Share

4

Penulis: Kaeb
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-06 17:32:23

“Ini kamar kamu,” ujar putra sulung Bimantara seraya membuka sebuah pintu yang di baliknya terdapat kamar yang sudah lengkap dengan ranjang, lemari dan beberapa properti lain yang biasa ada di kamar. “Kamu bisa kerja mulai besok pagi. Sekarang, istirahatlah,” sambungnya.

“Um, Tuan,” Bia terdengar ragu, “Bian gimana?”

Ah, bayi kecil itu. Adnan merasa sedikit kasihan karena Bian menangis kencang sewaktu dipisahkan dari si gadis yang bakal menjadi pengasuhnya. Seakan-akan tidak mau dijauhkan dari Bia. Tangisnya membuat semua orang yang berada di sekitar menjadi tidak tega dan kasihan. Tapi, mereka tak bisa langsung menyerahkan Bian begitu saja dalam pengawasan Bia. Setidaknya tunggu sampai si gadis benar-benar di waktu bekerja.

Meski pada akhirnya si gembul tertidur karena kelelahan menangis. Menyisakan kesunyian diantara mereka sampai sang Kepala keluarga buka suara meminta Adnan mengantar Bia ke sebuah kamar. Pun hari sudah malam dan waktunya istirahat.

“Yah, aku cuma bisa bilang Bian bakal baik-baik aja. Juga, Bian bareng mama sama papa, jadi nggak perlu dipikirkan.” Adnan tak berpengalaman untuk urusan bayi, tapi karena mamanya yang menjaga, dia pikir tak apa-apa. Hanya itu yang bisa dia katakan.

Sesungguhnya Bia ingin membantah. Dia ingin meminta agar dia bersama Bian. Namun ..., dia tak punya hak untuk itu. Tidak ada yang tahu dan ... dan dia sudah membuang identitasnya, jadi tak ada kewajiban maupun haknya atas Bian lagi.

Melihat raut muka perempuan berkuncir satu di hadapannya yang sendu, Adnan mengira jika Bia masih khawatir pada Bian. “Kamu bisa mulai kerja besok dan ketemu Bian. Sekarang istirahatlah.”

Ya, cuma itu yang dapag dia lakukan sekarang. Bia mengangguk, “Makasih, Tuan.”

“Iya. Selamat malam, Rabia,” ujar Adnan yang kemudian dibalas hal serupa oleh si lawan bicara. Dia menyerahkan kunci kamar pada Bia lalu beranjak pergj. Tugasnya sudah selesai.

Sepeninggal putra sulung Bimantara, Bia memasuki kamar yang bakal di tempati. Mengunci pintu kamar dengan kunci yang dia terima lalu menghampiri ranjang sembari meletak tas yang dia bawa di lantai. Duduk di tepi tempat tidur dan memandangi kamar yang diberi untuknya terbilang cukup luas. Meraba permukaan kasur yang dilapisi bed cover, belum lagi ranjangnya merupakan double bed.

“Untuk kamar pekerja rumah tangga, ini lebih besar dibanding kontrakanku yang kemarin,” Bia bergumam–masih mengamati keadaan di ruangan ini. “Abi pasti bahagia tinggal di sini. Semua kebutuhannya tercukupi,” sesak mulai memenuhi dada. Dibarengi napas yang mulai tersendat, “Dia pasti senang. Mereka adalah orang-orang yang baik,” dia masih menjutkan monolog dengan buliran bening yang mulaj menetes dari sudut mata.

Hanya beberapa detik, tangis gadis ini pecah. Dia tak kuasa menahan sakit yang mendera. Sakit tak berwujud, sakit tak berdarah, namun sangat perih. Air matanya saling menyusul menuruni kedua belah pipi yang tirus.

Bia tak ingin menyesali keputusan yang dia buat, namun perih di dada ini masih belum sanggup dia tahan. Dia masih kalah terhadap rasa sakit. Dia masih belum terbiasa. Terlebih dia tak menyangka masih bisa memeluk Abi, menggendong bayi berusia enam bulan yang terpaksa dia lepaskan dari kedua tangannya beberapa minggu lalu. Dan ... dan Abi masih mengenalinya!

