Share

Iddah: Masa Tunggu yang Ternoda
Iddah: Masa Tunggu yang Ternoda
Penulis: Queeny

Awal Bermula

Annisa tersentak saat pintu kamarnya terbuka, padahal rasanya tadi sudah di kunci dengan rapat. Apa dia lupa? Lalu, wanita itu terkejut saat melihat siapa yang masuk. 

"Kamu mau apa, Bima?" tanya wanita itu kepada adik iparnya saat laki-laki itu berjalan mendekat.

"Mau melepas kangen sama kamu, Nisa. Sudah lama kita gak ketemu," ucap Bima disertai dengan senyuman licik.

Benar, dia memang merindukan Annisa, ipar yang dulu adalah kekasihnya. Sayang, wanita itu malah memilih menikah dengan Rahman, kakak kandungnya, saat dia bersekolah  ke luar negeri. 

Hati Bima sakit dan kecewa menerima kenyataan itu. Sehingga dia memilih tidak datang ke pernikahan mereka dengan alasan sibuk. 

"Keluar dari kamarku, sekarang!" teriak Annisa. Kini, posisinya mulai terpojok di sudut, sementara Bima berjalan semakin mendekat. 

"Aku sudah terlanjur masuk, Nisa. Biar aja aku di sini main-main sebentar." Tanpa malu, Bima membuka kaus dan dan menyampirkannya di bahu. 

"Jangan kurang ajar kamu! Aku ini istri kakakmu!" ancam Annisa. Wanita itu masih berusaha mencari jalan untuk bisa ke luar dari kamar. 

Ibu mertuanya pergi sejak tadi pagi, jadi dia sendirian di rumah itu. Setelah menikah dengan Rahman, Annisa memang tinggal di sana, hingga hari kepergian suaminya. 

"Tapi Mas Rahman sudah gak ada, Nisa. Baiknya kamu terima lamaranku," paksa Bima. 

Saat kakaknya meninggal, Bima pulang ke Indonesia dan mengatakan kepada ibunya bahwa dia ingin meminang Annisa. Selain karena masih memendam rasa cinta, laki-laki itu juga tak mau sang ibu bersedih jika berpisah dengan menantunya. 

Kini, dia kembali untuk mengambil alih menjaga ibu mereka dan menggantikan tugas kakaknya. Setelah beberapa hari tinggal bersama, rasa cintanya kepada Annisa semakin kuat. Dia bermaksud baik ingin menghalalkan wanita itu. 

Sayang, Annisa menolak lamarannya. Padahal dulu mereka pernah berpacaran cukup lama. Kepergiannya untuk menimba ilmu justru membuat hati wanita itu berpaling kepada kakaknya sendiri. 

"Masa iddahku belum selesai. Jadi, sebaiknya kamu urungkan niat untuk melamar," jawab Annisa tegas. 

"Kalau begitu setelah iddah kamu selesai, kita bisa langsung menikah. Bukannya itu tinggal menghitung hari." Kini, Bima mengurung wanita itu dengan kedua tangannya. 

"Tapi aku ... gak mau menikah dengan kamu Bima," tolak Annisa tegas. Dia baru saja kehilangan sang suami tercinta, dan belum ingin membuka hati untuk siapa pun.

"Bagaimana kalau kamu aku buat mau?" ucapnya sembari menahan tawa saat melihat Annisa yang ketakutan. 

Bima harus melakukannya sekarang. Jika tidak, bisa saja nanti wanita itu akan jatuh ke pelukan laki-laki lain. Annisa begitu cantik dengan wajah mulus dan kulitnya yang putih bersih. Sejak gadis saja, dia sudah menjadi incaran para kaum Adam. Apalagi setelah menjadi janda, tentulah akan menjadi rebutan. 

"Jangan lancang!" Annisa berteriak di depan wajah Bima, hingga membuat laki-laki itu marah dan menarik tubuhnya dengan sekali sentak.

"Lepas!" Annisa meronta mencoba membela diri. Tangan kecilnya memukul tubuh laki-laki itu dengan keras. Apalah daya, dia hanya wanita biasa. 

Ketika Bima menyumpal mulutnya dengan kaus agar tak bisa berteriak, wanita itu kehilangan harga diri yang selama ini dia berusaha pertahankan mati-matian. 

***

Dua bulan yang lalu. 

"Menikah lagi?" Annisa menatap wajah ibu mertuanya dengan hati gamang karena itu sama sekali tak terpikirkan olehnya.

