Bell sudah berbunyi dua menit yang lalu, namun lorong dan halaman masih riuh oleh langkah-langkah tergesa para murid yang berlari menuju kelas. Beberapa sudah masuk, ada juga yang tertahan di gerbang oleh anak-anak OSIS, wajah mereka tampak panik sekaligus kesal karena terlambat. Suara peringatan dan teguran bercampur dengan pembelaan para siswa yang terlambat—menciptakan kekacauan yang khas di pagi hari sekolah.
Di parkiran, Anora baru saja membuka pintu mobilnya. Dia menatap keramaian itu sejenak, anak-anak OSIS yang sigap menahan murid-murid terlambat dan lorong yang mulai dipenuhi siswa-siswi yang sudah masuk kelas. Dengan langkah tenang tetapi mantap, Anora menyusuri jalan setapak menuju gerbang, tasnya tergenggam rapi, tetapi baru saja hendak melewati keramaian osis di sana. Dia dihentikan oleh salah satu osis di sana. “Tunggu, sudah bell sedari tadi. Malah masuk begitu saja, baris!” ucapnya dengan tegas, mencekal lengan Anora. Anora melirik lengannya yang tergenggam, kemudian menatap orang yang mencekal lengannya dengan menaikkan satu alis seolah bertanya. “Masuk barisan yang terlambat!” ujar osis itu setelah melepas cekalan di lengan Anora. Anora melihat murid-murid yang terlambat baris di tempat osis tadi tunjuk. Para murid yang berbaris itu beberapa ada yang menatap Anora sinis dan juga membicarakannya secara terang-terangan. Anora menatap kembali pada seseorang osis di depannya. “Aku anak baru, kata Bu Guru yang anak baru bisa masuk kelas 5 menit setelah bel. Karena bersama beliau masuknya...” ucap Anora menjelaskan. Osis di depannya menatap dirinya dengan tatapan menyelidik, melihat apakah ada kebohongan di wajah Anora. Anora dengan santai menatap balik dengan berwajah datar. “Kalau begitu, ikut aku. Ke ruang guru,” ujarnya, dia menatap anggota osis lainnya dan berbicara untuk izin pergi terlebih dahulu untuk mengantarkan Anora. “Ayo,” ucap osis itu berjalan terlebih dahulu menuju ruang guru yang diikuti Anora di belakangnya. ‘Kan gara-gara kau, kita terlambat!’ suara Ink terdengar di kepalanya. ‘Kita? Hanya aku Ink yang terlambat, kau tidak terlihat!’ balas Anora di kepalanya menjawab Ink yang bisa mendengar ucapannya. ‘Salah kau sendiri, tadi mengapa kau mampir-mampir untuk membeli makanan manusia?!’ ucap Ink yang kesal. ‘Aku penasaran Ink, ternyata enak ya makanannya...’ balas Anora santai. ‘Sudah kuduga, kau saja tadi habis tiga mangkuk bubur ayam,’ ucap Ink yang memutar bola matanya malas, walaupun Anora tidak bisa melihatnya. ‘Tapi kau tidak bisa mengandalkan makanan itu, energimu hanya bisa dari darah,” ucap Ink memberi tahu. ‘Aku tahu, aku tahu...’ ‘Kau juga harus ingat, tidak boleh terlalu sering mengonsumsi itu ada beberapa makanan manusia yang tidak bisa tubuhmu terima. Itu bisa membuatmu lemah, kau bisa jadikan hiburan sesekali saja!’ ucap Ink panjang lebar memperingatkan Anora, karena Anora terlihat ceroboh di mata Ink. “Aku tahu!” ucap Anora yang tanpa sadar berbicara dengan suaranya–karena kesal dengan Ink–bukan di kepalanya. Osis itu menghentikan langkahnya menatap Anora yang juga ikut menghentikan langkahnya. “Kau tahu apa?” tanyanya menatap Anora yang berekspresi bingung. “Mmm aku tahu, pasti kau osis kan? Hahaha...” ujar Anora dengan tawa canggungnya, dia melihat kanan kiri dengan gelisah menahan rasa malu. “Kau aneh!” ucap osis itu sambil melanjutkan jalannya. “Terima kasih,” balas Anora yang mengikuti osis itu, di belakang. “Itu bukan pujian.” Anora mengabaikan itu, dia kembali berbicara dengan Ink lewat telepati. Setelah tadi tanpa sengaja Anora berbicara dengan suaranya, sedari itu lah Ink mengatai Anora bodoh. ‘Dasar Anora payah!’ ucap Ink mengatai Anora lagi. ‘Salah kau!’ balas Anora yang ikut kesal dengan Ink. ‘Kau payah!’ ‘Sudahlah aku malas denganmu, Ink!’ ucap Anora yang sudah kesal. Dia harus menghemat energinya, berurusan dengan Ink akan menguras energinya dengan banyak. ‘Tutupi aura mu agar tidak ada yang tahu jika kau vampir,’ ucap Ink menasehati, tetapi Anora mengabaikannya. ‘Anora!’ teriak Ink memanggil Anora, yang tidak mendapat balasan apa pun dari pemilik nama tersebut. ‘Nona Draven!’ seru Ink yang terakhir memanggil Anora. Kali ini Anora dengan malas menanggapinya. ‘Aku tahu! Kau tidak usah berisik.’ “Sudah sampai, tunggu sebentar biar aku yang panggilkan–“ ucap osis itu yang terpotong, karena ada seorang guru perempuan yang keluar dari ruang kantor di depan mereka. “Eh, kamu anak baru itu ya. Nona Anora?” ucap Guru itu menatap Anora dan osis yang bersamanya bergantian. “Kebetulan sekali, Alaric. Dia Anora murid baru yang berada satu kelas denganmu...” ucap guru itu dengan lembut menatap Anora dan osis itu–Alaric, bergantian. “Ayo, kita masuk kelas,” lanjut guru itu mengajak keduanya untuk mengikuti guru itu melangkah. Anora berjalan berdampingan dengan Alaric, dia menatap guru itu dengan teliti, dengan sesekali mencium aroma yang keluar dari tubuh guru itu. ‘Dia seorang Elf?’ tanya Anora pada Ink. ‘Iya, umurnya sudah ratusan lebih...’ ‘Aku tahu,’ ucap Anora yang sedari tadi banyak mencium aroma yang membuat fokusnya ketajaman indera penciumnya berkurang. Itu bisa membuat dirinya pusing. ‘Hal ini kau tahu, tapi dulu saat ada musuh kau tidak bisa membedakannya,’ ucap Ink mengejek Anora. ‘Kau tidak usah meledek, itu menyebalkan!’ ‘Entahlah, tetapi mungkin karena aku banyak mencium bau semua penduduk di daerah sini. Ketajamanku berkurang?’ lanjut Anora yang juga tidak yakin dengan dirinya. ‘Memang, itu poin lain. Poin utama bukan hanya karena itu–‘ Ink mendadak terdiam. ‘Ink?’ panggil Anora pelan, tapi tak ada respons.Butuh puluhan menit dia berkendara di tengah keramaian kotanya yang padat itu, agar sampai ke tempat tujuannya.Saat sudah sampai di tempat tujuannya, Anora memarkirkan mobilnya. “Apakah dia mengikutiku?” gumam Anora melirik sekitar sebelum turun dari mobilnya. “Sepertinya–“Ucapan Anora terpotong saat mendapat telepati dari suara seseorang yang dia kenal. ‘Baiklah, tunggu sebentar!’Pintu mobil terbuka, dan Anora melangkah keluar dengan tenang. Jaket kulit hitam dia jinjing di lengan kiri, beriringan dengan tas selempangnya. Kaus putih yang melekat di tubuh rampingnya berpadu dengan celana kulit hitam, menonjolkan lekuk proporsional yang membuat setiap gerakannya tampak anggun sekaligus berwibawa.Anora melangkahkan kakinya dengan anggun memasuki bangunan yang bernuansa putih di luar maupun di dalam. Ada taman kecil yang sengaja dibuat di depan halaman bangunan ini, sehingga membuat nyaman untuk orang yang menginap atau sekada
Langit sore membara jingga, awan tipis bagai kabut dari pertempuran lama. Angin membawa aroma tanah basah dan kehidupan yang mulai bersembunyi malam. Dari atas balkon, Anora dapat mendengar detak jantung bahkan aroma dari semua makhluk yang terdeteksi oleh radarnya. Saking banyaknya aroma makhluk lain dan suara detak jantung mereka membuat Anora tidak bisa fokus, keahliannya melemah, menjadi tidak setajam jika hanya mencium beberapa aroma saja. Dia tidak bisa menebak aroma makhluk apa yang berada dekat ataupun jauh dengannya. Hanya aroma yang familier saja yang dapat dengan kuat radarnya deteksi. Seperti, Ink... “Kau ingin terus di sana?” tanya Ink yang tengah bersantai di atas sofa, setelah menghabiskan dua kaleng tuna. Anora melirik sekilas Ink yang berwujud kucing itu, dia mengabaikan pertanyaan Ink dan terus menatap langit yang menurutnya indah, seperti darah. “Hey, aku berbicara denganmu, anak kecil!” Anora mengabaikan itu, dia bahkan bergumam sendiri dengan tidak jelas,
