Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun."
"Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget.
"Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya."
"Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?"
"Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak.
"Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Lepaskan aku, Vian! Aku gak mau! Lepas!” Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan cekalan tangan kanan Vian yang telah membuatku meringis. Cekalan tangannya meninggalkan bekas merah di lengan kiriku.“Aku hanya meminta kamu melepaskan baju itu dan menari! Aku tidak suka melihat kamu mengenakan sweater bututmu itu. Cepat lepaskan!” Ia membelalakkan matanya, menatapku sinis.“Aku gak mau, Vian! Lepaskan!” Aku berteriak pada pria yang menikahiku beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan aku menolak Vian. Imajinasinya akan percintaan, kerap kali membuat badanku remuk redam.Melihat perlawanku, Vian akhirnya melepaskan cekalan. Ia mundur dua langkah dan menjaga jarak dariku. Sorot matanya tajam
Semburat senja mewarnai cakrawala, menghiasi hari dimana aku akan mengucap janji bersama Vian. Deburan ombak berkejaran menciptakan irama musik ritmis. Riuh suara para tamu terdengar samar seiring angin sepoi menyibakkan kain-kain putih. Deretan kursi dan meja memenuhi hampir seluruh area. Nuansa eksterior acara bernuansakan putih gading memenuhi segala penjuru tempat. Hiasan bunga lily dengan pot tinggi tertata rapi di sepanjang sudut.Aku berdiri di penghujung venue wedding. Balutan gaun berwarna putih gading senada dengan dekorasi, terpasang di tubuhku yang tergolong tinggi dan langsing. Aku sengaja memilih gaun dengan model Sabrina agar bisa leluasa bergerak.Raya menghampiri dan memelukku. Tangannya menepuk-nepuk pundak seraya tersenyum. “Semoga ia bisa
Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Vian di rumah barunya yang masih dalam cicilan. Ia bekerja di sebuah pabrik otomotif sebagai manajer pemasaran selama empat tahun. Gajinya cukup untuk mencicil rumah dan membiayai hidup kami.Sejak kejadian malam pertama, dia tidak pernah menyentuhku lagi. Sikapnya masih sama, baik, perhatian serta lembut. Setiap pulang dari kantor, ia selalu membawakan aku buah tangan. Entah buah-buahan ataupun kue. Ia cepat sekali memahami sifatku, meski kami baru tinggal serumah.Ia tak pernah mengungkit kejadian malam itu dan tak pernah meminta maaf. Aku menganggapnya, itu sebagai bentuk rasa gugup Vian dalam melewati malam pertama. Meskipun, hati kecil mengatakan tidak mungkin. Pagi ini Vian sibuk membersihkan motor R
Aku mengusap lengan kananku. Masih terasa hangat meski teraliri air pancuran. Kuusap perlahan kulit yang berwarna kemerahan. Ahhh … Sepertinya benturan tadi membuat pembuluh darahku meradang dan aku kesulitan menggerakkan tanganku lebih jauh.Air pancuran mengguyur pucuk kepala dan membasahi seluruh tubuhku secara perlahan. Aku mengusap-usap wajahku yang tersiram air, menyamarkan tetesan air mata yang sejak tadi tak dapat aku bendung.Sakit masih terasa di lengan, tetapi rasanya tak menyamai rasa sakit di hati ini. Nyeri, serasa tertusuk sembilu. Ulu hati tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Aku mati rasa.Terasa sepasang tangan menyentuh pundakku. Awww … aku mengaduh. Deguban jantung terasa semakin cepat. Belum habis rasa terkejutku, kini Vian telah berada di belakangku lagi. Aku merasakan posis
Sudah berulang kali Tommy dan Raya menghubungiku, tapi aku menolak panggilan mereka. Vian memintaku untuk memblokir nomor mereka dan aku menuruti permintaannya sebagai bakti seorang istri. "Kalau kamu ketahuan berhubungan dengan teman-temanmu lagi, lihat sendiri nanti," ancamnya. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Hobiku dulu tak pernah kusentuh lagi. Entah mengapa, rasanya aku tak punya minat apapun. Duniaku rasanya hanya seisi rumah ini dan Vian. Sesekali, aku menelepon Ibu sebagai pengusir rasa sepi. Meski tetap saja, itu bukan satu-satunya obat. Sebagai makhluk sosial, aku perlu berinteraksi dengan orang lain. Kehidupan berumah tangga yang monoton membuatku hampir tak waras. Selain melakukan tugas-tugas rumah, pekerjaanku hanya melamun saja. Pikiranku hanya diisi oleh Vian. Apalagi dengan sika
Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya.Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa be
Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.[Iya]Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.
Bab 8“Owh … hai. Leo ya.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada sebagai salam.Kulitnya begitu putih dan halus untuk seukuran pria Uzbekistan. Hidung mancung dengan mata sipit menawan. Meski rambutnya tak biasa dengan model belah dua, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Aku terkesima.“Wow … aku tak menyangka kamu secantik ini.” Ia membuka percakapan. Meskipun terdengar basa-basi, tapi aku cukup senang mendengarnya.“Ah ya … sebaiknya kita mengobrol di atas saja. Di sini penuh.” Leo menggerakkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya.Aku kembali memindai ruangan, meski ada beberapa sofa yang kosong tapi tempat ini tampak penuh. Mungkin karena jam