"Zahra! Kok malah diam sih? " Aku yang sedang memikirkan perasaan ibuku, jika tau aku tak melanjutkan pendidikan ku, seketika sedikit tersentak ketika Amanda menepuk lenganku. "Eh, iya, Man. Kenapa? Tadi kamu ngomong apa? " tanyaku melihat Amanda yang mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish, kamu itu ya, Ra. Aku tadi tanya kenapa kok kamu nggak jadi melanjutkan kuliah? " tanya balik Amanda. "Hufft ..., aku tak ada uang untuk membayar biaya kuliah, Man." Aku tertunduk lesu. Sebenarnya awalnya aku memang ingin setelah lulus aku mau langsung cari pekerjaan. Tetapi melihat ibuku yang sangat berharap aku meneruskan pendidikan ku ke perguruan tinggi. Membuatku berusaha mewujudkannya.Tetapi aku bingung harus bagaimana, biaya kuliah termasuk mahal. Tidak mungkin aku harus membuat ibu semakin banting tulang mencari uang untuk biaya pendidikan ku itu. Sementara saudara satu-satunya yang aku punya sudah angkat tangan tak mau ikut
"Kita berdoa saja, Ra. Semoga saja pengajuan beasiswa kita di terima. Tak perlu kampus yang ternama lah, yang biasa saja nggak apa asalkan kita tetap lanjut kuliah, " ujar Amanda membelokkan sepeda motornya ke gang menuju rumahku. "Ra! Ra! Ra! " teriak Amanda yang berada didepanku seraya melambatkan laju kendaraannya. Aku mendekatkan kepalaku ke kepala Amanda. "Ada apa sih, Man? Kok tiba-tiba manggil aku? ""Itu kan, kakak iparmu, kan? " tanya Amanda melihat ke depan. "Mana? " tanyaku celingukan. "Itu loh. Di teras rumah orang itu loh, " jawab Amanda. Aku kemudian melihat ke depan, dan benar saja mbak Sinta sedang duduk bersama ibu-ibu tetangga di depan rumah bu Sulis. Terlihat dia sedang menunjukkan tas berwarna merah kepada ibu-ibu lainnya. "Ini, loh, Bu. Bagus, kan? Harganya mahal loh, Bu, Ibu. "Terdengar suara mbak Sinta ketika aku dan Amanda sudah dekat dengan rumah tempat dimana mbak Sinta
"Mbak Sinta! " teriakku ketika tiba-tiba mbak Sinta merebut uang yang sedang aku pegang. "Nak, tolong kembalikan uang itu, Nak, " ucap ibuku memohon. "Hah, enak saja! Uang ini jadi milikku! Ingat Ibu masih punya hutang sama aku, buat ganti baju yang dulu Ibu rusakin, " tolak mbak Sinta dengan nada sinisnya. Terlihat mbak Sinta menghitung uang yang dirampasnya tadi. Sedangkan uang yang tadi aku sudah hitung aku sembunyikan lebih dalam dibawah tasku. Aku segera berdiri kemudian mencoba mengambil kembali uang yang diambil mbak Sinta tadi. "Ini, uang milik Ibuku! Mbak Sinta nggak berhak atas uang ini! " bentakku mencoba merebut uang di tangan mbak Sinta. Tetapi mbak Sinta juga menarik uang itu dengan lebih kuat. "Enak saja! Berani sakali ya kamu, Zahra! Ini tuh uang aku! " Terjadi tarik tarikan antara aku dan mbak Sinta. Tak ada yang mengalah di antara kami. Jelas aku tak ingin uang itu jatuh di tangan mbak Sinta.
