Share

Be Careful What You Wish For

“Pak Nur.” sapa Salama.

Nur menoleh, memperlihatkan wajah antusias dan tersenyum, “Ya Bu, ada apa?”

“Pak Nas kan jadi wakil ketua di cabang Surabaya ya, terus, terus siapa yang mau menggantikan Pak?”

“Wah Bu Salama, kok tanya saya. Saya tidak tahu,” jawab Nur.

“Ayolah Pak Nur, Pak Nur kan sering pergi sama Bu Celo, masak Bu Celo ndak kasih bocoran? Sedikit saja. Pak Anwar ya?”

Nur memejamkan matanya sambil terkekeh, “Haduh Bu Salama ini, memangnya saya ini siapa ko Bu Celo mau bocorin hal penting begitu ke saya?”

“Pak Anwar” tukas Gun. “Siapa saja kandidatnya? Enggak ada kan? Tinggal Beliau saja. Pak Anwar punya insting bisnis kuat, disiplin, pekerja keras. Patut untuk jadi seorang wakil ketua. Ini kerjasama dengan bengkel resmi kan dari beliau juga pencetusnya.”

“Idih, amit-amit jabang bayi.” tukas Salama menyanggah.

“Kalau dilihat dari urut-urutannya ya seharusnya Pak Anwar yang maju menggantikan Pak Nas. Tidak ada yang layak dan berkompeten yang pantas duduk sebagai Wakil Ketua kecuali Pak Anwar. Beliau paling senior,” sambung Nur.

“Sekarang siapa kandidatnya Mbak Salama? Tidak ada yang pantas dan yang bisa jadi wakil ketua kecuali beliau. Lagian kalau pak Anwar jadi wakil ketua, bengkel kita ini pasti jadi lebih besar dan berkembang lagi. Kepemimpinannya di divisinya sudah jadi bukti konkret. Keuangan tidak ada yang bocor sama sekali. Kita bisa bertahan di tengah pandemi tanpa memecat seorang pegawai pun, ya semua berkat Pak Anwar.”

Nur melihat Salama begidik mengingkari. Sementara itu, Anna bengong melihat kekanan dan kekiri kearah Gun dan Salama bergantian. Nur lalu melihat meja-meja di depannya, dia pikir, pasti sudah datang semua ini. Sudah lengkap tinggal Anwar dan asistennya Toni, juga Bu Celo. Bu Celo pasti datang terakhir tepat waktu seperti biasa, pikirnya, dan akan langsung memulai acara. Biasanya Bu Celo langsung membuka acara, berpidato sebentar lalu mengumumkan beberapa hal, mungkin promosi jabatan atau yang lain. Acara akan diakhiri dengan makan-makan prasmanan.

“Kalau bisa jangan sampai Pak Anwar. Siapalah gitu. Pak Nur saja ya?” balas Salama.

“He? Ko malah saya yang dibawa-bawa,” sanggah Nur tersadar dari imajinasinya. Tiba-tiba di dalam jantungnya berdegup. Timbul keinginan yang sangat kuat untuk menjadi wakil ketua. Dia sangat berharap itu terjadi meski tidak ada kemungkinan sama sekali. Dia membayangkan kalau dia jadi wakil ketua, maka permasalahan ekonominya akan bisa teratasi dengan gaji seorang wakil ketua. Dia bisa membayar hutang-hutangnya dan bisa membahagiakan istrinya.

“Mungkin saja to Pak Nur. Melihat track record Bapak selama ini, Bapak juga bisa masuk sebagai kandidat calon wakil ketua. Saya berharap Pak Nur saja yang jadi wakil ketua,” kata Salama.

“Iya Pak Nur, kalau saya mending Pak Nur saja yang jadi wakil ketua.” sahut Dita, yang sudah duduk dari tadi disebelah Salama. “Pak Nur ini sebenarnya populer lo diantara kami.” disambut anggukan Anna, Salama.

Nur terkekeh seolah-olah menyangkal hal itu, namun di dalam hatinya dia berucap, “Aamiin.”

“Pssstt….” Salama memberikan gelengan kepala kecil sambil melirik kearah pintu.

“Selamat sore Pak Anwar, Mas Toni” sapa Salama dengan antusias.

“Selamat sore,” jawab Anwar tanpa tersenyum yang sudah tiba di seberang tempat duduk Nur. Sementara dia lihat Toni hanya tersenyum kecil kepada Salama.

