Share

5. Sebuah Malam Penuh Cinta

Usia pernikahan mereka sudah memasuki minggu ke-empat. Sudah bisa meminimalkan rasa canggung dan saling mendekati layaknya remaja yang sedang berpacaran. Untuk mendukung usaha pendekatan itu, Diana sengaja membuat acara makan malam di halaman samping rumah, sekaligus juga menjadi perayaan karena dia akan merilis albumnya akhir bulan depan, pada akhir musim panas.

Malam itu terasa hangat sebab panggangan barbeku yang masih menyala di depan mereka. Ditemani keindahan Kota Seoul dan secangkir teh hangat, Nathan terus memainkan gitar cokelat di tangannya sementara Diana bernyanyi ria.

"Kau tahu lagu milik Justin Bieber, Off My Face?" tanya Diana selagi menatap suaminya.

Nathan lantas tersenyum dan mengangguk, disusul petikan gitar untuk meyakinkan Diana kalau dirinya memang tahu. Diana jadi sangat gembira, dia kembali meminum tehnya sebelum mulai bernyanyi.

"One touch and you got me stoned,

higher than I've ever known,

you call the shots and I'll follow.

Sunrise but the night's still young,

no words but we're speaking tongues,

if you let me I might say too much.

Your touch blurred my vision,

it's your world and I'm just in it,

even sober I'm not thinking straight."

Diana tersenyum manis sambil melirik Nathan yang terlena oleh suara merdunya.

"Cause I'm off my face in love with you,

I'm out my head so into you,

and I don't know how you do it,

but I'm forever ruined by you ...."

Mereka menatap jernihnya mata satu sama lain tanpa berkutik sedikitpun. Diana masih bersenandung dengan lembut, sedangkan Nathan tak henti-hentinya menampilkan senyuman. Nathan akui bahwa pesona dan wajah Diana benar-benar menyenangkan hatinya, namun dia selalu ingat pada batasan agar tidak jatuh terlalu dalam. Karena Nathan tahu, suatu hari nanti dia harus pergi.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Diana, bedanya, wanita manis tidak punya kekhawatiran untuk mencintai Nathan sepenuh hati. Pelan-pelan dia menabung rasa suka untuk sang suami, tanpa takut akan tersakiti. Andai saja dia tahu siapa Nathan sebenarnya.

"Sempurna, suaramu sangat indah dan unik. Kurasa suaramu itu bisa mendamaikan jiwa seseorang atau malah menyayat hati yang mendengarnya," kata Nathan.

Sambil terkekeh, Diana bergumam, "Thank you so much, aku memang sering menyanyikan balada, tapi aku lebih senang membuat orang tersenyum karena suaraku. Omong-omong, ternyata kau juga hebat dalam memainkan gitar," balasnya, tentu saja dia harus memuji balik.

"Terima kasih kembali. Aku belajar bermain gitar sejak usia 17 tahun, aku juga pernah ikut klub band saat sekolah," kata Nathan.

"Benarkah? Wah, pasti kau jadi incaran para siswi saat itu."

Nathan tersenyum tipis sebagai pembenaran, dia kemudian membalas, "Kurasa kau juga sama."

Namun ternyata Diana malah menggelengkan kepala. "Aku tidak terlalu populer saat di sekolah. Karena aku bersekolah di sekolah seni, hampir semua murid di sana punya bakat alami dan aku jadi tidak terlalu menonjol. Asal kau tahu, untuk menjadi artis di sini, penampilan adalah segalanya, apalagi soal wajah dan bentuk tubuh. Aku salah satunya yang punya keistimewaan itu, dan aku bersyukur bisa debut. Tapi, tetap ada yang membuatku merasa sedih, aku tidak bisa berekspresi secara bebas, aku juga kehilangan banyak teman."

Mereka saling terdiam, hanya terdengar suara gitar yang sesekali dipetik oleh Nathan.

"Setiap profesi memang ada baik dan buruknya, Diana, kau hebat bisa bertahan sejauh ini," ucap Nathan kemudian.

"Iya, karena dukungan dari keluarga, penggemar, dan dari orang-orang baik di sekitarku. Aku tidak pernah menyesal, karena menjadi penyanyi adalah impianku sejak kecil, aku sangat bahagia bisa mendedikasikan hidupku untuk musik."

Nathan tersenyum teduh. Dia turut senang jika ada banyak orang yang mendukung dan menyayangi Diana. Tidak, Nathan tidak iri meskipun dia belum pernah mendapatkan apresiasi dari orang-orang terdekatnya.

"Eh, ini sudah jam berapa ya?" tanya Diana, dia menengok ke arah paviliun di belakang mereka untuk melihat jam dinding, namun tidak terjangkau.

