Share

Adopsi

Author: Garis_Langit
last update Last Updated: 2022-02-03 20:49:44

Riana menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Untungnya Gean masih tertidur pulas.

Begitu masuk Riana hanya berdiri mematung. Hatinya gundah, gelisah. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Gean? Akankah Gean akan mempertanyakan banyak hal?

"Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan?"

Riana mengusap wajah kasar, menghampiri Gean perlahan. Mengguncang bahu suaminya pelan membangunkan.

"Mas." panggilnya ragu.

Gean menggeliat pelan, membuka matanya perlahan, lalu bangkit untuk duduk.

Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.

Begitu sadar sepenuhnya, ia menoleh pada sang istri dan membelalak sempurna. Ia terkejut, begitu melihat seorang bayi berapa dalam gendongan Riana.

"Ri, ini bayi siapa? Kenapa kamu bawa ke sini? Kamu gak culik bayinya, kan? Gak mungkin, kan?" tanya Gean beruntun.

"Mas, tenang dulu. Biar aku jelasin."

"Gimana Mas bisa tenang, kamu tiba-tiba bawa bayi gini."

Riana duduk di sisi ranjang menghadap Gean. "Aku gak mungkin culik anak orang meskipun aku mau." jelas Riana.

"Ya, terus ini bayi siapa?"

Untuk sejenak Riana terdiam, sebelum menjawab pertanyaan Gean, Riana menarik napas panjang.

"Aku... nemuin bayi ini di teras." jawab Riana lirih.

"Maksud kamu?"

"Tadi aku kebangun, aku haus, tapi air di nakas habis makannya aku ambil ke dapur. Tapi, pas di ruang tengah aku denger suara bayi nangis. Aku pikir itu suara bayi tetangga, tapi suaranya terlalu jelas. Jadi, aku coba cek ke depan dan nemuin bayi ini." jelas Riana panjang. Dengan kebohongan.

"Bayi ini dibuang?"

"Mungkin hanya dititipkan sebentar."

"Gimana bisa kamu mikir begitu? Ini tengah malem, Ri. Hujan deras pula. Bayi ini hanya dipakaikan baju dan mantel yang tidak seberapa tebal. Bagaimana mungkin hanya dititipkan. Tega sekali orang tua kamu, nak."

Gean mengambil alih bayi dalam gendongan Riana. Menimangnya penuh sayang. Melihat itu, hati Riana begitu mencelos. Perasaan bersalah seketika menyeruak dalam relung hatinya.

Perasaan bersalah karena hingga saat ini Riana belum bisa memberikan anak untuk Gean. Juga perasaan bersalah karena tidak bisa berkata jujur.

"Maafkan aku, Mas. Aku terpaksa bohong sama kamu. Aku tidak mungkin mengatakan semuanya. Aku tidak mungkin membiarkanmu tahu." batin Riana menyesal.

"Ayo, kita lapor polisi. Agar orang tuanya cepat ditemukan." usul Gean.

"Mas, aku mau asuh anak ini." terang Riana.

Perhatian Gean seketika teralih. Alisnya terangkat naik.

"Aku mau asuh anak ini, setidaknya sampai orang tuanya datang."

"Lebih baik kita serahkan ini pada pihak yang berwajib."

Riana menggeleng kukuh. "Enggak, Mas. Aku mau asuh anak ini."

Gean mendekati Riana, menidurkan bayi itu di atas ranjang, memposisikan bayi itu dengan nyaman lalu menyelimutinya.

"Ri, untuk ini aku gak setuju. Kita gak tahu asal-usul bayinya. Gimana kalau-"

"Gimana kalau aku beneran gak bisa kasih anak buat kamu?" potong Riana cepat.

"Jangan-"

"Mas," Riana menatap Gean lekat, "mungkin ibu benar. Seharusnya dari dulu kamu ceraikan aku." Riana menunduk, tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.

"Kamu koq, ngomongnya gitu?"

