Se connecter“Karena kalung itu bukan sekadar perhiasan dan tidak sesederhana itu!” balas kucing itu dengan menatap mata Anora dalam.
Tepat setelah kata-kata itu, batu biru di kalungnya bergetar… seolah menyadari sesuatu telah terbangun kembali. “Ini kenapa?” tanya Anora pada kucing hitam, dia baru saja melihat kalungnya bersinar seolah ada sesuatu yang keluar. “Karena kalung itu akan sangat berperan penting untuk perjalananmu, bahkan menemukan pasangan takdir yang akan menjadi tabung darahmu,” ucap kucing hitam itu menjelaskan. “Luar biasa, kalungnya bagus,” ucap Anora menatap kalung yang sudah dia kenakan. “Kalungnya... Kau sembunyikan.” “Mengapa?” tanya Anora menatap bingung ke arah kucing hitam itu. “Sudah dengarkan apa yang aku katakan!” “Baiklah, pakai apa untuk menyembunyikannya?” tanya Anora lagi. Kucing hitam itu memejamkan matanya dan tiba-tiba ada cahaya muncul di atas kepalanya. Cahaya itu terbang ke arah Anora dan mengambang di hadapannya. Anora dengan refleks mengadahkan tangannya untuk menangkap cahaya itu, setelah itu cahaya menghilang menyisakan benda yang Anora butuhkan. “Pakai itu, itu penutup liontin yang bisa di buka tutup.” Anora dengan patuh mengikuti ucapan kucing itu, dia menutupi liontinnya dengan benda yang kucing itu berikan. “Baiklah, sudah!” “Apa aku sudah memiliki bayangan?” gumamnya dengan diri sendiri, dia kemudian menghampiri kaca tempat awal dia becermin. “Wah sudah ada...” “Ternyata, aku cantik juga!” ujar Anora dengan membuat gaya seperti model. “Sudah, ayo berangkat!” ucap Kucing itu yang sudah muak melihat vampir remaja di depannya. “Btw, kalung ini ada berapa di dunia?” tanya Anora yang berjalan bersama kucing itu keluar dari kamarnya. “Ada 2 pasang saja.” “Wow, aku mempunyai salah satunya. Keren!” ucap Anora dengan berbinar. “Jaga imagemu sebagai vampir, nona.” “Nanti saja, saat di luar,” balas Anora seadanya. “Kalau aku bertanya siapa saja yang memilikinya, kau tidak akan menjawab?” tanya Anora penasaran. “Iya!” balas kucing hitam itu dengan datar. “Sudah kuduga,” gumam Anora dengan tersenyum tipis karena ditatap mahkluk kecil hitam itu. “Btw, kau tidak memiliki nama?” tanya Anora pada kucing itu, dia sudah malas menyebutnya tanpa nama. Sangat aneh jika tidak ada panggilan untuknya. “Tidak, namaku sesuai pemberian tuan yang aku layani,” ujarnya sambil berjalan ke arah dapur. “Kau harus isi energimu, di sekolah akan sangat panjang.” “Berarti aku yang harus memberimu nama yaa, kalau begitu... bagaimana kalau Ink?” tawar Anora sambil mengambil botol berisi darah segar. “Ink?” “Iya Ink, artinya hitam. Keren kan!” ucap Anora dengan semangat, dia melirik kucing hitam–Ink–sambil meminum darah untuk mengisi energinya. “Hmm, lumayan...” ucap Ink dengan datar, dia berjalan ke luar area dapur. “Cepat!” ucapnya dengan berteriak, memberi tahu Anora. Anora dengan cepat meneguk minumannya agar habis, setelah itu dia mengelap mulutnya yang terdapat bekas merah akibat minuman itu. Gawat jika tidak di hapus. “Sudah,” ucap Anora memakai kekuatan teleportnya agar langsung berdiri di samping Ink. Ink meliriknya lalu melihat ke arah pintu keluar, memberi isyarat untuk membukakan pintu itu. Anora dengan peka membukanya dan mempersilahkan Ink agar keluar terlebih dahulu. “Mana tasmu, nona?” tanya Ink saat melihat Anora tidak membawa tasnya. “Oh iya! Tunggu sebentar...” ucap Anora dengan cepat menggunakan kekuatannya. Ink yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya lelah. Setelah beberapa detik Anora muncul kembali dengan membawa tas merah di tangannya, “Ayo!” “Memang, boleh bawa kucing ya ke sekolah?” “Tidak.” “Lalu, kau bagaimana, Ink?” tanya Anora bingung. “Kau lupa