"Jam 8, memangnya kenapa?" sahut Nathan yang punya arloji di tangannya.

Diana tersenyum lebar. "Listening party! Tunggu sebentar, aku akan mengambil laptop dan albumnya." Dia berlari kecil ke dalam rumah, meninggalkan Nathan seorang diri bersama gitar cokelatnya.

Ketika sedang asyik memejamkan mata, suara dering yang datang dari ponsel milik Diana langsung mengalihkan atensi Nathan. Awalnya Nathan tidak tertarik, namun dia merasa bahwa itu penting karena nomor tak dikenal tersebut terus menelepon. Segeralah dia mengangkat panggilan itu.

"Ha—"

Belum sempat bicara, Nathan langsung menjauhkan ponsel itu akibat suara berisik yang mengganggu pendengarannya. Cepat-cepat dia menekan tombol merah di layar dan meletakkan ponsel itu kembali ke tempat. Nathan terus termenung, memikirkan siapa yang berteriak-teriak di dalam telepon tadi? Namun yang pasti, itu sangat menyeramkan.

"Nathan, apa yang terjadi?" Suara Diana menyadarkan Nathan dari lamunannya.

Pria tampan itu lantas mengadu. "Maafkan aku, aku mengangkat telepon di ponselmu, tapi yang kudengar hanya orang berteriak memanggil namamu dan itu mengerikan!"

"Benarkah?" Diana tercengang, dia segera mengambil ponselnya untuk memastikan ucapan Nathan. "Ya ampun, kurasa ini dari penggemarku, aku tidak pernah mengangkat telepon dari mereka sebelumnya."

"Penggemarmu?" tanya Nathan dengan heran.

"Penggemar fanatik dan obsesif, mereka benar-benar mengganggu. Tidak peduli berapa kali aku memblokir nomor mereka, atau mengganti nomorku sendiri, selalu saja ada telepon dari nomor asing," balas Diana seraya duduk. "Maaf, pasti kau terkejut," tambahnya.

Oh, tentu saja Nathan terkejut. Berbeda dengan Diana yang tampaknya sudah terbiasa.

"Bagaimana mereka bisa tahu nomor teleponmu?" tanya Nathan.

"Aku juga tidak tahu. Ini tidak hanya terjadi padaku, asal kau tahu. Di Korea, mereka itu disebut sasaeng, dan semua orang sudah tahu kalau mereka sangat menyebalkan. Bukan hanya telepon, mereka juga sering menguntit dan mengambil fotoku diam-diam. Seperti mata-mata atau pengintai tapi mereka lebih gila."

Nathan meringis, jujur saja dia sedikit tersinggung. "Sebanyak apa mereka itu?" tanyanya kemudian.

"Aku tidak yakin, pastinya sangat banyak. Tapi yang paling parah sampai menganggu privasiku sepertinya hanya ada dua sampai lima orang."

Baiklah, sudahi wawancaranya. Nathan tidak ingin membuat Diana kurang nyaman meskipun topik ini cukup menarik perhatiannya.

"Jangan dihiraukan, mereka akan mendapat balasan dari perbuatannya. Sebaiknya kita mendengarkan album baru milikmu ini. Wow, temanya adalah musim panas? Ada berapa lagu?" tanya Nathan seraya mengambil album berukuran besar dan penuh warna dari atas laptop.

"Iya, itu full album ke-dua, ada sebelas lagu dan aku sendiri yang menulis liriknya. Lagu utamanya berjudul Summertime yang sangat ceria, favoritku, dan entah kenapa lagu itu selalu membuatku teringat padamu." Diana tersenyum manis sekaligus malu.

"Ada lirik yang berbunyi 'Don't leave me' dan 'May we meet again?’ Menurutku itu sangat pas karena lagunya dirilis sekitar akhir musim panas. Ayo dengarkan!"

*****

"Jadi, inti dari lagu Thanks itu adalah tentang kehilangan orang-orang yang pernah sangat dekat denganmu?"

"Hm! Aku merasa berterima kasih karena mereka telah hadir dan mewarnai hidupku. Tapi, aku terlalu sering mengalaminya, perpisahan itu sangat tidak baik untukku yang mudah bersedih dan sakit hati," balas Diana di sela-sela menggosok gigi.

Sejak berada di luar rumah hingga sekarang, mereka terus saja membedah pesan-pesan dari album baru milik Diana. Semua lagu dari awal sampai akhir tidak ada yang gagal, menurut Nathan. Dia hanya penasaran karena kebanyakan lagunya bernada ceria, namun makna liriknya justru berbanding terbalik. Misalnya saja tentang kehilangan, atau bahkan rasa takut dan kesepian. Diana mengatakan kalau semua itu adalah pengalamannya.

