Share

Lamaran Pak Lurah

"Bhahahahaaaaaa ... yakin Pak Syamsul mau nolak tawaran mulia ini gitu aja? Nggak akan nyesel sampeyan?" Aku bergidik ngeri, demi melihat Pak Lurah dengan didampingi keempat istrinya baik di samping kanan mau pun kiri.

Aku lebih baik di sini dulu saja dengan, Bapak. Risma bilang, Bapak itu rajin ibadah. Sering bolak-balik ke Mesjid, mana mungkin beliau segila itu. Astagfirullah!

Kelakuan Pak Lurah ini, tak patut dicontoh! Jauh sekali dengan poligami ala Rasulullah, keempat istrinya pake baju kurang bahan. Kecentilan pula lagi, melihat Bapakku yang seharusnya tak lagi menarik minat mereka.

"In Syaa Allah, keputusan saya ini sudah bulat, Pak Lurah. Kasihan Dwi, sudah empat kali gagal. Saat ini ... biarlah dia istirahat, menenangkan diri terlebih dulu." Seeeeer, kata-kata Bapak barusan begitu menyentuh hati. Tak Bapak katakan, tentang rencana gilanya kemarin itu.

Lagi pula, mana sudi aku jadi istri kelima Pak Lurah! Astagfirullah, giliran ada yang melamar. Kenapa modelnya yang begini, panutan masyarakat pula lagi!

"Halah, terlalu banyak omong kau, Syul! Aku hanya minta anak jandamu itu, akan kuberikan kamu kenikmatan hidup. Hehehee." Aku meneguk ludah, lelaki ini tak berputus asa rupanya.

Kenikmatan hidup seperti apa yang akan diberi? Yang ada hanya neraka, dengan satu pelakor saja aku memutuskan mundur. Ini empat? Astagfirullah!

"Sekali lagi maaf, Pak Lurah. Penolakan saya ini, tidak mengurangi rasa hormat saya pada Bapak. Hanya saja, istri empat harusnya ... sudah cukup."

Brakkk!

Netraku membeliak, saat Pak Lurah berdiri dan menggebrak meja. Riuh para istrinya menjerit, dengan suara-suara manja menggelikan.

"Dasar bandot tua! Kau siapa?! Berani-beraninya mengatakan begitu, terserah aku mau punya istri empat lima bahkan sepuluh atau lebih. Jelas bukan urusanmu!" Napasku tersengal, duduk merapat pada Bapak. Yang tampak tak terpengaruh.

Air mataku menetes. Ya Tuhan, lebih baik aku menjanda saja seumur hidup. Bila terus dihadapkan dengan lelaki hidung belang, cukup empat kali gagal dalam mempertahankan rumah tangga!

"Anakmu itu sudah janda empat kali, hahahhaaa. Dan kau ... masih sok jual mahal, seumur hidup dia akan menyendiri karena selalu dilepeh saat sudah dicicipi. Hehhee."

Aku mengelus dada, benarkah begitu?

"Apa Pak Lurah, juga akan melakukan hal yang sama?" Ya Allah, kenapa pula Bapak menanyakan hal itu?

"Hehhehee, jelas aku berbeda!" ucapnya, memukul dada penuh kebanggaan. "Nampaknya, jandamu ini bikin aku netesin liur terus. Hahahhaaa."

Dadaku bergemuruh, cukup sudah Pak Lurah terlalu banyak bicara! "Silakan Pak Lurah dan istri-istri Bapak keluar, saya rasa penolakan tadi cukup jelas!"

Kutunjuk pintu keluar, menatap tajam pada lelaki sombong yang terus menghina Bapak. Sedikit pun aku tidak akan silau, hanya karema jabatannya!

"Berani kamu mengusirku, hei janda manis. Hehheheee." Aku melangkah mundur, saat satu tangannya ingin menyentuh. Dari luar aku seperti sudah mendengar riuhnya warga, yang pasti ingin tahu akan kedatangan Pak Lurah yang terhormat beserta keempat istrinya.

"Pergilah, di luar sudah banyak masyarakar yang menungggu Bapak." Lelaki itu mendengkus kasar, menatapku dengan entah.

"Baiklah, aku pergi bukan berarti mengalah. Janda, heheeee. Mari Sayang, kita pulang." Aku muak, tentu saja!

Tak kusangka, Pak Lurah akan datang melamar setelah empat kali aku gagal menikah. Dan apa katanya tadi, aku manis? Sungguh rayuan yang paling membuatku ingin muntah!

**

"Hahahahaaaahaaa." Usai Pak Lurah dan ke empat istrinya pergi, di sinilah aku dan Risma sekarang. Wanita itu belum dikaruniai anak, hingga masih bebas berkeliaran rupanya.

