Home / Lainnya / Ide Gila Bapak! / Kita Menikah Saja

Share

Ide Gila Bapak!
Ide Gila Bapak!
Author: Fitriyani

Kita Menikah Saja

Author: Fitriyani
last update Huling Na-update: 2023-11-24 11:58:20

"Astagfirullah! Ya Allah! Bapak pastilah sudah gila! Mana mungkin kita bisa menikah?!" jeritku, histeris. Luka di hati belum kering, dan Bapak seakan menambahkannya lagi!

"Itu ... hanya semacam saran, Dwi." Kugelengkan kepala sekeras mungkin, "Empat kali kamu gagal dalam mempertahankan rumah tangga, orang tua mana yang tidak resah?"

"Ughhh, huhuhuu ...." Aku berharap, menemukan ketidakseriusan dalam ungkapan Bapak. Namun, nihil. Pria yang sudah menduda lama itu, begitu nekat ingin menikahi aku sebagai putri kandungnya!

Bagaimana pernikahan kami di mata Agama? Masyarakat? Ini jelas terlarang!

"Atau paling tidak, kamu anggaplah Bapak sebagai suami, Nak. Biar hidupmu aman, tidak perlu lagi menikah dan dikecewakan seperti sekarang. Bapak, jadi tidak percaya terhadap semua lelaki di luaran sana." Aku menggigit bibir, kembali menggeleng sekeras mungkin. Dengan air mata terus berjatuhan, ini pasti hanya lelucon beliau saja!

Almarhumah Ibu di atas sana, pasti ikut murka! Aku tahu, aku ini janda empat kali yang gagal. Tapi, tak perlulah diberi ide gila seperti ini?!

"Bapak, sepertinya perlu istirahat. Dwi juga capek," ucapku, mencoba menenangkan hati.

"Mari, kita tidur bersama malam ini, Dwi ... Anggap Bapak sebagai suamimu, agar kamu tak lagi ingin menikah dan dikhianati," dengkusnya pelan, dengan raut wajah penuh amarah.

"Tidak!" tolakku, tak kalah keras. "Kita mana bisa seperti itu, Pak? Kalau Bapak masih seperti ini, lebih baik aku minggat!"

Satu langkah kakinya membuat jantungku berdebar tak karuan, aku ... seperti melihat sosok lain. Bukan Bapak, yang selalu menenangkan hati.

Diraihnya tanganku, dikecupnya dengan mesra. Sungguh aku jijik! "Seperti inikah mantan-mantan suamimu, Dwi? Bapak juga begitu dengan Ibumu dulu."

Aku meneguk ludah. Menghempaskan tangan bapak kasar, sedikit mendorong agar menjauh. "Oh ya, mulai sekarang jangan panggil, Bapak! Panggil Mas, Abang, atau apa saja yang membuatmu nyaman."

"Hanya dengan menyebut Bapak, aku merasa nyaman. Sudahlah, Bapak jangan gila! Aku capek, mau tidur!"

Brakk!

Kututup pintu dengan kasar, lihatlah karena kegagalan pernikahanku Bapak jadi tak bisa waras! Mana ada anak kandung menikah dengan Bapaknya sendiri? Meski pun Ibu sudah tiada, Ya Allah semoga saja besok Bapak bisa berpikir jernih.

Aku mengenang keempat mantan suami, yang semuanya berselingkuh. Padahal, aku ini tidak jelek-jelek amat. Tapi, entah kenapa pelakor selalu saja membayang-bayangi rumah tanggaku!

Kucoba memejamkan mata, berharap semua hanyalah mimpi. Namun, suara pintu yang terbuka membuat netraku membeliak.

"Dwi ...." Aku terduduk dengan dada bergemuruh, demi melihat Bapak yang tersenyum.

"Bapak jangan gila! Dwi sudah bilang apa tadi?! Bapak keluar atau Dwi minggat saja?!" ancamku, dengan napas tersengal.

Teriakanku yang membahana, rupanya hanya dianggap angin lalu. Pria itu makin mendekat, dengan seringai yang paling aku takutkan!

Aku macam anak gadis kemarin sore, yang didatangi lelaki jahat. Dan itu Bapakku sendiri!

Tes

Tes ....

Aku menangis sesenggukan, akulah penyebab Bapak menjadi seperti ini. Rupanya ada hati yang lebih terluka, mendapati kegagalan rumah tanggaku yang bukan sekali dua kali.

