Share

Siapa Sebenarnya?

Riana duduk di tepi ranjang, semenjak pulang dari kediaman Rita. Sikap Riana berubah, ia jadi lebih banyak diam. 

Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengusak rambutnya yang basah. Menghela napas panjang begitu melihat Riana seperti orang kehilangan jiwa. 

Pria yang berusia setengah abad itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga. 

"Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean. 

Riana menoleh, binar matanya meredup. Kesedihan terpancar jelas dalam netra jernih itu. 

"Kamu kenapa?" tanya Gean sekali lagi. 

"Aku... kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah.

"Ada apa sama dia?" 

"Randu..." jeda sejenak, Riana menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "dia udah tahu semuanya. Dia udah tahu... kalau dia bukan anak kandung kita."

Handuk yang Gean pegang terlepas dari genggaman, jatuh meluruh ke lantai. Gean sendiri terpaku dengan pengakuan Riana. 

"Gimana bisa?" tanya Gean tak percaya.

Beberapa detik berlalu, Riana belum juga membuka mulut untuk menjawab, seolah enggan membuat Gean geregetan. Ia mengguncang bahu istrinya, memaksanya menjawab.

"Jawab aku, Ri!" 

Tapi, Riana tidak dapat menjawab. Tidak mungkin ia menjelaskan duduk perkaranya. 

Gean tidak boleh tahu, tapi Riana tidak bisa menyembunyikan ini. Lama-lama, Randu pasti akan menuntut penjelasan. Baik itu darinya, maupun dari Gean sendiri. 

"Terus respon Randu gimana?" Gean mengubah pertanyaannya ketika Riana memilih bungkam.

"Dia marah, jelas. Dia juga gak mau denger penjelasan dari aku."

"Jadi, itu alasan kenapa sikap kalian berdua berbeda?" 

Riana mengangguk.

Gean berdiri. "Ini sebabnya aku gak mau adopsi anak. Harusnya dari dulu kita cari orang tua kandungnya. Sekarang kalau udah gini, kita harus gimana?" 

"Mas, tolong pikirin Randu dulu buat sekarang." sergah Riana. 

"Itu juga tentang Randu, Riana." 

"Tapi, konteksnya beda, Mas. Kita bisa cari mereka sekarang, kalau Randu juga mau." 

"Gimana caranya?" 

"Kita pikirin itu nanti. Sekarang kita fokus gimana caranya kita jelasin sama Randu. Aku bersyukur dia gak nekat pergi dari rumah." 

Gean mengacak rambut frustasi. Bukankah sejak awal Gean mengatakan jika ia tidak yakin soal mengadopsi anak. 

Tapi, Gean juga terlanjur menyayangi pemuda itu. Ia sudah menganggap Randu putra kandungnya. 

Gean tidak mempermasalahkan asal-usul Randu meski dulu ia pernah keberatan tentang itu, karena asal-usul Randu tidak jelas. 

Pria itu senang bisa diberi kesempatan membesarkan seorang putra. 

Disatu sisi Gean ingin mencari orang tua kandung Randu. Tapi, ia juga takut jika suatu saat mereka mengambil Randu darinya. 

Dan, sekarang. Randu sudah mengetahui semuanya. Belum lagi Riana yang memilih bungkam, tidak ingin menjelaskan bagaimana Randu bisa mengetahui itu. 

Gean menghela napas kasar. "Untuk saat ini kita kasih Randu waktu buat nenangin diri. Setelah cukup tenang, kita jelasin pelan-pelan semua sama Randu," putus Gean, "lagipula, kamu belum jelasin kenapa Randu bisa tahu." 