Bapak pergi, mau ke Mesjid saja katanya. Aku tak menanyakan apa pun, seraut wajah sedih Bapak lebih kentara dibanding amarahnya dengan lamaran Pak Lurah.

"Dasar temen nggak ada akhlak!" seruku, menghentikan tawaannya yang terus menggema. Apa ada yang lucu?

"Aku nggak tahu ya, Wi. Ini dibilang satu anugerah atau malapetaka, saat Pak Lurah datang melamar dengan status istri empat. Hahhahaaaaa. Ya Allah, Dwi ... Hahhahaa." Aku menghela napas panjang, sudah lama aku dan Risma tak saling bicara. Karena aku kerap mendapat jodoh di kota, meski akhirnya harus kandas pula. Nasib emang.

Aku masih kebayang wajah, Bapak. Beliau tak seperti kemarin yang kekeh ingin menikah saja denganku, tadi itu ... aku seperti melihat sosok yang sesungguhnya. Beliau ingin melindungi harga diriku sebagai anak, bukan istri!

"Gimana Bapakmu, Wi?" Setengah berbisik, Risma bertanya.

"Gimana apanya?" sahutku, malas.

"Bapakmu ... apa nggak bilang, kalau kalian ...."

"Nggaklah!" potongku cepat, karena sudah tahu dia akan menjurus ke mana.

"Alhamdulilah, aku tuh yakin banget. Pak Syamsul itu hanya ingin lebih menjaga kamu, Wi. Empat kali loh kamu gagal, orangtua mana yang nggak ikut sedih."

Masuk akal, tapi, apa harus mengatakan rencana menikah?

"Kamu tenang sajalah, Wi. Aku tahu betul Pak Syamsul, dia bukan orang gila. Kalau mau kenapa nggak nikah sama wanita lain saja coba? Banyak cara untuk melindungi anak, nggak meski harus dengan menikah. Apalagi, itu jatohnya dosa besar ... Hiiiiy." Risma bergidik ngeri, iyalah gimana aku yang mengalaminya langsung?

"Makasih ya, Ris. Maaf, selama menikah aku nggak ada hubungin kamu."

"Santailah, kayak sama siapa aja. Kita ini 'kan besti, hahaaaa."

"Dwi!"

Degh!

Itu 'kan suara Bapak? Apa dari tadi Bapak denger ya obrolan kami? Kalau iya Bapak, pasti sakit hati banget.

Kubuka pintu selebar mungkin, menampakan wajah beliau yang terlihat lebih murung. "Itu ada temen nyariiin kamu, Bapak mau istirahat sebentar. Bapak percaya sama laki ini, dia cuma temen kalian semasa SD. Sudah temui sana, kasihan kalau harus nunggu lama."

Dahiku mengernyit. Teman semasa SD. Cowok? Siapa pula?

"Yuklah, Ris. Kata Bapak itu temen SD kita." Kami melangkah keluar, begitu terkejut dengan sosok lelaki jangkung dengan wajah hitam manis. Senyuman lebarnya, menampakan barisan gigi yang putih bersih.

"Emir!" teriakku, dengan Risma. Lelaki itu mengangguk, mengatupkan kedua tangan di dada.

"Ish, si Emir ini ternyata. Tetangga sebrang rumahmu, Wi. Ck, aku kira siapa." Risma menggeleng keras.

"Assalammualaikum, Ris. Wi."

"Waalaikumsalam." Kami menjawab serempak.

"Duduklah, Mir. Nggak enak berdiri terus, kamu baru pulang dari merantau ya? Itu, tas nggak disimpen dulu?" tanyaku, menatapnya hangat.

"Nggak sempet, aku tadi denger dari Ibu. Katanya kamu ada di rumah, sama Risma juga. Sekalianlah kita reuni," cetusnya, yang membuat Risma berdecak sebal.

"Aku sih bosen, Mir. Lihat kamu, bulan kemarin juga kamu baru pulang. Kalau si Dwi sih, mungkin nggak ya. Karena kalian udah lama nggak ketemu," ucap Risma, yang tampak biasa saja.

Kuperhatikan Emir berbeda dengan yang dulu, meski masih hitam. Penampilannya jauh lebih rapi, manis banget. Lah, kenapa aku jadi menilai dia begini sih?

Kata Bapak, aku harus pandai menjaga hati. Sebab, aku orangnya gampang jatuh cinta. Itu makanya, rumah tanggaku tak pernah berjalan mulus.

"Kamu bawa oleh-oleh apa, Mir?" Aku menyenggol lengan si pembicara, Risma ini bener-bener deh!

"Ada, bentar ya." Emir, tampak sibuk mengucek isi tas punggung miliknya. Entah oleh-oleh apa yang akan dia beri.

"Surpriseeeeee!"

Netraku membeliak, demi menatap oleh-oleh yang sudah berpindah ke tanganku. Apa Emir serius memberiku ini? Tapi, kenapa aku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status