Tapi ... tapi, apa harus seperti ini? Menikah dengannya?!

**

"Dwi ... setelah Bapak pikir-pikir, kita nggak akan mungkin menikah." Alhamdulilah, aku lega selega-leganya, mendengar kata itu yang tercetus. Pagi yang indah tentunya.

"Tapi, kita bisa kok, menjadi pasutri disaat berdua. Biar hatimu mati untuk lelaki di luaran sana!"

Netraku membeliak, menutup mulut dengan lelehan air mata. "Astagfirullah, Bapak! Dwi, minta maaf kalau kabar perceraian ini membuat Bapak kembali sesak dan menjadi tidak percaya pada lelaki di luaran sana. Biarlah Dwi, sendiri tanpa menikah lagi. Biarkan hidup normal, tanpa ide gila Bapak itu!"

"Ish! Kamu bahkan sebelum pernikahan kedua sudah mengatakan begitu, tetap saja, kamu selalu lemah jatuh lagi dalam pria yang salah!"

Ya, memang. Aku tak tahu, kenapa takdir terasa begitu kejam? Pelakor makin di depan saja rasanya!

"Sudah, turuti kemauan, Bapak! Nanti, kalau ada laki yang datang melamar langsung kita tolak saja. Kamu juga perlu menutup mata hati!"

Aku menggeleng lemah. Bapak, adalah cinta pertamaku. Tidak mungkin kami menjalani kehidupan yang seperti itu, selain zina. Allah juga akan murka, karena kami satu darah. Entah Bapak, punya pemikiran salah dari mana?

"Kepalaku pusing, bisakah kita tidak perlu membahas itu lagi?" Bapak mengangguk, meski terlihat terpaksa.

"Aku mau izin keluar sebentar, Pak."

"Loh, katanya tadi kepalamu pusing. Sudah, di rumah saja."

Tidak! Di rumah membuatku semakin pusing dengan pemikirannya itu!

"Aku bosan dengan sarapan di rumah, mau nyari udara segar. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam, anak itu sungguh keras kepala. Pantas saja, pernikahannya selalu gagal."

Degh!

Benarkah begitu? Apa Bapak tidak sadar, bahwa ucapannya barusan begitu menusukku?

"Dwi!"

Aku mencari sumber suara seseorang, dan itu tak lain adalah temanku semasa SD dulu.

"Mau ke mana?"

"Keluar, cari makan."

"Kebetulan, kita makan soto di pinggir jalan yuk?" Yasudahlah, barang kali aku bisa sejenak keluar dari permasalahan hidup.

"Aku dengar, kamu kembali bercerai, Dwi. Apa betul?" tanyanya, yang membuatku harus menghela napas panjang. Kembali mengenang masa-masa paling buruk!

"Begitulah."

"Yang sabar, Dwi. Aku yakin, kelak akan ada jodohmu yang sesungguhnya." Netraku berkaca, demi menatap teman lamaku yang tengah memasukkan suapan demi suapan soto.

Benarkah itu?

"Enak ya jadi kamu, Ris. Pernikahanmu langgeng, nggak pernah tuh ada pelakor."

"Hahhaaa, suamiku sih biasa aja, Dwi. Mana ada pelakor begituan, lain kali kamu cari suami yang b ajalah. Biar nggak ada yang nyuri, kayak yang udah-udah." Aku manyun, sekali pun suamiku tampan tapi, kalau setia tetap aja si pelakor nggak bisa masuk.

Apa hidup di kampung, tidak rentan akan pelakor ya? Biasa kalau aku menetap di kota, bawaannya pasti ada.

Apa itu pertanda, kalau aku baiknya hidup di kampung saja. Aku lelah, di kota aku tak benar-benar merasakan kebahagiaan.

Pengunjung yang masuk, membuatku tersentak. Pria tua dengan koko putih melekat, tampak duduk di sudut lain. Menatapku dengan entah, mengedipkan satu mata. Astagfirullah, Bapak!

Beliau sengaja mengikutiku hingga kemari? Layaknya seorang suami yang tengah menjaga istri? Gusti Allah!

Sepertinya aku harus segera pergi dari kampung, Bapak makin gila!

Padahal, baru saja aku ingin di sini. Biar hati tenang, nemu jodoh yang menenangkan pula.

"Mbak, ini satu gelas ice cream. Dari lelaki itu." Aku meneguk ludah, sang pelayang menunjuk Bapak. Mau tidak mau, temanku ikut melihat.

