Pov Sinta"Oh, ini, Dek. Zahra diterima kuliah di Universitas ternama, " jawab mas Dika kala aku ikut duduk di sebelah mas Dika. "Wah, iya, kah? Selamat ya Zahra, " ucapku pura-pura ikut senang. Padahal di hatiku mengatakan hal yang lain. Zahra terlihat cuek kepadaku, karena dia hanya memutar bola matanya menanggapi ucapan selamatku. Aku tak perduli hal itu, karena menurutku di terimanya Zahra di Universitas berarti biaya yang dikeluarkan mas Dika akan semakin banyak juga, sehingga jatah bulanan ku pasti akan berkurang lagi. Tidak bisa terjadi, hal ini jangan sampai terjadi. Aku harus cari cara agar mas Dika tak membiayai Zahra kuliah, apalagi tadi samar-samar aku mendengar kalau mas Dika akan membiayai semua biaya kuliah Zahra. "Memangnya berapa rupiah untuk biaya daftar ulangnya, Dek? " tanya mas Dika sambil mencomot gorengan yang berada di depannya. "Kurang tau aku, Mas, pastinya berapa. Tapi kata teman-temanku
"Zahra! Sini! " Aku yang baru saja masuk ke rumah setelah menjemur cucianku, menoleh ke arah mas Dika yang sedang duduk di depan tv bersama secangkir kopi di depannya. "Ada apa, Mas. Aku mau naruh ember ke belakang dulu, " ucapku datar. Aku masih kesal dengan mas Dika, yang dari dulu selalu membela mbak Sinta, padahal jelas-jelas mbak Sinta yang memulai keributan di warung ibu kemarin. "Ya sudah. Nanti kalau sudah, kamu kesini lagi. Mas Dika mau bicara, " ujar mas Dika kemudian mengambil secangkir kopi yang berada di depannya lalu menyeruput nya. Aku tau itu kopi walau jarak ku berdiri dan mas Dika duduk tak terlalu jauh, dan aku bisa mencium aroma kopi yang biasa ibu buat. Melangkah ke kamar mandi ingin meletakkan ember yang aku bawa tadi, aku berpikir tumben mas Dika pagi-pagi memintaku bicara dengannya. Sepertinya ada hal serius yang akan di bicarakan. Biasanya pagi-pagi sebelum berangkat bekerja, pasti mbak Sinta akan bermanja-manja dulu dengan mas Dika. Tanpa rasa malu mbak S
"Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut
"Kita berdoa saja, Ra. Semoga saja pengajuan beasiswa kita di terima. Tak perlu kampus yang ternama lah, yang biasa saja nggak apa asalkan kita tetap lanjut kuliah, " ujar Amanda membelokkan sepeda motornya ke gang menuju rumahku. "Ra! Ra! Ra! " teriak Amanda yang berada didepanku seraya melambatkan laju kendaraannya. Aku mendekatkan kepalaku ke kepala Amanda. "Ada apa sih, Man? Kok tiba-tiba manggil aku? ""Itu kan, kakak iparmu, kan? " tanya Amanda melihat ke depan. "Mana? " tanyaku celingukan. "Itu loh. Di teras rumah orang itu loh, " jawab Amanda. Aku kemudian melihat ke depan, dan benar saja mbak Sinta sedang duduk bersama ibu-ibu tetangga di depan rumah bu Sulis. Terlihat dia sedang menunjukkan tas berwarna merah kepada ibu-ibu lainnya. "Ini, loh, Bu. Bagus, kan? Harganya mahal loh, Bu, Ibu. "Terdengar suara mbak Sinta ketika aku dan Amanda sudah dekat dengan rumah tempat dimana mbak Sinta
"Mbak Sinta! " teriakku ketika tiba-tiba mbak Sinta merebut uang yang sedang aku pegang. "Nak, tolong kembalikan uang itu, Nak, " ucap ibuku memohon. "Hah, enak saja! Uang ini jadi milikku! Ingat Ibu masih punya hutang sama aku, buat ganti baju yang dulu Ibu rusakin, " tolak mbak Sinta dengan nada sinisnya. Terlihat mbak Sinta menghitung uang yang dirampasnya tadi. Sedangkan uang yang tadi aku sudah hitung aku sembunyikan lebih dalam dibawah tasku. Aku segera berdiri kemudian mencoba mengambil kembali uang yang diambil mbak Sinta tadi. "Ini, uang milik Ibuku! Mbak Sinta nggak berhak atas uang ini! " bentakku mencoba merebut uang di tangan mbak Sinta. Tetapi mbak Sinta juga menarik uang itu dengan lebih kuat. "Enak saja! Berani sakali ya kamu, Zahra! Ini tuh uang aku! " Terjadi tarik tarikan antara aku dan mbak Sinta. Tak ada yang mengalah di antara kami. Jelas aku tak ingin uang itu jatuh di tangan mbak Sinta.
