Share

5

Author: Kaeb
last update Last Updated: 2022-10-06 17:32:54

Tangis bayi Bian tiba-tiba mereda–meski tidak berhenti menangis, tapi tangisnya yang kencang dan cukup membuat telinga berdengung mulai mengecil. Hanya isak-isak tangis biasa. Si bayi yang berada di pelukan sang Nyonya kembali bergerak-gerak, kali ini gerakannya seakan ingin maju dengan kedua tangan memanjang ke arah Bia.

“Hng! Hng! Hng!” si gembul mengeram sambil menatap si gadis biasa dan berusaha meraih seseorang yang dicari-cari sejak tadi.

Bia terenyuh. Sungguh.

“Bo-boleh saya gendong, Nyonya?” tanya Bia dengan mata berkaca. Dia bersyukur ruangan ini cukup gelap sehingga Rosa tak akan melihat matanya yang basah.

Melihat reaksi Bian yang juga berusaha meraih si gadis biasa, mau tak mau Rosa memberikan si gembul ke pelukan Bia. Dan sangat ajaib, Bian berhenti menangis. Bayi itu mendusel-dusel wajah ya ke dada Bia. Tanpa sepengetahuan Rosa, Bian yang berada di pelukan si gadis, menjalari dada Bia dengan mulutnya. Membuat gadis berusia sembilan belas tahun itu berjengit.

“Ma-maaf, Nyonya. Boleh Bian tidur sama saya? Sa-saya bakal mandiin dan langsung beri makan nanti,” ujar Bia terbata–antara gugup, takut Rosa memandangnya aneh dan geli sebab Bian yang seperti mencari sesuatu di dadanya menggunakan mulut. Bia tahu tujuan si gembul, tapi berusaha agar tidak terlihat mencurigakan di depan sang Nyonya Bimantara.

Rosa berpikir sebentar. Mungkij tidak ada salahnya, toh Bian langsung diam bersama Bia. Mungkin si gadis biasa bisa dipercaya untuk menjaga cucunya. Lagipula mulai besok Bia bekerja. Ah, sekarang sudah termasuk besok, kan?

Sang Nyonya mengangguk, “Ya udah. Sampai jumpa Bian, Bia,” katanya sembari mengukir senyum.

Bia mengangguk. Ketika sang Nyonya rumah berbalik dan berjalan menjauh, dia menghela lega. Kemudian perhatiannya beralih pada si bayi gembul yang masih berusaha mencari sesuatu di dadanya. “Iya-iya, dikasih kok. Ayo, kita ke kamar.” Bia berjalan berlainan arah. Kamar yang dia tempati berada di area belakang, dekat dapur.

Beruntung dia sendirian menempati kamar yang cukup luas ini. Jadi, dia bisa bebas. Tak lupa mengunci pintu, dia membawa Bian berbaring di ranjang. Si bayi tampak tak sabar karena meremas-remas pakaian yang dia kenakan. Bia langsung mengangkat kaos serta pakaian dalam sehintga memperlihatkan sebelah puting yang di arahkan ke mulut Bian. Si gembul segera menyergap dan menyedot.

Senyum si gadis biasa terukir. Walau beberapa minggu, rasanya seperti sudah sangat lama dia tak berada di posisi ini. Menyusui Bian. Ah, meski dadanya termasuk rata, pun tak bisa menghasilkan banyak ASI, namun sebagaimana para ibu, pasti bahagia bisa menyusui putranya. Bia tidak pernah menghakimi dirinya sendiri.

Kehadiran Abi–dia memberi nama putranya begitu agar selaras dengan namanya; Rabia dan Abian. Panggilannya pun seperti nama panggilan Bia yang cuma tiga huruf. Namun, keluarga Bimantara memanggil si gembul dengan nama Bian. Bia tak berhak memprotes–dalam hidupnya memang mengejutkan. Tapi, Bia tidak menyesal. Sungguh. Cuma, keputusan tetap mesti diambil waktu itu. Kehidupan Bian jauh lebih penting daripada hidupnya.

