“Ini kamar kamu,” ujar putra sulung Bimantara seraya membuka sebuah pintu yang di baliknya terdapat kamar yang sudah lengkap dengan ranjang, lemari dan beberapa properti lain yang biasa ada di kamar. “Kamu bisa kerja mulai besok pagi. Sekarang, istirahatlah,” sambungnya.
“Um, Tuan,” Bia terdengar ragu, “Bian gimana?”Ah, bayi kecil itu. Adnan merasa sedikit kasihan karena Bian menangis kencang sewaktu dipisahkan dari si gadis yang bakal menjadi pengasuhnya. Seakan-akan tidak mau dijauhkan dari Bia. Tangisnya membuat semua orang yang berada di sekitar menjadi tidak tega dan kasihan. Tapi, mereka tak bisa langsung menyerahkan Bian begitu saja dalam pengawasan Bia. Setidaknya tunggu sampai si gadis benar-benar di waktu bekerja.Meski pada akhirnya si gembul tertidur karena kelelahan menangis. Menyisakan kesunyian diantara mereka sampai sang Kepala keluarga buka suara meminta Adnan mengantar Bia ke sebuah kamar. Pun hari sudah malam dan waktunya istirahat.“Yah, aku cuma bisa bilang Bian bakal baik-baik aja. Juga, Bian bareng mama sama papa, jadi nggak perlu dipikirkan.” Adnan tak berpengalaman untuk urusan bayi, tapi karena mamanya yang menjaga, dia pikir tak apa-apa. Hanya itu yang bisa dia katakan.Sesungguhnya Bia ingin membantah. Dia ingin meminta agar dia bersama Bian. Namun ..., dia tak punya hak untuk itu. Tidak ada yang tahu dan ... dan dia sudah membuang identitasnya, jadi tak ada kewajiban maupun haknya atas Bian lagi.Melihat raut muka perempuan berkuncir satu di hadapannya yang sendu, Adnan mengira jika Bia masih khawatir pada Bian. “Kamu bisa mulai kerja besok dan ketemu Bian. Sekarang istirahatlah.”Ya, cuma itu yang dapag dia lakukan sekarang. Bia mengangguk, “Makasih, Tuan.”“Iya. Selamat malam, Rabia,” ujar Adnan yang kemudian dibalas hal serupa oleh si lawan bicara. Dia menyerahkan kunci kamar pada Bia lalu beranjak pergj. Tugasnya sudah selesai.Sepeninggal putra sulung Bimantara, Bia memasuki kamar yang bakal di tempati. Mengunci pintu kamar dengan kunci yang dia terima lalu menghampiri ranjang sembari meletak tas yang dia bawa di lantai. Duduk di tepi tempat tidur dan memandangi kamar yang diberi untuknya terbilang cukup luas. Meraba permukaan kasur yang dilapisi bed cover, belum lagi ranjangnya merupakan double bed.“Untuk kamar pekerja rumah tangga, ini lebih besar dibanding kontrakanku yang kemarin,” Bia bergumam–masih mengamati keadaan di ruangan ini. “Abi pasti bahagia tinggal di sini. Semua kebutuhannya tercukupi,” sesak mulai memenuhi dada. Dibarengi napas yang mulai tersendat, “Dia pasti senang. Mereka adalah orang-orang yang baik,” dia masih menjutkan monolog dengan buliran bening yang mulaj menetes dari sudut mata.Hanya beberapa detik, tangis gadis ini pecah. Dia tak kuasa menahan sakit yang mendera. Sakit tak berwujud, sakit tak berdarah, namun sangat perih. Air matanya saling menyusul menuruni kedua belah pipi yang tirus.Bia tak ingin menyesali keputusan yang dia buat, namun perih di dada ini masih belum sanggup dia tahan. Dia masih kalah terhadap rasa sakit. Dia masih belum terbiasa. Terlebih dia tak menyangka masih bisa memeluk Abi, menggendong bayi berusia enam bulan yang terpaksa dia lepaskan dari kedua tangannya beberapa minggu lalu. Dan ... dan Abi masih mengenalinya!