"Masuk, Dwi!" teriak Bapak panjang lagi menyakitkan. Kukira di kebun tadi, beliau akan dengan mudah memberi restu untuk jalanku dengan Emir. Nyatanya ....Bapak serius dengan ucapannya, trauma menikahkanku kembali. Jika pada ujungnya semua berakhir dengan sia-sia, Ya Allah apa mungkin takdirku harus seperti ini? Sendiri tanpa pasangan.Aku menghela napas panjang. Teringat akan penolakan Bapak di depan Emir langsung, padahal aku ini janda. Harusnya bersyukur masih ada yang mau, bujang pula!Bapak begitu sombong!Sepanjang jalan tadi aku terus diseret menjauh dari Emir, di bawah tatapan banyak orang. Entah bagaimana penilaian mereka, apa Bapak nggak malu?Apa kuterima saja tawaran Mas Rifal kemarin? Kembali padanya dengan status poligami, memang apa enaknya punya banyak uang, tapi, kalau harus membagi suami mana sudi!Kututup kedua mata. Menangis sesenggukan, kudengar Bapak masih mengomel panjang. Bilang aku ini janda yang tak bisa menjaga marwah, wanita yang terus gagal. Dan dengan tak
"Aku ini janda, bukan anak gadis, Pak!" teriakku, nyalang. Dengan debaran tak menentu, satu-satunya sahabat telah diusir Bapak. Karena dianggap menjadi perantara hubunganku dengan Emir!"Dwi itu benar, Syul. Biarlah dia menikah lagi, siapa tahu si Emir memang jodoh terakhirnya." Aku mengangguk keras, berlindung di balik tubuh Bibi."Kamu nggak perlu membela dia, Ir! Untung saja aku tidak gila, dengan menyaksikan kegagalan pernikahannya yang terus berulang." Tapi, tapi, itu bukan inginku!Keempat mantan suamiku berselingkuh. Memang seharusnya aku tak lagi mudah menjatuhkan hati pada lelaki manapun, hanya saja ini Emir. Dia teman sewaktu SD, aku jelas mengenalnya."Terlalu cepat untuk dia menikah. Terlalu beresiko," sembur Bapak, yang masih menatapku penuh angkara murka.Benarkah begitu?"Pikirkanlah Dwi masak-masak, kamu menikah bukan hanya sekali dua kali. Bapak tahu usiamu terus bertambah, tapi, tolong bersabarlah sampai Bapak merasa kalau Emir bisa menjagamu dalam segala hal." Aku
"Cuih! Pemuda sampah! Bisa-bisanya anakku menyukai lelaki macam begini, sudah miskin belagu pula!" Nanar mataku melihat lelaki yang baru saja menetap di hati, wajahnya penuh luka. Bahkan barusan ia diludahi di depan banyak orang, sungguh kejam Pak Lurah kali ini!Bergetar bibirku, memanggil namanya. Aima sudah dibawa pulang digeret paksa, karena wanita itu kekeuh tetap ingin menikah dengan Emir. Wanita tukang paksa, egois!"Ya Allah ... Emir," lirih suara Ibunya memanggil, dengan uraian air mata. Bapak dan warga yang lain bahu-membahu membawa tubuh Emir masuk ke dalam rumah, biar segera diobati.Jadi, Emir tak ada takut-takutnya dengan Pak Lurah? Dia bahkan menolak Aima demi aku? Benarkah itu?"Aw, aw, sakiiiit Bu!" Aku tersentak, mendengar teriakan Emir yang sedang diobati Ibunya."Heleeeh, gitu aja sakit. Tadi waktu kamu digebukin Pak Lurah sama anak buahnya biasa aja tuh," timpal Ibu, yang membuatku tersenyum. "Biar sama Dwi aja Bu, apa boleh?" Kuberanikan diri, aku tak ingin mel
Kami pulang dengan wajah lesu, tak satu pun tempat kami temui di mana Ibunya Emir. Betul-betul raib!Tapi, kami sudah melaporkan kasus yang meresahkan ini pada pihak yang berwajib. Biar makin banyak yang ikut mencari, sekaligus memberi efek jera kalau saja benar Ibu diculik orang!"Makan dulu, Mir." Kulempar senyum yang terasa getir, melihatnya hempas begini aku merasa sebagian dari dirinya ikut terbawa pergi oleh Ibu yang kini menghilang."Kamu saja sama Risma, Wi. Aku belum laper," begitu jawabannya. Padahal, ia butuh tenaga untuk melanjutkan pencarian juga pikiran yang jernih. Meski aku tahu itu pasti sulit, yang ada tambah semrawut saja."Nggak usah bebal kamu tuh! Tinggal makan saja susah!" sentak Risma, yang membuatku repleks menatap tajam padanya."Ya maaf, aku nggak ada maksud. Hanya saja kamu itu butuh makan, Emir. Ibu kamu pasti sedang menunggu bantuan."Menunggu bantuan? Benarkah itu?"Tahu dari mana kamu?" sinis, Emir bertanya sambil menatapi Risma dengan serius."Ya kita