" Bukannya itu Bapakmu, Dwi ...." Aku menepuk dahi, tangan terasa kebas. Dada bergemuruh tak menentu, kata apa yang harus kuucap pada Risma?!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ide Gila Bapak!   Usaha Suamiku

    Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be

  • Ide Gila Bapak!   Ternyata dia ...

    Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya

  • Ide Gila Bapak!   Gagal!

    "Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.

  • Ide Gila Bapak!   Aima Gila (2)

    ***"Astagfirullah! Astagfirullah!" teriakku histeris, demi menyaksikan pemandangan di luar jendela sana.Segera kupalingkan wajah pada Emir, "Pasti kamu tadi jelalatan kan lihatin si Aima."Rasa cemburu yang begitu kuat, membuat pikiranku tak tenang. Si Aima itu nggak takut apa diserang para lelaki, dibawa ke semak-semak gitu. Bikin malu!Di jalanan rumahku sudah dipenuhi banyak orang yang ingin menonton, tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Kudengar Pak Lurah dan istrinya tak putus berteriak memanggil Aima, agar tak lagi menjadi gila begitu. Hiiiiiy sereeem!"Nggaklah, Sayang. Aku kan udah ada kamu," ucapnya, sembari menatap lembut.Dasar wanita! Cuma digituin aja udah meleleh. Lagian kalau emang Emir suka sama Aima, kenapa nggak dari dulu aja? Sampai kembang desa itu gila!"Cerita awalnya gimana Nak Emir, kok bisa dia jadi nggak waras begitu?" Keponya Ibu mulai deh."Nggak tahu, Bu. Ada yang bilang kesurupan, ada yang bilang stres karena Emir. Hiiiy, jangan sampailah Bu." Emir tamp

  • Ide Gila Bapak!   Jadi Gila!

    "Kejem banget ya, orang yang udah buat Bu Ratih tewas. Nggak berperikemanusiaan," ucap salah seorang Ibu-ibu, yang tengah ikut memilih sayuran.Aku yang mendengar jadi tak enak hati. Pasti ini karena berita arwah yang gentayangan itu, Astagfirullah! Nggak baik juga kalau dibiarkan berlama-lama.Meski aku tahu berita ini cukup menggetarkan bagi keluarga tersangka. Selama beberapa hari ini, aku tak ada melihat arwah di rumah Bapak maupun Emir.Arwah itu seakan pergi, saat tugas menyampaikannya sudah usai. Semoga saja begitu, aku paling nggak mau berurusan dengan yang begitu. Ngeri!"Kamu sendiri gimana Wi, pernah didatangi Almarhum nggak?" senggol seseibu, dengan netra yang ingin tahunya. Aku menggigit bibir. Kupikir mereka ini punya keingintahuan yang begitu tinggi, padahal sedari tadi mereka ngoceh ya aku hanya diam saja. Aku tidak mau punya pikiran yang berat-berat. Cukup yang ada saja, termasuk perihal anak sekalipun."Oooh iya Wi, kamu KB nggak? Kalau bisa sih jangan, biar cepet

  • Ide Gila Bapak!   Yang Pertama

    Kabar tentang arwah gentayangan yang disebut-sebut Ibu mertuaku, begitu santer menjadi perbincangan hangat di kampung.Aku sudah punya firasat, ternyata memang bukan aku saja yang didatangi. Katanya keluarga Pak Lurah, yang sering dikunjungi arwah tersebut.Aku bergidik ngeri. Itu pasti Jin Qorinnya Ibu, hendak menuntut balas. Biar saja mereka sibuk mencari cara agar menghentikan teror itu, aku ingin tahu bagaimana perkembangan nantinya."Dwi juga udah pernah didatangi, kok, Ibu sama Bapak nggak ya?" Dahiku mengernyit, saat kami tengah menikmati sepotong pisang goreng di teras depan."Memangnya Ibu kepengen banget ya didatangi? Kalau aku sih ogah! Hiiiiiy." Rasa yang pisang yang enak, berubah menjadi hambar.Bapak sudah pergi ke kebun, sedang suamiku sedang berada di rumah Ibu. Katanya ada yang harus ia lakukan, entah apa aku tak banyak bertanya.Dari yang tadinya punya suami tukang selingkuh, sekarang aku justru harus menghadapi misteri tewasnya Ibu mertua.Meskipun buatku udah nggak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status