Dua orang itu duduk berjauhan dan saling terdiam, tak ada sedikitpun ekspresi yang tampak di wajah mereka. Diana berada di pojok kepala kasur, bersandar sambil memeluk bantal dan pandangannya tertuju jauh ke arah balkon. Sedangkan suaminya, Nathan, duduk di tepi kasur setelah memperlihatkan surat cerai yang kini tergeletak tak berguna di antara mereka. Lamunan keduanya berlangsung cukup lama, memikirkan betapa sulitnya untuk mengakhiri hubungan saat tidak ada perkara yang terjadi, kecuali perbedaan. Sayang, mereka harus kembali menjalani hidup sesuai profesi yang bertentangan satu sama lain. Diana dengan hidupnya yang bergelimang harta dan popularitas, yang selalu disorot kamera dan disebarkan ke seluruh media. Sementara Nathan, dia bergerak di 'bawah tanah' agar baunya tak sedikitpun dicium oleh lawan. Hal itulah yang seolah memaksa mereka untuk melakukannya, perpisahan. "Diana ..." "Pergilah." Ketika itu, Nathan lebih dulu membuka suara, namun Diana langsung menyela dengan suara
"NATHAN LEE! KELUAR KAU!"Teriakan itu menggelegar ke segala penjuru rumah. Diana yang sedang berada di dapur lantas berlari ke arah depan dan menemukan James Park dengan amarah yang berapi-api. "Diana! Katakan di mana Nathan Lee! Aku akan membunuhnya sekarang juga!" ketus James.Diana menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak ada, dia sudah pergi," katanya. Pria paruh baya itu segera mendekat dan mencengkeram kedua bahu Diana, pandangannya tajam menusuk, sama seperti suaranya ketika dia bicara, "Ke mana perginya Nathan Lee? Jelaskan apa yang kau maksud, Diana Park! Apa kau tahu bahwa dia adalah mata-mata? Dia mencuri informasi perusahaanku! Dasar keparat sialan itu! Katakan ke mana dia pergi!" "A-aku tidak tahu, Ayah. Dia pergi tadi malam. Aku tahu siapa dia, dan ... kami sudah bercerai," gumam Diana sembari tertunduk menyembunyikan rasa takutnya. "Kenapa? Kenapa kau membiarkannya pergi?!""Mana kutahu! Jangan salahkan aku atas perbuatan yang sudah Ayah lakukan! Kenapa Ayah bisa
Pulang, adalah waktu yang paling dinantikan oleh Nathan. Liburan musim dingin tahun ini akan sepenuhnya ia gunakan untuk pulang ke Connecticut, kampung halaman, tempat orang tua dan kedua adiknya tinggal. Meski tugas menuntut Nathan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, rumah paling nyaman tentulah ada di Kota Ridgefield. Dia turun dari bus dengan senyuman gembira. Sembari menggendong tas punggung, kakinya melangkah lebih jauh ke dalam kompleks perumahan yang hijau dan asri, hingga akhirnya tiba di depan hunian bertingkat gaya Amerika. Nathan, sejatinya hanyalah seorang anak yang sedang merindukan rumah, begitu melihat sang ibu keluar dari pintu untuk menyambutnya, senyuman Nathan langsung terlukis amat lebar dan segera menghampiri wanita baya bernama Sarah itu. "Austin, akhirnya kau pulang. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihatmu pulang dengan selamat." Sarah menangkup wajah anak sulungnya dengan bangga."Aku ingin eggnog hangat buatanmu," celetuk Nathan, itu
"Romano Emanuel? Kau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan organisasi kami? Posisi apa yang kau harapkan?"Tatapan menantang dari mata setajam tombak itu tertuju kepada sosok lelaki yang berdiri di tengah ruangan. Dentingan metronom terdengar begitu keras, membuat atmosfer dalam ruangan mewah bergaya Eropa itu kian mencekam. "Kapten." Tanpa bergerak sedikitpun, orang yang disebut Romano menjawab.Gelak tawa meremehkan keluar begitu saja dari mulut seorang Victor Provenzano, bos besar mafia dari klan Provenzano. Lengkap dengan topi fedora dan jas hitam yang membalut tubuhnya, Victor berjalan menghampiri Romano. Dia dapat mengetahui semua riwayat hidup Romano dari berkas yang telah diberikan oleh ajudannya. Namun, tentu saja data dan informasi dalam berkas alakadarnya itu adalah palsu.Satu hal yang baru saja Romano ketahui, para mafia di Italia belum menggunakan teknologi canggih untuk membantu pekerjaan mereka. Tentu saja, pada bidang teknologi dan informasi, Romano yang paling ungg