"Aku cape, Mas. Aku takut. Aku takut kamu akan tinggalin aku karena aku gak bisa kasih keturunan. Aku takut kamu pergi disaat aku terpuruk." Riana menggelengkan kepala, isakannya terdengar seiring air mata yang mengalir deras.

"Ri, punya anak sama asuh anak itu dua hal yang beda. Aku gak akan tinggalin kamu meskipun kita gak punya anak. Tapi untuk asuh anak, aku gak yakin.."

"Kenapa?"

"Kamu bilang anak ini kamu temuin di teras, kan? Kita gak tahu siapa orang tuanya. Bagaimana keluarga mereka. Kita gak tahu. Jadi, lebih baik, kita serahkan ke polisi. Agar polisi bisa dengan cepat menemukan orang tuanya."

"Gimana kalau anak ini malah di asuh sama orang jahat? Gimana kalau anak ini dijual terus diambil organnya? Kamu tega, Mas?"

Gean mengusap wajah kasar, bingung. Kenapa istrinya mendadak begitu kukuh ingin mengasuh anak?

"Astaga, Riana. Jangan mikir yang enggak-enggak!" Gean lama-lama kesal juga. Tapi, mencoba untuk meredamnya.

"Segala kemungkinan bisa terjadi. Selagi kita bisa kenapa enggak? Aku mohon, Mas. Aku ingin mengasuh anak ini, ya?" Riana menyatukan tangan di depan dada, memohon pada Gean.

"Tapi, Ri-"

"Kalau kita bisa mendidiknya dengan benar. Anak ini pasti akan menjadi anak yang baik. Mas, aku mohon, ijinkan, ya?"

Dengan helaan napas panjang akhirnya Gean menyetujui dengan pasrah.

Bagaimanapun, Riana benar. Jika anak ini jatuh pada orang yang salah, Gean tidak tahu akan seberapa besar penyesalannya nanti.

Karena saat ini ia mampu untuk menghidupi. Ia mampu memberikan kasih sayang. Tidak ada salahnya juga.

Riana tersenyum senang, menghambur dalam pelukan Gean. Mengucapkan terima kasih berkali-kali. Meski agak kesal, tak urung Gean ikut tersenyum.

"Lalu, bagaimana nanti jika ibu tahu?"