Anwar langsung duduk dan diikuti oleh Toni. Seketika Nur merasakan keadaan canggung. Salama mengajak ngobrol Anna entah tentang apa, Nur tidak bisa mendengarnya, Luvi dan Dita sibuk dengan ponsel mereka, begitu juga dengan Gun. Dia melihat Anwar dan Toni yang juga sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Dia melihat ke sekeliling mejanya. Di bagian kiri Gun, mereka ada yang asyik ngobrol dengan sebelahnya atau seberangnya. Begitu juga dengan seberang tempat duduknya disekitar Anwar, mereka kelihatan agak canggung dan kikuk, lalu menutupi kecanggungan dengan bermain ponsel. Nur akhirnya mengeluarkan ponselnya dan berniat membuka media social ketika dilihatnya Bu Celo sudah ada di ujung meja. Hatinya berdesir.

Ruangan itu ada di lantai dua sebuah restoran masakan jawa dengan konsep semi terbuka. Ruangan itu luas yang diklaim bisa menampung hingga 300 orang. Di semua sisinya hanya ada dinding dengan tinggi sekitar satu meter dan sisanya dibiarkan terbuka dengan kusen jendela panjang tanpa daun jendela. Disisi luar jendela tersebut ditumbuhi bunga dengan desain pot panjang yang menempel di dinding.

Sinar matahari sore berwarna kuning keemasan yang masuk dengan leluasa menimpa sosok Bu Celo dengan sempurna. Nur merasa bahwa warna emas itu menerpa sisi kiri tubuh Bu Celo membuat wajahnya yang berwarna kulit kuning langsat semakin cerah. Angin musim kemarau yang dingin dan kencang menimpa rambut Bu Celo yang sepundak belah samping, hingga membuatnya sedikit berantakan namun tidak mengurangi kesan rapi. Malah pikir Nur, rambut yang sedikit berantakan tersebut membuat Bu Celo semakin cantik. Dilihatnya Bu Celo memakai kemeja formal putih polos lengan panjang, bawahan abu-abu. Dia berasumsi bahwa Bu Celo pasti memakai celana panjang.

“Selamat sore Bapak-Bapak, Ibu-Ibu,” sapa Bu Celo sambil menaruh tas bahunya yang warnanya senada dengan celananya di atas meja.

“Selamat sore Bu Celo,” jawab semuanya. Nur berharap agar Bu Celo melirik dirinya namun Bu Celo tidak melakukan hal itu. Hatinya terbersit rasa kecewa. Nur melihat hanya Anwar yang tidak menjawab sapaan tersebut dengan tetap tidak berubah posenya sejak duduk tadi, duduk tegap tanpa bersandar di kursinya dengan kedua tangan diatas meja dan melihat ke layar ponselnya.

“Baiklah, kita mulai saja,” sambil lalu, Bu Celo berjalan menuju ke belakangnya yang sudah berdiri satu set mikrofon. Ruangan itu mendadak lengang. Suara sarang lebah itu berhenti seketika saat Bu Celo berjalan menuju podium. Seolah-olah semua tersihir hingga diam dengan kehadiran beliau. Nur menyadari semua mata tertuju pada Bu Celo.

Nur lihat Bu Celo berdiri dengan tegap di belakang mikrofon, pandangannya lurus kedepan, wajahnya mencerminkan sikap percaya diri yang absolut, kedua kakinya di buka selebar bahunya, tangannya berada di depan dadanya dan mengenggam satu sama lain dengan tangan kiri menggenggam yang kanan.  

“Selamat sore teman-teman semuanya,” buka Bu Celo mantap dan tegas dengan suaranya yang agak berat. Semua pegawai menoleh ke kanan atau kirinya karena mikrofon tersebut ada disamping meja-meja.

“Terima kasih sudah mau datang dan meramaikan acara ulang tahun bengkel kita ini. Saya terus saja berdoa agar keluarga besar bengkel kita ini selalu sehat dan dalam perlindungan-Nya. Sebenarnya, saya mau minta maaf dulu. Acara ulang tahun ini kembali lagi seperti acara beberapa tahun lalu. Kita tidak bisa mengadakan family gathering seperti dua tahun terakhir karena pandemi dan banyak hal lainya. Oleh karena itu, saya meminta maaf.”

Nur lihat Bu Celo menundukkan kepalanya dan diikuti oleh sahutan-sahutan para pegawai, “Tidak apa-apa Bu”

Setelah riuh sahutan dari pegawai berhenti, Bu Celo melanjutkan dengan pose yang tidak berubah, “Teman-teman semua, dua belas tahun lalu tepat hari ini bengkel kita dibuka. Hari pertama buka, tidak ada satupun mobil yang mampir ke bengkel kita. Sampai satu bulan kemudian hanya satu mobil yang mampir ke bengkel kita. Kemudian saat itu, Pak Mo, mohon berdiri Pak Mo.”