“Nggak, nggak,” Bia berusaha mengatur napas dan isak lalu menghapus aliran air mata di wajah, “Ini udah cukup. Aku nggak akan minta lebih. Abi berhak dapat kehidupan lebih baik. Dia nggak mesti hidup kayak aku. Ya, ini adalah keputusan yang baik!” dia mencoba meyakinkan diri, walau hati kecilnya berontak; ‘kalau memang keputusan yang baik, kenapa kamu masuk ke lingkup hidup baru Abi?’Gadis berambut panjang ini menggeleng, “Aku ...,” Bia menarik napas dan menghembus perlahan, “Lebih baik aku istirahat,” dia bergumam lagi. Mengabaikan rontaan hati kecilnya yang meminta jawaban.** Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Suasana di kediaman Bimantara sangat sepi dan gelap karena pencahayaan di beberapa ruangan dipadamkan. Namun, keheningan ini tidak membuat tidur seorang bayi gembul yang terbaring diantara dua orang dewasa–di kiri dan kanan–si bayi berada di tengah, di apit. Kelopak yang menyembunyikan intan coklat bergerak-gerak hingga kemudian terbuka.Seperti baru mendapat mimpi buruk, bayi Abian terbangun. Berguling ke kiri, matanya menemukan seorang pria dewasa. Bukan sesuatu yang diinginkan, si gembul berusaha berguling ke sisi sebelah. Ketika berhasil, pandangannya melihat seorang perempuan di sana. Masih bukan sesuatu yang dia inginkan. Si bayi bulat tersebut mulai menggerak-gerakkan badan sehingga berputar-putar, namun tetap, dia tak berhasil menemukan apa yang diinginkan.“HUWA!” Tanpa aba-aba Bian menangis kencang. Mengagetkan dua orang dewasa di kanan dan kirinya. Tangisnya tak main-main, langsung mengeluarkan suara nyaring yang cukup mengganggu telinga.Rosa segera bereaksi. Bangkit dari pembaringan, meraih si bayi kemudian mengusap-usap punggungnya, “Kenapa? Mimpi buruk, hm? Atau haus?” tanyanya yang tak mendapat jawaban, tapi disahuti tangis Bian yang makin kencang membuat Rosa sepenuhnya terjaga dan buru-buru menggendong bayi gembul tersebut.Agam ikut bangkit. Melihat istrinya yang berusaha menenangkan Bian, tapi tak berhasil. Si bayi gembul memberontak. Bergerak-gerak sehingga Rosa mesti memegangnya kuat.“Mungkin dia mimpi buruk. Coba bawa keluar, mungkin bisa tenang kalau lihat keadaan di luar.” Sang Kepala keluarga menyarankan.Rosa mengangguk, “Ya udah.” Katanya dan membawa si bayi yang masih mengamuk keluar dari kamar. Sang Nyonya menutup pintu kamarnya lagi agar sang Suami dapat beristirahat kembali.Kamar yang ditempati pasangan senior tidak berada di lantai atas, melainkan di lantai bawah. Jadi, begitu keluar kamar langsung berhadapan dengan ruang tengah. Rosa membawa Bian ke sana berharap si gembul dapat tenang.“Hus, hus, hus ...,” Sang Nyonya mengayun-ayunkan Bian yang masih menangis. Menunjuk-nunjuk beberapa objek untuk menarik perhatian si bayi. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.Bayi gembul tersebut tidak mau melihat dan terus menangis. Ditambah tak mau diam, terus bergerak. Membuat Rosa kepayahan.Tangis Bian yang kencang menyusup ke telinga seorang perempuan yang terlelap di kamar. Insting membangunkannya. Dengan sigap dia bangkit, keluar dari kamar dan mencari sumber keributan di dini hari ini. Tangis bayi kecilnya yang menggema dalam rumah menuntun dia ke ruang tengah. Bia melihat sang Nyonya yang kesusahan menenangkan Bian.Dari tangis keras tersebut, Bia tahu ..., dia mengerti, jika Bian mencari dirinya. Tangis yang sudah dia hapal.Pelan-pelan dia mendekati sang Nyonya rumah, “Permisi, Nyonya ....”