"Hahahhaaaaa. Bede**h kalian! Sungguh berani kalian menuduhku tanpa bukti!" Sorot tajam kedua netra Pak Lurah, tak sedikit pun membuat kami gentar. Seminggu berlalu, Ibunya Emir belum jua ditemukan. Bahkan pihak kepolisian pun nihil saat kami tanyai, tak ada jalan lain selain kami berdiri di depan rumah Pak Lurah!"Tolong kembalikan Ibuku, Pak Lurah!" lirih Emir berucap, tampilannya makin lusuh.Namun, bukannya iba Pak Lurah makin tertawa terpingkal-pingkal. Apanya yang lucu? Pantaskah dia kusebut sebagai pimpinan?"Abang!" Wanita itu menghampiri 'Emirku' dengan dandanan aneh. Terlalu rame!"Bapakku pasti mau bantu menemukan Ibu, asal Abang mau menikah denganku."Degh!Rupanya dia belum kapok!Memang, Pak Lurah itu siapa? Polisi saja sulit menemukan Ibu, bagaimana dengannya?"Betul begitu Pak Lurah yang terhormat?" Aku menengadah, apa maksudnya Emir bertanya begitu."Ya, apapun yang anakku katakan maka benarlah adanya." Aku hempas. Rupanya Emir sudah putus asa, dia ingin mengambil j
Hari itu kuhabiskan waktu seharian di rumah. Kumatikan ponsel, tak ingin mendengar kabar apapun baik dari Emir juga Risma.Mungkin Emir bukanlah jodohku. Sudahlah, lebih baik aku sendiri. Benar kata Bapak, aku ini terlalu mudah menjatuhkan hati.Toh aku ini siapa? Ibu Emir jelas lebih utama dibanding aku, jadi wajar jika ia ingin melakukan apa saja agar Ibunya lekas ditemukan.Aku menghela nafas, sungguh perjalanan cintaku begitu terjal juga curam. "Dwiii ...." Bibi mengetuk pintu kamar, "Makan dulu, nanti sakit loh.""Masuk saja, Bi."Kutatap Bibi, yang memang sekilas mirip dengan Almarhumah Ibu. Sepertinya rencanaku untuk menikahkan Bibi dengan Bapak, masih sangat jauh."Bibi buatkan kamu nasi goreng spesial," ucapnya, yang membuatku sedikit bersemangat."Kamu percaya jodoh, Dwi?" Bibi bertanya, aku memakan nasgor sesuap demi sesuap rasanya tak jauh beda dengan masakan Ibuku dulu.Lagi, aku menghela nafas dalam. Tak pernah kupikirkan jika Emir selama itu menaruh rasa, kenapa begitu
Dua minggu berlalu. Aku saja yang bukan anaknya, begitu kaget hampir pingsan melihat kondisi Ibunya Emir.Rencana kami yang ingin memeriksa gudang Pak Lurah, batal dilakukan. Sebab, beliau entah siapa yang mengantar. Tiba-tiba sudah ada di depan rumah Emir, dengan keadaan tanpa busana. Astagfirullah!Sungguh kejam! Sungguh bi**ab orang-orang yang sudah melakukan hal tersebut!Entah di mana hati nuraninya, semoga hukum Allah segera menimpa mereka siapa saja!"Kamu sudah lapor polisi, Emir?" Bapak bertanya, saat kami menunggui pemeriksaan Dokter.Emir yang tengah frustasi, menggeleng lemah. Semoga saja kabar dari Dokter, membuat hati Emir jauh lebih baik.Banyak luka lebam pada tubuh Ibunya Emir, yang lebih parah di bagian kewanitaan. Nampak terkoyak, Astagfirullah!Tak kubanyangkan bagaimana sakitnya, pasti trauma ini akan terbawa hingga kapanpun!"Biar diurus nanti saja, Pak. Emir mau fokus dulu di sini," ucapnya, yang masih tak mau mengalihkan netra pada kamar di mana Ibu berada."Y
"Memang betul-betul nggak karuanlah hukum di Indonesia ini," komentar Bapak, yang rupanya laporan mereka terkait pelecehan yang terjadi pada Ibu hanya ditanggapi biasa saja. Terkesan abai, apalagi saat mereka menyebutkan ada curiga pada Pak Lurah. Sudah kuduga. Para lelaki berseragam itu minta disuap dulu sebanyak mungkin, barulah mau bergerak!Walaupun memang tak semua demikian, tapi, masyarakat sendiri jarang bahkan tidak pernah dipertemukan dengan yang betul-betul menjalankan tugasnya."Rupanya selain menjabat jadi Lurah, tuh orang punya kuasa lain. Melihat begitu banyak yang takut dengannya," sambung, Bapak. Ya, bisa jadi mereka punya kuasa yang lebih meyakinkan dari seorang Lurah. Kita mana tahu, dilihat dari rumahnya yang paling besar se-kampung. Bodyguard yang banyak, istri jangan ditanya!"Yo berarti kita harus hati-hati, jangan sampai salah melangkah." Bibi ikut menimpali, jujur saja aku juga sebetulnya malas jika terus berhubungan dengan Lurah tersebut.Nggak kayak Lurah