Setelah hari itu, Grace tak pernah bertemu lagi dengan Rain. Dari cerita Aska, Grace tahu bahwa Rain adalah sahabat sepupunya. Tapi dia tak berani bertanya lebih jauh.
Hari ini rumah terasa sepi. Paman Alan dan Bibi Elsa sedang ke Bali untuk urusan bisnis. Aska belum pulang sejak kemarin. Sebenarnya Grace masih punya sepupu lain namanya Alina—adik Aska. Tapi gadis itu tak menyukainya.
Langit sore tampak cerah dan Grace memutuskan untuk pergi ke taman labirin di belakang rumah. Taman itu luas dan penuh bunga. Tempat paling tenang yang bisa dia datangi.
Angin lembut membawa aroma manis bunga-bunga. Grace menarik napas dalam dan tersenyum tipis.
"Grace?" Grace tertegun melihat orang yang barusan memanggilnya.
“Kita belum sempat berkenalan, kan? Aku Rainhard Gibraltar. Panggil saja Rain,” ujarnya.
“Ah... aku Grace.” Grace terdiam, “Grace Kannelite,” lanjutnya salah tingkah.
Rain tersenyum sambil menatap Grace lekat-lekat. “Sepertinya kamu baik-baik saja sekarang.”
"Ya, berkatmu. Terima kasih," ucap Grace cepat.
Rain tidak langsung membalas, matanya sibuk mengamati Grace dengan tatapan penuh arti. Aska sudah banyak bercerita tentang Grace dan Rain cukup memahami situasi gadis di hadapannya ini. “Syukurlah kalau begitu,” ujarnya kemudian, “Tapi apa kamu sering ke sini?” tanyanya kemudian.
"Kadang-kadang," jawab Grace singkat. Jujur saja dia sulit menatap wajah Rain karena hal yang dia sendiri juga tidak mengerti.
"Boleh duduk disini? Aku sedang menunggu Aska, tapi sepertinya dia akan datang terlambat,” jelas Rain.
Grace mengangguk. Jantungnya mulai berdebar. Dia sedang duduk di bangku taman, dan Rain ikut duduk tepat di sampingnya.
"Hei, kamu suka gula kapas?" tanya Rain, mencoba mencairkan suasana yang terasa canggung.
Grace mengangguk pelan.
Rain membuka tasnya dan mengeluarkan sebungkus gula kapas merah muda.
"Ini buat kamu."
Wajah gadis itu terpana melihat gula kapas di tangannya. “Ini... sangat lembut,” gumamnya.
Rain tersenyum kemuadia bertanya dengan rasa ingin tau. "Belum pernah coba sebelumnya?"
Mata Grace menerawang. "Orang tuaku dulu protektif, termasuk soal jajanan seperti ini."
Rain mengangguk, tapi tak bertanya lebih jauh. Sejenak mereka hanya duduk diam.
Kenangan menyelinap pelan ke dalam benak Grace. Dalam waktu kurang dari setahun, hidupnya hancur. Dia kehilangan satu per satu anggota keluarganya. Dimulai dari ayahnya kemudian ibunya yang tak sanggup menahan duka, juga ikut menyusul. Lalu kedua kakaknya yang juga pergi dengan cara yang tragis di tangan orang yang mereka cintai.
Sejak hari itu Grace tidak punya siapa-siapa lagi dan luka kehilangan masih membekas nyata di hatinya.
“Grace.” Suara Rain yang memanggil namanya dengan lembut berhasil menariknya dari kenangan buruk yang tiba-tiba memenuhi isi kepalanya.
“Iya, kenapa?” tanya Grace.
Rain tersenyum dan berkata, "Kalau kamu suka, aku bakal sering bawain."
“Terima kasih,” ujar Grace pelan.
“Iya sama-sama. Sepertinya Aska sudah kembali, apa kamu mau kembali ke rumah? Sebentar lagi akan gelap,” ajaknya diikuti anggukan Grace. Mereka pun berjalan beriringan kembali ke rumah. Sepanjang jalan, Rain terus mengajak Grace berbicara, sesekali dia bercerita tentang hal-hal lucu yang membuat Grace tidak bisa membendung tawanya.