“Oh, Bia. Kamu kebangun karna denger suara Bian ya? Maaf ya, kayaknya Bian mimpi buruk jadi dia nangis begini,” Rosa berujar lembut. Meski si gadis muda adalah salah satu yang akan bekerja padanya, tetap rasanya tak enak telah mengganggu tidur orang lain.Bia cuma mengangguk dan memandang si bayi yang terus berontak dalam gendongan sang Nyonya. Dia bukan bermimpi buruk. Ingin sekali mengambil alih Bian dan memeluk si gembul tersebut. Tapi, Bia tak ingin bersikap tak sopan. Tapi ..., “Um, Nyonya, boleh saya yang gendong Bian?”Rosa sedikit terperangah mendengar permintaan perempuan–yang sekarang kita sebut saja si gadis biasa–itu, “Tapi ini Bian lagi rewel, loh. Saya aja kesusahan.”“Nggak apa-apa, Nya.”***Jadi ... apakah semua berhubungan? Si bungsu Bimantara yang tiba-tiba mencari informasi mengenai seorang perempuan bernama Rabia yang setelah ia telusuri ternyata adalah seseorang yang pernah bekerja di hotel yang dihanguskan oleh Bimantara, tak lama hamil dan melahirkan bayi. Kemudian Kemal yang baru saja melihat dua orang tokoh utama kita bersama ditambah seorang bayi.Apakah bayi yang digendong oleh si gadis adalah cicit Bimantara yang juga merupakan bayinya?Tapi, bagaimana caranya semua berkaitan? Adrian sepertinya tak tahu-menahu soal si bayi dan si gadis. Lalu siapa ayah dari cicit Adam yang juga adalah bayi Rabia? Apakah Adnan? Entah. Juga, ada satu hal lagi yang terpikirkan oleh pemuda berwajah kemayu ini. Yaitu, para Bimantara sudah mengetahui kebenaran si bayi dan Bia. Sebab, mereka tak mungkin membiarkan si gadis berkeliaran di sekitar Bimantara jika tidak memiliki keterikatan.Entah benar, entah salah.Kemal tidak berani memutuskan. Cuma asumsi yang dia pikirkan rasanya b
“Oh!”Bia di tempatnya menelan ludah. Memperbaiki posisi si gembul dalam pangkuannya. Mencari kegiatan untuk menyalurkan rasa gugup yang mendera.Dokter Sammy mengukir senyum canggung. “Um ... imunisasinya berjalan lancar. Bayinya juga sehat. Mungkin nanti sedikit demam karena reaksi dari vaksin. Jadi, nggak apa-apa.”Si Biman muda mendengarkan. Kali pertama Bian dibawa imunisasi ia tidak tahu. Bagaimana imunisasi dilakukan pun ia buta. Banyak hal yang sebenarnya belum ia tahu perihal merawat bayi. Tak cuma kebutuhan di rumah; ada kebutuhan lain yang perlu diperhatikan–dan semua itu dilakukan oleh si pengasuh seorang diri.Jadi apa guna dirinya sebagai ayah Bian?Adrian merasa useless. Ayah hanya suatu status yang dia dapatkan ketika si gembul hadir tanpa bisa dia terapkan. Bagi si bayi mungkin dia bukanlah sosok yang penting. Mana Bian pun sangat lengket dengan si pengasuh seakan orang tua sebenarnya si gembul ialah si gadis. Ujung matanya melirik ke samping untuk melihat gadis berpa
Adrian Bimantara; tokoh utama kita yang berwajah tampan, tetapi sayang parasnya sangat berbanding terbalik dengan mimik muka yang selalu datar mirip pantat teplon baru saja tiba di depan sebuah gedung berlantai dua yang tidak terlalu besar. Gedungnya di cat putih khas gedung-gedung Rumah Sakit pada umumnya. Ya, dia baru sampai di halaman Rumah Sakit yang diberitahukan oleh sopir pribadi ayahnya mengenai keberadaan si buah hati serta si pengasuh.Entah ada urusan apa sampai mereka ke Rumah Sakit, mana jaraknya cukup jauh dari kota. Si Bimantara muda saja membutuhkan setengah jam, apalagi kalau pakai kendaraan umum. Pasti lebih lama.Dia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus roda dua, mematikan mesin lalu keluar dari kendaraan pribadinya. Tak lupa dikunci lagi. Adrian berjalan masuk ke dalam gedung Rumah Sakit. Tapi, baru kakinya menginjak lobi, pemuda ini ingat sesuatu. Bagaimana dia menemui si pengasuh di sini? Adrian tidak tahu si pengasuh berada di mana, sedang apa dan menemui sia