"Iya, Nisa. Kamu masih muda dan belum memiliki anak. Sebaiknya, menikahlah lagi agar ada yang menjaga dan melindungimu," ucap ibu mertuanya dengan lembut. Wanita paruh baya itu sangat menyayangi sang menantu. Oleh karena itu, dia mengikhlaskan jika Annisa ingin menikah lagi. 

"Tapi ... masa iddah Nisa belum selesai, Bu. Tanah kubur Mas Rahman juga masih basah," sanggahnya. 

Annisa mengerti, ada maksud baik dari permintaan sang ibu mertua tadi. Dia bukannya tidak ingat kepada mendiang putranya. Hanya saja, wanita paruh baya itu telah merelakan semua.

"Maksud Ibu juga tidak buru-buru, Nisa. Tapi kami sekeluarga ikhlas jika memang nanti kamu mendapatkan pendamping hidup yang baru."

Nisa tergugu menatap ibu mertuanya. Selama ini, beliau selalu memperlakukannya dengan baik selama dia tinggal di sana. Mendiang suaminya adalah putra pertama, sehingga mereka yang bertanggung jawab kepada keluarga.

"Nanti Nisa pikirkan lagi, Bu. Untuk sekarang memang lebih nyaman sendiri," lirihnya. 

"Ya sudah kalau begitu. Ibu mengerti perasaanmu," ucap ibu mertuanya seraya mengusap wanita itu dengan lembut. 

Annisa menghela napas panjang. Sudah beberapa bulan ini statusnya resmi menjadi janda di usia muda, 25 tahun. Pernikahan yang baru seumur jagung dan belum dikarunia keturunan harus berakhir ketika suami tercinta dipanggil oleh Sang Pencipta. 

Rahman, mendiang suaminya menderita penyakit bawaan sejak lahir yaitu kelainan jantung. Itulah yang membuatnya menerima pinangan laki-laki itu. Awalnya hanya karena rasa kasihan, tapi lambat laun menjadi cinta. 

Apalagi hubungannya dengan Bima, adik kandung Rahman semakin tidak jelas, setelah laki-laki itu sekolah ke luar negeri. Dia bahkan menjumpai foto Bima sedang berduaan wanita lain yang berpenampilan seronok di media sosial, yang diakuinya sebagai teman kuliah. 

Hati Annisa begitu sakit, terlebih Bima jarang memberi kabar dan sibuk sendiri. Ketika Rahman mengatakan serius ingin mempersuntinya sebagai istri, maka wanita itu langsung menerima. 

"Terima kasih kalau Ibu mengerti," lirihnya. 

Tadi mereka baru saja selesai makan siang dan ibu mertunya ingin bicara dari hati ke hati. Annisa berpikir sang ibu akan membahas masalah lain, ternyata mengenai itu. 

"Oh iya Nisa. Mungkin, Bima akan pulang ke sini untuk menemani kita," ucap wanita paruh itu dengan tenang. Dia tidak tahu bahwa sang menantu pernah berpacaran dengan putra keduanya. 

Annisa terdiam sejenak, lalu berkata, "Syukurlah. Jadi Ibu ada yang menjaga. Nisa mungkin mau pulang ke kampung setelah iddah selesai. Mau ketemu Bapak."

"Iya, Nisa. Boleh saja. Ibu berikan izin. Tapi jangan pulang seterusnya. Ibu mau ditemani kamu di sini," pintanya dengan penuh harap. 

"Insyaallah, Bu."

Suasana menjadi hening. Annisa menjadi serba salah kalau sudah begini. Padahal dia ingin kembali kepada orang tuanya. 

"Oh iya, Nisa. Ibu mau bilang sesuatu,"

"Apa, Bu?"

"Ibu ndak mau kehilangan anak sebaik kamu. Jadi ... bagaimana kalau kita lanjutkan hubungan keluarga ini."

"Maksudnya?"

"Ini ... kalau kamu berkenan."

"Nisa gak ngerti, Bu."

"Bima belum memiliki calon istri. Kalau kamu mau, bagaimana kalau kamu menikah dengan Bima."

Jantung Annisa berdetak kencang mendengar itu. Dia terdiam lama, lalu menggelengkan kepala. Sifat Bima yang dulu dengan yang sekarang pasti sudah jauh berbeda. Sehingga dia tak ingin menghabiskan hidup dengan orang yang sama. Apa yang menjadi masa lalu, biarlah berlalu. 

"Baiklah, kalau kamu tidak mau. Ibu mau ke kamar dulu. Istirahat," ucap wanita paruh baya itu ke luar setelah memeluk menantunya dengan erat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status