Share

Bab 4 Menghadapi kakak ipar

Bab 4

"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya.

"Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya.

Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya.

Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar.

Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus diseleksi terlebih dahulu. Semoga saja aku diterima di salah satu Universitas yang sudah aku cantumkan di formulir daftar universitas jalur undangan.

Hawa dingin langsung menerpa kulitku, ketika aku membuka pintu rumah untuk mengeluarkan sepeda motorku dari dalam rumah. Langit masih begitu gelap, karena matahari belum menampakkan sinarnya. Entah ini karena cuaca mendung atau memang masih terlalu pagi. Aku segera mengihidupkan sepeda motorku, guna ingin memanasi mesinnya terlebih dahulu.

"Mau kemana, Ra? " Aku mendongakkan kepalaku ternyata Mas Dika yang mungkin baru saja pulang dari masjid.

Kakakku ini memang rajin beribadah, tetapi entah kenapa bisa mendapatkan istri yang malasnya minta ampun, dan galaknya mengalahkan singa kelaparan. Astagfirullah, maafkan hambamu ini Ya Allah, karena pagi-pagi sudah menjelekkan orang lain.

"Mau antar Ibu ke pasar, Mas, jawabku sambil menggas sepeda motor meticku.

"Oo." Hanya itu respon Mas Dika.

"Ra, Mas bisa ngomong? " tanya Mas Dika yang masih berdiri tak jauh dariku.

"Dari tadi kan Mas Dika udah ngomong, " cetus ku sambil menoleh ke arah Mas Dika.

"Ini masalah penting, " ucap Mas Dika dengan ekspresi serius.

"Masalah penting? Memang apa, Mas? " tanyaku penasaran.

"Aku minta tolong sama kamu, supaya lebih menghargai Sinta. Dia istriku dan rumah ini juga milik orang tuaku. Jadi dia juga berhak tinggal disini. "

Aku menaikkan alisku. "Maksud Mas Dika apaan sih? Aku nggak faham, " ucapku sambil mematikan mesin sepeda motorku.

"Tolong hargai Sinta sebagai kakak iparmu. Jangan berani menuduh dia yang macam-macam. Dia itu istri yang baik, dan berbakti pada ku. Tapi kenapa kamu kemarin menuduh dia membentak Ibu, dan juga menuduh dia yang meminta Ibu mencuci pakaiannya? " cerocos Mas Amir dengan muka serius.

Ini pasti ulah Mbak Sinta, dia pasti yang menghasut Mas Dika supaya membela dia. 'Huh, dasar. Punya kakak ipar satu aja. Bikin tensi ku naik terus. Astagfirullah, ' batinku berontak.

"Ra! Kok malah diam? " Aku terlonjak dari pemikiran ku sendiri, karena mendengar suara Mas Dika.

"Aku tidak menuduh istrimu kalik, Mas. Memang kenyataanya begitu kok! " ucapku kesal.

"Jangan bohong kamu, Ra! Kasihan Sinta batinnya tersiksa karena kamu terus menuduhnya. Dia sedang menyusui jadi jangan buat dia menjadi stres karena memikirkan tuduhan-tuduhan mu itu! " ucap Mas Dika tegas.

"Terserah, Mas Dika saja lah! Memang kalau sudah dibutakan cinta kayak gitu, nggak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Terserah. Aku tak peduli! " ucapku menggerudel.

"Zahra! " tegur Mas Dika dengan suara lantang.

"Apa?! " tanyaku dengan suara lantang juga.

"Eh, eh. Ada apa ini, kok pagi-pagi gini kalian ribut sih! " Ibu tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Tuh tanyakan sama anak laki-laki kesayangan Ibu tuh, " ucapku sewot sambil melirik kearah Mas Dika.

"Ada apa ini, Dik? " tanya ibu sambil memegang lengan Mas Dika.

"Nggak ada kok, Bu. Aku masuk dulu. Ibu kalau ke pasar hati-hati ya, " ucap Mas Dika kemudian berlalu masuk kerumah, mungkin Mas Dika tak ingin menambah beban pikiran Ibu. Tetapi sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah aku melihat Mas Dika menatapku dengan tatapan tajamnya.

Ish, sebal sekali rasanya. Pagi-pagi sudah di ajak ribut gara-gara hasutan Mbak Sinta. Pingin aku plester tuh mulut. Ish....

Mas Dika juga sih, ngajak ribut pas aku sedang halangan, kan jadinya emosiku keluar. Biasanya kalau aku sedang halangan memang suka sensitif hati ini. Jadi hati-hati saja kalau aku sedang halangan diajak berantem. Aku jabanin mah kalau harus adu jotos. Ups....

"Nak? Ada apa sih? " tanya ibuku membuyarkan lamunanku.

"Nggak ada, Bu. Ayo keburu siang, Bu, " ucapku mengalihkan pembicaraan. Seperti Mas Dika, aku juga tak ingin menambah pikiran ibu kalau tahu anak-anaknya saling bertengkar.

