"Lalu, kau pikir aku SUDI MEMBERIKAN PUTRAKU PADA KALIAN?!!" Riana berteriak nyalang, "sentuh putraku, kubunuh kalian!"
"Riana!"
Plakk
Satu tamparan mendarat pada wajah pria yang baru saja meneriakkan namanya.
"Sentuh putraku, kuhancurkan kalian!" suara Riana dalam, penuh penekanan. Juga tatapan yang mengintimidasi.
Namun, pria yang ditamparnya barusan balik menatap, mendekat satu langkah pada Riana.
"Jangan karena kini kau memiliki kehidupan yang berbeda, kau merasa bukan bagian dari kami. Ingatlah, Riana. Bahwa kau tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu yang mengikat erat jiwamu. Meski kini, kau tidak bersama kami." ucapnya pelan, meremat pundak Riana kuat hingga wanita itu meringis.
"Karena itu, seharusnya kalian takut untuk mengusikku kembali. Apa kau pikir, aku tidak sanggup menghancurkan kalian?!" setelah mengatakan itu, Riana melenggang pergi dengan langkah tergesa.
"KAU-! KEMBALI KE SINI!! URUSAN KITA BELUM SELESAI RIANA!! RIANA!!"
Riana tidak peduli, wanita itu terus mengayunkan kaki untuk pergi dari sana secepatnya. Meski kedua orang itu terus memanggilnya dengan suara nyaring, Riana berlagak tuli.
Pikirannya tertuju pada Randu. Randu pasti marah, dia pasti kecewa juga bingung.
Riana harus menjelaskan semuanya. Riana tidak ingin Randu membencinya, dia tidak ingin... kehilangan Randu.
Riana tidak tahu di mana letak salahnya. Randu jelas putra dari teman yang dititipkan padanya. Yang hingga saat ini, belum juga ada kabar berita.
Lantas, mengapa tiba-tiba mereka meng-klaim Randu hak milik mereka? Apa hubungan mereka dengan temannya?
Kenapa?
Ataukah... jangan-jangan...
Riana terhenyak, langkahnya terhenti seketika. Ketika sebuah pemikiran menyeruak dalam benak.
Riana menggelengkan kepalanya kuat, mencoba menepis segala kemungkinan buruk.
Jika asumsinya benar, maka Randu dalam bahaya.
"Tidak. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa merebut Randu dariku. Sekalipun itu mereka." lirih Riana pada dirinya sendiri.
Wanita itu mulai berlari, ia harus cepat sampai dan menjelaskan semuanya pada Randu.
Riana menggebrak pintu begitu sampai di rumah Rita. Semua orang yang sedang berkumpul menoleh terkejut.
"Mba, ada apa?" tanya Sari khawatir.
"Kamu kenapa, Ri? Ada apa?" Gean bertanya.
Yang ditanyai hanya melongo, linglung. Antara malu dan cemas. Riana lupa, jika ia sedang berada di rumah mertuanya.
"Ri, kamu baik-baik aja, kan?" Gean kembali bertanya khawatir.
Riana hanya tersenyum kikuk kemudian mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada Randu yang sedang menata gelas di atas meja. Pemuda itu bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa.
Riana mendekat, duduk disampingnya.
"Randu..." panggil Riana lirih, "Ibu bisa je-"
"Nanti, bu. Randu tidak ingin mengacau di rumah Oma. Lagipula ini kali pertama buat Randu bisa kumpul keluarga kaya gini." jawab Randu dingin, tanpa menoleh.
"Tapi-"
"Apapun alasannya, kalau Ibu bicara sekarang. Mungkin Randu gak akan terima. Jadi, tolong kasih Randu waktu buat cerna semuanya."
Riana menghela napas pasrah. Ia tidak bisa memaksa jika Randu tidak ingin penjelasan sekarang.
Acara dimulai dengan lancar, semua orang terlibat obrolan ringan nan hangat. Rita terlihat sekali bahagia.
