Home / Lainnya / Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak! / Bab 4 Menghadapi kakak ipar

Share

Bab 4 Menghadapi kakak ipar

Author: Rachma
last update Last Updated: 2022-10-19 18:25:27

Bab 4

"Bu, jadi kepasarnya? " tanyaku menghampiri ibuku di kamarnya.

"Iya, Nak. Sebentar. Ibu siap-siap dulu, " jawab ibuku sembari melipat mukenanya.

Mungkin ibu baru saja selesai sholat subuh. Karena memang ini masih sangat pagi. Kebetulan aku sedang halangan, jadi setelah bangun tidur aku segera mandi dan bersiap-siap mengantar ibuku ke pasar untuk membeli keperluan jualannya.

Hari ini ibuku sudah mulai membuka warung kopi nya lagi, setelah beberapa hari libur tak jualan. Kemarin ibu mengatakan kalau pagi ini mau kepasar. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Karena hari ini memang siswa siswi kelas tiga sudah tak ada kegiatan di sekolah. Hanya tinggal menunggu ijazah keluar.

Alhamdulillah aku dinyatakan lulus, dan aku juga bersyukur karena aku masuk dalam daftar siswa yang bisa mendaftar ke Universitas tanpa tes. Alias jalur undangan, yang diberikan untuk siswa siswi berpotensi. Tentunya masih tetap harus diseleksi terlebih dahulu. Semoga saja aku diterima di salah satu Universitas yang sudah aku cantumkan di formulir daftar universitas jalur undangan.

Hawa dingin langsung menerpa kulitku, ketika aku membuka pintu rumah untuk mengeluarkan sepeda motorku dari dalam rumah. Langit masih begitu gelap, karena matahari belum menampakkan sinarnya. Entah ini karena cuaca mendung atau memang masih terlalu pagi. Aku segera mengihidupkan sepeda motorku, guna ingin memanasi mesinnya terlebih dahulu.

"Mau kemana, Ra? " Aku mendongakkan kepalaku ternyata Mas Dika yang mungkin baru saja pulang dari masjid.

Kakakku ini memang rajin beribadah, tetapi entah kenapa bisa mendapatkan istri yang malasnya minta ampun, dan galaknya mengalahkan singa kelaparan. Astagfirullah, maafkan hambamu ini Ya Allah, karena pagi-pagi sudah menjelekkan orang lain.

"Mau antar Ibu ke pasar, Mas, jawabku sambil menggas sepeda motor meticku.

"Oo." Hanya itu respon Mas Dika.

"Ra, Mas bisa ngomong? " tanya Mas Dika yang masih berdiri tak jauh dariku.

"Dari tadi kan Mas Dika udah ngomong, " cetus ku sambil menoleh ke arah Mas Dika.

"Ini masalah penting, " ucap Mas Dika dengan ekspresi serius.

"Masalah penting? Memang apa, Mas? " tanyaku penasaran.

"Aku minta tolong sama kamu, supaya lebih menghargai Sinta. Dia istriku dan rumah ini juga milik orang tuaku. Jadi dia juga berhak tinggal disini. "

Aku menaikkan alisku. "Maksud Mas Dika apaan sih? Aku nggak faham, " ucapku sambil mematikan mesin sepeda motorku.

"Tolong hargai Sinta sebagai kakak iparmu. Jangan berani menuduh dia yang macam-macam. Dia itu istri yang baik, dan berbakti pada ku. Tapi kenapa kamu kemarin menuduh dia membentak Ibu, dan juga menuduh dia yang meminta Ibu mencuci pakaiannya? " cerocos Mas Amir dengan muka serius.

Ini pasti ulah Mbak Sinta, dia pasti yang menghasut Mas Dika supaya membela dia. 'Huh, dasar. Punya kakak ipar satu aja. Bikin tensi ku naik terus. Astagfirullah, ' batinku berontak.

