Beranda / Lainnya / Ifat / Bab 8: Idah dan Ainun — part 1

Share

Bab 8: Idah dan Ainun — part 1

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-29 00:03:55

Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.

Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.

Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku.  

Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.

Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.

Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.

Lahan kosong itu milik seorang pejabat, tapi gubuk itu milik Pak Latif, seorang pemulung. Ia diizinkan empunya tanah menempati lahan itu.

Jika pejabat itu mengusirnya, hendak membangun rumah di lahan itu misalnya, entah akan di mana lagi Pak Latif tinggal. Jangankan rumah atau tanah, KTP pun ia tak punya. Pak Latif, satu dari sekian banyak orang yang namanya abadi dalam daftar orang-orang marginal.

Aku menghela nafas. Kasihan sekali Pak Latif, batinku. Lelaki usia lima puluhan itu berjuang melawan penyakit sejak hampir sebulan lalu. Entah apa penyakitnya, namun dari batuk yang terdengar tampaknya sangat menyiksa.

Dalam keadaan seperti itu ia harus berjuang pula untuk menghidupi istri dan empat anaknya yang masih kecil. Menarik gerobak, memulung barang-barang bekas.

Sering kulihat Pak Latif membawa serta istri dan keempat anaknya memulung. Idah, Razak dan Alim, sembari bermain mereka berlomba mencari barang bekas. Sedang Ifah, si bungsu, di gendongan ibunya yang membantu dorong gerobak.

Aku prihatin, tak seharusnya anak-anak mereka ikut memulung. Masa kanak-kanak adalah masa bermain, dan untuk Idah si sulung itu, seharusnya sekarang sudah bersekolah. Tapi pahitnya hidup merampas hak pendidikannya.

Aku pernah mengutarakan hal itu pada Pak Latif. Mendengar penuturanku ia malah tersenyum pahit, menggeleng kepala kemudian.

”Uda caliak lah surang, untuk ambo makan sakaluargo sajo susah, ba’a pulo nak manyakolahkan anak?”  Begitu katanya dalam bahasa Minang.

Artinya;

”Abang lihatlah sendiri. Untuk makan kami sekeluarga saja susah. Bagaimana pula mau menyekolahkan anak.”

Ketika aku bertanya mengapa ia membawa serta keempat anaknya memulung, ia menjawab; ”Aku  ingin mengajarkan perjuangan hidup kepada anak-anakku sejak dini. Agar mereka tidak ringan tangan menadah di lampu merah, mengemis, meminta-minta.”

”Dalam menghadapi tantangan hidup,” sambungnya, ”aku ingin mereka menjadi petarung sejati. Petarung yang tidak akan menyerah sebelum berjuang sampai tetes darah penghabisan.”

Salut. Orang-orang seperti beliaulah yang menginspirasiku untuk selalu tegar menjalani hidup. Andai aku orang yang mempunyai nasib lebih baik, ingin sekali aku membantu Pak Latif.

Tidak terlalu muluk, cukup membantu biaya sekolah seorang anaknya. Dengan harapan, kelak anak itu dapat mengangkat martabat keluarganya, orangtua dan adik-adiknya.

Satu yang spesial bagiku dari anak-anak Pak Latif, adalah Idah, anaknya yang sulung itu. Hamidah nama lengkapnya, cantik dan manis parasnya. Namun pesona itu tersembunyi di balik kumal bajunya, kuning kering rambutnya, dan kusam kulitnya.

Perempuan 7 tahun itu sangat mirip dengan Ainun Bilqis, adik kandungku yang meninggal akibat wabah demam berdarah 15 tahun lalu.

Idah dengan senyumnya, selalu mengingatkan aku pada Ainun, almarhumah Ibu, dan almarhum Ayah yang wajahnya hanya sempat kurekam lewat foto hitam putih di dinding rumah.

********

Aku dan Ainun kehilangan Ayah sejak aku pandai berjalan dan Ainun dalam kandungan. Kata Ibu, ayahku meninggal karena dikeroyok sekelompok preman yang ingin merebut lahan parkir yang dikelola Ayah. Dulu, di Surabaya.

Sejak Ayah meninggal, Ibu menjadi goyah, sakit-sakitan. Padahal ia harus menyiapkan kondisi fisiknya untuk menyambut kelahiran Ainun.

Dalam keadaan demikian Ibu menjual tenaga kepada orang-orang, menawarkan jasa mencuci, menyetrika dan beres-beres rumah.

Keadaan Ibu semakin payah. Hingga datanglah malaikat penolong; Bapak dan Ibu Dibyo, orang yang selanjutnya mengangkat aku sebagai anaknya.

