"Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.
Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya
Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be
"Astagfirullah! Ya Allah! Bapak pastilah sudah gila! Mana mungkin kita bisa menikah?!" jeritku, histeris. Luka di hati belum kering, dan Bapak seakan menambahkannya lagi!"Itu ... hanya semacam saran, Dwi." Kugelengkan kepala sekeras mungkin, "Empat kali kamu gagal dalam mempertahankan rumah tangga, orang tua mana yang tidak resah?""Ughhh, huhuhuu ...." Aku berharap, menemukan ketidakseriusan dalam ungkapan Bapak. Namun, nihil. Pria yang sudah menduda lama itu, begitu nekat ingin menikahi aku sebagai putri kandungnya!Bagaimana pernikahan kami di mata Agama? Masyarakat? Ini jelas terlarang!"Atau paling tidak, kamu anggaplah Bapak sebagai suami, Nak. Biar hidupmu aman, tidak perlu lagi menikah dan dikecewakan seperti sekarang. Bapak, jadi tidak percaya terhadap semua lelaki di luaran sana." Aku menggigit bibir, kembali menggeleng sekeras mungkin. Dengan air mata terus berjatuhan, ini pasti hanya lelucon beliau saja!Almarhumah Ibu di atas sana, pasti ikut murka! Aku tahu, aku ini jand
"Bhahahahaaaaaa ... yakin Pak Syamsul mau nolak tawaran mulia ini gitu aja? Nggak akan nyesel sampeyan?" Aku bergidik ngeri, demi melihat Pak Lurah dengan didampingi keempat istrinya baik di samping kanan mau pun kiri. Aku lebih baik di sini dulu saja dengan, Bapak. Risma bilang, Bapak itu rajin ibadah. Sering bolak-balik ke Mesjid, mana mungkin beliau segila itu. Astagfirullah!Kelakuan Pak Lurah ini, tak patut dicontoh! Jauh sekali dengan poligami ala Rasulullah, keempat istrinya pake baju kurang bahan. Kecentilan pula lagi, melihat Bapakku yang seharusnya tak lagi menarik minat mereka."In Syaa Allah, keputusan saya ini sudah bulat, Pak Lurah. Kasihan Dwi, sudah empat kali gagal. Saat ini ... biarlah dia istirahat, menenangkan diri terlebih dulu." Seeeeer, kata-kata Bapak barusan begitu menyentuh hati. Tak Bapak katakan, tentang rencana gilanya kemarin itu.Lagi pula, mana sudi aku jadi istri kelima Pak Lurah! Astagfirullah, giliran ada yang melamar. Kenapa modelnya yang begini, p
"Apa nggak salah kamu, Mir? Ngasih anak Bapak buku? Buat apa?" Aku meneguk ludah, tak berani menatap netra Bapak yang mungkin saja tak menyukai pemberian pria lain sekarang."Ah, itu ... a-nu, Dwi kan suka banget baca buku. Di sana juga banyak ilmu yang bisa Dwi serap," sahut Emir, yang tampak gugup."Anak pintar." Aku mendadak pusing, mendengar pujian Bapak pada Emir. Beliau lantas berlalu, seakan tak mempermasalahkan. Apa mungkin karena kami berteman? Tumpukan buku di tanganku, membuat rasa ingin membaca kembali membuncah. Bisa sedikitlah membuatku lupa dari masalah hidup, juga rencana Bapak tempo lalu. Yang masih meningggalkan degup jantung tak beraturan."Bener kata Bapakmu, Wi. Si Emir pinter juga ngasih oleh-oleh, kamu 'kan emang suka baca dari dulu. Nah aku, ini ... dia ngasih banyak cemilan. yang tinggal digoreng. Aduh Emiirrr, baik banget sih kamu." Aku mencebik, tadi saja dia nampak tak peduli dengan kehadiran Emir. Memang Risma tuh, kalau soal makan-memakan juara deh!Keda
***"Astagfirullahaladzim ... ba-bangkai tikus, Pak. Hiiiiy." Aku bergidik ngeri, memeluk Bapak seerat mungkin. Melupakan rencana gila beliau, bagiku pemandangan di depan sana jauh lebih mengerikan.Satu kotak berisi bangkai tikus, seakan mengocok seluruh isi perutku. Aku mual, kepala terasa pusing. "Tenang, tenanglah, Nduk!" Dilepasnya pelukanku, dengan penuh keberanian Bapak mendekat menatap kado berisi bangkai yang entah kiriman siapa.Harusnya aku sudah merasa tenang, tinggal di kampung. Kenapa harus ada yang begini? Isengkah dia? Tapi, untuk apa?Bapak, membawa kado itu menjauh. Membuat napasku kembali normal, aku terduduk dengan rasa yang lemah.Ini semua salahmu, Mas Rifal! Kamu terlalu mudah tergoda dengan janda kembang, yang kupikir tak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan aku!Kamu bahkan, harus membiayai anaknya! Yang bukan darah dagingmu, rela melepas aku yang sudah sedari nol mendampingi.Andai kita masih bersama, tak perlu aku pulang kampung. Mematahkan hati Ba
"Masuklah, Dwi! Lelaki pecundang itu tak akan pernah datang. Barangkali, dia sadar. Kamu hanyalah janda hina!" Napasku tercekat, demi mendengar ucapan Bapak. Yang terasa menusuk kalbu, benarkah Emir menilaiku sedemikian rupa?Hal itukah yang membuatnya urung datang? Emir, aku bahkan sudah masak banyak. Demi menyambut kedatanganmu, kenapa, kenapa kamu menorehkan luka sebelum rasa itu berkembang lebih lama juga dalam?"Kenapa Bapak menyebutku janda hina? Gerangan apa yang kulakukan? Hingga Bapak tega," tanyaku, menatap kedua manik matanya. Kutatap rumah Emir di seberang sana, gelap. Seperti tak ada kehidupan, kau ke mana, Emir? Aku serius menganggap lamaranmu tadi siang, tapi, kenapa kau tega dengan tak datang tanpa memberi kabar?"Bapak rasa, yang namanya janda memang hina. Sebab, mereka tak bisa mempertahankan rumah tangganya." Pedas, ucapan Bapak terasa menohok. Aku berdiri, tak lagi mengenali sosok Bapak yang lembut."Begitu, aku hanya tak ingin dimadu. Aku tak sanggup berbagi! Apa