Riana menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Untungnya Gean masih tertidur pulas.
Begitu masuk Riana hanya berdiri mematung. Hatinya gundah, gelisah. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Gean? Akankah Gean akan mempertanyakan banyak hal?
"Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan?"
Riana mengusap wajah kasar, menghampiri Gean perlahan. Mengguncang bahu suaminya pelan membangunkan.
"Mas." panggilnya ragu.
Gean menggeliat pelan, membuka matanya perlahan, lalu bangkit untuk duduk.
Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.
Begitu sadar sepenuhnya, ia menoleh pada sang istri dan membelalak sempurna. Ia terkejut, begitu melihat seorang bayi berapa dalam gendongan Riana."Ri, ini bayi siapa? Kenapa kamu bawa ke sini? Kamu gak culik bayinya, kan? Gak mungkin, kan?" tanya Gean beruntun.
"Mas, tenang dulu. Biar aku jelasin."
"Gimana Mas bisa tenang, kamu tiba-tiba bawa bayi gini."
Riana duduk di sisi ranjang menghadap Gean. "Aku gak mungkin culik anak orang meskipun aku mau." jelas Riana.
"Ya, terus ini bayi siapa?"
Untuk sejenak Riana terdiam, sebelum menjawab pertanyaan Gean, Riana menarik napas panjang.
"Aku... nemuin bayi ini di teras." jawab Riana lirih.
"Maksud kamu?"
"Tadi aku kebangun, aku haus, tapi air di nakas habis makannya aku ambil ke dapur. Tapi, pas di ruang tengah aku denger suara bayi nangis. Aku pikir itu suara bayi tetangga, tapi suaranya terlalu jelas. Jadi, aku coba cek ke depan dan nemuin bayi ini." jelas Riana panjang. Dengan kebohongan.
"Bayi ini dibuang?"
"Mungkin hanya dititipkan sebentar."
"Gimana bisa kamu mikir begitu? Ini tengah malem, Ri. Hujan deras pula. Bayi ini hanya dipakaikan baju dan mantel yang tidak seberapa tebal. Bagaimana mungkin hanya dititipkan. Tega sekali orang tua kamu, nak."
Gean mengambil alih bayi dalam gendongan Riana. Menimangnya penuh sayang. Melihat itu, hati Riana begitu mencelos. Perasaan bersalah seketika menyeruak dalam relung hatinya.
Perasaan bersalah karena hingga saat ini Riana belum bisa memberikan anak untuk Gean. Juga perasaan bersalah karena tidak bisa berkata jujur.
"Maafkan aku, Mas. Aku terpaksa bohong sama kamu. Aku tidak mungkin mengatakan semuanya. Aku tidak mungkin membiarkanmu tahu." batin Riana menyesal.
"Ayo, kita lapor polisi. Agar orang tuanya cepat ditemukan." usul Gean.
"Mas, aku mau asuh anak ini." terang Riana.
Perhatian Gean seketika teralih. Alisnya terangkat naik."Aku mau asuh anak ini, setidaknya sampai orang tuanya datang."
"Lebih baik kita serahkan ini pada pihak yang berwajib."
Riana menggeleng kukuh. "Enggak, Mas. Aku mau asuh anak ini."
Gean mendekati Riana, menidurkan bayi itu di atas ranjang, memposisikan bayi itu dengan nyaman lalu menyelimutinya.
"Ri, untuk ini aku gak setuju. Kita gak tahu asal-usul bayinya. Gimana kalau-"
"Gimana kalau aku beneran gak bisa kasih anak buat kamu?" potong Riana cepat.
"Jangan-"
"Mas," Riana menatap Gean lekat, "mungkin ibu benar. Seharusnya dari dulu kamu ceraikan aku." Riana menunduk, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.
"Kamu koq, ngomongnya gitu?"
"Aku cape, Mas. Aku takut. Aku takut kamu akan tinggalin aku karena aku gak bisa kasih keturunan. Aku takut kamu pergi disaat aku terpuruk." Riana menggelengkan kepala, isakannya terdengar seiring air mata yang mengalir deras.
