebentar aku panggilkan dulu, " ucap Mas Dika lalu beranjak dari kursi dan menuju kearah ruang tengah.

"Apa kamu lihat-lihat! " ucapku sinis pada Zahra yang dari tadi masih menatap diriku.

"Mata punyaku, kenapa Mbak Sinta yang sewot, " cibir Zahra kemudian beralih mengambil nasi di depannya.

"Dasar anak manja! " ucapku ketus.

"Ada apa, Mah? " tanya Mas Amir yang ternyata sudah melangkah menuju ruang makan bersama Bian.

"Oh, enggak apa-apa kok, Pah, " ucapku berlagak baik-baik saja.

Mas Dika duduk disebelahku sedangkan Bian duduk di kursi disebelah Papanya.

Saat aku akan mengambil makan, aku melihat sayur dan lauk yang berada di meja, seketika nafsu makanku hilang. Hanya ada sayur asam, ikan asin, dan sambal. Sungguh memuakkan, hari-hari makanan hanya itu saja.

"Pah, ayo makan diluar yuk, " ucapku memegang tangan Mas Dika.

"Hloh, kenapa, Mah? " tanya Mas Amir yang baru saja mengambil nasi.

"Enggak apa-apa, Pah. Sekali-kali kita makan diluar. "

"Kalau nggak doyan bilang aja, Mbak. Mbak Sinta kan pinginnya makan lauk ayam goreng ya, Mbak? Sampai kemarin Ibu minta ayam gorengnya sedikit aja,nggak boleh," cibir Zahra yang ternyata sedang memperhatikanku.

Aku langsung menatap tajam Zahra. Sedangkan ibu terlihat memegang lengan Zahra, dan menggelengkan kepalanya. Mungkin supaya Zahra tak membahas masalah kemarin kalik. Syukurin kau Zahra.

Tetapi saat aku melihat kearah Mas Dika kembali, terlihat Mas Dika menatapku dengan alis bertaut.

"Pa-pah ke-kenapa lihat Ma-mah begitu? " tanyaku agak gugup.

Jangan sampai Mas Dika percaya dengan apa yang dikatakan Zahra tadi. Memang selama ini aku berusaha terlihat bersikap baik pada ibu mertua dan Zahra kalau berada didepan Mas Dika saja.

Kalau tak ada Mas Dika, aku akan memanfaatkan ibu mertua dan juga adik iparku yang kampungan itu. Entah itu menjaga anak-anakku, mencuci bajuku serta anak-anakku dan memasak untukku. Dan kalau Mas Dika memintaku membantu ibunya membersihkan rumah atau menjaga angkringan ibu mertuaku, aku akan beralasan capek mengurus anak.

Dan untungnya Mas Dika percaya. Mas Dika memang sangat-sangat mencintaiku, sehingga apa yang aku mau dan apa yang kukatakan selalu di iyakan.

"Maksud dari perkataan Zahra apa, Mah? " tanya Mas Dika yang masih menatapku.

"Nggak ada kok, Pah. Zahra cuma bercanda, ya kan, Zahra? " ucapku sambil menatap tajam Zahra, berharap dia mengiyakan ucapanku.

"Apaan? Orang .... " Ucapan Zahra tak dilanjutkan karena lagi-lagi dicegah ibunya.

"Ya, Mas, " ucap Zahra lesu. Aku tersenyum melihat Zahra tak berkutik. Ha ha ha, rasain kamu Zahra. Nggak ada yang membelamu.

Aku beralih menatap Mas Dika. "Tuh kan, Pah. Nggak ada apa-apa kok, " ucapku seraya tersenyum semanis mungkin, agar Mas Dika percaya padaku.

"Baguslah, Mah. "

"Ayolah, Pah. Kita sarapan diluar aja, yuk. Sekalian anterin aku shopping, " rengek ku sambil memegang lengan Mas Dika.

"Tapi, Mah. Ibu sudah masak hlo, Mah, " ucap Mas Dika melihat ibunya dengan raut muka merasa tak enak.

"Udah, Dik. Ajak saja istrimu sarapan diluar, " ucap ibu mertuaku.

"Tuh, Pah. Ibu aja nggak masalah kok. Ayolah, Pah, " ajakku sekali lagi.

"Kalau begitu Ibu sama Zahra ikut sekalian ya, Mah? " tanya Mas Dika yang membuatku mendadak merasa kesal.

Aku harus mencari cara agar Ibu dan Zahra nggak usah ikut. Enak saja mereka mau makan enak tapi pakai uangku. Tiba-tiba aku ada ide.

"Hloh, Pah. Kalau Zahra sama Ibu ikut, nanti yang makan ini semua siapa? " tanyaku sambil menunjuk makanan yang terhidang di meja makan.

"Ya, nanti bisa buat makan siang kan, Mah. Bisa di panasin lagi. " Aku semakin kesal mendengar ucapan Mas Dika.

"Sudah lah, Dik. Kamu sama istrimu dan anak-anakmu aja yang pergi. Ibu sama Zahra biar makan ini saja. " Bagus Ibu mertua tau saja keinginanku.

"Tapi, Bu .... "

"Ayolah, Pah, " rengekku memohon.