Pak Dibyo adalah seorang pejabat teras di kantor pemerintahan Surabaya. Sudah 20 tahun menikah namun tak dikaruniai anak.

Keluarga Dibyo sangat baik. Mereka tidak ingin memisahkan aku dari asal darahku. Secara rutin mereka mengantarku untuk menjenguk Ibu. Lewat kunjungan-kunjungan itulah aku mengenal Ainun sebagai adikku.

Jika berkunjung mereka selalu meninggalkan sejumlah uang untuk Ibu. Keluarga Dibyo pula yang membiayai persalinan Ainun.

”Ainun, ah, Ainun..,” desisku lirih.  

”Mengapa wajahnya dijelmakan Tuhan kembali lewat Idah, anak Pak Latif itu?”  

Entahlah. Aku hanya memahami hal-hal sederhana seputar hidupku. Seperti sekarang ini, aku berdiri menatap gubuk Pak Latif, seolah aku melihat layar yang menyajikan setiap fragmen dari masa kecilku, potongan adegan yang berlalu cepat, melesat-lesat, dan memerangkapku dalam pilinan memori yang indah.

Di pintu gubuk Pak Latif yang doyong itu, seakan-akan aku bisa melihat Aku Kecil sedang berdiri, mengetuk pintu rumahku, memanggil Ibu, memanggil Ainun.

Dan kulihat mereka berdua keluar menyambutku. Ibu memberiku pelukan yang hangat dan Ainun memberiku senyum yang sangat manis ketika kuhaturkan padanya kembang gula bertangkai lidi.

Sambil mengulum kembang gula Ainun menarik tanganku ke halaman samping. Ia memintaku mendorongkan ayunan untuknya. Dia gembira, tertawa-tawa, dan aku bahagia. Ainun bercerita banyak tentang sekolahnya, dan aku, lebih sering menjadi pendengar setia.

Ainun memang jauh lebih cerdas dariku. Berbeda dengannya yang pintar, bisa dikatakan aku adalah penghuni urutan terakhir ranking kelas. Aneh, aku lebih tertarik mempelajari seni beladiri daripada mengulang-ulang pelajaran.

Barangkali ini berdasar pada cerita Ibu tentang kematian Ayah akibat dikeroyok preman. Seperti ada dendam, atau mungkin tekad untuk dapat melindungi orang-orang yang kusayangi.

Maka sejak kelas satu SD aku sudah aktif belajar beladiri. Tak tanggung-tanggung, aku belajar silat dan taekwondo sekaligus.

Di masa SMP aku mempelajari karate di sebuah dojo dekat sekolahku. Lalu di masa SMA, aku bergabung di sebuah satlat (satuan latihan) boxer, yakni Keluarga Olahraga Tarung Derajat (KODRAT).

Di boxer ini, dalam waktu singkat aku menyandang sabuk biru ban dua, juga menyandang predikat ’petarung’. Petarung, adalah sebutan untuk atlet beladiri Tarung Derajat yang mengikuti pertandingan atau turnamen.

Melihat obsesiku dengan beladiri, Pak Dibyo, ayah angkatku geleng-geleng kepala, namun ibu angkatku sangat mendukung.

Alasannya, toh kalau aku tidak berprestasi di sekolah, setidaknya aku bisa berprestasi di luar sekolah. Ibu angkatku berharap aku menjadi seorang atlet kelak, dan harapan itu aku bayar dengan medali emas yang kuraih di PORDA, Pekan Olah Raga Daerah di Surabaya dari cabang boxer.

Tapi kemudian, aku menyadari bahwa segala jurus, kecepatan gerak, daya tahan gempuran dan daya gedor serangan tidak berarti apa-apa jika dihadapkan dengan sang maut.

Aku tak bisa membela Ainun dari kejamnya penyakit demam berdarah. Akibat terjangkit wabah itu kondisi fisiknya menurun drastis, lalu meninggal di puskesmas sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.

Mendengar Ainun sakit, aku berlari menelusuri trotoar, melewati pemukiman kumuh di pinggiran Surabaya. Sesaat sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir, aku masih sempat melihat senyumnya.

Ia meminta air minum kepadaku. Aku pun memberinya minum dari botol Winnie The Pooh yang pernah aku hadiahkan kepadanya. Setelah mereguk air putih satu kali, ia lantas berbisik lirih kepadaku.

”Mas, jaga ibu ya..” 

Dan, Ainun pun pergi.

********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ifat   Bab 232: Maha Cinta

    Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”

  • Ifat   Bab 231: Belah Duren

    Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.

  • Ifat   Bab 230: Kehadiran

    Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge

  • Ifat   Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu

    Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su

  • Ifat   Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!

    Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be

  • Ifat   Bab 227: Sang Perantau

    Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status