"Ri, punya anak sama asuh anak itu dua hal yang beda. Aku gak akan tinggalin kamu meskipun kita gak punya anak. Tapi untuk asuh anak, aku gak yakin.."
"Kenapa?"
"Kamu bilang anak ini kamu temuin di teras, kan? Kita gak tahu siapa orang tuanya. Bagaimana keluarga mereka. Kita gak tahu. Jadi, lebih baik, kita serahkan ke polisi. Agar polisi bisa dengan cepat menemukan orang tuanya."
"Gimana kalau anak ini malah di asuh sama orang jahat? Gimana kalau anak ini dijual terus diambil organnya? Kamu tega, Mas?"
Gean mengusap wajah kasar, bingung. Kenapa istrinya mendadak begitu kukuh ingin mengasuh anak?
"Astaga, Riana. Jangan mikir yang enggak-enggak!" Gean lama-lama kesal juga. Tapi, mencoba untuk meredamnya.
"Segala kemungkinan bisa terjadi. Selagi kita bisa kenapa enggak? Aku mohon, Mas. Aku ingin mengasuh anak ini, ya?" Riana menyatukan tangan di depan dada, memohon pada Gean.
"Tapi, Ri-"
"Kalau kita bisa mendidiknya dengan benar. Anak ini pasti akan menjadi anak yang baik. Mas, aku mohon, ijinkan, ya?"
Dengan helaan napas panjang akhirnya Gean menyetujui dengan pasrah.
Bagaimanapun, Riana benar. Jika anak ini jatuh pada orang yang salah, Gean tidak tahu akan seberapa besar penyesalannya nanti.
Karena saat ini ia mampu untuk menghidupi. Ia mampu memberikan kasih sayang. Tidak ada salahnya juga.
Riana tersenyum senang, menghambur dalam pelukan Gean. Mengucapkan terima kasih berkali-kali. Meski agak kesal, tak urung Gean ikut tersenyum.
"Lalu, bagaimana nanti jika ibu tahu?"
Pertanyaan itu membuat Riana seketika diam, mengurai pelukan.
~~~~~~
Riana menatap rumah megah itu dengan ragu, di sampingnya Gean tak henti mengusap bahu Riana.
Saat mereka tengah berada di depan rumah Rita. Setelah berdiskusi semalaman mereka akhirnya memutuskan memberihu sang ibu mertua.
Dengan segenap keberanian yang tersisa, Riana menoleh pada Gean, mengangguk memberi isyarat bahwa ia sudah siap.
Begitu melihat sinyal Gean dengan sigap menekan bel. Menunggu si empu rumah membukakan pintu untuk mereka.
Tak lama kemudian, sosok Rita muncul dibalik pintu. Dengan kening mengkerut Rita bertanya.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Rita ketus.
"Bu-"
"Diam kamu! Ibu gak nanya sama kamu, Gean!"
Nyali Riana seketika ciut, namun kepalang tanggung, mereka sudah ada di sini. Dan, Riana harus menyampaikan pada ibu mertuanya.
"Maaf, bu. Riana hanya ingin memberitahu ibu, kalau Riana-"
Belum selesai Riana berucap, Rita lebih dulu memotong.
"Kalau kamu ke sini cuman mau bilang kamu mutusin buat adopsi anak. Mending sekarang kamu pergi! Saya gak mau menantu mandul seperti kamu menginjakkan kaki di rumah saya!"
Ucapan Rita begitu menusuk, hingga Riana terbungkam dengan hati yang sesak.
"Dan buat kamu Gean. Jangan harap ibu mau terima kamu sebagai anak kalau kamu belum juga ceraikan dia!"
BRAKKK
Keduanya terperanjat, Riana limbung. Ia tak sanggup menopang berat tubuhnya jika saja tangan Gean tidak sigap menahan.
Dadanya bergemuruh hebat, Riana marah, Riana kesal. Ia ingin berteriak balas mencaci, ia ingin menjambak mulut mertuanya, menggosok mulut itu dengan cabai.