aku siapa? Kucing spesial, yang sangat kuat!” ucap Ink dengan sombong. “Hmm, terserah...” “Ayo, teleport saja langsung ke mobil!” ajak Anora yang mendapat gelengan dari Ink. “Kau akan ketahuan oleh orang yang tinggal di sini,” “Seharusnya dari awal saat kau ada di dalam apartemenmu,” ucap Ink beruntun, dia berjalan masuk ke dalam lift terlebih dahulu. “Aku tidak kepikiran, kau juga mengapa tidak memberi tahu aku!” “Agar kau terbiasa berpikir,” ucap Ink yang mendapat decakan dari Anora. Anora malas berdebat dengan Ink, dia memilih menekan tombol lift ke lantai dasar. Lift bergetar perlahan saat menuruni lantai, lampu kuning di dalamnya berkedip tipis, menebarkan bayangan lembut di dinding baja yang dingin. Suara mekanik halus berdengung di telinga, berpadu dengan deru rendah dari mesin yang menarik kabin ke bawah. Ink berdiri di sudut lift, matanya menatap lurus ke angka-angka yang menurun di panel digital. “Anora.” “Hm?” “Mulai saat ini, berhati-hatilah.” Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. “Sekolah itu bukan tempat aman untukmu. Ada sesuatu yang sudah menunggumu di sana… dan mereka tahu kau telah kembali.” Anora menoleh cepat, alisnya berkerut. “Mereka?” Ink hanya menatapnya, pupil matanya menyempit. “Kau akan tahu saat berada di sana.” Suara ting! Dari lift memecah keheningan, menandai lantai dasar telah tercapai.Pagi hari terasa sedikit lebih riuh dari biasanya. Poster-poster kecil tertempel di dinding koridor, beberapa siswa mondar–mandir sambil memegang daftar peserta.Selvara berdiri di tengah aula, menata meja pendaftaran dengan dipenuhi senyuman."Kak Al, ayo ke sini!" panggilnya sambil melambaikan tangan.Alaric menghampiri dengan langkah santai, tatapannya berputar mengamati dekorasi sederhana, pita biru, buket bunga kering, dan panggung kecil."Aku pikir event-nya besar," komentar Alaric.Selvara tersenyum tipis. "Bukan besar, tapi penting."Dia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun pelan seperti menyimpan sesuatu."Aku… mungkin butuh pertolonganmu nanti," gumamnya, semakin memainkan ujung rambutnya.Alaric mengangkat alis. "Pertolongan seperti apa?"Selvara tidak menjawab. Dia malah menoleh ke arah pintu masuk—tempat Anora baru saja muncul sambil memandang ruangan dengan tatapan datar.Anora mendekat, suara sepatu sekolahnya terdengar pelan di lantai aula."Jadi ini event yan
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Selvara. Gadis itu masih sempat memperbaiki rambutnya sebelum turun, lalu menoleh ke Alaric dengan senyum yang lembut."Besok… jangan lupa ya, Kak Al," ucapnya lambat, seolah ingin memastikan Anora yang duduk di belakang mendengarnya.Alaric hanya mengangguk kecil. "Iya."Selvara menatap Anora sekilas—senyum tipis, seperti kemenangan kecil—lalu menutup pintu.Begitu pintu tertutup, sunyi memenuhi mobil.Alaric menarik napas panjang, seolah baru bisa bernapas setelah Selvara pergi. "Akhirnya…" gumamnya pelan.Anora memiringkan kepalanya. "Kau tidak suka dia ikut?"Alaric berdehem pelan."Kau bisa saja tadi menolaknya, tch..." lanjut Anora sambil tersenyum sinis."Aku hanya terpaksa, jika aku tolak kau akan dapat omongan murid lain."Anora mengalihkan pandangan ke jendela. "Hmm."Mobil kembali berjalan. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya oranye lembut ke interior mobil. Untuk beberapa saat, hanya suara mesin yang mengisi ruang.Sam