"Mungkin rumah makan ini yang di maksud Mamang tukang bakso tadi, Man, " ucapku sambil menghentikan laju sepeda motor Amanda tepat di depan sebuah rumah makan yang lumayan ramai pengunjungnya. Setelah makan bakso tadi, memang aku dan Amanda langsung beranjak untuk melihat lowongan pekerjaan yang di sebutkan mamang bakso tadi. Aku yang betada di depan memboncengkan Amanda, melajukan kendaraan akhirnya di pojok jalan ini, kami berhenti tepat di depan rumah makan. "Kita turun dulu yuk, Ra. Kita tanya sama bapak tukang parkir itu, " ucap Amanda sambil menunjuk seorang bapak paruh baya yang sedang menata sepeda motor pengunjung. Akhirnya kami turun dari sepeda motor setelah kami ikut parkir di parkiran rumah makan ini. "Ini, Neng. Kartu parkirnya, " ucap bapak parkir tadi yang ternyata sudah ada di belakang kami. "Iya, Pak. Terimakasih, " ucapku menerima kartu parkir itu. Walau sebenarnya kedatangan kami disini tak berniat makan
"Haduh, Man. Aku capek banget hari ini, " keluhku sambil memijat lenganku, saat aku dan Amanda keluar menuju ke parkiran kampus. "Sama, Ra. Rasanya badanku kaya robot, " ujar Amanda yang juga meregangkan otot lehernya. Ya, memang hari ini adalah hari pertama semua mahasiswa baru menjalankan ospek. Rasanya tubuhku sudah tak karuan. Padahal nanti sore kami masih harus bekerja part time di warung makan. Aku dan Amanda memang memutuskan untuk tetap menjalankan pekerjaan sebagai pelayan di rumah makan waktu itu, bahkan kami sudah menerima gaji pertama kami, karena kami sudah satu bulan bekerja di rumah makan milik bu Lina itu. "Oh, iya, Man. Nanti aku langsung ke rumah makan aja sendiri, kamu nggak usah jemput aku. Kasihan kamu kalau harus bolak-balik antar jemput aku terus, " ucapku sambil menstater sepeda motor Amanda. "Aku nggak apa-apa, Ra. Kaya sama siapa aja kamu nih, " ujar Amanda sambil naik di bagian belakang. "Bukan begitu, Man. Hari ini kan kamu pasti masih capek kalau ha
"Astagfirullahalazim." Aku yang baru saja memejamkan mata, seketika membuka mataku setwlah mendengar suara mbak Sinta yang cukup keras. "Ibu itu bagaimana sih! Bisa kerja apa enggak! " Suara mbak Sinta terdengar lagi. Saat aku menajamkan pendengaranku, sepertinya mbak Sinta sedang membentak ibuku. Segera aku beranjak dari kasur ku menyambar kerudung instan di sampingku dan langsung keluar kamar. "Lagi-lagi Ibu ngerusakin baju kesayangan aku! " Aku segera berlari ke arah kamar belakang tempat cucian baju, karena arah suara mbak Sinta dari sana. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu nggak sengaja, tadi Ibu tinggal sebentar karena ada seseorang yang mengetuk pintu depan. " Aku yang baru saja sampai di kamar belakang, seketika membelelakan mata melihat ibuku tertunduk di depan mbak Sinta yang sedang berkacak pinggang dengan mata yang melotot melihat ke arah ibuku. "Halah, alasan terus Ibu ini!" ucap mbak Sinta lantang. "Mbak Sinta! " Mbak Sinta langsung menoleh ke arahku yang berjalan mendekat ke a
Bab 15"Zahra! " Aku yang sudah akan melangkah menuju kamar, seketika berhenti mendengar bentakan mas Dika. "Ada apa lagi? " tanyaku tanpa menoleh ke arah mas Dika berada. "Kamu itu kalau bicara di jaga. Apalagi kalau bicara dengan orang yang lebih tua, " ujar mas Dika yang membuatku tersenyum miring kemudian berbalik menghadap ke arah mas Dika. Terlihat mbak Sinta yang tersenyum sinis duduk di samping mas Dika dengan bergelayut di lengan mas Dika. Ish, rasanya aku jijik melihatnya. "Aku tau kok, Mas. Masalah itu. Mas Dika nggak usah repot-repot ingatin aku masalah sopan kepada yang lebih tua. Lebih baik mas Dika ajari saja istri tersayangmu itu, agar bisa punya tata krama, " ucapku sinis. Mengingat apa yang di lakukan mbak Sinta kepada ibuku. Dimana ibuku adalah orang yang lebih tua yang seharusnya bisa dihormati, bukan seperti mbak Sinta yang berbuat semena-mena kepada ibuku, dan juga tak ada sopan santun kepada ibuku. "Maksud kamu apa, Zahra? " tanya mas Dika dengan alis bert
Pov Dika"Nak, kamu tahu Zahra pergi kemana? Kok Ibu cari di kamarnya nggak ada ya? " tanya ibuku saat aku sedang makan malam bersama anak dan istriku. Tadi setelah menyajikan makanan di meja makan, ibu tak langsung duduk bersama aku dan Sinta yang sudah terlebih dulu duduk di kursi meja makan, ibuku pergi ke kamar Zahra. Kalau ibu tak mengetahui Zahra kemana, berarti tadi Zahra pergi tanpa berpamitan. Ish, dasar anak itu. Sebenarnya tadi aku merasa sedikit bersalah saat aku tak sengaja menampar Zahra. Tetapi sepertinya itu memang harus aku lakukan agar dia bisa di didik dengan benar. Pergaulan anak jaman sekarang memang harus di perhatikan. Apalagi Zahra seorang perempuan yang harus ekstra pengawasannya. "Pah, kok bengong sih. Itu, Ibu tanya, " ucap Sinta lembut sambil memegang lenganku. "Eh, iya. Maaf, " ucapku sembari tersenyum. "Tadi sore Zahra keluar, Bu. Mungkin ke rumah temannya itu, soalnya dia juga nggak pamit sama aku, Bu, " jawabku jujur kemudian melanjutkan menyuap ma