"Ra! Kok malah diam? " Aku terlonjak dari pemikiran ku sendiri, karena mendengar suara Mas Dika.

"Aku tidak menuduh istrimu kalik, Mas. Memang kenyataanya begitu kok! " ucapku kesal.

"Jangan bohong kamu, Ra! Kasihan Sinta batinnya tersiksa karena kamu terus menuduhnya. Dia sedang menyusui jadi jangan buat dia menjadi stres karena memikirkan tuduhan-tuduhan mu itu! " ucap Mas Dika tegas.

"Terserah, Mas Dika saja lah! Memang kalau sudah dibutakan cinta kayak gitu, nggak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Terserah. Aku tak peduli! " ucapku menggerudel.

"Zahra! " tegur Mas Dika dengan suara lantang.

"Apa?! " tanyaku dengan suara lantang juga.

"Eh, eh. Ada apa ini, kok pagi-pagi gini kalian ribut sih! " Ibu tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Tuh tanyakan sama anak laki-laki kesayangan Ibu tuh, " ucapku sewot sambil melirik kearah Mas Dika.

"Ada apa ini, Dik? " tanya ibu sambil memegang lengan Mas Dika.

"Nggak ada kok, Bu. Aku masuk dulu. Ibu kalau ke pasar hati-hati ya, " ucap Mas Dika kemudian berlalu masuk kerumah, mungkin Mas Dika tak ingin menambah beban pikiran Ibu. Tetapi sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah aku melihat Mas Dika menatapku dengan tatapan tajamnya.

Ish, sebal sekali rasanya. Pagi-pagi sudah di ajak ribut gara-gara hasutan Mbak Sinta. Pingin aku plester tuh mulut. Ish....

Mas Dika juga sih, ngajak ribut pas aku sedang halangan, kan jadinya emosiku keluar. Biasanya kalau aku sedang halangan memang suka sensitif hati ini. Jadi hati-hati saja kalau aku sedang halangan diajak berantem. Aku jabanin mah kalau harus adu jotos. Ups....

"Nak? Ada apa sih? " tanya ibuku membuyarkan lamunanku.

"Nggak ada, Bu. Ayo keburu siang, Bu, " ucapku mengalihkan pembicaraan. Seperti Mas Dika, aku juga tak ingin menambah pikiran ibu kalau tahu anak-anaknya saling bertengkar.

Sampai di pasar, kami langsung menuju warung langganan ibu. Karena di warung kopi milik ibu, selain menyediakan kopi dan minuman lainnya, ibu juga menyediakan nasi kucing, alias nasi dengan porsi sedikit, diberi lauk dan sambal. Kadang bandeng, ikan teri, ataupun oseng-oseng.

Kadang ibu juga membuat capjay ataupun bihun goreng. Semua itu dimasak oleh ibu sendiri. Kadang kala juga ada orang yang menitipkan hasil masakkannya ke warung ibu. Seperti sate telur puyuh dan sosis goreng dan lain-lain.

Setelah semua keperluan sudah terbeli, kami memutuskan pulang ke rumah. Tetapi diperjalanan pulang, ibu mengajakku sarapan soto di warung soto langganan ibu dulu.

***

"Ibu ke pasarnya lama banget sih! Aku dan Bian udah kelaparan tau! Ini malah ibu enak-enakan ke pasar nggak pulang-pulang. Mana nggak ada sarapan lagi, jadinya Mas Dika berangkat kerja tanpa sarapan kan! " cerocos Mbak Sinta kala aku dan ibu baru saja masuk ke rumah. Terlihat dia sedang menggendong Sindi yang mungkin sudah tertidur.

"Maaf, Nak. Tadi ibu belanja keperluan warung. Jadi agak lama, " ucap ibuku lembut.

"Alasan aja Ibu nih! " ucap Mbak Sinta sinis. Kemudian berlalu ke kamarnya.

