Share

Bab 8: Idah dan Ainun — part 1

Siapa pun yang mengirimi aku pesan barusan, tak kugubris. Lebih-lebih lagi jika itu ternyata benar Mira.

Alasannya, pertama, pulsa. Saldo pulsaku sangat cekak, aku harus menghematnya sampai akhir bulan. Alasan kedua, menurutku, semakin ke sini pola pengiriman pesan dari Mira itu semakin ’lebay’ saja.

Secara gitu lho, dia itu kan istrinya orang! Pikirku.  

Kususuri gang rumahku dengan langkah lunglai. Ingin segera sampai ke rumah, rebah, melarutkan segala angan-angan dalam tidur yang tenang.

Namun, suara batuk yang keras dari lahan kosong di sisi kiri menghentikan langkahku. Aku menoleh.

Kutatap gubuk kecil di tengah lahan kosong itu. Gubuk berukuran 5X3 meter itu dikelilingi perdu, dindingnya papan lapuk, atapnya seng. Hanya temaram lampu teplok dari dalam, juga ayunan terbuat dari ban bekas yang tergantung pada pohon belimbing samping gubuk yang menunjukkan bahwa gubuk reyot itu adalah hunian manusia.

Lahan kosong itu milik seorang pejabat, tapi gubuk itu milik Pak Latif, seorang pemulung. Ia diizinkan empunya tanah menempati lahan itu.

Jika pejabat itu mengusirnya, hendak membangun rumah di lahan itu misalnya, entah akan di mana lagi Pak Latif tinggal. Jangankan rumah atau tanah, KTP pun ia tak punya. Pak Latif, satu dari sekian banyak orang yang namanya abadi dalam daftar orang-orang marginal.

Aku menghela nafas. Kasihan sekali Pak Latif, batinku. Lelaki usia lima puluhan itu berjuang melawan penyakit sejak hampir sebulan lalu. Entah apa penyakitnya, namun dari batuk yang terdengar tampaknya sangat menyiksa.

Dalam keadaan seperti itu ia harus berjuang pula untuk menghidupi istri dan empat anaknya yang masih kecil. Menarik gerobak, memulung barang-barang bekas.

Sering kulihat Pak Latif membawa serta istri dan keempat anaknya memulung. Idah, Razak dan Alim, sembari bermain mereka berlomba mencari barang bekas. Sedang Ifah, si bungsu, di gendongan ibunya yang membantu dorong gerobak.

Aku prihatin, tak seharusnya anak-anak mereka ikut memulung. Masa kanak-kanak adalah masa bermain, dan untuk Idah si sulung itu, seharusnya sekarang sudah bersekolah. Tapi pahitnya hidup merampas hak pendidikannya.

Aku pernah mengutarakan hal itu pada Pak Latif. Mendengar penuturanku ia malah tersenyum pahit, menggeleng kepala kemudian.

”Uda caliak lah surang, untuk ambo makan sakaluargo sajo susah, ba’a pulo nak manyakolahkan anak?”  Begitu katanya dalam bahasa Minang.

Artinya;

”Abang lihatlah sendiri. Untuk makan kami sekeluarga saja susah. Bagaimana pula mau menyekolahkan anak.”

Ketika aku bertanya mengapa ia membawa serta keempat anaknya memulung, ia menjawab; ”Aku  ingin mengajarkan perjuangan hidup kepada anak-anakku sejak dini. Agar mereka tidak ringan tangan menadah di lampu merah, mengemis, meminta-minta.”

”Dalam menghadapi tantangan hidup,” sambungnya, ”aku ingin mereka menjadi petarung sejati. Petarung yang tidak akan menyerah sebelum berjuang sampai tetes darah penghabisan.”

Salut. Orang-orang seperti beliaulah yang menginspirasiku untuk selalu tegar menjalani hidup. Andai aku orang yang mempunyai nasib lebih baik, ingin sekali aku membantu Pak Latif.

Tidak terlalu muluk, cukup membantu biaya sekolah seorang anaknya. Dengan harapan, kelak anak itu dapat mengangkat martabat keluarganya, orangtua dan adik-adiknya.

Satu yang spesial bagiku dari anak-anak Pak Latif, adalah Idah, anaknya yang sulung itu. Hamidah nama lengkapnya, cantik dan manis parasnya. Namun pesona itu tersembunyi di balik kumal bajunya, kuning kering rambutnya, dan kusam kulitnya.

Perempuan 7 tahun itu sangat mirip dengan Ainun Bilqis, adik kandungku yang meninggal akibat wabah demam berdarah 15 tahun lalu.

Idah dengan senyumnya, selalu mengingatkan aku pada Ainun, almarhumah Ibu, dan almarhum Ayah yang wajahnya hanya sempat kurekam lewat foto hitam putih di dinding rumah.

********

Aku dan Ainun kehilangan Ayah sejak aku pandai berjalan dan Ainun dalam kandungan. Kata Ibu, ayahku meninggal karena dikeroyok sekelompok preman yang ingin merebut lahan parkir yang dikelola Ayah. Dulu, di Surabaya.

