Annisa tersentak saat pintu kamarnya terbuka, padahal rasanya tadi sudah di kunci dengan rapat. Apa dia lupa? Lalu, wanita itu terkejut saat melihat siapa yang masuk.
"Kamu mau apa, Bima?" tanya wanita itu kepada adik iparnya saat laki-laki itu berjalan mendekat.
"Mau melepas kangen sama kamu, Nisa. Sudah lama kita gak ketemu," ucap Bima disertai dengan senyuman licik.
Benar, dia memang merindukan Annisa, ipar yang dulu adalah kekasihnya. Sayang, wanita itu malah memilih menikah dengan Rahman, kakak kandungnya, saat dia bersekolah ke luar negeri.
Hati Bima sakit dan kecewa menerima kenyataan itu. Sehingga dia memilih tidak datang ke pernikahan mereka dengan alasan sibuk.
"Keluar dari kamarku, sekarang!" teriak Annisa. Kini, posisinya mulai terpojok di sudut, sementara Bima berjalan semakin mendekat.
"Aku sudah terlanjur masuk, Nisa. Biar aja aku di sini main-main sebentar." Tanpa malu, Bima membuka kaus dan dan menyampirkannya di bahu.
"Jangan kurang ajar kamu! Aku ini istri kakakmu!" ancam Annisa. Wanita itu masih berusaha mencari jalan untuk bisa ke luar dari kamar.
Ibu mertuanya pergi sejak tadi pagi, jadi dia sendirian di rumah itu. Setelah menikah dengan Rahman, Annisa memang tinggal di sana, hingga hari kepergian suaminya.
"Tapi Mas Rahman sudah gak ada, Nisa. Baiknya kamu terima lamaranku," paksa Bima.
Saat kakaknya meninggal, Bima pulang ke Indonesia dan mengatakan kepada ibunya bahwa dia ingin meminang Annisa. Selain karena masih memendam rasa cinta, laki-laki itu juga tak mau sang ibu bersedih jika berpisah dengan menantunya.
Kini, dia kembali untuk mengambil alih menjaga ibu mereka dan menggantikan tugas kakaknya. Setelah beberapa hari tinggal bersama, rasa cintanya kepada Annisa semakin kuat. Dia bermaksud baik ingin menghalalkan wanita itu.
Sayang, Annisa menolak lamarannya. Padahal dulu mereka pernah berpacaran cukup lama. Kepergiannya untuk menimba ilmu justru membuat hati wanita itu berpaling kepada kakaknya sendiri.
"Masa iddahku belum selesai. Jadi, sebaiknya kamu urungkan niat untuk melamar," jawab Annisa tegas.
"Kalau begitu setelah iddah kamu selesai, kita bisa langsung menikah. Bukannya itu tinggal menghitung hari." Kini, Bima mengurung wanita itu dengan kedua tangannya.
"Tapi aku ... gak mau menikah dengan kamu Bima," tolak Annisa tegas. Dia baru saja kehilangan sang suami tercinta, dan belum ingin membuka hati untuk siapa pun.
"Bagaimana kalau kamu aku buat mau?" ucapnya sembari menahan tawa saat melihat Annisa yang ketakutan.
Bima harus melakukannya sekarang. Jika tidak, bisa saja nanti wanita itu akan jatuh ke pelukan laki-laki lain. Annisa begitu cantik dengan wajah mulus dan kulitnya yang putih bersih. Sejak gadis saja, dia sudah menjadi incaran para kaum Adam. Apalagi setelah menjadi janda, tentulah akan menjadi rebutan.
"Jangan lancang!" Annisa berteriak di depan wajah Bima, hingga membuat laki-laki itu marah dan menarik tubuhnya dengan sekali sentak.
"Lepas!" Annisa meronta mencoba membela diri. Tangan kecilnya memukul tubuh laki-laki itu dengan keras. Apalah daya, dia hanya wanita biasa.
Ketika Bima menyumpal mulutnya dengan kaus agar tak bisa berteriak, wanita itu kehilangan harga diri yang selama ini dia berusaha pertahankan mati-matian.
***
Dua bulan yang lalu."Menikah lagi?" Annisa menatap wajah ibu mertuanya dengan hati gamang karena itu sama sekali tak terpikirkan olehnya.
"Iya, Nisa. Kamu masih muda dan belum memiliki anak. Sebaiknya, menikahlah lagi agar ada yang menjaga dan melindungimu," ucap ibu mertuanya dengan lembut. Wanita paruh baya itu sangat menyayangi sang menantu. Oleh karena itu, dia mengikhlaskan jika Annisa ingin menikah lagi.
"Tapi ... masa iddah Nisa belum selesai, Bu. Tanah kubur Mas Rahman juga masih basah," sanggahnya.
Annisa mengerti, ada maksud baik dari permintaan sang ibu mertua tadi. Dia bukannya tidak ingat kepada mendiang putranya. Hanya saja, wanita paruh baya itu telah merelakan semua.
"Maksud Ibu juga tidak buru-buru, Nisa. Tapi kami sekeluarga ikhlas jika memang nanti kamu mendapatkan pendamping hidup yang baru."
Nisa tergugu menatap ibu mertuanya. Selama ini, beliau selalu memperlakukannya dengan baik selama dia tinggal di sana. Mendiang suaminya adalah putra pertama, sehingga mereka yang bertanggung jawab kepada keluarga.
"Nanti Nisa pikirkan lagi, Bu. Untuk sekarang memang lebih nyaman sendiri," lirihnya.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu mengerti perasaanmu," ucap ibu mertuanya seraya mengusap wanita itu dengan lembut.