Aku yang sudah tersulut emosi mencoba menahannya. "Ibu. Ibu ke kamar aja dulu ya, Bu. Istirahat. Ibu pasti capek, kan? Nanti semua barang ini aku yang tata di kulkas, " pintaku setenang mungkin.

"Tapi, Ra .... " Ibu sepertinya ingn menolak permintaan ku.

"Sudah, Bu. Ibu pasti capek, kan? Dari subuh udah jalan keliling pasar, " bujuk ku lagi.

"Ya sudah, Ibu kekamar dulu, ya? Tapi jangan berantam dengan Mbakku ya, Ra, " ucap ibu, ada raut khawatir di wajah ibu.

"Iya, Bu, " jawabku berbohong. Aku nggak mau adu mulut didepan ibuku. Walau mungkin ibu nanti juga akan sedikit mendengar, tetapi setidaknya tidak melihat pertengkaranku dengan Mbak Sinta.

Ibu sudah berlalu menuju kamarnya, yang terletak agak jauh dari ruang depan.

"Kok kamu malah nyuruh ibu ke kamar sih! Ibu kan harus masak sarapan untukku dan Bian. Aku sudah kelaparan nih, " Cerocos Mbak Sinta kala baru saja keluar dari kamarnya. Mungkin tadi menidurkan Sindi di kamar.

"Heh, Mbak! Bukan tugas Ibuku ya, memasak untukmu. Kalau kamu lapar ya masak sendiri lah. Jangan suruh Ibuku melayanimu. Aku tegaskan sekali lagi kalau Ibuku bukan pembantumu! " ucapku tegas sambil menatap tajam ke arah Mbak Sinta.

"Heh, apa kamu bilang?! " Aku tak menanggapinya dan berlalu menuju dapur membawa belanjaan ibu tadi.

"Heh! Budek! Aku tanya sama kamu! Apa yang kamu bilang tadi? " Ternyata Mbak Sinta mengikutiku sampai di dapur.

Aku menoleh ke arahnya, dan menatap tajam ke arah Mbak Sinta. "Ibuku bukan pembantumu, Mbak! " ucapku dengan suara lantang.

"Heh, berani sekali kau ya! " teriak Mbak Sinta sambil menunjukkan dengan jari telunjuk nya.

"Dan satu lagi, Mbak! Mas Dika itu suami Mbak, jadi yang berkewajiban melayani keperluannya itu, Mbak Sinta bukan Ibuku! " ucapku tak gentar dengan teriakan Mbak Sinta.

"Awas kamu ya, akan aku bilang ke Mas Dika biar kamu dimarahi lagi! " ancam Mbak Sinta.

"Oh, silahkan saja. Mbak Sinta pikir aku akan takut? Oh, tidak. Dan terimakasih gara-gara Mbak Sinta, aku tadi pagi berantem dengan Mas Dika. " Dikiranya aku akan takut apa.

"Ha ha ha. Rasain! Itulah akibatnya kalau berani mengadu pada suamiku, " ucap Mbak Sinta tertawa mengejek.

"Dasar kakak ipar nggak tau diri! " sarkasku. Emosi sudah menguasai pikiranku. Tetapi aku berusaha agar bisa menghadapi Mbak Sinta dengan tenang.

"Heh! Jaga bicaramu! " bentak Mbak Sinta menunjukku dengan mata melotot.

"Mbak pikir aku akan takut? " tantangku sambil mengeluarkan belanjaan ibu ke atas meja. Yang selanjutnya mau aku pindahkan ke dalam kulkas.

Tiba-tiba Mbak Sinta mendekat kearahku dan mengobrak-abrik belanjaan yang sudah aku tata diatas meja, sehingga berceceran dilantai. Cabai, tomat, dan lain-lain.