Dia berhenti sejenak dari kegiatannya untuk bicara, "Aku tidak ingin mengalami sakit hati karena perpisahan dan cinta lagi, tapi aku sadar kalau ternyata ... sangat sulit untuk menjauhi itu semua. Dan sekarang, aku punya dirimu. Bisakah aku berharap bahwa kau tidak akan pergi seperti mereka?"

Nathan enggan membalas pertanyaan itu. Dia tidak bisa berjanji untuk tetap ada di samping Diana atau berjanji bahwa dia tidak akan menyakitinya, karena pasti menjadi omong kosong belaka.

"Ah, sudah selesai! Mulutku terasa lebih segar, apa bau dagingnya masih tercium?" Diana akhirnya selesai dan terus memeriksa keadaan mulutnya di depan cermin.

"Mau saling memeriksa?"

Sesaat Diana terdiam akibat pertanyaan itu, kemudian dia berpaling dan menatap Nathan yang sedang tersenyum kikuk di sampingnya. Tentu saja Diana mengetahui apa yang dimaksud oleh sang suami.

"Maksudmu berciuman? Ehm, boleh," gumam Diana dengan wajah memanas, kemudian berdiri tegap di depan Nathan sambil memejamkan matanya.

Nathan jadi kegirangan setelah mendapat lampu hijau, dia segera mendekatkan diri dan merunduk agar lebih mudah mencium bibir Diana. Hanya kecupan manis sebagai awalan, Nathan sempat berhenti untuk tersenyum dan kembali menempelkan bibir mereka setelahnya. Sudah tiga minggu menikah, akhirnya mereka saling mencium juga! Tidak terdengar aneh sih, bagi mereka yang menikah karena perjodohan, kecanggungan atau rasa malu untuk memulai memang pasti ada. Untungnya pernikahan mereka berdua tidak dilandasi oleh keterpaksaan, sehingga lebih mudah untuk berbaur.

Mereka mulai membiasakan diri dengan hangatnya bibir satu sama lain, perisa mint dari pasta gigi yang masih menempel di mulut mereka memberikan rasa segar ketika berciuman.

Wajah Diana semakin merona dan memanas akibat pagutan bibir Nathan yang kian menguat. Bahkan Diana hampir tidak bernapas selama itu, kelopak matanya juga terpejam kuat-kuat sama seperti tangannya yang terus meremas kaus Nathan. Pelan-pelan dia melangkah mundur sampai kakinya membentur sebuah vas bunga. Karenanya, Nathan langsung menarik diri dan memberikan sedikit ruang agar Diana bisa bernapas dengan lega.

Mereka masih terpejam dan merasakan embusan napas hangat dalam jarak yang tak lebih dari 3 inci. Perlahan, Nathan menyentuh tangan Diana yang terus mencengkeram ujung kausnya.

"Mungkin kita merasa canggung untuk melakukan ini, tapi kita tidak bisa menundanya lebih lama lagi. Berhubungan intim adalah kewajiban bagi orang yang sudah menikah, benar? Jadi, bolehkah aku menyentuhmu malam ini?" bisik Nathan.

Diana setuju untuk menyerahkan segalanya ketika dia tersenyum dan berbalas, "Iya, kita sudah menikah, tentu saja boleh."

Sungguh, sepertinya Nathan menyesal karena tidak mengajak Diana bercumbu sejak awal menikah. Laki-laki macam apa dirinya yang enggan memulai kemesraan? Namun sekarang tidak lagi, Nathan sudah berani untuk menyentuh kekasih cantiknya ini.

Nathan memutar dan menyandarkan tubuh Diana pada dinding wastafel, memulai kembali ciuman yang sempat terhenti. Lambat laun, tangan Diana juga menyentuh leher Nathan dan merasakan sensasi aneh dalam dirinya. Oh, itu menyenangkan sekaligus mendebarkan!

"Mmhh ..."

"Haruskah kita pindah ke kamar sekarang?"

Diana hanya berangguk-angguk, dia langsung memeluk leher Nathan ketika pria itu memangku tubuhnya dengan sangat mudah. Semua perlakuan lembut dan penuh kasih dari Nathan membuat Diana berpikir kalau dia adalah orang paling beruntung seantero Korea. Sudah tampan, sopan, berwibawa, apalagi ditambah dengan sikap jantannya. Nathan benar-benar sempurna untuk Diana.

Akhirnya, setelah sekian lama, kamar besar itu diramaikan oleh desahan dan erangan nikmat dari mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status