Share

Ibuku Bukan Wanita Biasa
Ibuku Bukan Wanita Biasa
Penulis: Garis_Langit

Bayi yang Dititipkan.

Rita tersenyum sumringah begitu melihat mobil putra sulungnya memasuki pekarangan rumah. Tak lama kemudian, Gean keluar dari mobil disusul istrinya Riana.

Gean menggandeng Riana kehadapan sang ibu, menyalaminya. 

"Apa kabar, nak?" tanya Rita begitu antusias sembari mengelus lembut surai rambut Gean. Wajahnya begitu berbinar. 

"Gean baik, bu." 

Rita tersenyum lebih lebar, beralih pada menantunya. "Menantu ibu. Kamu udah punya kabar baik buat ibu, kan?" 

Riana yang baru saja mengecup punggung tangan Rita seketika terdiam. Ia sudah menduga hal ini, karena setiap kali datang berkunjung, Rita selalu melontarkan pertanyaan  yang sama.

Dengan senyum getir, Riana mendongak, menatap ibu mertuanya dengan sendu, menggelangkan kepala sebagai jawaban. 

"Maaf, bu. Hasilnya masih negatif." lirih Riana, menunduk. 

Senyum yang sedari tadi Rita pasang memudar, berubah menjadi pandangan datar. 

"Terus selama ini kamu ngapain aja? Katanya ikut program hamil. Mana, sampai sekarang gak ada hasilnya." Rita berujar sarkas. 

"Belum rejekinya, bu. Lagipula kami hanya berusaha, hasilnya bukan kami yang tentukan." sahut Gean, merangkul bahu Riana, mengusapnya pelan.

"Halah, usaha apa? Usaha abisin duit buat yang hal yang gak berguna?" 

"Bu, berhenti memojokkan istriku. Setiap kali kami datang ke sini ibu selalu marah untuk alasan yang sama. Bukan kehendak kami jika sampai saat ini belum juga diberi momongan." Gean mencoba berbicara selembut mungkin agar tidak menyakiti perasaan ibunya. 

Sejujurnya Gean lelah. Ibunya selalu membahas hal yang sama. Tidak pernah mau mengerti keadaan mereka. Dan, istrinya. Terlalu sabar untuk segala caci maki yang Rita lontarkan setiap kali mereka datang. 

"Ibu butuh cucu, ibu mau keturunan dari putra sulung ibu, Gean! Seharusnya, dari dulu kamu ceraikan wanita ini, dan cari wanita lain yang bisa kasih kamu keturunan!" 

"Bu!" sentak Gean pada akhirnya. 

"Udahlah, ibu cape. Gak ada gunanya kamu pertahankan dia sebagai istri. Dia gak bisa kasih kamu keturunan." ujarnya sinis.

Setelah mengatakan itu, Rita berlalu masuk dengan langkah yang dihentak kesal. Meninggalkan anak dan menantunya di teras rumah. Rita Menatap Riana dengan pandangan sulit diartikan sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah. 

Riana hanya bisa menunduk, mengelus dada sabar. Perkataan Rita kali ini begitu menusuk. Menyakitkan. 

Siapa yang tidak ingin memiliki anak? Setiap makhluk bumi di dunia ini pasti ingin memiliki anak. Bahkan keinginannya begitu besar hingga sulit dijabarkan lewat kata.

Mereka sudah hampir 8 tahun menjalani pernikahan, namun hingga saat ini belum juga diberi kepercayaan.

Mereka sudah berusaha semampu mereka. Tapi, hasilnya tetap sama. Lalu bagaiamana? Ketentuan bukan berada di tangan manusia. Manusia hanya bisa berusaha, jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan, mungkin belum saatnya.

Terkadang Riana lelah dan ingin menyerah. Segala usaha yang mereka lakukan tak ada hasilnya. Riana menarik napas panjang, menetralkan gemuruh amarah di dada. 

Gean menangkup wajah Riana yang memanas akibat menahan amarah. Dikecupnya lembut pucuk kepala istrinya. 

"Jangan ditahan, luapkan semuanya. Aku tahu perkataan ibu kali ini keterlaluan. Aku paham. Kamu boleh nangis, kamu boleh ngeluh, kamu boleh marah. Keluarin semua yang bikin kamu sakit. Aku di sini." Gean berujar lembut. Tatapannya begitu teduh, jari Gean mengusap lembut pipi istrinya.

Pertahanan Riana runtuh, genangan air dipelupuk matanya seketika jatuh. Riana menangis, Gean menarik Riana dalam sebuah dekapan hangat. Menepuk-nepuk pelan punggung rapuh istrinya, menenangkan. Berkali-kali mengecup pucuk kepalanya.

"Aku cape, Mas." lirih Riana dalam tangisnya. 