Bia meniup ujung kepala si bayi, menerbangkan beberapa helai rambutnya. Mata Bian telah terpejam meski mulutnya tetap bekerja. Malam ini dia bisa merasakab kembali perannya yang telah dia lepaskan. Mungkin, dia bisa melakukannya secara diam-diam. Selama keluarga Bimbatara tidak tahu. Bian masih membutuhkannya, kan? Jadi tidak apa-apa. Hanya ketika dia berdua saja dengan Bian.

Si gadis biasa ikut memejamkan mata setelah sebelumnya meletakman bantal di tepi ranjang agar Bian tidak jatuh ketika berguling sewaktu tidur.

**

 

Rosa kembali ke kamar. Sang suami–Agam Bimantara–rupanya belum tidur. Mungkin karena terbangun tadi, jadi tak bisa tidur lagi. Berbaring di sebelah sang Suami yang sedang membaca buku tebal–yang dia tahu biasanya ada di lemari nakas di sebelah ranjang–di letak di sana saat akan tidur.

“Mana Bian?” tanya sang Kepala keluarga yang heran karena istrinya kembali tanpa bayi yang beberapa menit lalu berbaring bersama mereka.

Rosa menarik selimut hingga dada, “Sama Bia. Tadi Bia kebangun juga karena suara nangis Bian. Trus minta ijin buat tidur bareng Bian. Ah, kayaknya Bian suka sama Bia. Dia langsung berhenti nangis waktu aku kasih sama Bia. Mungkin nggak salah kita kasih Bia buat jadi pengasuh Bian.

Kening sang Kepala keluarga mengerut, “Masa?”

“Hmph!” Nyonya Bimantara mengangguk, “Ya udah. Tidur, yuk.” Imbuhnya dan memejamkan mata.

Agam tidak langsung mengikuti istrinya. Dia merasa sedikit janggal. Bian langsung berhenti menangis? Sedangkan digendong oleh Rosa, Bian masih menangis kencang. Mereka sama-sama orang asing bagi bayi kecil itu. Tapi, kenapa?

**

 

“Aku Minah,” seorang perempuan yang kelihatan masih muda–seperti Bia–memperkenalkan diri.

“Saya Sri,” disambung seorang perempuan yang lebih tua yang kemarin malam membukakan pintu untuk Bia–yang gerak-geriknya terlihat sangat elegan.

“Danu.” Ujar seorang pria berbadan kekar yang berdiri di sebelah Sri. Dari postur tubuhnya seperti seorang bodyguard.

Bia menyungging senyum. Dia cuma mengangguk singkat karena pergerakannya terbatas–sedang menggendong baby Bian. “Aku, Rabia. Panggil Bia aja.”

Si yang paling muda diantara tiga orang yang berdiri di hadapan si gadis biasa ikut memamer senyum lalu mendekati Bia dan mencubit rintan pipi si gembul yang menggemaskan, “Utututu ..., Bian lucu banget! Aku nggak pernah puas ngelihatinnya.”

Bia menanggapinya dengan senyum.

“Bia, ayo saya tunjukin dimana kamu bisa mandiin Tuan Bian.”  Ibu Sri–rencana si gadis biasa memanggilnya, biar sopan–menginterupsi kegiatan Minah. Membuat gadis itu protes dengan menggembungkan pipi.

Sedang Danu beranjak dari dapur. Pergi entah kemana. Mungkin ingin memulai tugasnya; yang Bia belum tahu apa.

Pagi-pagi sekali Bia bangun, mandi dan bersiap. Dia juga membuat si gembul bangun yang mengakibatkan bayi gembul tersebut terkantuk-kantuk lalu bertemu pekerja rumah tangga di dapur. Dia memang berencana bertanya mengenai perlengkapan Bian, dimana biasanya si bayi dimandikan, makanan atau susu yang dikonsumsi. Karena pasti berbeda dari yang biasa dia berikan dulu. Lebih berkualitas dan tentunya mahal. Bia tidak akan sanggup membeli.

Hah. Dia jadi sedih mengingat bagaimana dulu mengurus Bian dalam ketidakmampuan secara ekonomi. Tentu saja, dia masih sembilan belas tahun. Baru lulus tahun lalu. Belum mendapat pekerjaan tetap–juga tak bisa karena mesti merawat si buah hati. Pun, Bia adalah seorang yatim piatu yang membuatnya tak memiliki rumah atau tempat berlindung.