Adrian Bimantara adalah tipikal pria tepat waktu. Benci keramaian dan senang menyendiri. Tipe-tipe introvert, sih. Ah, tapi bukan itu yang mau kita bahas. Bimantara muda tersebut adalah seseorang yang selalu on time; on time sampai di kantor dan on time pulang bekerja. Jadi, saat jam menunjukkan jam pulang–biasanya sekitar pukul lima sore–maka dia akan membereskan semua pekerjaan–menyisihkan yang mesti dilakukan besok atau yang memiliki tenggat waktu lebih lama. Bukan tak mau bekerja keras. Tetapi, buat apa membuang waktumu di saat pekerjaan selesai dan diberikan kelonggaran untuk pekerjaan lainnya? Pun tak cuma badan yang butuh istirahat, otak yang digunakan saat bekerja juga perlu tenang. Karena dia memang tidak suka kelayapan, maka tujuan utama pria tampan minim ekspresi ini adalah rumah; kediaman Bimantara. Sewaktu sampai di basemen lalu berpisah dengan beberapa staf yang satu lift dengannya, lelaki tinggi itu berjalan ke arah ia memarkirkan mobilnya. Namun, langkah Adrian ter
“Erm, Tuan.”Yang mau Bia sampaikan bukannya hal aneh, tapi si gadis kelihatan bingung.“Bilang aja,” ujar si Tuan Besar memaklumi gerak-gerik gadis di depannya. Ya, gadis sederhana tersebut punya kepribadian sangat sungkan terhadap orang lain. Meski mungkin yang dikatakan atau dilakukannya bukan sesuatu yang bisa membuat rasa tak enak di hati.Bia mengambil sesuatu dari saku celananya dan menyodorkan pada sang Kepala keluarga. “Sudah waktunya imunisasi Bian, Tuan.”“Kukira kenapa. Kau membuatku berpikir ada sesuatu yang buruk.” Agam menerima buku yang disodorkan si gadis. Buku catatan ibu dan anak. Membuka dan melihat halaman terakhir. Dia ingat di sana memang ada tertulis jadwal selanjutnya dan benar tanggal yang tertera adalah tanggal hari ini. “Aku akan minta Danu untuk antar kamu.”Si gadis menggeleng. “Boleh saya pergi sendiri, Tuan? Saya janji bakal kembali sebelum malam.” Teringat kejadian waktu lalu, Bia tidak berani membawa si gembul sampai malam. Dia benar-benar akan kembal
Bia terharu. Sungguh. Dia tak mengira. Sang Bimantara senior bahkan mengingatnya dan meminta si photographer untuk mengambil gambarnya. Memegang erat gambar yang ukurannya tidak besar–Agam sengaja meminta di cetak untuk ukuran dompet supaya si gadis bisa menyimpannya tanpa membuat orang lain curiga–lalu di dekatkan dengan dada.Gambar ini akan menjadi penenangnya saat rindu menyerang dan tak bisa bertemu putranya. Apalagi ketika dia keluar dari kediaman Bimantara. Bia mesti mempersiapkan batinnya agar tidak merengek nantinya.“Sama-sama.”Agam sudah menduga jika Bia akan senang, tapi tak memperkirakan si gadis bakal menunjukkan muka sendu kemudian. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu, tapi ia pun akan berusaha agar Bia tidak berpisah dengan putranya. Dia mengambil sesuatu lagi dalam laci. Kali ini menyerupai buku yang sekali lagi diserahkan pada si pengasuh.“Saya udah pernah bilang sama kamu, sekalipun kamu nggak minta apa pun, ini adalah hasil kerja keras kamu.”Bia menatap ben