"Mbak Sinta! "

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 45

    Pov Zahra"Ya Allah, berikan kesembuhan pada Ibuku, " doa yang aku panjatkan sejak tadi. Hatiku rasanya diliputi perasaan cemas, gelisah, dan marah sekaligus. Cemas dan gelisah memikirkan kondisi ibu yang sekarang berada di ruang UGD karena kondisi kesehatan ibu menurun dan harus segera ditindaklanjuti. Dan aku menahan amarah pada Mas Dika dan juga istrinya. Karena mereka kondisi ibu yang semula sudah membaik berubah seketika sejak kedatangan wanita itu. Aku duduk sendiri di depan ruang UGD. Tadi mas Dika sebenarnya ingin ikut menemaniku disini. Tapi karena hatiku sedang emosi aku mengusirnya. Entah sekarang dia berada dimana aku tak peduli. Sekarang yang kubutuhkan hanya sendiri, menenangkan hati dan berdo'a untuk kesembuhan ibu. Aku benar-benar takut jika sesuatu yang paling buruk menimpa ibuku. Aku takut kehilangan ibu, hanya dia yang aku punya sekarang ini. Kakak? Entahlah, aku seperti tak memilikinya semenjak

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 44

    "Bu ..., Ibu sudah sehat? " sapa Sinta pada ibu yang masih memalingkan mukanya. "Bu, " panggil Sinta lagi, tapi tak di tanggapi oleh ibu. "Bu, Sinta kemari ada yang mau di sampaikan pada Ibu. " Aku berusaha membujuk ibu agar mau melihat kami. "Kenapa kamu ajak dia kesini, Nak? " tanya ibu yang masih memalingkan wajahnya. "Sinta mau minta maaf, Bu, " ucap Sinta. "Nggak ada yang perlu di maafkan, semua memang salah Ibu, " ucap ibu dengan suara bergetar. "Tapi, Bu .... " ucapku terjeda, dengan ucapan ibu. "Nak, bawa dia pergi dari hadapan Ibu. Ibu mohon, Nak. Ibu takut. Ibu .... Aarrggh .... Jangan, Nak. Ibu mohon, jangan sakiti Ibu lagi. Ibu sudah lelah, Nak. Jangan bentak Ibu lagi .... " Ibu berteriak ketakutan yang membuatku menjadi panik. "Ibu, tenang, Bu, " ucapku mencoba menenangkan ibu. "Jangan, Nak! Ibu mohon jangan lagi!" teriak ibu semakin menjadi. Kali ini ibu tampak menutup wajahnya dengan kedua lengannya, seperti benar-benar ketakutan. Aku yang panik langsung kelu

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 43

    Bab 43Pov Dika"Kita ke rumah sakit sekarang! " ujarku datar kepada Sinta yang sedang menonton televisi. Dari tadi malam, aku mendiamkan Sinta. Ada rasa sakit hati setelah mengetahui apa yang diperbuat oleh Sinta pada ibuku. Bukankah aku sudah melimpahkan kasih sayangku kepadanya? Tapi kenapa dengan teganya dia, istriku yang paling aku cintai mejadikan Ibuku menjadi seorang pembantu. "Emm ..., mau ngapain kita kerumah sakit, Mas? " tanyanya yang membuatku mengernyit. Dia lupa, apa pura-pura lupa dengan apa yang dia ucapkan malam itu, kalau dia akan minta maaf pada ibuku. Aku menghela nafas kasar, mencoba mengontrol emosiku. "Kamu lupa kalau kamu mau minta maaf pada Ibuku? ""Oh, i-itu ..., harus sekarang ya, Mas? Nggak nunggu Ibu pulang dari rumah sakit aja? " tanyanya yang membuat hatiku menjadi panas. "Sekarang! Atau kamu mau aku ....""Baiklah, Mas. Aku siap-siap sekarang, " ujarnya cepat, kemudian bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Tapi sebelum masuk ke kamar kami, Si

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 42

    Bab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 41

    Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib

  • Ibuku Bukan Pembantumu, Mbak!   Bab 40

    "Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status