Si gadis biasa di tuntun ke sebuah ruangan di sebelah dapur yang merupakan kamar mandi. Di sana sudah terdapat bak mandi bayi yang diisi air hangat, sabun lalu ada handuk. Sudah siap sedia.

“Biasanya Nyonya yang mandiin Tuan Bian di kamar mandi di kamarnya, tapi karna kamu yang sekarang tugasnya rawat Tuan Bian, kamu bisa mandiin Tuan Bian di sini. Semua sudah tersedia.” Jelas Ibu Sri.

“Oh, iya. Terima kasih Bu Sri,” Bia mengangguk kikuk. Dia tak tahu kalau semua sudah disiapkan. Dikira dia yang akan menyiapkan semua keperluan Bian saat mandi.

Bu Sri berdeham, “Kalau udah selesai, kamu bisa bawa Tuan Bian ke kamar kamu. Saya bakal antar pakaian dan keperluan lainnya nanti.”

“Iya, bu.” Lagi, si gadis biasa mengangguk.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ikatan Hati   116. End

    “Saya seorang yatim-piatu. Saya iri lihat kebersamaan orang lain dengan keluarga mereka. Sejak kecil saya punya citacita pengin punya keluarga sendiri ...,” jeda sebentar, “dan nggak disangka saya akhirnya beneran punya. Meskipun keadaan saya nggak begitu baik, saya seneng banget waktu tahu tentang kehadiran Bian. Saya janji sama diri sendiri bakal rawat dia dengan baik dan bakal besarin dia sepenuh hati.” Katanya sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut di pangkuan.“Sayangnya ... kenyataan nggak seperti yang diharapkan. Sebagai ibu kandungnya Bian, saya nggak mau dia menderita. Bian berhak dapat kehidupan yang lebih baik daripada hidup sengsara sama saya. Saya nggak punya pilihan selain antar Bian ke rumah keluarga Bimantara. Apalagi kalian salah satu keluarga terpandang. Saya pikir, saya nggak perlu khawatir kalau Bian dirawat sama keluarga Bimantara.”Bia ingat sewaktu dirinya melihat berita tentang tanah bekas hotel terbakar–hotel di mana dia sempat bekerja part time dan m

  • Ikatan Hati   115

    Perjalanan dari kediaman Adam Bimantara yang berada hampir di ujung kota menuju rumah sakit memakan waktu dua jam. Bia yang duduk di sebelah kursi kemudi tidak bisa tenang. Dia terus bergerak-gerak gelisah seraya mobil terus melaju. Sedangkan si lelaki tampan yang sebenarnya terusik berusaha menahan dirinya. Memaklumi si gadis yang khawatir dan ingin segera bertemu dengan si gembul. Pun ia pasti merasakan hal yang sama jika di posisi Bia. Tanpa mengajak perempuan di sebelahnya bicara–mereka tidak dalam situasi yang menyenangkan untuk mengobrol dalam perjalanan–Adrian memusatkan penglihatannya ke jalan.Setelah tiba di rumah sakit dan memarkirkan mobil, Adrian dan Bia berjalan di koridor. Mereka melangkah dengan cepat agar segera sampai di ruang rawat inap Bian. Ah, sebelumnya si pemuda Bimantara menyempatkan diri menghubungi ayahnya; mengabari kalau ia berhasil mengajak Bia.Begitu sampai, Adrian menghentikan langkah. Dia menatap si gadis sebentar lalu meraih knop pintu dan membukanya

  • Ikatan Hati   114

    Mereka tiba di ruang keluarga. Kinan melirik ke belakang untuk memastikan kondisi si gadis sebelum menggeser pintu. Sewaktu pintu terbuka, pria yang sudah berada di dalam ruangan segera berdiri. Sorot hitam bertemu dengan retina coklat yang menatap takut. Sang kepala pelayan menundukkan kepala sebagai salam hormat pada sang tuan muda. Bia yang berada di belakang ikut menundukkan kepala.“Bia ....”Si gadis berjengit mendengar namanya disebut oleh si pemuda tampan.Mendapati si gadis yang berdiri di belakang sang kepala pelayan yang berusaha menyembunyikan dirinya membuat Adrian mengingat kejadian saat dia mengusir gadis itu dari rumahnya. Gadis tersebut juga ketakutan dan berusaha agar tidak terlihat olehnya. Apa dia sangat menakutkan?“Kamu di sini untuk bujuk dia, Adrian. Bukan untuk nakutin dia!” si pemuda Bimantara bermonolog di dalam hati.Bimantara muda ini menarik napas dan menghembuskannya pelan. Dia tak mau bertindak gegabah lagi. Dia akan berhati-hati agar Bia mau mendengark

