Share

Ide Gila Bapak!
Ide Gila Bapak!
Author: Fitriyani

Kita Menikah Saja

"Astagfirullah! Ya Allah! Bapak pastilah sudah gila! Mana mungkin kita bisa menikah?!" jeritku, histeris. Luka di hati belum kering, dan Bapak seakan menambahkannya lagi!

"Itu ... hanya semacam saran, Dwi." Kugelengkan kepala sekeras mungkin, "Empat kali kamu gagal dalam mempertahankan rumah tangga, orang tua mana yang tidak resah?"

"Ughhh, huhuhuu ...." Aku berharap, menemukan ketidakseriusan dalam ungkapan Bapak. Namun, nihil. Pria yang sudah menduda lama itu, begitu nekat ingin menikahi aku sebagai putri kandungnya!

Bagaimana pernikahan kami di mata Agama? Masyarakat? Ini jelas terlarang!

"Atau paling tidak, kamu anggaplah Bapak sebagai suami, Nak. Biar hidupmu aman, tidak perlu lagi menikah dan dikecewakan seperti sekarang. Bapak, jadi tidak percaya terhadap semua lelaki di luaran sana." Aku menggigit bibir, kembali menggeleng sekeras mungkin. Dengan air mata terus berjatuhan, ini pasti hanya lelucon beliau saja!

Almarhumah Ibu di atas sana, pasti ikut murka! Aku tahu, aku ini janda empat kali yang gagal. Tapi, tak perlulah diberi ide gila seperti ini?!

"Bapak, sepertinya perlu istirahat. Dwi juga capek," ucapku, mencoba menenangkan hati.

"Mari, kita tidur bersama malam ini, Dwi ... Anggap Bapak sebagai suamimu, agar kamu tak lagi ingin menikah dan dikhianati," dengkusnya pelan, dengan raut wajah penuh amarah.

"Tidak!" tolakku, tak kalah keras. "Kita mana bisa seperti itu, Pak? Kalau Bapak masih seperti ini, lebih baik aku minggat!"

Satu langkah kakinya membuat jantungku berdebar tak karuan, aku ... seperti melihat sosok lain. Bukan Bapak, yang selalu menenangkan hati.

Diraihnya tanganku, dikecupnya dengan mesra. Sungguh aku jijik! "Seperti inikah mantan-mantan suamimu, Dwi? Bapak juga begitu dengan Ibumu dulu."

Aku meneguk ludah. Menghempaskan tangan bapak kasar, sedikit mendorong agar menjauh. "Oh ya, mulai sekarang jangan panggil, Bapak! Panggil Mas, Abang, atau apa saja yang membuatmu nyaman."

"Hanya dengan menyebut Bapak, aku merasa nyaman. Sudahlah, Bapak jangan gila! Aku capek, mau tidur!"

Brakk!

Kututup pintu dengan kasar, lihatlah karena kegagalan pernikahanku Bapak jadi tak bisa waras! Mana ada anak kandung menikah dengan Bapaknya sendiri? Meski pun Ibu sudah tiada, Ya Allah semoga saja besok Bapak bisa berpikir jernih.

Aku mengenang keempat mantan suami, yang semuanya berselingkuh. Padahal, aku ini tidak jelek-jelek amat. Tapi, entah kenapa pelakor selalu saja membayang-bayangi rumah tanggaku!

Kucoba memejamkan mata, berharap semua hanyalah mimpi. Namun, suara pintu yang terbuka membuat netraku membeliak.

"Dwi ...." Aku terduduk dengan dada bergemuruh, demi melihat Bapak yang tersenyum.

"Bapak jangan gila! Dwi sudah bilang apa tadi?! Bapak keluar atau Dwi minggat saja?!" ancamku, dengan napas tersengal.

Teriakanku yang membahana, rupanya hanya dianggap angin lalu. Pria itu makin mendekat, dengan seringai yang paling aku takutkan!

Aku macam anak gadis kemarin sore, yang didatangi lelaki jahat. Dan itu Bapakku sendiri!

Tes

Tes ....

Aku menangis sesenggukan, akulah penyebab Bapak menjadi seperti ini. Rupanya ada hati yang lebih terluka, mendapati kegagalan rumah tanggaku yang bukan sekali dua kali.

Tapi ... tapi, apa harus seperti ini? Menikah dengannya?!

**

"Dwi ... setelah Bapak pikir-pikir, kita nggak akan mungkin menikah." Alhamdulilah, aku lega selega-leganya, mendengar kata itu yang tercetus. Pagi yang indah tentunya.