Sedang Gean sedari tadi diam-diam memperhatikan gelagat aneh istrinya. Sejak Riana menggebrak pintu, Gean tahu ada yang salah.
Sikap Randu juga tidak seperti biasa sejak sepulang membeli minuman. Meski putranya itu terlihat baik-baik saja.
Sari mengatakan jika Riana dan Randu pergi bersama. Namun, kembali dalam waktu yang berbeda. Bahkan selisih waktu antara mereka lebih dari dua puluh menit.
Ekspresi cemas Riana begitu kentara di mata Gean. Tidak biasanya Riana seperti ini. Istrinya itu memiliki pembawaan yang tenang. Sangat jarang melihat Riana secemas ini.
Entah kenapa, perasaan Gean mulai menjadi tidak nyaman.
"Riana." panggil sang ibu mertua.
Pemilik nama menoleh. " Iya, bu?"
"Kamu darimana aja, koq, baliknya lama?" tanya Rita santai sambil mengunyah kacang.
Riana gelagapan. "Euh, itu, tadi, Riana..."
"Tadi Ibu ketemu sama temennya. Mereka ngobrol lama makanya Randu pergi duluan." sambar Randu cepat.
"Temen?" Gean bersuara.
Randu mengangguk.
"Temen siapa?"
Randu mengendikan bahu tidak tahu. Dan, jawaban Randu sukses menimbulkan kecurigaan Gean pada Riana.
~~~~~~
Waktu menunjukkan pukul 19.07, keluarga kecil itu dalam perjalanan pulang. Selama perjalanan suasana begitu hening.
Gean berkali-kali melirik putra dan istrinya secara bergantian. Sungguh, suasana ini membuat Gean tidak nyaman, bahkan terkesan dingin.
Biasanya jika sedang bersama Randu, Riana akan cerewet menanyai ini dan itu. Dan, Randu akan menanggapi hal itu dengan tertawa kecil dan menjawabnya satu-persatu.
Lantas, apa yang terjadi dengan mereka? Benarkah apa yang sedang ia pikirkan?
[Astaga, kamu mikir apa sih, Gean?!] Gerutu Gean dalam hati.
"Senang rasanya bisa kumpul keluarga lagi setelah sekian lama. Rian bahkan tadi usul, kapan-kapan kita kumpul lagi kaya tadi. Tapi, nanti kita jalan-jalan keluar, semacam piknik keluarga. Menurut kamu gimana, Ri?" Gean membuka pembicaraan.
Namun, Riana bergeming. Wanita cantik itu hanya menatap jalanan dengan kosong.
"Ri." panggil Gean menepuk pelan bahu istrinya.
"Mm?"
"Kamu lagi mikirin apa, sih?"
"Mm, gak ada, koq. Tadi, kamu ngomong apa, Mas?"
Gean menghela napas. "Rian ajak kita buat liburan sekeluarga, katanya biar lebih mempererat ikatan keluarga. Lagian, kita gak pernah keluar bareng buat liburan. Kamu mau, kan?"
"Mau dong, Mas. Udah lama juga kita gak liburan bareng-bareng. Kalau menurut Randu gimana? Kamu mau ikut, kan?"
"Hmm." Randu hanya bergumam.
Riana hanya tersenyum menghela, mencoba memaklumi segala sikap Randu hari ini.
"Oh, iya, Ri. Soal teman kamu... tadi, siapa?"
Baik Randu maupun Riana, sama-sama menegang di tempatnya. Tidak menyangka jika Gean akan membahas hal tadi.
"Setahuku, kamu tidak pernah mengenalkan siapa pun sebagai temanmu. Jadi, teman siapa? Sejak kapan kamu mengenalnya? Kenapa tidak pernah mengenalkannya padaku?"
"Euh... Itu... I-itu..." Riana gelagapan, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Karena dirinya sendiri tidak tahu jawaban.
Kemudian, dering ponsel mengalihkan perhatiannya sekaligus menyelamatkannya dari pertanyaan mendadak Gean. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
(Semuanya sudah siap, kapan kita akan memulai?) isi pesan tersebut.