"Mungkin rumah makan ini yang di maksud Mamang tukang bakso tadi, Man, " ucapku sambil menghentikan laju sepeda motor Amanda tepat di depan sebuah rumah makan yang lumayan ramai pengunjungnya. Setelah makan bakso tadi, memang aku dan Amanda langsung beranjak untuk melihat lowongan pekerjaan yang di sebutkan mamang bakso tadi. Aku yang betada di depan memboncengkan Amanda, melajukan kendaraan akhirnya di pojok jalan ini, kami berhenti tepat di depan rumah makan. "Kita turun dulu yuk, Ra. Kita tanya sama bapak tukang parkir itu, " ucap Amanda sambil menunjuk seorang bapak paruh baya yang sedang menata sepeda motor pengunjung. Akhirnya kami turun dari sepeda motor setelah kami ikut parkir di parkiran rumah makan ini. "Ini, Neng. Kartu parkirnya, " ucap bapak parkir tadi yang ternyata sudah ada di belakang kami. "Iya, Pak. Terimakasih, " ucapku menerima kartu parkir itu. Walau sebenarnya kedatangan kami disini tak berniat makan
"Haduh, Man. Aku capek banget hari ini, " keluhku sambil memijat lenganku, saat aku dan Amanda keluar menuju ke parkiran kampus. "Sama, Ra. Rasanya badanku kaya robot, " ujar Amanda yang juga meregangkan otot lehernya. Ya, memang hari ini adalah hari pertama semua mahasiswa baru menjalankan ospek. Rasanya tubuhku sudah tak karuan. Padahal nanti sore kami masih harus bekerja part time di warung makan. Aku dan Amanda memang memutuskan untuk tetap menjalankan pekerjaan sebagai pelayan di rumah makan waktu itu, bahkan kami sudah menerima gaji pertama kami, karena kami sudah satu bulan bekerja di rumah makan milik bu Lina itu. "Oh, iya, Man. Nanti aku langsung ke rumah makan aja sendiri, kamu nggak usah jemput aku. Kasihan kamu kalau harus bolak-balik antar jemput aku terus, " ucapku sambil menstater sepeda motor Amanda. "Aku nggak apa-apa, Ra. Kaya sama siapa aja kamu nih, " ujar Amanda sambil naik di bagian belakang. "Bukan begitu, Man. Hari ini kan kamu pasti masih capek kalau ha
"Astagfirullahalazim." Aku yang baru saja memejamkan mata, seketika membuka mataku setwlah mendengar suara mbak Sinta yang cukup keras. "Ibu itu bagaimana sih! Bisa kerja apa enggak! " Suara mbak Sinta terdengar lagi. Saat aku menajamkan pendengaranku, sepertinya mbak Sinta sedang membentak ibuku. Segera aku beranjak dari kasur ku menyambar kerudung instan di sampingku dan langsung keluar kamar. "Lagi-lagi Ibu ngerusakin baju kesayangan aku! " Aku segera berlari ke arah kamar belakang tempat cucian baju, karena arah suara mbak Sinta dari sana. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak sengaja, tadi Ibu tinggal sebentar karena ada seseorang yang mengetuk pintu depan. " Aku yang baru saja sampai di kamar belakang, seketika membelelakan mata melihat ibuku tertunduk di depan mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang dengan mata yang melotot melihat ke arah ibuku. "Halah, alasan terus Ibu ini!" ucap mbak Sinta lantang. "Mbak Sinta! " Mbak Sinta langsung menoleh ke arahku yang berjalan mendekat ke a