Bab 73: Delapan Tungkai
**
Semua keterangan Aldo tentang ring yang lebih menyerupai kandang sirkus ini benar adanya. Namun tak kuduga, begitu aku memasuki ring, sontak aku bergidik.
Lantai ring yang terbuat dari kanvas berwarna putih, telah berwarna merah, darah! Darah para petarung sebelumnya yang diseka ala kadarnya. Bau amis segera meruap di hidungku. Nafasku sesak.
Benar, aku pernah mempelajari silat, taekwondo, gulat dan kickboxing. Benar, aku pernah meraih medali di ajang pekan olah raga daerah pada salah satu cabang beladiri yang aku ikuti.
Tapi itu dulu, dulu sekali. Kemenanganku pun hanya sebatas akumulasi dari poin-poin yang aku dapatkan di setiap babak pertandingan, dan juga di bawah aturan keselamatan yang ketat.
Maka kemudian, dari dalam ring yang disebut oktagon ini, di dalam todongan seribuan pasang mata juga kamera-kamera yang menyorotku, aku bisa melihat diriku sendiri..,
Yang kerdil ini, yang
Bab 74: First Man Standing**Apakah ini deja vu?Atau kebalikannya?Aneh sekali. Aku merasa pernah mengalami hal ini sebelumnya. Kilatan cahaya menampar-nampar wajahku. Seumpama blitz kamera; flash.. flash.. flash!Di masing-masing kilatan cahaya itu aku melihat Ainun, Idah, Joni dan Johan sedang tersenyum. Namun di antara mereka hanya Joni yang wajahnya bersinar-sinar, dan dari jemarinya, seakan ia ingin memberikannya kepadaku, beberapa kuntum bunga kamboja berjatuhan, berputar seperti gasing tapi lambat, lalu jatuh pasrah diterima tanah.Aku juga melihat Ucon sedang bergulat membebaskan diri dari belitan ular phyton, Pak Latif beserta istri dan semua anaknya, Leony dan seorang lelaki asing yang bergandengan tangan. Aku juga melihat ribuan manusia yang bersorak sorai di sekeliling ring oktagon.Anehnya, di antara penonton itu, aku melihat Jihan, Ika, Riska, juga Anggun, dan semuanya sedang memakai mukena.
Bab 75: Secantik di Dalam Foto**Badanku terasa lebih segar sekarang. Setelah menjenguk Idah di Menteng, aku berencana pulang ke Bandar Baru untuk menjenguk Joni.Bondan dan Wisnu yang mengatur semuanya, menyopiri aku ke sana ke mari, juga mencarikan tiket pesawat untukku. Khusus untuk tiket pesawat, aku bilang,“Jangan Garuda!”“Kenapa?”Dalam benakku terselip wajah Anggun. Tapi kujawab, “aku mau berhemat.”Kontrakku dengan Josep adalah dua belas pertandingan. Jika aku pulang ke Bandar Baru sebelum kontrakku itu selesai maka aku sendiri yang menanggung biaya pulang-pergiku.Bondan melirik Wisnu. “Terserah kamu saja.” Sahut mereka.Perihal ‘tuduhan’ dan ‘vonis’ atas pencurian dari Anggun itu, jujur kuakui, sebenarnya aku merasa tersanjung juga.Tapi cara dia ketika bilang suka, mengerjai aku sampai merasa sedih, itu yang membuat a
Bab 76: Mozaik Cinta di Pelataran SKA**Oh, ternyata Jihan.“Ada apa, Jihan?” Tanyaku.“Kok Abang tanya begitu? Tanya kabar dulu lah.”“Oh, iya, maaf, Jihan apa kabar?”“Kabar baik, Bang. Abang bagaimana kabarnya?”“Alhamdulillah, kabar Abang baik. Mmm.., ngomong-ngomong, ada apa ya?”“Abang lupa ya?” Tanya Jihan.“Lupa apa?” Aku balas tanya.“Syarat.”“Syarat?”“Iya, Abang, syarat. Aku sudah mengerjakan challenge dari Abang, shalat 40 hari di awal waktu seperti yang Abang minta. Jadi, bagaimana sekarang?”Ya Allah, jadi dia benar-benar mengerjakan syarat itu. Artinya dia benar-benar cinta kepadaku!Aduh, bagaimana ini? Haruskah kuterima cintanya?Bukankah ia sudah menyelesaikan syarat dan sesuai kesepakatan aku akan menerima cintanya?Ah,
