Setelah berhari-hari dibujuk Berliana dan Mama, Safira akhirnya mau untuk memeriksakan diri ke dokter.
"Ayo, Lian kita berangkat," ajak Mama yang sudah siap mengenakan gamis dan kerudung warna coklat tua. "Mana, Kakakmu?" tanya mama melirik ke kanan dan kiri mencari Safira.
"Kayaknya masih di kamar, Ma," jawab Berliana yang tak kalah rapinya mengenakan kerudung dan gamis hijau pastel.
"Lha, gimana ini, bukannya harusnya dia udah siap?!" Papa yang yang juga sudah rapi dengan suara agak meninggi wajahnya tampak sedikit kesal.
"Sabar, Pa," Mama mengusap-usap dada papa. "Mohon, Pa. Kejadian kemarin jangan terulang lagi. Kita udah sepakat kan?" ucap mama mengingatkan.
Diingatkan demikian, Papa membayangkan saat ia dan istrinya keluar dari kamar Safira. Di kamar mereka berdebat panjang lebar.
Papa diingatkan, dalam kondisi Safira yang masih labil, tidak bijak jika disalahkan. Maman juga mengingatkan Papa agar lebih sabar, demi menjaga kondisi psikologis Safira biar tidak makin tertekan.
Papa masih mengingat pesan mama agar mendukung Safira agar bisa menghadapi pulih dari trauma yang kini tengah dihadapinya.
"Baik, Ma," kata Papa mencoba memendam emosi negatifnya. "Makasih, udah ngingetin," lanjutnya dengan nada yang tenang.
Papa sudah menyadari kesalahan yang dilakukannya, yaitu menyudutkan Safira. Saat ini dia belum sempat meminta maaf. Dia masih mencari waktu yang tepat untuk mendekati putri pertamanya itu.
"Lian Sayang, kamu gih yang samperin Kak Fira," pinta Ayah.
"Oke, Pa. Aku coba," ucap Berliana langsung melangkah menuju kamar Safira.
Ketika sudah masuk kamar kakaknya, Dia pelan-pelan membujuk Kakaknya yang masih menutup tubuhnya di balik selimut.
"Kak, Mama dan Papa udah nunggu," Berliana berkata perlahan, Dia memegangi pundak Kakaknya, "Ini demi kebaikan Kakak. Ayo Kak, lekas."
"Aku takut, Lian," keluh Safira. "Aku takut...."dia mengucap dua kata itu berulang-ulang.
"Aku paham, Kak," ucap Berliana. "Tapi ini penting, biar kita sekeluarga bisa terus support Kakak. Ini dilakukan demi Kakak," Berliana merangkul Kakaknya.
Kemudian sang adik menggenggam tangan kakaknya kuat-kuat. "Apapun yang terjadi, insya Allah kita akan melalui ini semua sama-sama, Kak."
Ucapan adiknya sedikit membuatnya lebih tenang sekalipun ketakutan di jiwanya masih begitu mendominasi.
Papa tiba-tiba muncul dari pintu kamar yang sedari tadi masih terbuka. Perlahan dia menghampiri kedua putrinya.
Menyadari kehadiran papa, Safira memalingkan muka. Hatinya masih tak terima mengingat beberapa hari kemarin dia disudutkan. Sama sekali dia tak mau memandang papanya. Papanya juga paham, tandanya berarti Safira masih marah padanya.
Papa berpikir, apakah yang bisa ia lakukan dalam kondisi tersebut. Dia memandangi, kedua putrinya secara bergantian. Saat memandangi Berliana, dia melempar kode agar membujuk lagi kakaknya.
"Ayo, Kak. Kita berangkat..." Berliana beranjak sambil memegangi tangan kakaknya. Tak lupa dia singkirkan selimut yang masih menutupi tutuh kakaknya.
Menyaksikan Safira yang masih mengenakan baju tidur, Papa berpikir lagi. Masa iya, ke dokter berpenampilan seperti itu.