Nur lihat Bu Celo membuka tangannya lalu menjulurkan tangan kanannya membuka telapaknya dan menunjuk ke arah Pak Mo. Pak Mo berdiri lalu tersenyum pada Bu Celo.

Bu Celo lalu melanjutkan, “Berkata pada saya. Yang sabar Bu Celo. Memang bengkel baru buka ya seperti ini. Belum ada yang percaya. Tetap semangat.”

Bu Celo mengambil nafas, “Saat itu Pak Mo mengajari saya satu hal yaitu passion. Dan terbukti dua belas tahun kemudian bengkel kita ini menjadi besar dan terkenal. Mohon teman-teman tepuk tangan untuk Pak Mo.”

Nur lihat Pak Mo dengan wajah tuanya tersenyum disanjung di depan umum seperti itu. Setelah tepuk tangan berhenti, dilihatnya Pak Mo duduk lagi.

“Passion juga yang telah menyelamatkan bengkel kita dari keterpurukan 6 tahun yang lalu. Masa-masa sulit dimana kita harus berjuang melalui kebangkrutan dan tipu daya supplier. Saya melihat dimasa-masa sulit tersebut wajah-wajah penuh gairah dan semangat untuk masuk kerja dan menyelesaikan pekerjaan meskipun dengan masa depan yang tidak menentu. Passion tersebut yang telah membantu kita keluar dari masa sulit tersebut dan berada di titik ini.”

Tepuk tangan menggema di ruangan.

Bu Celo melanjutkan pidatonya, “Passion adalah kekuatan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan baik tanpa ada paksaan. Karena passion saya terus bersemangat membesarkan bengkel kita ini. Karena passion juga teman-teman datang ke bengkel setiap hari dan melakukan yang terbaik. Karena passion juga kita berusaha untuk menjadi berguna bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar kita.” Diikuti oleh riuh rendah dan tepuk tangan para pegawai.

 “Dua belas tahun merupakan usia yang masih muda. Jadi passion adalah hal penting yang harus ada ketika masih muda. Dengan passion, kita bisa mewujudkan apapun meraih apapun. Hidup cuma sekali dan kita tidak tahu kapan mati, kenapa harus bersusah payah memenuhi mimpi orang lain kalau kita punya passion sendiri dan mampu mewujudkannya”

Lagi, para pegawai berdiri dan bertepuk tangan dengan semangat.  

“Saya tidak akan panjang lebar dengan ini. Ada satu hal yang perlu saya sampaikan. Fakta bahwa Pak Nas menjadi wakil ketua di cabang Surabaya meninggalkan celah di bengkel pusat ini. Kita memang membutuhkan beliau untuk membesarkan bengkel kita yang ada disana. Oleh karena itu, bengkel pusat ini membutuhkan pengganti dari Pak Nas.”

Nur mendengar bisikan- bisikan kencang dari meja-meja yang ada di depannya yang menyebut-nyebut nama Anwar. Dia melihat Anwar tersenyum simpul dan yang dari tadi tetap melihat layar ponselnya. Dia tidak tahu senyum tersebut karena dia pasti jadi wakil ketua atau ada hal yang lucu di ponselnya. Dia membatin, “Enggak, enggak mungkin aku yang jadi penggantinya, pasti Pak Anwar.”

“Pak Nuraga adalah pengganti Pak Nas. Mohon berdiri Pak Nuraga,” kata Bu Celo.

Deg. Jantungnya seolah olah berhenti dan jatuh ke perutnya meskipun dia rasakan detak itu semakin kuat menghantam dadanya. Tak sadar, mulutnya menganga, matanya melotot dan menunjukkan wajah bodohnya. Dunia seakan-akan berhenti berputar. Ruangan itu mendadak sepi baginya, ruangan yang ramai riuh rendah oleh tepuk tangan dan sorak sorai pegawai itu tak terdengar. Dia merasa ruangan yang terang benderang oleh sinar matahari sore itupun menjadi gelap di pandangannya dan semua mata tertuju kepadanya. Tenggorokannya tercekat dan kering. Sesaat itu dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri sambil melongo seolah- olah bertanya apa benar yang dia dengar. Dilihatnya Anna, Salama, Luvi, dan Dita bertepuk tangan dengan antusias yang tinggi. Dikirinya, dilihatnya Gun juga bertepuk tangan dengan wajah bangga. Sekilas, dilihatnya Anwar sedang melotot kepadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status