Share

If I Could Not Have You No One Could
If I Could Not Have You No One Could
Penulis: Nicholas J. Underwood

Pandangan Gun

“Kamu kemarin diajak Bu Celo kemana, Nur? Semakin sering kamu diajak pergi sama beliau,” tanya Gun tanpa tedeng aling-aling.

Nur menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya kuat-kuat. Lalu dia menjawab, “Diajak ke Surabaya, ketemu orang bengkel resmi. Katanya mau kerjasama. Jadi nanti kalau jadi, mobil-mobil yang agak lama, yang biasanya mereka tidak mau menangani atau kewalahan, dikasih ke kita.” Ia berusaha keras agar nada suaranya tidak terdengar sombong.

Gun mendengus, tersenyum sinis lalu berkata, “Kok sama kamu? Bukannya Bu Celo punya sopir sendiri? Bengkel punya sopir kan? Kalau kaya gini, sopir-sopir itu makan gaji buta. kita punya dua sopir, dan dua mobil operasional. Bukankah kerjasama itu hasil jerih payah Pak Anwar, kenapa enggak sama Pak Anwar?”

“Bu Celo bilang kalau Pak Anwar kemarin lagi ada pekerjaan yang enggak bisa ditinggal. Bu Celo ngajak aku bukan sopir karena beliau butuh sesorang buat pertimbangan. Kalau ngajak sopir, mungkin sopirnya enggak bisa kasih masukan atau second opinion.”

“Lagian, kerjasama kaya gitu tidak menguntungkan kita. Kita kan jadi third party atau outsourcing. Mereka enggak ngapa-ngapain, dapat uang. Kita yang capek, cuma dapat segitu-segitu saja.”

“Malah sebaliknya, kerjasama seperti ini malah menguntungkan kita.  Biaya servis dan suku cadang di kita kan memang di bawah bengkel resmi, jadi mereka bayar ke kita sesuai dengan tarif kita. Kita dapat proyek yang berarti bisa dapat uang.”

“Ya enggak bisa, kita harus pasang tarif sama dengan mereka, kan mereka enggak melakukan apapun. Enak banget mereka.”

Nur diam saja mendengar argumen temannya itu. Dia ingin sekali membantah perkataan Gun, namun dia lebih memilih diam karena tidak mau berdebat.

“Kamu tahu Nur? Kemarin aku sudah usulkan tidak mengadakan acara ulang tahun di tahun ini. Kita kan lagi suasana berduka, belum ada 7 hari sejak meninggalnya Pak Mis, masa kita sudah senang-senang dan makan-makan, enggak punya empati. Gini nih, kalau punya Bos perempuan, enggak ngerti mesin, bisnis, dan kemanusiaan. Angkuhnya itu lo enggak ketulungan. Enggak mau dengar pendapat bawahannya.”

Nur mendengus perlahan sambil memaksa dirinya untuk tersenyum. "Memangnya kamu usul ke siapa Gun?" tanya Nur dalam hati.

“Maksudku, kalau misal meninggalnya itu karena sakit atau apa, mungkin kita sudah persiapan atau apa begitu. Ini meninggalnya mendadak, serasa tidak etis. keluarga Pak Mis lagi kesusahan, kita sekarang senang-senang.”

“Permisi Pak Nur, Pak Gun.”

“Eh,” kata Nur sambil menoleh ke asal suara. Disampingnya sudah ada Anna. Dilihatnya Anna memakai jilbab panjang warna merah muda. Anna juga memakai gamis lebar. 

“Apa saya boleh duduk di sini?” tanya Anna sopan.

“Silakan Mbak Anna,” lalu Nur berdiri dan melangkah ke belakang kursi di sampingnya. Dia memundurkan kursi itu, sambil berkata, “Silakan.”

Anna tersipu dan berucap, “Terima kasih.”

Setelah Anna masuk diantara kursi dan meja, Nur mendorong pelan-pelan sementara Anna mendudukinya.

Nur lalu duduk kembali dan melihat sekelilingnya. Ruangan itu sudah mirip sarang lebah, suara mendengung percakapan bercampur menjadi satu. Dia melihat ke depan. Ada 5 kursi panjang di ruangan ini, termasuk yang dia duduki bersama Gun, yang berukuran sekitar 10 x 2 meter, dan hampir semuanya sudah diduduki mekanik-mekanik yang kebanyakan pria, belum ada satupun karyawan perempuan yang datang. Sementara di mejanya, yang berada tepat di depan pintu masuk, di sebelah kiri Gun juga sudah penuh dengan para pria. Bangku yang kosong tinggal bagian kanan dan depan Nur.