Ekspresi Riana berubah, dan semua tak luput dari perhatian Gean.
(Secepatnya. Atur saja semuanya.) balas Riana cepat.
Pandangan Riana menajam, ia meremat kuat ponselnya.
[Lihat dan saksikan. Aku tidak pernah melupakan siapa diriku. Aku hanya ingin kehidupan lebih baik. Tapi, karena kalian ingin merenggut satu-satunya hal berharga untukku. Aku tak segan akan menghancurkan kalian!] batin Riana penuh tekad.
[Apa yang kamu sembunyiin dari aku, Ri?] batin Gean gelisah.
Riana duduk di tepi ranjang, semenjak pulang dari kediaman Rita. Sikap Riana berubah, ia jadi lebih banyak diam.Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengusak rambutnya yang basah. Menghela napas panjang begitu melihat Riana seperti orang kehilangan jiwa.Pria yang berusia setengah abad itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga."Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean.Riana menoleh, binar matanya meredup. Kesedihan terpancar jelas dalam netra jernih itu."Kamu kenapa?" tanya Gean sekali lagi."Aku... kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah."Ada apa sama dia?""Randu..." jeda sejenak, Riana menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "dia udah tahu semuanya. Dia udah tahu... kalau dia bukan anak kandung kita."Handuk yang Gean pegang terlepas dari genggaman, jatuh meluruh ke lantai. Gean sendiri
Riana baru saja memasuki ruangan ketika seorang pria berkepala plontos mengikutinya dari belakang. Menjulurkan sebuah map berwarna hitam. Berisi beberapa informasi yang Riana minta sebelumnya."Mereka berkembang menjadi lebih besar dibanding sebelumnya. Bahkan setelah tragedi itu. Pemerintah tidak membiarkan mereka meredup. Pembongkaran markas dulu, membangun markas baru yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap. Mereka juga memasok beberapa senjata memasok beberapa senjata yang hanya dimiliki negara tertentu. Juga..." dia menjeda ucapannya."Juga?" Riana berbalik, menatap pria didepannya tanpa ekspresi."Semakin banyak orang mereka, semakin banyak orang tua yang kehilangan putranya."Riana menghela napas, memijat pelipisnya. Pria yang berbicara dengannya adalah pria yang sama dengan yang menelponnya."Apa itu masuk akal?""Anda tahu bagaimana cara kerja mereka." jawab Paul.Riana duduk di k
Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.Tidak ada siapa-siapa juga di sana.Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya."Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.Paul mengangguk."Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.
Randu baru saja selesai berganti pakaian setelah jam olahraga, ketika seseorang masuk dan menepuk bahunya dari belakang cukup keras, hingga membuat pemuda itu berjengit kaget."Ow, Randu!" Dika, orang yang menepuk Randu itu berseru girang.Randu mendelik, "Kenapa?""Sepertinya kau baru saja mendapat surat cinta?" Dika terkekeh."Surat cinta?" pemuda itu mengernyit."Yap, di mejamu ada sepucuk surat juga sebuket mawar biru.""Dari siapa?" tanya Randu heran.Dika mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu, "mungkin dari kekasihmu.""Tidak ada kekasih!" sanggah Randu cepat."Kalau begitu dari orang yang menyukaimu!"Randu berbalik pada Dika, menatap temannya itu dengan pandangan datar, "Jangan mengada-ada!""Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. At