Sampai di pasar, kami langsung menuju warung langganan ibu. Karena di warung kopi milik ibu, selain menyediakan kopi dan minuman lainnya, ibu juga menyediakan nasi kucing, alias nasi dengan porsi sedikit, diberi lauk dan sambal. Kadang bandeng, ikan teri, ataupun oseng-oseng.

Kadang ibu juga membuat capjay ataupun bihun goreng. Semua itu dimasak oleh ibu sendiri. Kadang kala juga ada orang yang menitipkan hasil masakkannya ke warung ibu. Seperti sate telur puyuh dan sosis goreng dan lain-lain.

Setelah semua keperluan sudah terbeli, kami memutuskan pulang ke rumah. Tetapi diperjalanan pulang, ibu mengajakku sarapan soto di warung soto langganan ibu dulu.

***

"Ibu ke pasarnya lama banget sih! Aku dan Bian udah kelaparan tau! Ini malah ibu enak-enakan ke pasar nggak pulang-pulang. Mana nggak ada sarapan lagi, jadinya Mas Dika berangkat kerja tanpa sarapan kan! " cerocos Mbak Sinta kala aku dan ibu baru saja masuk ke rumah. Terlihat dia sedang menggendong Sindi yang mungkin sudah tertidur.

"Maaf, Nak. Tadi ibu belanja keperluan warung. Jadi agak lama, " ucap ibuku lembut.

"Alasan aja Ibu nih! " ucap Mbak Sinta sinis. Kemudian berlalu ke kamarnya.

Aku yang sudah tersulut emosi mencoba menahannya. "Ibu. Ibu ke kamar aja dulu ya, Bu. Istirahat. Ibu pasti capek, kan? Nanti semua barang ini aku yang tata di kulkas, " pintaku setenang mungkin.

"Tapi, Ra .... " Ibu sepertinya ingn menolak permintaan ku.

"Sudah, Bu. Ibu pasti capek, kan? Dari subuh udah jalan keliling pasar, " bujuk ku lagi.

"Ya sudah, Ibu kekamar dulu, ya? Tapi jangan berantam dengan Mbakku ya, Ra, " ucap ibu, ada raut khawatir di wajah ibu.

"Iya, Bu, " jawabku berbohong. Aku nggak mau adu mulut didepan ibuku. Walau mungkin ibu nanti juga akan sedikit mendengar, tetapi setidaknya tidak melihat pertengkaranku dengan Mbak Sinta.

Ibu sudah berlalu menuju kamarnya, yang terletak agak jauh dari ruang depan.

"Kok kamu malah nyuruh ibu ke kamar sih! Ibu kan harus masak sarapan untukku dan Bian. Aku sudah kelaparan nih, " Cerocos Mbak Sinta kala baru saja keluar dari kamarnya. Mungkin tadi menidurkan Sindi di kamar.

"Heh, Mbak! Bukan tugas Ibuku ya, memasak untukmu. Kalau kamu lapar ya masak sendiri lah. Jangan suruh Ibuku melayanimu. Aku tegaskan sekali lagi kalau Ibuku bukan pembantumu! " ucapku tegas sambil menatap tajam ke arah Mbak Sinta.

"Heh, apa kamu bilang?! " Aku tak menanggapinya dan berlalu menuju dapur membawa belanjaan ibu tadi.

"Heh! Budek! Aku tanya sama kamu! Apa yang kamu bilang tadi? " Ternyata Mbak Sinta mengikutiku sampai di dapur.

Aku menoleh ke arahnya, dan menatap tajam ke arah Mbak Sinta. "Ibuku bukan pembantumu, Mbak! " ucapku dengan suara lantang.

"Heh, berani sekali kau ya! " teriak Mbak Sinta sambil menunjukkan dengan jari telunjuk nya.

"Dan satu lagi, Mbak! Mas Dika itu suami Mbak, jadi yang berkewajiban melayani keperluannya itu, Mbak Sinta bukan Ibuku! " ucapku tak gentar dengan teriakan Mbak Sinta.

"Awas kamu ya, akan aku bilang ke Mas Dika biar kamu dimarahi lagi! " ancam Mbak Sinta.

"Oh, silahkan saja. Mbak Sinta pikir aku akan takut? Oh, tidak. Dan terimakasih gara-gara Mbak Sinta, aku tadi pagi berantem dengan Mas Dika. " Dikiranya aku akan takut apa.

"Ha ha ha. Rasain! Itulah akibatnya kalau berani mengadu pada suamiku, " ucap Mbak Sinta tertawa mengejek.

"Dasar kakak ipar nggak tau diri! " sarkasku. Emosi sudah menguasai pikiranku. Tetapi aku berusaha agar bisa menghadapi Mbak Sinta dengan tenang.

"Heh! Jaga bicaramu! " bentak Mbak Sinta menunjukku dengan mata melotot.

"Mbak pikir aku akan takut? " tantangku sambil mengeluarkan belanjaan ibu ke atas meja. Yang selanjutnya mau aku pindahkan ke dalam kulkas.

Tiba-tiba Mbak Sinta mendekat kearahku dan mengobrak-abrik belanjaan yang sudah aku tata diatas meja, sehingga berceceran dilantai. Cabai, tomat, dan lain-lain.

"Mbak Sinta! "

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status