Papa melangkah mendekati lemari pakaian. Dia segera membuka pintu lemari. Dia mengambil beberapa potong pakaian atas dan bawahan. Lalu membawanya ke hadapan Safira.
Safira yang masih acuh pada papanya, kini bersitatap dengannya. Dia merasa ganjil, kok papanya tiba-tiba berubah begini, tidak seperti yang sebelumnya.
"Nak, pilih dulu mana koleksi pakaian yang kamu suka," kata Papa. "Lian, kamu bantuin kakakmu ya," papa mengedipkan matanya ke arah Berliana.
"Ok, sip, Pa," Berliana membalas dengan membentuk simbol welldone dengan jemari tangan kanannya.
"Papa tungguin kamu di depan pintu ya," ucap papa sambil melangkah keluar. Dia menutup pintu kamar putrinya.
Beberapa menit kemudian, Safira dan Berliana membuka pintu.
Papa menyaksikan Safira sudah siap dengan mengenakan salah satu pakaian yang tadi dia pilihkan. Dia mengenakan blouse biru dengan bawahan rok panjang berwarna senada..
Namun ada yang berbeda. Padahal, barusan tadi papa merasa tak memilihkan kerudung untuknya. Safira mengenakan kerudung pashmina panjang.
Papa teringat, bukannya pashmina itu pernah dia hadiahkan saat papa pulang umrah tahun lalu?
Sekalipun kerudung itu belum sempurna menutupi kepala dan bagian dada Safira, hanya dililit sembarang, masih memperlihat rambutnya, namun pemandangan itu membuat pangling sang papa.
Papa menatap Safira agak lama. Luar biasa bahagia melihat penampilan putrinya.
"Ayo, masuk mobil, Mama dari tadi udah nunggu di mobil," ajak ayah, sambil meraih tangan Safira.
Safira lagi-lagi merasakan sesuatu yang beda. Papa lebih hangat dan perhatian dari sebelum-sebelumnya. Safira tidak menolak, dia menurut mengikuti langkah papanya sembari digandeng Berliana.
***
Usai mengikuti rangkaian pemeriksaan dokter. Safira dan mama duduk menunggu di ruangan dokter. Sementara Berliana dan papa, duduk di ruang tunggu rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, dokter yang ditunggu datang. Dia duduk berhadapan dengan Safira dan mama yang sedari tadi tampak tegang.
"Jadi bagaimana hasilnya Bu Dokter?" tanya mama, sedikit gusar.
Kemudian dokter itu menjelaskan bahwa memang telah terjadi kerusakan pada hymen (selaput dara).
Mendengar penjelasan itu, Saifra menunduk. Ya Tuhan, apakah masih ada masa depan untukku?
Lantas dokter itu menyerahkan amplop yang berisi hasil pemeriksaan itu.
"Saya turut berduka atas kejadian ini," ucap dokter. "Semoga hasil pemeriksaan ini bisa ditindaklanjuti dan bisa dijadikan sebagai bukti untuk menyeret pelaku biadab itu," jelas dokter berempati.
"Iya, terima kasih, Dok," ucap Safira. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan berdiam diri, membela hak-haknya sebagai seorang wanita. Setan itu harus mendapatkan ganjaran setimpal sesuai perbuatannya, tekad Safira.
Mama dan Safira keluar dari ruangan dokter. Saat keluar, papa dan Berliana yang dari tadi menunggu segera menghambur.
"Yuk langsung, pulang. Ngobrolnya nanti di dalam mobil aja," ucap mama.
Papa dan Berliana mengangguk. Keduanya menatap Safira yang dari tadi lebih memilih menunduk.
"Okey... kalau begitu, kalian jalan sebentar ke depan, Papa ke parkiran. Kita ketemu di depan ya."
Papa berjalan sangat tergesa-gesa menuju parkiran. Dia segera melajukan kendaraannya, menghampiri tiga wanita yang sudah menunggu di bagian depan, tak jauh dari gerbang rumah sakit.
Setelah semuanya lengkap, mobil kembali melaju.