Gean menoleh pada Riana, begitu juga Riana. Pandangan mereka bertemu. Saling memandang dengan sorot mata yang berbeda. 

~~~~~~~~~

Drrrttt

Ponsel Riana bergetar, tanda ada sebuah panggilan masuk. Riana bangun, menyambar ponsel di atas nakas. Menekan tombol hijau dan menempelkannya di telinga. 

'Kapan Anda akan datang?' tanya seseorang dengan suara berat. 

Riana melirik jam, waktu menunjukan pukul 00.13.

"Aku berangkat sekarang." jawab Riana, memutus telpon sepihak. 

Bergegas mengganti baju, menggunakan jaket kulit, mengambil sarung tangan dan juga kunci motor. Tak lupa helm. 

Riana melakukan itu sepelan dan sehati-hati mungkin. Takut membangunkan Gean, lalu berjalan keluar dengan mengendap-endap. 

Ia harus kembali sebelum pukul enam, agar Gean tak curiga. 

Randu yang baru saja akan kembali ke kamar setelah dari dapur memicingkan mata. 

Keadaan rumah yang remang hanya menyisakan cahaya dari dapur, memudahkan Randu untuk memperhatikan diam-diam. 

Siluet seseorang yang menuruni tangga mengendap-endap bak maling itu adalah ibunya, Riana. 

"Mau ke mana ibu malam-malam begini?" gumam Randu. 

Setelah berhasil menuruni tangga, Riana bergegas keluar. Tanpa pikir panjang, Randu berlari menuju kamar. Menyambar asal jaket dan kunci motor. 

Untung saja kamar Randu terletak di lantai satu. Ia memutuskan untuk mengikuti ibunya. Kehadiran dua pria waktu lalu cukup mencurigakan. Belum lagi sekarang sekarang ibunya pergi diam-diam. 

Mengikuti motor besar yang gerakannya begitu luwes menyalip pengendara yang tersisa. 

Randu tidak tahu jika ibunya bisa mengendarai motor. Terlebih lagi itu motor besar. 

Selama ini ibunya dikenal sebagai wanita lemah-lembut, wanita ramah murah senyum, wanita paling baik yang pernah Randu tahu. 

Namun, sekarang ibunya menunjukkan sisi lain dari dirinya. Sisi yang garang juga liar. 

Pemuda itu bahkan itu menduga jika sang ibu bisa marah hingga memukul seseorang. 

Motor yang Riana kendarai semakin melesat membelah jalanan. Berbelok menuju jalan yang akan membawanya menuju hutan. 

Randu menjaga jarak agar Riana tidak menyadari keberadaannya.

Semakin dalam, semakin jauh. Randu sempat berpikir bahwa mereka tersesat. Karena jalanan yang cukup rumit, penuh kelokan memungkinkan mereka tersesat. 

Sebelum pandangannya menangkap sebuah bangunan di ujung jalan. Bangunan tua yang tidak terawat. Dan, Riana. Berhenti tepat di depan sana. 

Riana menekan tombol di samping tembok untuk membuka pintu. Melenggang masuk begitu santai seolah bangunan itu miliknya. 

Sesaat setelah Riana masuk, Randu bergegas mengikuti. Mencoba mendorong, menggeser, mendobrak agar pintu itu terbuka, sayangnya tidak bisa. 

Randu juga sudah mencoba mencari tombol itu, namun tidak ia temukan. Lalu Randu mencoba meraba tembok, tempat Riana menekan tombol itu. Dan, akhirnya berbunyi klik, terbukalah pintu itu. 

Randu tersenyum lebar, bergegas untuk masuk. Hal pertama yang Randu lihat adalah lapangan luas. 

Terdapat beberapa mobil di sana. Mobil yang pernah Randu lihat di film, mobil militer. 

Mobil-mobil itu berjajar rapi, di dalamnya terdapat beberapa senjata. Seperti belati dan senapan. Juga tas gendong ukuran besar. Lengkap dengan peluru. 

Randu mencoba masuk semakin dalam, membuka salah satu ruangan. Ruang kendali. Orang-orang tengah sibuk mengoprasikan komputer dengan layar cukup besar.

Padahal bangunan yang Randu masuki ini, jika dilihat dari luar tidak besar. Tapi, dalamnya begitu luas. 

Randu kembali menelusuri bangunan, beruntung tidak seorangpun di sana. Lalu, pandangannya menangkap sebuah pintu. 

Pintu cukup besar yang dibuat dengan kayu jati. Penasaran, Randu mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam sana.

Pintu itu cukup berat saat Randu mencoba mendorongnya. Randu mengangkat sedikit pintu itu dengan tenaga penuh agar tak menimbulkan suara. Mencoba mengintip.

Di sana, ibunya tengah berbicara dengan seorang pria, entah membicarakan apa, suaranya mereka terlalu kecil untuk dapat Randu dengar. Lalu, mereka beranjak entah ke mana. 

Dengan rasa penasaran yang semakin menggerogoti, Randu mendorong pintu itu agar terbuka lebih lebar. 

Tebak apa yang Randu lihat. 

Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan senjata. Berbagai jenis senapan, belati, peluru, bahkan perlengkapan tempur individual. 

Setiap senjata terpajang dengan rapi. Bahkan peluru berjejer sesuai jenis dan fungsinya. 

Tempat apa ini sebenarnya? Kenapa ibunya Riana ada di sini? Siapa sebenarnya wanita yang Randu panggil 'Ibu' itu? Seberapa banyak yang ia sembunyikan.

Semua pertanyaan itu, membuat Randu pening. Ia menatap nanar arah kepergian ibunya. 

"Siapa ibu sebenarnya?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status