Andai saja dia bukan mertuanya, Riana pasti akan sudah menarik kerahnya bajunya, membanting dan meremukkan seluruh tulangnya.
Itu adalah perkataan paling menyakitkan yang pernah Riana dengar sepanjang hidupnya.
Dan, kini. Yang bisa ia lakukan adalah meredam kemarahan lalu menangis diam-diam. Hatinya selalu teriris dan kepalanya di penuhi rasa kesal setiap kali datang ke sini.
Baiklah, Riana tidak akan menyakiti diri lagi. Ia hanya akan fokus mengurus bayinya, meski bukan anak kandung.
18 tahun kemudianRiana tidak menduga, setelah 18 tahun berlalu ia akan kembali lagi menginjakkan kaki ke rumah ini. Rumah milik Rita, mertuanya.Setelah lebih dari 25 tahun tidak pernah mendapat pengakuan dari mertuanya.Kemarin, Rita mengundang keluarganya untuk hadir diacara ulang tahunya.Tentu saja Riana sangat antusias, apalagi Randu putranya belum pernah sama sekali berkumpul dengan keluarga sang Ayah.Riana tersenyum lega, kehadiran Randu disambut hangat oleh kerabat lain. Meski Rita masih bersikap dingin. Randu bahkan ditarik ke sana- ke mari hingga anak itu kebingungan.Sedangkan Gean, sudah melipir pergi bersama adiknya entah ke mana.Tinggalah Riana bersama Sari, istri dari Rian adik Gean. Rita memiliki dua putra,Gean adalah putra sulungnya, dan Rian adalah bungsunya.Rian menikah dengan sari beberapa bulan sebelum Gean dan Riana mengadopsi anak. Usia dua kakak beradik itu mem
"Lalu, kau pikir aku SUDI MEMBERIKAN PUTRAKU PADA KALIAN?!!" Riana berteriak nyalang, "sentuh putraku, kubunuh kalian!""Riana!"PlakkSatu tamparan mendarat pada wajah pria yang baru saja meneriakkan namanya."Sentuh putraku, kuhancurkan kalian!" suara Riana dalam, penuh penekanan. Juga tatapan yang mengintimidasi.Namun, pria yang ditamparnya barusan balik menatap, mendekat satu langkah pada Riana."Jangan karena kini kau memiliki kehidupan yang berbeda, kau merasa bukan bagian dari kami. Ingatlah, Riana. Bahwa kau tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu yang mengikat erat jiwamu. Meski kini, kau tidak bersama kami." ucapnya pelan, meremat pundak Riana kuat hingga wanita itu meringis."Karena itu, seharusnya kalian takut untuk mengusikku kembali. Apa kau pikir, aku tidak sanggup menghancurkan kalian?!" setelah mengatakan itu, Riana melenggang pergi dengan langkah tergesa."KAU-! KEMBALI
Riana duduk di tepi ranjang, semenjak pulang dari kediaman Rita. Sikap Riana berubah, ia jadi lebih banyak diam.Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengusak rambutnya yang basah. Menghela napas panjang begitu melihat Riana seperti orang kehilangan jiwa.Pria yang berusia setengah abad itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga."Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean.Riana menoleh, binar matanya meredup. Kesedihan terpancar jelas dalam netra jernih itu."Kamu kenapa?" tanya Gean sekali lagi."Aku... kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah."Ada apa sama dia?""Randu..." jeda sejenak, Riana menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "dia udah tahu semuanya. Dia udah tahu... kalau dia bukan anak kandung kita."Handuk yang Gean pegang terlepas dari genggaman, jatuh meluruh ke lantai. Gean sendiri
Riana baru saja memasuki ruangan ketika seorang pria berkepala plontos mengikutinya dari belakang. Menjulurkan sebuah map berwarna hitam. Berisi beberapa informasi yang Riana minta sebelumnya."Mereka berkembang menjadi lebih besar dibanding sebelumnya. Bahkan setelah tragedi itu. Pemerintah tidak membiarkan mereka meredup. Pembongkaran markas dulu, membangun markas baru yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap. Mereka juga memasok beberapa senjata memasok beberapa senjata yang hanya dimiliki negara tertentu. Juga..." dia menjeda ucapannya."Juga?" Riana berbalik, menatap pria didepannya tanpa ekspresi."Semakin banyak orang mereka, semakin banyak orang tua yang kehilangan putranya."Riana menghela napas, memijat pelipisnya. Pria yang berbicara dengannya adalah pria yang sama dengan yang menelponnya."Apa itu masuk akal?""Anda tahu bagaimana cara kerja mereka." jawab Paul.Riana duduk di k
Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.Tidak ada siapa-siapa juga di sana.Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya."Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.Paul mengangguk."Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.