"Ma, Pa... aku sudah tak gadis lagi," tangis Safira pecah. Papa dan mama bisa menyaksikan raut kesedihan mendalam di wajah putrinya melalui kaca spion dalam. Fokus papa terpecah, tetap awas memperhatikan jalan, dan sesekali mengintip Safira.
"Papa nggak akan biarkan penjahat itu lolos!" suara papa geram.
"Kita harus ke kantor polisi sekarang juga," timpal mama.
"Tapi, Pa. Sekadar bukti dari dokter itu apa cukup?" tanya Berliana.
Mama dan Papa saling pandang. "Maksud kamu harus ada bukti lain, bukti apa kira-kira?" tanya mama.
Berliana mengusap-usap pundak Kakaknya yang masih sesenggukan. "Kak, mungkin kakak punya bukti lain yang bisa melengkapi."
"Malam itu aku tak bisa melawan karena pengaruh obat," kata Safira. "Tapi, aku sempat memfoto wajah iblis itu. Aku masih menyimpannya. Ada di hape. Aku foto wajah dia dan juga plat nomornya..."
Safira sangsi apakah itu bisa menjadi bukti kuat. "Itu bisa dijadikan bukti?"
Semua masih tertegun.
"Kita coba saja. Papa ingin dia menanggung hukuman setimpal atas perbuatan bejatnya!"
Papa mengubah rute arah mobilnya. Dari yang tadinya mau pulang langsung ke rumah, kini kendaraan itu melaju menuju kantor polisi.
"Sini, Papa pengen lihat wajah penjahat itu?"
Safira mengambil hapenya. Dia membuka galeri dan menekan salah satu gambar. Lalu dia menyerahkannya kepada papanya.
Papa mengamatinya dengan saksama. Rasanya dia pernah melihat wajah itu. Dia mencoba mengingat-ingat.
"Ma, coba liat..." kata papa seraya mendekatkan foto itu ke arah istrinya. "Pa, bukannya dia ini putra bungsu Pak Ustaz Reza ya, siapa namanya?"
"Sagara..." jawab Papa, "Apa jangan-jangan mirip," lanjutnya.
Mendengar nama lelaki itu disebut, Safira terhenyak. "Papa kok bisa tahu namanya?"
"Kan Ustaz Reza itu ustaz Favorit Papa," jawab Papa. "Astagfirullah, bisa-bisanya anak itu... " papa tak bisa berkata-kata lagi. Kerongkongannya tercekat!
Bersambung...
Butuh dukunganmu biar cerita ini bisa dilanjutkan.. Makasih banyak supportnya ya...
"Awwww!"Saking kencangnya, teriakan itu terdengar hingga ke lantai bawah, di mana kamar kedua orang tuanya berada.Tepat tengah malam, Sagara terbangun oleh mimpi buruk. Keringatnya bercucuran memenuhi seluruh tubuhnya.Dia memegangi kepalanya yang terasa pening dan berat.Dalam mimpi, dia melihat dirinya terlempar ke sebuah jurang. Di jurang itu dia disambut oleh lahar dan binatang-binatang aneh yang mengerikan.Kenapa mimpi mengerikan ini selalu berulang? hatinya bertanya dalam kegundahannya.Sungguh, dia belum pernah merasa jiwanya tak tenang seperti yang dialaminya seka
Kenapa ini semua harus menimpa diriku? hati Safira bertanya-tanya. Sejak peristiwa itu, dia sering menangis saat seorang diri.Dalam kesendiriannya, Safira termenung. Sekalipun Sagara kini sudah meringkuk di penjara, namun bagaimanapun luka yang sudah dihujamkan ke dalam jiwanya masih membekas. Jiwanya belum tenang karena kesuciannya takkan bisa kembali lagi.Apa ini semua salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa mimpi-mimpi indahku yang sudah kuukir kini berubah menjadi mimpi buruk, lirih Safira.Bagaimana bisa tenang, kesucian yang selama ini dia jaga, hanya dipersembahkan untuk suaminya nanti, malah dirampas begitu saja.Mimpi indah itu telah pergi. Yang menemani ku kini mimpi-mimpi buruk. Aku sudah tak punya masa depan lagi, ungkap hatinya.Ini semua salahku, seharusnya hari itu, aku nggak pergi. Mungkin jika tak pergi, semua ini takkan terjadi, ungkap hatinya lagi, cenderung menyalahkan dirinya sendiri.Safira meraih ponsel pinta