"Apa tujuanmu mengundangku kemari?" Romano memberikan pertanyaan tersebut kepada Luiza, tepat setelah dirinya duduk pada sofa yang ada di dalam 'ruang beracun' milik wanita itu. Romano memang mendapat undangan lewat surat kertas dari Luiza untuk datang ke tempatnya malam itu. Saat datang, dia dibuat heran karena ruang beracun yang kiranya benar-benar 'beracun' itu ternyata hanya sebuah kamar normal dan wangi khas perempuan. Mungkin, parfum dengan aroma menyengat hidung adalah racun yang dimaksud oleh Luiza. "Sebelum itu, mari kita minum terlebih dahulu! Ini adalah anggur buatan Italia yang sudah difermentasi selama belasan tahun. Makin lama waktu fermentasi, makin nikmat pula rasa anggur ini." Luiza mengangkat gelas anggurnya, disusul oleh Romano yang segera menyesap minuman tersebut. "Baiklah, aku akan membaca tata tertib dan aturan organisasi untuk kau pahami." Luiza tersenyum manis, kemudian bangkit dan berdiri di hadapan Romano sembari memegang kertas kuning, kemudian mulai be
Asap tipis mengepul dari cangkir teh yang baru saja diseduh oleh pemiliknya. Luiza berjalan santai ke ruang tengah seraya membawa cangkir teh tersebut dan membiarkannya hangat di atas meja. Sementara itu, dia pergi untuk mengambil sebuah buku dari rak besar di sudut ruangan. Waktu luangnya memang sering ia habiskan untuk membaca buku dan menambah pengetahuan baru. Alih-alih novel cinta, Luiza memilih buku filsafat sebagai cerita yang menarik. Kaki jenjangnya menyilang di atas meja dan punggungnya bersandar pada sofa, kehangatan sore hari menambah fokus dan rileks. Tempat yang ia tinggali saat ini adalah rumah singgahnya di markas, yang di atas pintunya terdapat papan 'ruang beracun.' Hanya sampai pada lembaran ke empat, dirinya berhenti membaca akibat suara ketukan pintu yang menganggu. Luiza menutup buku dengan kesal, lalu melemparnya sembarang dan beranjak ke depan. Romano telah berdiri dengan percaya diri ketika Luiza membuka pintu. Wanita itu lantas tersenyum simpul dan mempers
Dering ponsel mengalihkan atensi Romano yang baru saja keluar dari kamar mandi, selesai menyegarkan tubuh yang lelah akibat belum sepenuhnya beradaptasi pada pekerjaan baru. Siapa sangka, bergabung dengan kelompok kriminal itu sangat melelahkan. Romano harus memeras orang-orang kaya setiap hari dan menggunakan kejahatan yang butuh tenaga lebih banyak. Cukup berlawanan dengan tugasnya sebagai agen intelijen yang hanya perlu mempermainkan pikiran. Dia berdecak malas saat mengambil ponsel, ada nama Leo di layar yang langsung membuatnya mengangkat panggilan tersebut. "Kapten sudah menunggumu."Matanya melirik jam dinding, belum genap pukul tujuh pagi. Lelaki itu segera menutup telepon dan beralih mengenakan pakaiannya. Kemeja putih, celana dan jas hitam menjadi setelannya hari ini. Satu kesamaan dengan pekerjaan asli, selalu tampil rapi. Romano juga tidak lupa menyisir rambutnya ke belakang, mengekspos dahinya dengan sempurna. Rahang tegas dan alis tebal membuat wajahnya berkharisma,
"Selamat atas kemenanganmu, Eris!" "Full House! Lihat triple Ace itu, sepertinya kau punya banyak stok keberuntungan." "Yang benar saja, ini bukan keberuntungan, tapi strategi!" Luiza tersenyum pongah kepada para penonton dan lima lawan mainnya, dia bersandar pada kursi selagi menyisip anggur ketika seorang pelayan mengumpulkan chips poker yang telah ia menangkan. Sebagian pejudi di kasino itu sudah tak asing lagi dengan sosok Luiza dan kehebatannya. Namun entah mengapa, Luiza lebih sering dipanggil dengan nama Eris saat berada di sana. Di belakang kursinya, sedari tadi Romano berdiri dan mengamati permainan. Tepat setelah permainan itu selesai, dia beranjak pergi menuju bar yang lebih sepi. Kemudian mengapit sebatang rokok dan menyulutkan api dari korek gasnya. Dia tidak terlalu suka merokok, sebetulnya, ini hanya kedok agar dia tampak biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang. Diam-diam dia berpikir, bagaimana cara untuk mendekati Luiza dan menghasutnya agar dia menyerahkan senj