“Nggak, nggak,” Bia berusaha mengatur napas dan isak lalu menghapus aliran air mata di wajah, “Ini udah cukup. Aku nggak akan minta lebih. Abi berhak dapat kehidupan lebih baik. Dia nggak mesti hidup kayak aku. Ya, ini adalah keputusan yang baik!” dia mencoba meyakinkan diri, walau hati kecilnya berontak; ‘kalau memang keputusan yang baik, kenapa kamu masuk ke lingkup hidup baru Abi?’

Gadis berambut panjang ini menggeleng, “Aku ...,” Bia menarik napas dan menghembus perlahan, “Lebih baik aku istirahat,” dia bergumam lagi. Mengabaikan rontaan hati kecilnya yang meminta jawaban.

**

 

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Suasana di kediaman Bimantara sangat sepi dan gelap karena pencahayaan di beberapa ruangan dipadamkan. Namun, keheningan ini tidak membuat tidur seorang bayi gembul yang terbaring diantara dua orang dewasa–di kiri dan kanan–si bayi berada di tengah, di apit. Kelopak yang menyembunyikan intan coklat bergerak-gerak hingga kemudian terbuka.

Seperti baru mendapat mimpi buruk, bayi Abian terbangun. Berguling ke kiri, matanya menemukan seorang pria dewasa. Bukan sesuatu yang diinginkan, si gembul berusaha berguling ke sisi sebelah. Ketika berhasil, pandangannya melihat seorang perempuan di sana. Masih bukan sesuatu yang dia inginkan. Si bayi bulat tersebut mulai menggerak-gerakkan badan sehingga berputar-putar, namun tetap, dia tak berhasil menemukan apa yang diinginkan.

“HUWA!” Tanpa aba-aba Bian menangis kencang. Mengagetkan dua orang dewasa di kanan dan kirinya. Tangisnya tak main-main, langsung mengeluarkan suara nyaring yang cukup mengganggu telinga.

Rosa segera bereaksi. Bangkit dari pembaringan, meraih si bayi kemudian mengusap-usap punggungnya, “Kenapa? Mimpi buruk, hm? Atau haus?” tanyanya yang tak mendapat jawaban, tapi disahuti tangis Bian yang makin kencang membuat Rosa sepenuhnya terjaga dan buru-buru menggendong bayi gembul tersebut.

Agam ikut bangkit. Melihat istrinya yang berusaha menenangkan Bian, tapi tak berhasil. Si bayi gembul memberontak. Bergerak-gerak sehingga Rosa mesti memegangnya kuat.

“Mungkin dia mimpi buruk. Coba bawa keluar, mungkin bisa tenang kalau lihat keadaan di luar.” Sang Kepala keluarga menyarankan.

Rosa mengangguk, “Ya udah.” Katanya dan membawa si bayi yang masih mengamuk keluar dari kamar. Sang Nyonya menutup pintu kamarnya lagi agar sang Suami dapat beristirahat kembali.

Kamar yang ditempati pasangan senior tidak berada di lantai atas, melainkan di lantai bawah. Jadi, begitu keluar kamar langsung berhadapan dengan ruang tengah. Rosa membawa Bian ke sana berharap si gembul dapat tenang.

“Hus, hus, hus ...,” Sang Nyonya mengayun-ayunkan Bian yang masih menangis. Menunjuk-nunjuk beberapa objek untuk menarik perhatian si bayi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.

Bayi gembul tersebut tidak mau melihat dan terus menangis. Ditambah tak mau diam, terus bergerak. Membuat Rosa kepayahan.

Tangis Bian yang kencang menyusup ke telinga seorang perempuan yang terlelap di kamar. Insting membangunkannya. Dengan sigap dia bangkit, keluar dari kamar dan mencari sumber keributan di dini hari ini. Tangis bayi kecilnya yang menggema dalam rumah menuntun dia ke ruang tengah. Bia melihat sang Nyonya yang kesusahan menenangkan Bian.

Dari tangis keras tersebut, Bia tahu ..., dia mengerti, jika Bian mencari dirinya. Tangis yang sudah dia hapal.

Pelan-pelan dia mendekati sang Nyonya rumah, “Permisi, Nyonya ....”