Randu baru saja selesai berganti pakaian setelah jam olahraga, ketika seseorang masuk dan menepuk bahunya dari belakang cukup keras, hingga membuat pemuda itu berjengit kaget."Ow, Randu!" Dika, orang yang menepuk Randu itu berseru girang.Randu mendelik, "Kenapa?""Sepertinya kau baru saja mendapat surat cinta?" Dika terkekeh."Surat cinta?" pemuda itu mengernyit."Yap, di mejamu ada sepucuk surat juga sebuket mawar biru.""Dari siapa?" tanya Randu heran.Dika mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu, "mungkin dari kekasihmu.""Tidak ada kekasih!" sanggah Randu cepat."Kalau begitu dari orang yang menyukaimu!"Randu berbalik pada Dika, menatap temannya itu dengan pandangan datar, "Jangan mengada-ada!""Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. At
Dika menganga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia lihat secara nyata.Bangunan rahasia yang dia pikir hanya ada di film-film, kini terpampang jelas di depan matanya."Darimana kau tahu tempat ini?" tanya Dika masih dengan pandangan takjub. Matanya menelisik pada setiap inci bangunan yang mereka lewati."Ibuku."Dika menoleh, "Kau dan ibumu menemukan tempat ini?"Randu menggeleng, "Ibuku pemilik tempat ini.""Oh..." Dika mengangguk-ngangguk, untuk beberapa detik selanjutnya, pemuda itu melotot, "HAH?!""Kecilkan suaramu!" peringat Randu."Ibumu, ibumu yang baik hati dan lemah lembut itu, pemilik tempat ini? Tempat sangar ini? Kau mau aku percaya pada omong kosongmu?!""Terserah, tapi itulah kenyataannya." Randu berjalan mendahului Dika yang masih ternganga tidak percaya.Pemuda itu memimpin jalan, berjalan pelan, tenang agar tidak ketahuan. Sama sepe
Riana berjalan melewati orang-orang yang masih berpeluh di dahinya. Mereka berjajar di sepanjang jalan. Langkah Riana cepat dan tegas, wajah cantik tanpa kerutan itu terlihat kusut. "Kenapa kalian LENGAH?!!!" sentak Riana diakhir kalimatnya, seraya berhenti melangkah dan berbalik menatap semua rekannya. Wanita itu memijat pelipisnya, "apa yang hilang?" "Berkas lost." jawab Paul cepat. Riana memejamkan mata rapat, kepalanya mendadak pening. Sudah dipastikan, siapa pun yang mengambilkan berkas itu, pasti berhubungan dengan lost. Entah mereka adalah orang-orang Lost atau bukan. Yang jelas, Riana tidak bisa membiarkan siapa pun mengambil berkas itu darinya. "Berapa orang?""Dua..." jawab seseorang di sisi kiri Riana, lirih. "Mereka hanya dua orang, tapi kalian tidak sanggup menangkap mereka?!!" Nada bicara Riana meninggi, kesal setengah mati. Barisan pria kekar yang tadi mengejar Randu serentak menunduk. "Kalian memiliki tubuh tinggi yang kekar, tapi kalian begitu lambat hingga ke