Gean semakin mendekap Riana erat, hatinya ikut teriris mendengar isak tangis istrinya. 

"Kalau begitu kamu istirahat, ya. Tapi, aku harap kamu gak nyerah, apapun keadaannya." 

Riana mengangguk. Setelah agak tenang, Gean mengurai pelukannya. Mengusap air mata Riana dengan ibu jari. 

"Kita pulang, ya?" 

Kembali Riana mengangguk, dengan sedikit senyum di wajahnya. Bersyukur karena Gean tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya. Mereka pulang... dengan luka yang sama.

*******

Jam menunjukkan pukul 23.04. Riana masih terjaga, terduduk di atas ranjang. Menatap Gean yang sudah tertidur pulas.

Pandangan Riana menerawang. Perkataan Rita kembali terngiang, mengusik pikirannya.

Bagaimana jika memang benar, bahwa dirinya tidak akan pernah bisa memberi Gean keturunan? Apa Gean masih akan bersamanya? Apa harus ia melepaskan Gean? Agar laki-laki ini bisa mencari wanita lain yang bisa memberinya keturunan? 

Tiba-tiba ponsel Riana bergetar membuyarkan lamunannya. Ada sebuah panggilan masuk, nama seseorang yang sangat Riana kenal muncul di layar.

Gegas Riana menjawab telpon itu. 

'Halo.'  sapa suara di sebrang sana. 

"Halo." 

'Riana, ini aku. Bisakah kita bertemu sekarang? Ada hal yang ingin kusampaikan.' 

"Ini hampir tengah malam, lagipula sedang hujan deras. Bagaimana jika besok?" 

'Keluarlah sebentar, aku sudah di depan rumahmu.' 

Tut

Sambungan telpon diputus begitu saja, Riana mengernyitkan dahi. Namun, tak urung untuk keluar menemui temannya.

Begitu membuka pintu, Riana dihadapkan dengan derasnya hujan dan seorang wanita berdiri di depan pintu. Mengenakan pakaian serba hitam, membawa payung dan menggendong bayi.

"Astaga, kenapa kamu meminta bertemu larut malam begini? Ayo, masuk. Di luar dingin." ucap Riana sedikit berteriak. 

Wanita itu menggeleng pelan, menaruh payungnya, mendekat pada Riana. 

"Ri..." panggilnya, "bisakah, aku menitipkan anakku padamu?" 

"Kenapa? Memangnya kamu mau ke mana?" 

"Ada hal yang harus kulakukan. Hal yang harus aku selesaikan."

Riana terdiam.

"Aku tahu kamu mengerti maksudku," ia meraih tangan Riana menggenggamnya erat, "kumohon, tolong jaga anakku selama aku pergi. Hanya kamu satu-satunya yang bisa aku percaya. Aku tidak memiliki siapapun untuk kumintai tolong. Aku mohon Riana." lirihnya begitu memohon. 

"Berapa lama kamu akan pergi?" 

"Aku tidak tahu, mungkin saja aku tidak kembali." 

"Hei! Jangan bicara seperti itu." 

"Aku mohon Riana. Aku tidak bisa meninggalkan anakku sendirian." 

Pandangannya begitu memohon penuh harap. Riana menghela napas. "Baiklah, aku akan menjaganya untukmu." putus Riana pada akhirnya. 

Wanita itu tersenyum, menyerahkan bayinya pada Riana. 

"Terima kasih, Riana." 

Ia menyerahkan sebuah kalung berinisial R. "Dia laki-laki, aku memberinya nama Randu." ucapnya, mengelus pipi gembul putranya. 

Riana hanya menatap tanpa merespon.

"Kamu boleh mengganti namanya. Kita pernah berjanji, bahwa aku memberi anakmu nama, dan kamu akan memberi anakku nama." ia terkekeh. 

Riana ikut tersenyum, mengingat janji mereka. Wanita itu mendongak, menatap Riana dengan pandangan yang sulit diartikan. 

"Jika aku tidak kembali, tolong jaga anakku, ya? Kuharap kamu akan menyayanginya seperti menyayangi anakmu." 

"Berhenti bicara yang tidak-tidak. Kamu harus kembali dengan selamat." 

Ia tersenyum, mengangguk. "Aku harus pergi, maaf jika aku merepotkanmu malam-malam begini." 

"Hati-hati." 

Wanita itu mengangguk, kemudian berlalu pergi. Ditengah hujan deras, sebelum benar-benar pergi ia menoleh sekilas. Kemudian menghilang dibalik pagar. Meninggalkan Riana seorang.

Riana menatap bayi yang berada dalam gendongannya dengan gelisah.

"Apa yang harus aku katakan pada Mas Gean?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status