“Oh, Bia. Kamu kebangun karna denger suara Bian ya? Maaf ya, kayaknya Bian mimpi buruk jadi dia nangis begini,” Rosa berujar lembut. Meski si gadis muda adalah salah satu yang akan bekerja padanya, tetap rasanya tak enak telah mengganggu tidur orang lain.

Bia cuma mengangguk dan memandang si bayi yang terus berontak dalam gendongan sang Nyonya. Dia bukan bermimpi buruk. Ingin sekali mengambil alih Bian dan memeluk si gembul tersebut. Tapi, Bia tak ingin bersikap tak sopan. Tapi ..., “Um, Nyonya, boleh saya yang gendong Bian?”

Rosa sedikit terperangah mendengar permintaan perempuan–yang sekarang kita sebut saja si gadis biasa–itu, “Tapi ini Bian lagi rewel, loh. Saya aja kesusahan.”

“Nggak apa-apa, Nya.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diana Rahmawati Ha
ini kemana penulisnya ya ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ikatan Hati   116. End

    “Saya seorang yatim-piatu. Saya iri lihat kebersamaan orang lain dengan keluarga mereka. Sejak kecil saya punya citacita pengin punya keluarga sendiri ...,” jeda sebentar, “dan nggak disangka saya akhirnya beneran punya. Meskipun keadaan saya nggak begitu baik, saya seneng banget waktu tahu tentang kehadiran Bian. Saya janji sama diri sendiri bakal rawat dia dengan baik dan bakal besarin dia sepenuh hati.” Katanya sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut di pangkuan.“Sayangnya ... kenyataan nggak seperti yang diharapkan. Sebagai ibu kandungnya Bian, saya nggak mau dia menderita. Bian berhak dapat kehidupan yang lebih baik daripada hidup sengsara sama saya. Saya nggak punya pilihan selain antar Bian ke rumah keluarga Bimantara. Apalagi kalian salah satu keluarga terpandang. Saya pikir, saya nggak perlu khawatir kalau Bian dirawat sama keluarga Bimantara.”Bia ingat sewaktu dirinya melihat berita tentang tanah bekas hotel terbakar–hotel di mana dia sempat bekerja part time dan m

  • Ikatan Hati   115

    Perjalanan dari kediaman Adam Bimantara yang berada hampir di ujung kota menuju rumah sakit memakan waktu dua jam. Bia yang duduk di sebelah kursi kemudi tidak bisa tenang. Dia terus bergerak-gerak gelisah seraya mobil terus melaju. Sedangkan si lelaki tampan yang sebenarnya terusik berusaha menahan dirinya. Memaklumi si gadis yang khawatir dan ingin segera bertemu dengan si gembul. Pun ia pasti merasakan hal yang sama jika di posisi Bia. Tanpa mengajak perempuan di sebelahnya bicara–mereka tidak dalam situasi yang menyenangkan untuk mengobrol dalam perjalanan–Adrian memusatkan penglihatannya ke jalan.Setelah tiba di rumah sakit dan memarkirkan mobil, Adrian dan Bia berjalan di koridor. Mereka melangkah dengan cepat agar segera sampai di ruang rawat inap Bian. Ah, sebelumnya si pemuda Bimantara menyempatkan diri menghubungi ayahnya; mengabari kalau ia berhasil mengajak Bia.Begitu sampai, Adrian menghentikan langkah. Dia menatap si gadis sebentar lalu meraih knop pintu dan membukanya

  • Ikatan Hati   114

    Mereka tiba di ruang keluarga. Kinan melirik ke belakang untuk memastikan kondisi si gadis sebelum menggeser pintu. Sewaktu pintu terbuka, pria yang sudah berada di dalam ruangan segera berdiri. Sorot hitam bertemu dengan retina coklat yang menatap takut. Sang kepala pelayan menundukkan kepala sebagai salam hormat pada sang tuan muda. Bia yang berada di belakang ikut menundukkan kepala.“Bia ....”Si gadis berjengit mendengar namanya disebut oleh si pemuda tampan.Mendapati si gadis yang berdiri di belakang sang kepala pelayan yang berusaha menyembunyikan dirinya membuat Adrian mengingat kejadian saat dia mengusir gadis itu dari rumahnya. Gadis tersebut juga ketakutan dan berusaha agar tidak terlihat olehnya. Apa dia sangat menakutkan?“Kamu di sini untuk bujuk dia, Adrian. Bukan untuk nakutin dia!” si pemuda Bimantara bermonolog di dalam hati.Bimantara muda ini menarik napas dan menghembuskannya pelan. Dia tak mau bertindak gegabah lagi. Dia akan berhati-hati agar Bia mau mendengark