Nur mengernyitkan dahi, memiringkan kepalanya, dan membatin, “Dia pasti malu kalau duduk di meja yang lain dan dia bisa mati kutu duduk dikelilingi para pria kalau tidak ada satupun karyawan perempuan yang duduk dimeja yang sudah penuh.”

“Mbak Anna baru pertama kalinya ikut acara ini?” tanya Gun sambil menoleh ke sebelah kanannya, dia melihat Anna mengangguk mengiyakan sambil tersenyum, pandangannya tetap kearah meja di depannya, tangannya ditumpuk ditaruh di atas pahanya.

Rookie mistake,” tukas Gun. “Biasanya para karyawan perempuan datangnya mepet-mepet acara dimulai. Memang baru berapa bulan Mbak?”

Anna mengangkat kepalanya menoleh pada Gun sambil tersenyum, Anna menjawab, “Baru enam bulan ini Pak. Acara seperti ini berarti regular tiap tahun ya Pak?”

Gun menjawab, “Yes, biasanya memang seperti ini. Seluruh karyawan diundang kumpul-kumpul dan makan-makan. Kadang kita dibawa ke Batu, nginep di hotel selama weekend, bahkan 2 tahun kemarin berturut-turut ada family gathering. Enggak tahu nih tahun ini ko cuma makan-makan di restoran. Resto ini lagi, dikiranya para pegawai enggak bosan apa makan di restoran masakan Jawa kaya ini. Mana kadang-kadang makanannya enggak enak.”

“Mungkin karena pandemi,” sahut Nur, Dia berpikir kalau kamu diajak makan di restoran all you can eat malah protes tidak karuan, yang kolesterol lah, apa lah, ada saja.

“Meskipun pandemi, kan bengkel kita tetep saja rame toh. Bengkel kita enggak kepengaruh, orang tetap datang ke kita servis mobil. Mobil rusak dan butuh servis enggak kenal pandemi Nur.” balas Gun setengah berapi-api.

Nur melirik Anna, Anna memalingkan wajahnya dari Gun lalu setengah mengangguk mengiyakan dengan sedikit rasa canggung.

“Sore Bapak-Bapak dan Mbak Anna.” sapa Salama yang langsung mengambil duduk di sebelah Anna.

Nur melihat Salama melepaskan jaket dan tas selempang warna peach-nya dan menaruh di sandaran kursinya. Lalu, Nur melihat Salama mengeluarkan tempat bedak dari dalam tas tersebut, membuka dan berkaca mengecek make up-nya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah Salama puas, Salama menutup tempat bedak tersebut dan mengembalikannya ke dalam tasnya.

“Bagaimana Mbak Anna kerja disini? Kerasan?”

“Alhamdulillah Bu, saya kerasan kerja di sini. Teman-temannya baik-baik dan saling mendukung. Saya banyak belajar di sini. Banyak yang mau mengajari saya.”

“Halah, itu cuma sementara Mbak Anna, nanti juga semua kelihatan belangnya. Banyak orang jahat disini, orang-orang oportunis.” sela Gun.

“Pak Gun ini bagaimana, sama anak baru ko malah kasih doktrin jelek. Orang- orang disini memang baik-baik kok, semuanya saling dukung. Apalagi Bu Celo, orangnya baik banget. Bu Celo perhatian banget sama pegawainya. Contohnya kemarin itu, Si Agung kena virus terus sakit. Dia tetap dapat gaji penuh dan tunjangan-tunjangannya tidak dipotong. Ingat juga pas tahun lalu Bu Celo bilang gimana pas acara kaya gini juga?”

Salama mengambil nafas panjang lalu berakting seperti sedang berpidato, “Bengkel ini tidak akan pernah jadi besar dan terkenal kalau bukan karena keringat teman-teman semuanya. Makanya Bu Celo perhatian banget sama kita.”

Nur melihat Gun nyengir dengan memberikan ekspresi tidak senang pada Salama, kemudian dia mendengar Salama berbisik pada Anna, “Enggak usah didengerin apa kata Pak Gun. Orangnya memang begitu.”

Anna membentuk bulatan kecil dengan mulutnya sambil mengangguk dua kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status