Bab 77: Nice ** “Oooh..! Jadi ini laki-laki yang merebut kamu dari aku??” Aku dan Jihan tersentak, bersamaan pula kami mengangkat wajah. Seorang lelaki bersetelan parlente tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kami, memandangku dan Jihan berganti-gantian. Sorotnya sinis saat menatapi aku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tarikan sebelah bibirnya, juga mundur sebelah pipinya, memberi satu penghakiman seperti aku ini hanya kecoa di matanya. Jihan resah, dan aku masih tidak mengerti duduk perkaranya. “Pantas saja kamu selalu bersembunyi kalau Abang datang ke rumah. Pantas saja kamu tidak pernah mengangkat telepon Abang lagi." "Ternyata, ah, gila, dengan laki-laki berpakaian rombeng begini kamu bisa jatuh cinta??” Aku disebut lelaki berpakaian rombeng? Duh, padahal bajuku ini adalah yang terbaik yang aku punya. Meskipun ketiaknya robek.., aku meraba bagian ketiakku, lho?? Tidak robek lagi! Aku baru sadar. Siapa pula yang telah menjahitnya? Apakah Bik Laras, atau Teh Y
Bab 78: Mr. Debu**Masih tentang wajah. Aku sampai merasa aneh sendiri. Apakah iya wajahku tampak berantakan?“Ya Allah, Ifat! Kenapa wajahmu itu?” Tanya Bang Idris. Serentak ia dan Uni Fitri berdiri, sembari menerima juluran tanganku untuk bersalaman.Mereka berdua sedang duduk di beranda ketika aku tiba. Sejak sampai di Bandar Baru ini aku memang belum singgah ke rumah.Aku beralasan kecelakaan kerja, sama seperti yang kukatakan pada Jihan. Memang itu yang paling logis tampaknya.“Jadi, Bang,” lanjutku bercerita, “waktu aku membongkar muatan pipa dari truk, ternyata tiang penyangga sampingnya patah. Pipa-pipa itu menjatuhi aku.”“Pipa apa?”“Pipa besi, Bang.”“Pipa besi? Ukuran berapa?”“Satu setengah inci.”“Ck, ck, ck,” Bang Idris berdecak disusul kemudian menggelengkan kepalanya. “Untung saja ti
Bab 79: Killing Punch**“Kas!” Panggil Teh Yuyun.Kassandra yang dipanggil serentak hentikan gerakan menyiram bunga. Selang air terjulur melingkar-lingkar di depan kakinya.“Teteh panggil saya?” Kassandra bertanya.“Iya,” Bik Laras yang menyahut, “dipanggil orang tua itu cepat ke sini!”Sebentar Kassandra membenahi selang air, lalu berjalan ke gazebo dan duduk di tepian dipannya, di depan Bik Laras dan Teh Yuyun yang serentak saling bertukar pandang.“Gimana permainannya?” Tanya Teh Yuyun pada Kassandra, dengan senyum tertahan yang dikulum, juga sorot mata penasaran ke arah Kassandra.“Permainan?”“Iya,” sahut Bik Laras dengan iringan senyum yang sedikit nakal. Lirikan matanya berisyarat pada arah lelaki yang baru saja pergi dari sini.“Ganas, dahsyat.” Jawab Kassandra.“Ganas? Dahsyat??” Teh Yuyun m
Bab 80: Foto Rahasia**“Killing punch??” Anggun menatap Leony dengan sorot tidak mengerti.“Iya, rasanya, aku seperti menerima killing punch saat dia bilang begitu. Telak, di ulu hatiku ini. Sesak aku waktu mendengarnya, karena sadar aku yang tidak pernah mengerjakan shalat.”“Memangnya Ifat itu bilang apa, sih?”“Ih, kamu ini! Kamu menyimak ceritaku tidak, sih?”“Iya, aku menyimak.” Anggun menganggukkan kepala untuk meyakinkan Leony.“Cuma, aku sedikit kesulitan menarik benang merah antara pukulan, atau tinju, dengan syarat berupa shalat yang.., berapa hari tadi kamu bilang?”“Empat puluh hari.”“Empat puluh hari?”“Iya, di awal waktu.”Anggun menggigit-gigit bibirnya sendiri. Keningnya berkernyit dan matanya memandang ke sana sini, seperti mencari kata-kata, atau kalimat yang hila
Bab 81: Menghidupkan Bayang-Bayang**Live! Live ! Live ! Siaran langsung!Lampu-lampu masih belum dinyalakan. Panggung, tribun, dan seluruh ruangan studio menghitam dengan kegelapan. Ribuan penonton yang memadati ruang studio di gedung ini menunggu sebuah momen.Pun demikian dengan ketiga juri Audisi Bintang Indonesia yang duduk di depan panggung. Juga demikian dengan personil grup band pengiring yang ada di balik layar.Pula demikian dengan kru televisi yang ke-semuanya siaga di depan kamera, tombol-tombol di ruang kontrol, monitor-monitor dan kabel-kabel.Jutaan televisi yang menyala di hampir seluruh Indonesia masih menampilkan iklan sebuah makanan dari olahan daging, disusul kemudian dengan iklan minuman energi.Di penghujung iklan yang terakhir itu, seseorang yang berada di dalam studio mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Tangan kirinya mendekatkan speaker radio yang menyatu dengan hea