  • Ikatan Hati   113

    Adrian duduk termenung di sebelah ranjang yang ditempati seorang bayi yang tengah tertidur lelap. Gurat-gurat lelah terlihat jelas di wajah dengan pakaian yang tak lagi rapi–jas dan dasi miliknya tergeletak di atas sofa di sudut ruangan dan dua kancing kemeja bagian atas terbuka. Dia ingin melakukan sesuatu untuk putranya, tapi Adrian tidak tahu tindakan apa yang mesti dia lakukan. Setengah jam lalu Bian bangun dan kembali menangis, namun sebagai ayah si bayi, dia tak mampu membuat putranya berhenti menangis.Beberapa perawat yang memang ditugaskan untuk mengecek keadaan Bian secara berkala ikut membantu menenangkan si bayi. Hasilnya nihil. Mereka juga tak mampu meredakan rontaan kencang si gembul hingga bayi itu kelelahan dan tertidur.Ia benar-benar ditampar kenyataan.Baru beberapa hari, tetapi Adrian sama sekali tak bisa menjaga Bian dengan baik. Malah berakhir di rumah sakit. Perkiraannya kalau si gembul nantinya akan terbiasa tanpa si pengasuh salah besar. Justru dirinya yang ta

  • Ikatan Hati   112

    Sudah beberapa hari Bia berada di kediaman Adam Bimantara. Selama hari-hari itu dia tak tahu mesti melakukan apa. Biasanya dia punya kegiatan sedaru pagi, di mulai dari membangunkan si gembul, memandikan, memberi makan dan mengantarkan si bayi pada keluarga Bimantara. Setelah itu melakukan pekerjaan rumah. Tetapi, sejak berara di sini, Bia tidak punya aktivitas apa-apa. Sang tuan paling besar memperlakukannya dengan baik, sangat baik malah. Hanya saja ... dia tidak diperkenankan melakukan pekerjaan rumah.Pernah si gadis ingin membantu Jelita dan Rita yang sedang mempersiapkan makan malam, tetapi Adam memintanya untuk lebih banyak beristirahat. Dua perempuan yang merupakan asisten rumah tangga di kediaman Tetua Bimantara diberi perintah agar tak membiarkan si gadis melakukan pekerjaan rumah. Oleh sebab itu, Bia lebih banyak diam di ruangan yang diberikan Adam padanya.Sebuah kamar yang luas–untuk ditempati seorang diri.Ya, bukan kamar yang mestinya ditempati oleh asisten rumah tangga

  • Ikatan Hati   111

    Adnan mengamati gelas kaca berisi air mineral di atas meja yang tak disentuh sejak disediakan oleh seorang gadis bersurai panjang yang digulung tinggi. Pikirannya melayang jauh. Banyak hal yang terjadi yang belum mampu dia cerna. Ditambah mendnegar pernyataan kalau keponakannya mengalami stres membuat sulung Bimantara ini makin merasa tak karuan.Bayi kecil begitu mesti mengalami stres yang tidak seharusnya. Adnan tak dapat membayangkan bagaimana perasaan tak nyaman menggerogoti si bayi hingga membuatnya tak berhenti menangis. Bayi yang belum mengerti apa-apa, tetapi tahu kalau ia telah kehilangan sesuatu yang penting. Bayi yang belum bisa mengatakan protesnya terhadap keadaan. Namun, orang-orang dewasa di sekitarnya malah tidak membantu dan malah memperburuk keadaan. Termasuk dirinya yang sempat mengabaikan si gembul.Hah ... ia adalah seorang paman yang egois, kan?Rasanya semakin buruk setelah ia mencoba lebih memikirkan keadaan si bayi. Bian harus menjadi korban dari kejadian ini.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status