Annisa menghela napas panjang. Sudah beberapa bulan ini statusnya resmi menjadi janda di usia muda, 25 tahun. Pernikahan yang baru seumur jagung dan belum dikarunia keturunan harus berakhir ketika suami tercinta dipanggil oleh Sang Pencipta.
Rahman, mendiang suaminya menderita penyakit bawaan sejak lahir yaitu kelainan jantung. Itulah yang membuatnya menerima pinangan laki-laki itu. Awalnya hanya karena rasa kasihan, tapi lambat laun menjadi cinta.
Apalagi hubungannya dengan Bima, adik kandung Rahman semakin tidak jelas, setelah laki-laki itu sekolah ke luar negeri. Dia bahkan menjumpai foto Bima sedang berduaan wanita lain yang berpenampilan seronok di media sosial, yang diakuinya sebagai teman kuliah.
Hati Annisa begitu sakit, terlebih Bima jarang memberi kabar dan sibuk sendiri. Ketika Rahman mengatakan serius ingin mempersuntinya sebagai istri, maka wanita itu langsung menerima.
"Terima kasih kalau Ibu mengerti," lirihnya.
Tadi mereka baru saja selesai makan siang dan ibu mertunya ingin bicara dari hati ke hati. Annisa berpikir sang ibu akan membahas masalah lain, ternyata mengenai itu.
"Oh iya Nisa. Mungkin, Bima akan pulang ke sini untuk menemani kita," ucap wanita paruh itu dengan tenang. Dia tidak tahu bahwa sang menantu pernah berpacaran dengan putra keduanya.
Annisa terdiam sejenak, lalu berkata, "Syukurlah. Jadi Ibu ada yang menjaga. Nisa mungkin mau pulang ke kampung setelah iddah selesai. Mau ketemu Bapak."
"Iya, Nisa. Boleh saja. Ibu berikan izin. Tapi jangan pulang seterusnya. Ibu mau ditemani kamu di sini," pintanya dengan penuh harap.
"Insyaallah, Bu."
Suasana menjadi hening. Annisa menjadi serba salah kalau sudah begini. Padahal dia ingin kembali kepada orang tuanya.
"Oh iya, Nisa. Ibu mau bilang sesuatu,"
"Apa, Bu?"
"Ibu ndak mau kehilangan anak sebaik kamu. Jadi ... bagaimana kalau kita lanjutkan hubungan keluarga ini."
"Maksudnya?"
"Ini ... kalau kamu berkenan."
"Nisa gak ngerti, Bu."
"Bima belum memiliki calon istri. Kalau kamu mau, bagaimana kalau kamu menikah dengan Bima."
Jantung Annisa berdetak kencang mendengar itu. Dia terdiam lama, lalu menggelengkan kepala. Sifat Bima yang dulu dengan yang sekarang pasti sudah jauh berbeda. Sehingga dia tak ingin menghabiskan hidup dengan orang yang sama. Apa yang menjadi masa lalu, biarlah berlalu.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau. Ibu mau ke kamar dulu. Istirahat," ucap wanita paruh baya itu ke luar setelah memeluk menantunya dengan erat.
Dengan tertatih, Annisa berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Bima terbaring lemas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.Annisa menggosok seluruh tubuh dengannya kuat karena bekas sentuhan Bima masih terasa dan membuatnya jijik. Air mata wanita itu mengalir deras, bersamaan dengan tetesan air yang turun dari lubang-lubang shower.Setelah selesai membersihkan diri, Annisa mengintip dari balik pintu. Kamarnya kosong. Itu berarti Bima sudah keluar sejak dia mandi tadi. Dengan cepat wanita itu berlari dan mengunci pintu. Lalu, tubuhnya luruh ke lantai dengan tangis yang kembali tumpah ruah."Maafkan Nisa, Mas," lirihnya ketika teringat kepada mendiang sang suami.Betapa baiknya perlakuan Rahman selama mereka menjani rumah tangga. Pantaslah kiranya dia menolak untuk menikah dengan Bima. Benar sesuai dugaan, laki-laki itu sekarang begitu kasar dan bersikap semaunya.Annisa segera berdiri dan mengambil tas di lemari, l
Mobil travel berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan lantai kayu dan cat berwarna hijau. Suasana terlihat sepi, hanya kicauan burung yang terdengar dari beberapa pohon mangga yang tumbuh di pekarangannya. Makhluk itu hinggap ke sana kemari sesukanya tanpa mengenal lelah.Ketika pintu rumah itu terbuka, muncullah sesosok laki-laki paruh baya dengan memakai sarung dan kaus putih serta peci di kepala."Nisa?" Mata tuanya seakan tak percaya saat sang putri kesayangan turun dari mobil dengan membawa sebuah koper."Bapak." Annisa memeluk ayahnya dengan erat sembari meneteskan air mata."Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga." Pandu memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Dia mengira, Annisa akan pulang bulan depan karena sesuai hitungan masa iddahnya belum selesai."Nisa sudah kangen sama Bapak. Jadi, minta izin sama Ibu pulang lebih cepat. Lagi pula, adiknya Mas Rahman sudah datang. Jadi, ibu ndak sendirian lagi," jelas
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.Laa ilaaha illallaah."Suara azan Subuh yang menggema dari speaker masjid membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Wanita itu perlahan membuka mata dan merasakan kepalanya begitu berat. Dia mencoba duduk dan bersandar di ranjang sembari memijat pelipis. Setelah dirasakan cukup nyaman, Annisa bangun dari tempat tidur hendak keluar menuju kamar mandi. Ketika pintu terbuka, tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung dengan kepala seperti berputar. "Kenapa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya bersandar di depan pintu. "Pusing, Pak," jawab Annisa dengan bibir gemetaran. "Sini Bapak bantu." Pandu m
Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha."Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih."Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.Annisa hanya terdiam
Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p