“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap n
“Kak, tolong buka, Kak!” suara Berliana terdengar lebih tinggi saat mengetuk-ngetuk kamar Safira.Dia sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu, namun tak kunjung ada respon dari kakaknya.Dia mengkhawatirkan kakaknya, sementara untuk bisa masuk ke kamar pintunya terkunci.“Kak, tolong buka, Kak,” ucap Berliana lagi. Dia mulai cemas. Duuh, Kak, moga-moga aja nggak terjadi apa-apa sama kamu, gumam Berliana.Dari dalam sebenarnya Safira dapat mendengar dengan jelas suara adiknya. Namun dia merasa enggan, sama sekali tak berminat membuka pintu kamar dan menampakkan diri. Terlebih dengan kondisi saat ini, penampilan rambutnya sudah tak jelas.Dia memandangi dirinya di depan cermin, dengan potongan rambut yang sudah pendek.Namun suara adiknya di luar juga masih terus terdengar. Adiknya tak menyerah.Safira berhenti memandangi dirinya di cermin. Dia melangkahmendekati pintu. Akhirnya terpaksa, dia membuka kun
“Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan,” Safira mengawali. “Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben.”“Ya, aku sepakat,” jawab Benua lugas.“Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?” tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.“Berita viral apa? Maksud kamu apa?” tanya Benua polos. Dia memang belum paham.Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.“Ben, sebelumnya aku mau m
Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.Sungguh beberapa hari i
Tiba di kantor polisi, Safira dan ayahnya mengisi buku tamu. Tak lama kemudian keduanya menunggu di ruang besuk.Didampingi seorang sipir, Sagara muncul dengan wajah tertunduk. Sama sekali dia tak berani menatap Safira dan ayahnya.Sementara itu, Safira dan ayahnya tak berkedip sedikit pun memandangi Sagara. Amarah ayah Safira bergolak. Terlebih lagi Safira. Ingin sekali dia memukul-mukul lelaki yang telah menodainya sampai habis tak tersisa.Ayah Sagara yang duduk, dia segera bangkit. Dan langkah cepat, dia memburu Sagara.“Anak kurang ajar!” pekik ayah Safira. Dia menampar dan memukul Sagara berkali-kali. Apa yang dilakukan oleh ayah Safira dihalangi oleh sifir. Sayangnya sifir pun hampir kewalahan menahan kekuatan ayah Sagara yang didorong karena amarahnya yang meledak-ledak.Sagara sekuat mungkin dia menahan rasa sakit, tanpa mengelak sedikit pun. Di
“Mohon Bapak tidak salah paham. Dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ustaz Reza.“Tenang, Pa...” ibu Safira meremas jemari suaminya. “Nggak ada salahnya kita dengerin dulu penjelasan Pak Ustaz.”“Silakan, mau menjelaskan apa?” kata ayah Safira.“Saya bisa paham kondisi Bapak saat ini, karena saya punya anak perempuan. Saya pun pasti sedih dan marah bila anak perempuan saya mengalami kondisi yang tidak seharusnya terjadi seperti yang dihadapi Nak Safira saat ini,” kata Ustaz Reza.“Saya saya sangat terpukul manakala yang melakukan kejahatan atas Nak Safira adalah anak saya. Seandainya saya bisa melaksanakan hukuman yang sesuai syariat Islam atas kasus penodaan terhadap perempuan, saya rela dan bersedia untuk menghukum anak saya saya sendiri dengan hukuman mati biar menjadi pelajar bagi yang lain agar tidak lagi merendahkan seorang wanita.”“Dan sebenarnya Bapak sekeluarga