Sore hari sepulang sekolah terasa hangat tapi tidak lagi menyengat. Matahari condong ke barat, memantulkan cahaya ke kaca kelas dan membuat bayangan panjang di halaman. Suara langkah siswa bercampur dengan obrolan kecil, sementara angin sore membawa aroma debu jalan dan rumput yang sejak pagi terpanggang matahari.Di dekat gerbang, beberapa siswa berjalan santai sambil menyeret tas atau sibuk memeriksa ponsel. Bunyi mesin motor yang dinyalakan satu per satu memenuhi area parkiran. Langit tetap cerah, memberi kesan lega—seolah sore hari memberikan jeda sebelum masuk ke sisa hari yang lebih tenang.Anora berjalan ke parkiran, di sampingnya ada Alaric yang sejak kemarin mereka sudah berangkat dan pulang bersama."Bagaimana keadaan Sebastian tadi?" tanya Alaric sambil melirik Anora sekilas."Sudah membaik," balas Anora sambil membuka ponselnya, melihat notifikasi yang masuk."Kau tidak menjenguknya tadi?" lanjutnya sambil membaca pesan dari Kael."Tidak, dia tidak ada di uks saat aku ingi
Siang hari sekitar pukul sepuluh membuat lapangan basket bersinar terang. Cahaya matahari jatuh langsung ke lantai lapangan, membuat garis-garis putih tampak tajam. Angin lewat pelan, cukup untuk menggerakkan ujung rambut tapi tidak cukup untuk mengusir hangat yang menempel di kulit.Latihan mandiri sudah dimulai, suara pantulan bola dan langkah-langkah cepat terdengar dari tengah lapangan. Anora duduk di tribun, masih mengatur napas setelah sesi latihan bersama guru tadi. Dari tempatnya, dia bisa melihat laki-laki di kelasnya berlarian, sementara dirinya menikmati jeda singkat dalam kilau siang yang menyilaukan.Beberapa siswi juga ada yang duduk bersama dengannya, ada juga yang ikut bermain."Bukankah Sebastian sangat tampan jika seperti itu," celetuk temannya yang berada di sampingnya."Benar," balas teman satunya sambil menatap Sebastian yang berkeringat, sehingga membuat rambutnya basah. "Benar kan, Anora?" Anora menatap orang di kiri dan kanannya, lalu menatap ke arah Sebastia
Hari berganti hari, dan malam kembali menyambut dengan langkah pelannya. Cahaya senja meredup perlahan, seolah menyerahkan dunia pada gelap yang datang tanpa suara.Anora berbaring sembarangan di atas ranjang, rambutnya berantakan di bantal, jemarinya sibuk memutar-mutar kalung giok yang selalu menempel di lehernya.Ketika kelopak matanya hampir menutup, pintunya tiba-tiba didorong keras hingga memantul ke dinding.Brak!"NORA!" suara Ink menggema begitu keras sampai Anora otomatis melonjak dari tempat tidur."Apa—! Kau bisa santai tida—" protesnya kesal, wajahnya masam.Ink mengangkat tangan, menghentikan protesnya."Ada yang mencarimu. Cepat, ikut aku.""Siapa?" tanya Anora, masih malas tapi mulai merasa aneh melihat wajah Ink.Ink menarik napas pendek, lalu menjawab dengan nada datar yang justru membuat Anora menoleh penuh."Orang tuamu, Nora. Mereka datang."Anora membeku sebentar."…Apa?" suaranya kecil, hampir tak percaya.Ink mengangguk pelan. "Mereka ada di ruang tamu. Baru sa
Angin siang menyusup lembut melalui sela jendela, membawa hangat matahari yang menempel di kulit seperti bisikan samar. Cahaya terang menerobos masuk, memantul di meja-meja kantin yang mulai lengang. Kantin sudah sepi, hanya beberapa suara langkah jauh yang bergema samar. Selvara berdiri tidak jauh dari tempat Alaric, menatapnya dengan tatapan yang terlalu lama untuk disebut kebetulan.Alaric tidak berkomentar. Dia hanya mengangguk kecil ketika Selvara mulai berbicara—ringan, basa-basi, tapi dengan nada yang dibuat seolah tanpa sengaja manis di ujung.Anora melihat semua itu dari kejauhan. Ekspresi datarnya tidak berubah banyak, dia melipat tangannya di dada dan menyandarkan tubuhnya pada salah satu dinding di sana. Dan saat itulah suara Ink masuk begitu tiba-tiba.'Alurnya bergeser lebih cepat. Dia mempercepat langkahnya pada Alaric.''Sepertinya begitu... Kau tidak memberiku kisi-kisi lagi, selain ini?'Ink tidak menjelaskan lebih jauh, seolah tidak boleh. Dia hanya memberi peringa