Sejak Ayah meninggal, Ibu menjadi goyah, sakit-sakitan. Padahal ia harus menyiapkan kondisi fisiknya untuk menyambut kelahiran Ainun.

Dalam keadaan demikian Ibu menjual tenaga kepada orang-orang, menawarkan jasa mencuci, menyetrika dan beres-beres rumah.

Keadaan Ibu semakin payah. Hingga datanglah malaikat penolong; Bapak dan Ibu Dibyo, orang yang selanjutnya mengangkat aku sebagai anaknya.

Pak Dibyo adalah seorang pejabat teras di kantor pemerintahan Surabaya. Sudah 20 tahun menikah namun tak dikaruniai anak.

Keluarga Dibyo sangat baik. Mereka tidak ingin memisahkan aku dari asal darahku. Secara rutin mereka mengantarku untuk menjenguk Ibu. Lewat kunjungan-kunjungan itulah aku mengenal Ainun sebagai adikku.

Jika berkunjung mereka selalu meninggalkan sejumlah uang untuk Ibu. Keluarga Dibyo pula yang membiayai persalinan Ainun.

”Ainun, ah, Ainun..,” desisku lirih.  

”Mengapa wajahnya dijelmakan Tuhan kembali lewat Idah, anak Pak Latif itu?”  

Entahlah. Aku hanya memahami hal-hal sederhana seputar hidupku. Seperti sekarang ini, aku berdiri menatap gubuk Pak Latif, seolah aku melihat layar yang menyajikan setiap fragmen dari masa kecilku, potongan adegan yang berlalu cepat, melesat-lesat, dan memerangkapku dalam pilinan memori yang indah.

Di pintu gubuk Pak Latif yang doyong itu, seakan-akan aku bisa melihat Aku Kecil sedang berdiri, mengetuk pintu rumahku, memanggil Ibu, memanggil Ainun.

Dan kulihat mereka berdua keluar menyambutku. Ibu memberiku pelukan yang hangat dan Ainun memberiku senyum yang sangat manis ketika kuhaturkan padanya kembang gula bertangkai lidi.

Sambil mengulum kembang gula Ainun menarik tanganku ke halaman samping. Ia memintaku mendorongkan ayunan untuknya. Dia gembira, tertawa-tawa, dan aku bahagia. Ainun bercerita banyak tentang sekolahnya, dan aku, lebih sering menjadi pendengar setia.

Ainun memang jauh lebih cerdas dariku. Berbeda dengannya yang pintar, bisa dikatakan aku adalah penghuni urutan terakhir ranking kelas. Aneh, aku lebih tertarik mempelajari seni beladiri daripada mengulang-ulang pelajaran.

Barangkali ini berdasar pada cerita Ibu tentang kematian Ayah akibat dikeroyok preman. Seperti ada dendam, atau mungkin tekad untuk dapat melindungi orang-orang yang kusayangi.

Maka sejak kelas satu SD aku sudah aktif belajar beladiri. Tak tanggung-tanggung, aku belajar silat dan taekwondo sekaligus.

Di masa SMP aku mempelajari karate di sebuah dojo dekat sekolahku. Lalu di masa SMA, aku bergabung di sebuah satlat (satuan latihan) boxer, yakni Keluarga Olahraga Tarung Derajat (KODRAT).

Di boxer ini, dalam waktu singkat aku menyandang sabuk biru ban dua, juga menyandang predikat ’petarung’. Petarung, adalah sebutan untuk atlet beladiri Tarung Derajat yang mengikuti pertandingan atau turnamen.

Melihat obsesiku dengan beladiri, Pak Dibyo, ayah angkatku geleng-geleng kepala, namun ibu angkatku sangat mendukung.

Alasannya, toh kalau aku tidak berprestasi di sekolah, setidaknya aku bisa berprestasi di luar sekolah. Ibu angkatku berharap aku menjadi seorang atlet kelak, dan harapan itu aku bayar dengan medali emas yang kuraih di PORDA, Pekan Olah Raga Daerah di Surabaya dari cabang boxer.

Tapi kemudian, aku menyadari bahwa segala jurus, kecepatan gerak, daya tahan gempuran dan daya gedor serangan tidak berarti apa-apa jika dihadapkan dengan sang maut.

Aku tak bisa membela Ainun dari kejamnya penyakit demam berdarah. Akibat terjangkit wabah itu kondisi fisiknya menurun drastis, lalu meninggal di puskesmas sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.

Mendengar Ainun sakit, aku berlari menelusuri trotoar, melewati pemukiman kumuh di pinggiran Surabaya. Sesaat sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir, aku masih sempat melihat senyumnya.

Ia meminta air minum kepadaku. Aku pun memberinya minum dari botol Winnie The Pooh yang pernah aku hadiahkan kepadanya. Setelah mereguk air putih satu kali, ia lantas berbisik lirih kepadaku.

”Mas, jaga ibu ya..” 

Dan, Ainun pun pergi.

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status