"Ya sudah, kalau begitu. Tapi Sindi gimana dong, Mah? "

"Sindi masih tidur, biar dirumah aja, Pah. Lagian kan ada Ibu sama Zahra yang bisa jagain. Kebetulan dikulkas masih ada Asi yang aku perah tadi, kok. "

"Gimana, Bu? " Ish Mas Dika nih, kenapa mesti meminta pendapat ibunya sih. Bikin sebel aja.

"Iya, Dik. Nggak apa. Biar Sindi sama Ibu aja dirumah, " ucap Ibu mertua. Tetapi saat aku tak sengaja melihat Zahra sepertinya dia menahan rasa kesal terlihat dari raut wajahnya yang menatapku sebal.

"Ya sudah, aku siap-siap dulu, " ucap Mas Dika, beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar kami.

"Dasar nggak tau malu. Mau senang-senang tapi ngrepotin orang. Huh! " sindir Zahra tanpa menoleh padaku.

"Iri? Bilang bos! Ha ha ha. " Aku beranjak dari kursi.

"Ayo, Bian. Kita tunggu Papah diluar, disini hawanya panas, " ucapku sambil melirik ke arah Zahra.

"Iya, Mah. " Bian langsung berdiri dan mengikutiku ke luar rumah.

"Dasar nggak tau malu! " teriak Zahra. Aku tetap berjalan keluar tanpa memperdulikan teriakan Zahra.

***

"Mah, nanti Bian mau beli mobil-mobilan balu ya, Mah, " ucap Bian kala kami sedang memasuki sebuah mall.

Setelah tadi mengisi perut dengan sarapan di sebuah rumah makan, aku langsung mengajak Mas Dika ke Mall yang tak jauh dari rumah makan tadi. Dan jadilah kami berada di Mall ini.

"Tentu boleh dong, Bian, " ucapku menanggapi permintaan anak sulung ku itu.

"Hollee .... " Bian terlihat tersenyum lebar.

Aku mengajak Mas Dika dan Bian memasuki toko pakaian.

"Pah, ini bagus nggak? " ucapku menenteng selembar kerudung pasmina yang dijual ditoko ini.

"Bagus kok, Mah."

"Ya sudah aku beli yang ini ya? " ucapku memasukan pasmina itu ke tas toko.

"Zahra sama Ibu beliin kerudung sekalian ya, Mah? " Ish Mas Dika ini buat mood ku belanja rusak aja sih. Ngapain coba beliin Ibu mertua sama Zahra juga.

"Ibu kan masih punya banyak kerudung, Pah. Terus Zahra jangan terlalu dimanjain lah, Pah. Nanti takutnya Zahra jadi anak manja, " ucapku mencari alasan.

"Oh, ya sudah. Terserah kamu aja, Mah. " Nah begitu dong, nurut sama istri.

Akhirnya setelah capek berbelanja, kami memutuskan untuk pulang.

Malam hari tiba, Bian dan Sindi sudah tidur sejak habis magrib tadi. Tinggalah aku dan Mas Dika yang masih terjaga dengan ponsel masing-masing.

"Dek, Mas Boleh tanya? " Tiba-tiba Mas Dika berbicara memecah keheningan.

"Tanya apa, Mas? " tanyaku balik tanpa menoleh kearah Mas Dika.

"Apa benar kamu menyuruh Ibu mencuci baju mu? "

Aku langsung mengalihkan pandanganku dari ponselku, dan menatap Mas Dika.

'Pasti ini Zahra yang ngadu ke Mas Dika. Ish awas aja kamu, Zahra, ' geram ku dalam hati.

"Cuma sekali, Mas. Kemarin itu Sindi rewel terus, Mas. Terus cucian numpuk saat aku mau mencuci baju itu Sindi nangis lagi terus Ibu menawarkan bantuan untuk mencuci baju itu, " kilahku, berbohong.

"Owalah, begitu. Tapi kata Zahra kamu bentak-bentak Ibu ya? " tanya Mas Dika lagi.

Aku langsung merubah ekpresi ku pura-pura sedih. "Mas kok bilang begitu sih. Hiks. "

"Kok, malah nangis sih, Sayang, " ucap Mas Dika terlihat khawatir. Terbukti dia langsung menegakkan duduknya. Dan meraih ku kedalam pelukannya. Kebetulan kasur kami ada dua. Satu di tempati Bian dan Sindi, satu lagi aku tempati bersama Mas Dika.

"Mas, jahat. Hiks. Mas nggak percaya sama aku. Mana mungkin aku berani bentak-bentak Ibu. Ibu sudah aku anggap Ibuku sendiri. Hiks. Mas lebih percaya Zahra," ucapku pura-pura menangis dipelukan Mas Dika.

"Sudah-sudah jangan menangis lagi ya, Sayang. Maafkan Mas ya. Mas percaya sama kamu kok, " ucap Mas Dika mengelus punggungku.

"Mas jangan langsung percaya Zahra lagi ya, Mas. Zahra memang begitu, Mas. Suka memfitnah aku. Mungkin dia memang nggak suka aku berada disini, " ucapku mendramatisir keadaan.

"Iya, Sayang. "

'Awas kamu Zahra! Tunggu pembalasan dariku! "teriakku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status