  • Ikatan Hati   113

    Adrian duduk termenung di sebelah ranjang yang ditempati seorang bayi yang tengah tertidur lelap. Gurat-gurat lelah terlihat jelas di wajah dengan pakaian yang tak lagi rapi–jas dan dasi miliknya tergeletak di atas sofa di sudut ruangan dan dua kancing kemeja bagian atas terbuka. Dia ingin melakukan sesuatu untuk putranya, tapi Adrian tidak tahu tindakan apa yang mesti dia lakukan. Setengah jam lalu Bian bangun dan kembali menangis, namun sebagai ayah si bayi, dia tak mampu membuat putranya berhenti menangis.Beberapa perawat yang memang ditugaskan untuk mengecek keadaan Bian secara berkala ikut membantu menenangkan si bayi. Hasilnya nihil. Mereka juga tak mampu meredakan rontaan kencang si gembul hingga bayi itu kelelahan dan tertidur.Ia benar-benar ditampar kenyataan.Baru beberapa hari, tetapi Adrian sama sekali tak bisa menjaga Bian dengan baik. Malah berakhir di rumah sakit. Perkiraannya kalau si gembul nantinya akan terbiasa tanpa si pengasuh salah besar. Justru dirinya yang ta

  • Ikatan Hati   112

    Sudah beberapa hari Bia berada di kediaman Adam Bimantara. Selama hari-hari itu dia tak tahu mesti melakukan apa. Biasanya dia punya kegiatan sedaru pagi, di mulai dari membangunkan si gembul, memandikan, memberi makan dan mengantarkan si bayi pada keluarga Bimantara. Setelah itu melakukan pekerjaan rumah. Tetapi, sejak berara di sini, Bia tidak punya aktivitas apa-apa. Sang tuan paling besar memperlakukannya dengan baik, sangat baik malah. Hanya saja ... dia tidak diperkenankan melakukan pekerjaan rumah.Pernah si gadis ingin membantu Jelita dan Rita yang sedang mempersiapkan makan malam, tetapi Adam memintanya untuk lebih banyak beristirahat. Dua perempuan yang merupakan asisten rumah tangga di kediaman Tetua Bimantara diberi perintah agar tak membiarkan si gadis melakukan pekerjaan rumah. Oleh sebab itu, Bia lebih banyak diam di ruangan yang diberikan Adam padanya.Sebuah kamar yang luas–untuk ditempati seorang diri.Ya, bukan kamar yang mestinya ditempati oleh asisten rumah tangga

  • Ikatan Hati   111

    Adnan mengamati gelas kaca berisi air mineral di atas meja yang tak disentuh sejak disediakan oleh seorang gadis bersurai panjang yang digulung tinggi. Pikirannya melayang jauh. Banyak hal yang terjadi yang belum mampu dia cerna. Ditambah mendnegar pernyataan kalau keponakannya mengalami stres membuat sulung Bimantara ini makin merasa tak karuan.Bayi kecil begitu mesti mengalami stres yang tidak seharusnya. Adnan tak dapat membayangkan bagaimana perasaan tak nyaman menggerogoti si bayi hingga membuatnya tak berhenti menangis. Bayi yang belum mengerti apa-apa, tetapi tahu kalau ia telah kehilangan sesuatu yang penting. Bayi yang belum bisa mengatakan protesnya terhadap keadaan. Namun, orang-orang dewasa di sekitarnya malah tidak membantu dan malah memperburuk keadaan. Termasuk dirinya yang sempat mengabaikan si gembul.Hah ... ia adalah seorang paman yang egois, kan?Rasanya semakin buruk setelah ia mencoba lebih memikirkan keadaan si bayi. Bian harus menjadi korban dari kejadian ini.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status