"Tapi, kita bisa kok, menjadi pasutri disaat berdua. Biar hatimu mati untuk lelaki di luaran sana!"

Netraku membeliak, menutup mulut dengan lelehan air mata. "Astagfirullah, Bapak! Dwi, minta maaf kalau kabar perceraian ini membuat Bapak kembali sesak dan menjadi tidak percaya pada lelaki di luaran sana. Biarlah Dwi, sendiri tanpa menikah lagi. Biarkan hidup normal, tanpa ide gila Bapak itu!"

"Ish! Kamu bahkan sebelum pernikahan kedua sudah mengatakan begitu, tetap saja, kamu selalu lemah jatuh lagi dalam pria yang salah!"

Ya, memang. Aku tak tahu, kenapa takdir terasa begitu kejam? Pelakor makin di depan saja rasanya!

"Sudah, turuti kemauan, Bapak! Nanti, kalau ada laki yang datang melamar langsung kita tolak saja. Kamu juga perlu menutup mata hati!"

Aku menggeleng lemah. Bapak, adalah cinta pertamaku. Tidak mungkin kami menjalani kehidupan yang seperti itu, selain zina. Allah juga akan murka, karena kami satu darah. Entah Bapak, punya pemikiran salah dari mana?

"Kepalaku pusing, bisakah kita tidak perlu membahas itu lagi?" Bapak mengangguk, meski terlihat terpaksa.

"Aku mau izin keluar sebentar, Pak."

"Loh, katanya tadi kepalamu pusing. Sudah, di rumah saja."

Tidak! Di rumah membuatku semakin pusing dengan pemikirannya itu!

"Aku bosan dengan sarapan di rumah, mau nyari udara segar. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam, anak itu sungguh keras kepala. Pantas saja, pernikahannya selalu gagal."

Degh!

Benarkah begitu? Apa Bapak tidak sadar, bahwa ucapannya barusan begitu menusukku?

"Dwi!"

Aku mencari sumber suara seseorang, dan itu tak lain adalah temanku semasa SD dulu.

"Mau ke mana?"

"Keluar, cari makan."

"Kebetulan, kita makan soto di pinggir jalan yuk?" Yasudahlah, barang kali aku bisa sejenak keluar dari permasalahan hidup.

"Aku dengar, kamu kembali bercerai, Dwi. Apa betul?" tanyanya, yang membuatku harus menghela napas panjang. Kembali mengenang masa-masa paling buruk!

"Begitulah."

"Yang sabar, Dwi. Aku yakin, kelak akan ada jodohmu yang sesungguhnya." Netraku berkaca, demi menatap teman lamaku yang tengah memasukkan suapan demi suapan soto.

Benarkah itu?

"Enak ya jadi kamu, Ris. Pernikahanmu langgeng, nggak pernah tuh ada pelakor."

"Hahhaaa, suamiku sih biasa aja, Dwi. Mana ada pelakor begituan, lain kali kamu cari suami yang b ajalah. Biar nggak ada yang nyuri, kayak yang udah-udah." Aku manyun, sekali pun suamiku tampan tapi, kalau setia tetap aja si pelakor nggak bisa masuk.

Apa hidup di kampung, tidak rentan akan pelakor ya? Biasa kalau aku menetap di kota, bawaannya pasti ada.

Apa itu pertanda, kalau aku baiknya hidup di kampung saja. Aku lelah, di kota aku tak benar-benar merasakan kebahagiaan.

Pengunjung yang masuk, membuatku tersentak. Pria tua dengan koko putih melekat, tampak duduk di sudut lain. Menatapku dengan entah, mengedipkan satu mata. Astagfirullah, Bapak!

Beliau sengaja mengikutiku hingga kemari? Layaknya seorang suami yang tengah menjaga istri? Gusti Allah!

Sepertinya aku harus segera pergi dari kampung, Bapak makin gila!

Padahal, baru saja aku ingin di sini. Biar hati tenang, nemu jodoh yang menenangkan pula.

"Mbak, ini satu gelas ice cream. Dari lelaki itu." Aku meneguk ludah, sang pelayang menunjuk Bapak. Mau tidak mau, temanku ikut melihat.

" Bukannya itu Bapakmu, Dwi ...." Aku menepuk dahi, tangan terasa kebas. Dada bergemuruh tak menentu, kata apa yang harus kuucap pada Risma?!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status