Pertanyaan itu membuat Riana seketika diam, mengurai pelukan.

~~~~~~

Riana menatap rumah megah itu dengan ragu, di sampingnya Gean tak henti mengusap bahu Riana.

Saat mereka tengah berada di depan rumah Rita. Setelah berdiskusi semalaman mereka akhirnya memutuskan memberihu sang ibu mertua.

Dengan segenap keberanian yang tersisa, Riana menoleh pada Gean, mengangguk memberi isyarat bahwa ia sudah siap.

Begitu melihat sinyal Gean dengan sigap menekan bel. Menunggu si empu rumah membukakan pintu untuk mereka.

Tak lama kemudian, sosok Rita muncul dibalik pintu. Dengan kening mengkerut Rita bertanya.

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Rita ketus.

"Bu-"

"Diam kamu! Ibu gak nanya sama kamu, Gean!"

Nyali Riana seketika ciut, namun kepalang tanggung, mereka sudah ada di sini. Dan, Riana harus menyampaikan pada ibu mertuanya.

"Maaf, bu. Riana hanya ingin memberitahu ibu, kalau Riana-"

Belum selesai Riana berucap, Rita lebih dulu memotong.

"Kalau kamu ke sini cuman mau bilang kamu mutusin buat adopsi anak. Mending sekarang kamu pergi! Saya gak mau menantu mandul seperti kamu menginjakkan kaki di rumah saya!"

Ucapan Rita begitu menusuk, hingga Riana terbungkam dengan hati yang sesak.

"Dan buat kamu Gean. Jangan harap ibu mau terima kamu sebagai anak kalau kamu belum juga ceraikan dia!"

BRAKKK

Keduanya terperanjat, Riana limbung. Ia tak sanggup menopang berat tubuhnya jika saja tangan Gean tidak sigap menahan.

Dadanya bergemuruh hebat, Riana marah, Riana kesal. Ia ingin berteriak balas mencaci, ia ingin menjambak mulut mertuanya, menggosok mulut itu dengan cabai.

Andai saja dia bukan mertuanya, Riana pasti akan sudah menarik kerahnya bajunya, membanting dan meremukkan seluruh tulangnya.

Itu adalah perkataan paling menyakitkan yang pernah Riana dengar sepanjang hidupnya.

Dan, kini. Yang bisa ia lakukan adalah meredam kemarahan lalu menangis diam-diam. Hatinya selalu teriris dan kepalanya di penuhi rasa kesal setiap kali datang ke sini.

Baiklah, Riana tidak akan menyakiti diri lagi. Ia hanya akan fokus mengurus bayinya, meski bukan anak kandung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibuku Bukan Wanita Biasa    Sudah Berakhir

    Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe

  • Ibuku Bukan Wanita Biasa    Hampir Berakhir

    Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d

  • Ibuku Bukan Wanita Biasa    Fakta Tentang Martin

    Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub

  • Ibuku Bukan Wanita Biasa    Harinya

    Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka

  • Ibuku Bukan Wanita Biasa    Ayah Kandung

    “Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Riana terkejut. Bagaimana Riana tidak terkejut. Sekalipun Riana tidak pernah mengatakan perihal tempat ini kepada siapa pun kecuali rekan-rekannya yang ikut bersamanya. Markas yang Riana dirikan, berada di tempat terpencil sekaligus tersembunyi. Sengaja ia memilih tempat ini, karena lebih memungkinkan bersembunyi. Selain tempat, keamanan juga Riana terapkan cukup ketat. Lalu, tiba-tiba Claire datang, tanpa pemberitahuan, setelah bertahun-tahun lamanya.Sebagai tamu, kenapa Claire tidak datang ke rumahnya? Kenapa dia tahu tempat ini? Apa tujuannya?Prasangka-prasangka buruk kembali berkelebatan di benak Riana. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku tidak pernah memberitahumu tentang ini. Darimana kau tahu?" Riana bertanya betubi-tubi."Maaf, Riana. Aku lancang datang ke tempat persembunyianmu. Tapi, aku tahu tempat ini setelah mengikuti putraku."“Apa?!” Riana membelalak.“Saat itu, aku datang ke rumahmu. Ingin menyapa, melihat putraku. Tapi, aku tid

  • Ibuku Bukan Wanita Biasa    Orang tua Kandung

    Segurat ingatan masa lalu menyeruak dipikiran Riana. Mungkin pula itu sebab Martin mendendam padanya.Padahal saat dulu, Riana sering kali mengajak keluar dari tempat itu bersamanya, melepas belenggu yang mengikat. Menjalani kehidupan biasa. Layaknya orang-orang.Sayangnya, Martin selalu menolak mentah-mentah. Berdalih bahwa tempat itu sudah seperti rumah baginya. Tidak ada tempat bagi orang-orang sepeti mereka di luar sana.Setelah berhasil melepaskan diri, kini Riana harus kembali ditarik ke dalam belenggu menyesakkan, yang membuat hidupnya selama ini tidak bebas. Padahal, perjuangan Riana agar bisa lepas tidaklah main-main.Masa lalu itu menghancurkan segalanya. Mungkin Riana harus rela melepaskan Gean. Mungkin pula pria itu tidak sudi untuk melihatnya lagi.Riana menekuk kakinya, menunduk menenggelamkan wajah dikedua lipatan tangan. Menangis terisak dalam diam.Jika mencintai ternyata sesulit dan sesakit ini. Riana ingin memutar waktu, kembali pada masa itu. Memilih menetap di san

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status