Dika menganga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia lihat secara nyata.Bangunan rahasia yang dia pikir hanya ada di film-film, kini terpampang jelas di depan matanya."Darimana kau tahu tempat ini?" tanya Dika masih dengan pandangan takjub. Matanya menelisik pada setiap inci bangunan yang mereka lewati."Ibuku."Dika menoleh, "Kau dan ibumu menemukan tempat ini?"Randu menggeleng, "Ibuku pemilik tempat ini.""Oh..." Dika mengangguk-ngangguk, untuk beberapa detik selanjutnya, pemuda itu melotot, "HAH?!""Kecilkan suaramu!" peringat Randu."Ibumu, ibumu yang baik hati dan lemah lembut itu, pemilik tempat ini? Tempat sangar ini? Kau mau aku percaya pada omong kosongmu?!""Terserah, tapi itulah kenyataannya." Randu berjalan mendahului Dika yang masih ternganga tidak percaya.Pemuda itu memimpin jalan, berjalan pelan, tenang agar tidak ketahuan. Sama sepe
Riana berjalan melewati orang-orang yang masih berpeluh di dahinya. Mereka berjajar di sepanjang jalan. Langkah Riana cepat dan tegas, wajah cantik tanpa kerutan itu terlihat kusut. "Kenapa kalian LENGAH?!!!" sentak Riana diakhir kalimatnya, seraya berhenti melangkah dan berbalik menatap semua rekannya. Wanita itu memijat pelipisnya, "apa yang hilang?" "Berkas lost." jawab Paul cepat. Riana memejamkan mata rapat, kepalanya mendadak pening. Sudah dipastikan, siapa pun yang mengambilkan berkas itu, pasti berhubungan dengan lost. Entah mereka adalah orang-orang Lost atau bukan. Yang jelas, Riana tidak bisa membiarkan siapa pun mengambil berkas itu darinya. "Berapa orang?""Dua..." jawab seseorang di sisi kiri Riana, lirih. "Mereka hanya dua orang, tapi kalian tidak sanggup menangkap mereka?!!" Nada bicara Riana meninggi, kesal setengah mati. Barisan pria kekar yang tadi mengejar Randu serentak menunduk. "Kalian memiliki tubuh tinggi yang kekar, tapi kalian begitu lambat hingga ke
Kenyataan bahwa dirinya hanya anak adopsi cukup melukai hati pemuda itu, apalagi Randu tidak tahu menahu perihal ibunya selama ini. Siapa orang tua angkatnya selama ini? Hal apa saja yang mereka sembunyikan? Randu ingin sekali bertanya banyak hal. Tentang mengapa ibunya ada dalam daftar personil elite lost. Tentang mengapa ibunya menyembunyikan identitas aslinya. Dan, apa yang ibunya lakukan selama ini. Tapi, Randu harus menahan diri untuk tetap berpura-pura tidak tahu. Barangkali selama ini sang ayah juga tidak tahu apa-apa. Randu tidak ingin merusak hubungan kedua orang tuanya. Randu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Seperti biasa, makan bersama sebelum berangkat sekolah. Sejujurnya, Randu ingin menghindari momen ini. Randu tidak ingin ditanyai ini dan itu. Dia sedang tidak ingin bicara. Otaknya masih memproses semua hal yang baru-baru ini dia temukan. Juga hal-hal yang belakangan ini terjadi secara tidak terduga. Pemuda itu duduk disamping Riana, demi mengh
"Jangan katakan apa pun dulu pada Nona, dan untuk sementara rahasiakan ini dari Raiden!" Perintah Paul. Ethan menoleh, "Kau ingin dipenggal?!" "Kau ingin dibakar hidup-hidup?!" Balas Paul melotot. Ethan mendengus, sungguh tidak ada jalan aman bagi mereka. "Rahasiakan ini sementara dari orang-orang, terutama dari Nona. Kita akan bergerak diam-diam untuk mengambil kembali berkas itu. Jika sampai ada yang tahu..., berarti informasi itu darimu!" Ethan mendelik, "Terserah," pria itu mengetuk meja tiga kali, "memangnya kau punya rencana?" "Untuk saat ini, tidak!" Jawab Paul datar. "Owh, sialan! Kau benar-benar ingin dipenggal!!" Umpat Ethan kesal. Pria itu beranjak dari tempatnya. Membiarkan pria berkepala plontos itu sendiri.Paul mengusap kepalanya frustasi, mengapa harus Randu yang mengambilnya? Sungguh, jika Riana tahu, wanita itu akan mengamuk. Putra semata wayangnya, akhirnya mengetahui identitas asli sang ibu. Jika saja orang yang mencurinya adalah orang lain, Paul tidak aka