Aku merapikan setelanku. Klasik, blus terusan pompa berwarna salem dengan bolero. Tak lupa sepatu dengan warna senada dan tas tangan. Jangan sampai penampilanku kacau ketika bertemu ibu mertua. Tata rambut sengaja kugerai untuk menutupi bekas tamparan Vian. Meskipun tidak terlalu terlihat, tetapi jika diperhatikan lebih detil, bekas tamparan itu masih bisa terlihat.
Tak memakan waktu lama, aku sudah berada di rumah Mama. Rumah model tropikal yang berada di penghujung jalan dengan beberapa pohon palm di sekitar rumah. Jendela dan pintu yang dipilih relatif besar. Mungkin bertujuan agar rumah itu memiliki sirkulasi udara yang sehat. Mama memang selalu mengedepankan kesehatan.
Mama menyongsong kedatanganku. Setelah berpelukan, Mama mengajakku masuk menuju ruang belakang. Sebuah teras yang diperuntukkan untuk tempat makan. Berbagai makanan khas Uzbekistan dan Ind
Hari pertama di rumah, aku merasakan semangat baru. Semoga ini membantu hubunganku dengan Vian semakin baik. Melihat usahanya mendekatiku, rasanya tidak adil jika aku terus menutup hati.Kupalingkan bola mataku ke arah jam di dinding kamar. Waktu masih pukul tiga sore. Aku ingin menyenangkannya dengan menyiapkan makan malam romantis besok. Ya … meskipun aku yang berulang tahun, tidak ada salahnya jika aku yang membuat orang lain bahagia. Lagipula, siapa tahu Vian akan semakin bersikap baik kepadaku. Sebaiknya aku bergegas untuk berbelanja sebelum supermarket tutup.Mesin mobil mulai terdengar meraung-raung. Aku melajukan mobil sambil mataku sesekali melirik ke arah layar ponsel untuk melihat peta. Semoga tidak tersesat di jalan. Untung Vian berangkat dengan jemputan mobil kantor, jadi aku bisa leluasa untuk bepergian.
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar.Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar.Tak … Tak … Tak.Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung.Klik.Lampu di seluruh rumah tiba-tiba
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar. Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar. Tak … Tak … Tak. Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung. Klik. Lampu di seluruh rumah tiba-tiba mati. Ak
Sedikit lega saat mengetahui semua pintu dan jendela sudah terkunci. Semoga ini hanya permainan untuk malam ini saja. Tidak ada permainan-permainan lainnya pada esok hari.Aku menghempaskan badan ke ranjang. Rasa letih mulai mendera seluruh tubuh. Kejadian barusan membuatku otakku lelah, hingga aku enggan untuk sekadar berganti pakaian apalagi membilas badanku.Besok aku akan pergi lagi ke kantor agen Boscha dan membatalkan undangan petualangan.Aku merogoh ponsel dari dalam tas. Kutekan beberapa angka agar tersambung pada Vian. Namun, nada dering itu tidak pernah terdengar, yang ada hanyalah suara pemberitahuan jika telepon tengah dialihkan.Kemana dia? Di saat genting seperti ini, Vian tidak bisa aku hubungi.Ak
Awal minggu yang aneh di Tashkent. Aku ingin segera bertemu Vian dan menceritakan segalanya. Bagaimanapun dia harus tahu. Tapi mengapa ia sulit dihubungi. Apakah ia baik-baik saja? Atau jangan-jangan … Aku segera menghentikan pikiran buruk dan lebih memilih membantu Bibi merapikan rumah.Matahari mulai meninggi, terlihat dari bayang-bayangnya di balik pohon yang berdiri di halaman. Angin semilir menyusup mengisi ruangan melalui jendela-jendela yang sengaja aku buka.“Nyonya, ruangan tamu, bagian tengah dan dapur sudah hampir selesai. Hanya tinggal bagian lantai atas yang belum saya bersihkan.”“Owh … tidak apa, Bi. Besok saja. Aku ingin beristirahat dulu tanpa gangguan.“Baik. Apa perlu saya siapkan makan siang untuk Nyonya?&rd
Setengah marah, aku membuka mapnya. Akan tetapi yang terlihat sebuah pesan, bukan tagihan.“Kembalikan barangnya. Jangan sampai laki-laki yang menumpahkan minuman itu pergi.”Deg.Aku terperangah, kemudian mendorong kursiku dan beranjak pergi. Setengah berlari aku menuju pintu belakang cafe dan sempat dihadang oleh seorang pekerja.“Maaf … laki-laki yang tadi berbicara dengan orang itu kemana?” tanyaku terburu-buru sambil menunjuk laki-laki terakhir yang melayaniku.“Dia menuju ke belakang sana,” Kepalanya bergerak kecil seolah menunjuk.Aku menggeser badannya yang menghalangiku, kemudian menyusuri meja-meja dapur untuk mencar
Aku melihat sekilas wajah tampannya dengan bulu mata yang panjang. Aku menerka-nerka atas apa yang terjadi hari ini. Mengapa aku harus menemuinya. Sementara itu, ia tidak mau menerima kunci yang diberikan. Hingga akhirnya, aku harus terjebak di sini bersamanya.Sesekali aku melirik ke arah arloji. Sudah hampir dua jam kami menunggu di sini. Dua polisi yang membawa anak itu tak juga kunjung datang.“Sampai kapan kita di sini? Sebaiknya aku pergi saja.”Laki-laki itu beranjak berdiri dan mengebut-ngebutkan jaketnya yang sedari tadi dijadikan alas untuk duduk di pinggiran parkiran.Aku menoleh ke arah polisi dan anak itu memasuki gedung. “Bagaimana jika kita menyusul mereka?”“Kau saja.
Terdengar suara langkah kaki bergerak cepat mengejar kami. Namun kali ini, suara gonggongan anjing menyertai derap langkahnya. Laki-laki itu menjauh dariku, sedangkan aku … tak ada pilihan lain selain ikut berlari. Suara gonggongan anjing semakin keras dan mendekat. Aku semakin mempercepat langkah kakiku. Laki-laki itu berhenti di sebelah kayu-kayu usang. “Ayo, Sini! Naik!” Aku menyambut tangannya yang membantuku naik ke atas. Ia mendorong pahaku. Semoga saja dia tidak berpikiran cabul karena berada tepat di bawahku. Sementara itu, tangan kanannya kujadikan pijakan untuk kaki. Setelah berhasil memanjat deretan kayu s