Sudah dari beberapa menit yang lalu Anora meninggalkan perpustakaan. Kini, dia berada di taman sekolah, duduk termenung sendirian di bangku panjang yang berada tidak jauh dari rindangnya pohon flamboyan.Taman itu kontras dengan hiruk-pikuk sekolah. Dari kejauhan terdengar tawa siswa dan langkah tergesa di koridor, tapi di sudut taman, sunyi seolah hanya menyisakan dirinya. Angin sepoi menyapu kulitnya, mengibaskan anak rambut yang lolos dari ikatan. Daun-daun berguguran menari sebelum jatuh ke tanah, sementara udara sejuk membawa aroma rerumputan basah dan bunga mekar di tepi jalan.Anora memejamkan mata, menikmati kesejukan taman. Tak ada aroma makhluk lain, hanya harum pepohonan, bunga, dan kehidupan kecil di sekitarnya.“Jadi, mereka...” gumam Anora menggantungkan kalimatnya. Dia menatap hamparan di depannya dengan tatapan kosong. Anora masih mencerna dari apa yang dia ketahui baru-baru ini. “Sial! Aku kalah dengan serigala itu!” gumam Anora kesal setelah beberapa detik sudah me
Anora melangkah mantap ke perpustakaan, menelusuri rak demi rak. Matanya fokus, tapi hidungnya menangkap aroma makhluk-makhluk yang membingungkan sejak perjalanan tadi.Sepertinya dia akan mencari tahu tentang aroma makhluk-makhluk yang, sejak perjalanan tadi, beberapa di antaranya tidak bisa dia tebak.‘Benar kata Ink, aku harus belajar,’ batin Anora.‘Karena pengalaman hidupmu masih kurang, banyak makhluk yang tidak kau tahu,’ ucap Ink yang membaca pikiran Anora.‘Kau ikut campur sekali...’‘Rak kedua dari sini, buku yang kau cari,’ Ink menunjukkan buku yang Anora butuhkan.Anora yang mendengar Ink dengan malas menuruti perkataan Ink sekali lagi, saat sampai di rak yang dia inginkan. Tidak jauh dari sana ada 4 orang yang duduk di meja panjang untuk membaca buku di sana.Di sana ada Sebastian dan Alaric, di depan mereka ada dua perempuan yang aroma tubuhnya membuat Anora pusing. ‘Ugh, serigala bau. Makhluk itu lagi...’ ucap Anora memutar bola matanya malas, dia sangat anti dengan se
Bel istirahat baru saja berbunyi. Suara kursi bergeser dan tawa siswa segera memenuhi ruangan.Anora menatap layar ponselnya dengan earphone di telinga—menyendiri di tengah keramaian. Di sampingnya, Sebastian masih sibuk menulis catatan dengan fokus berlebihan.‘Bener-bener my type,’ gumam Anora dalam hati, meliriknya diam-diam.‘Mulai lagi!’ Suara Ink menggema di pikirannya.‘Kenapa kau selalu masuk di pikiranku, aku jadi seperti tidak memeiliki privasi!’ keluh Anora yang merasa sedikit kesal dengan Ink.‘Agar aku bisa mengawasimu!’ ujar Ink dengan santai.Anora mendecak pelan—sayangnya cukup keras untuk menarik perhatian Sebastian. Dia merutuki kebodohannya sendiri, bisa-bisanya terulang lagi!Anora menatap Sebastian yang ternyata sedang menatapnya juga dengan wajah bingung,“Aaa... maaf, aku berbicara ke ponsel...” ucap Anora dengan menunjuk ponselnya sendiri.Sebastian hanya mengangguk tipis lalu kembali menulis.‘Apakah dia jodohku Ink?’ celetuk Anora sambil mencuri pandang ke a
Di saat yang sama, batu biru di kalungnya bergetar halus — nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Anora menahan napas.Entah kenapa, setiap kali dia mendekati orang tertentu… kalung itu selalu bereaksi.“Sudah sampai, ayo masuk. Alaric kau bisa duduk di tempatmu. Untuk Anora ikut Ibu untuk memperkenalkan diri ya,” ucap Ibu itu dengan ramah, dia berjalan terlebih dahulu kemudian disusul Alaric yang langsung duduk di kursinya.Anora yang melihat Ibu guru itu menatapnya, dengan mantap berjalan masuk dan berdiri di samping guru itu.“Selamat pagi anak-anak...” ucap guru itu yang di balas sapaan juga dari murid di kelas.“Hari ini kelas kita kedatangan murid baru, ayo perkenalkan dirimu sayang,” ucap guru itu menatap Anora sambil mengangguk kecil.“Saya–“ ucap Anora terpotong.‘Ingat, jangan sebut marga keluargamu!’ peringat Ink yang mungkin sudah empat kali selama di perjalanan mengucapkan itu.Anora terdiam sebentar, dia jadi tidak fokus gara-gara Ink. ‘Ink sialan!’“Ayo, sayang.