********
Hubungan Grace dan Rain semakin dekat. Hampir setiap hari Rain selalu datang dengan membawa gula kapas yang begitu digemari Grace. Taman labirin adalah dimana mereka selalu berbagi cerita.
“Grace.” Grace menoleh ke sumber suara. Terlihat Rain yang sedang berjalan ke arahnya. tampak kepayahan, napasnya tidak beraturan.
“Tersesat lagi?” goda Grace.
“Taman ini selalu berhasil membuatku bingung.” Rain duduk di samping Grace, lalu merebahkan kepalanya di bahu gadis itu. “Apa kamu sudah lama menunggu?” tanya Rain.
“Tidak juga.” Grace menjawab singkat.
Rain melirik Grace. “Tadi aku bertemu Alina,” ujarnya pelan.
“Oh ya? apa yang dia katakan?” tanya Grace, tampak tertarik.
“Tidak ada yang penting.”
Grace berdecak, kesal. Kalau tidak ada yang penting kenapa dibahas? “Kamu bawa gula kapasnya?” tanya Grace pada akhirnya.
“Tentu. Itu tiketku untuk bisa menemuimu.” Rain kemudian mengelurkan sebuah gula kapas besar dari dalam tasnya dan memberikannya pada Grace.
Grace menerimanya dengan senang dan langsung menyantapnya. Rain tersenyum geli mempehatikan tingkah Grace.
“Apa gula kapas seenak itu sampai aku diabaikan?”
Grace tidak memedulikan sindiran Rain, dia hanya fokus memakan gula kapas yang terasa begitu lembut dan manis.
Rain tersenyum. “Aku juga ingin tahu rasanya.”
“Mau?” tanya Grace.
“Aku mau coba dengan caraku sendiri,” bisiknya.
Sebelum Grace sempat bertanya, bibir Rain sudah menempel lembut di bibirnya. Ciuman itu manis, lembur, dan memabukan. Lidahnya mengajak Grace membuka diri, mencicipi manis di balik bibir gadis itu.
Grace membeku. Jantungnya berdetak tak karuan dan dia memilih memejamkan mata, menikmati ciuman Rain. Setelah beberapa saat, Rain menghentikan ciumannya, memberikannya kesempatan untuk bernapas.
Rain membelai pelan pipi mulus Grace membuat gadis itu membuka mata dan melihat mata biru Rain yang sedang memandangnya penuh arti.
“Grace,” panggil Rain dengan suara seraknya. Tangannya perlahan mengelus lembut bibir Grace yang membengkak.
Bibir Grace terasa kelu, dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya diam menunggu penjelasan Rain.
Rain menatap Grace. “Grace... ku rasa aku mencintaimu,” ucapnya serak.
Satu kata yang membuat napas Grace tercekat. Dunia yang tadinya hangat, mendadak terasa dingin dan sesak.
Grace langsung berdiri. “Maaf,” bisiknya lirih. Lalu ia berlari, menjauh sekuat tenaga.
Dia tak berani menoleh. Tak ingin Rain melihat air matanya.
Baginya, cinta adalah sumber luka dan awal dari kehancuran. Dia tidak mau berakhir tragis seperti ibu dan kakak-kakaknya karena cinta bukanlah akhir yang Bahagia.
Rania menatap Grace dengan tatapan syok, dia sama sekali tidak berharap untuk mendengar jawaban seperti itu dari Grace. Raut wajah Grace yang tampak serius jelas-jelas menunjukkan bahwa Grace sama sekali tidak bercanda dan apa yang dia katakan barusan adalah sebuah kebenaran.Rania bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang penuh rasa antisipasi. Sebuah pemikiran yang konyol tiba-tiba terlintas begitu saja di benaknya. “Grace, berapa usia kandunganmu?” tanya Rania dengan ragu-ragu.Ada jeda sejenak sebelum Grace menjawab dengan suara yang mengambang seolah dia juga tidak begitu yakin dengan jawabannya sendiri. “Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin usianya kurang dari empat minggu.”Tubuh Rania menegang kaku mendengar jawaban Grace. Dia ingin bertanya lagi, namun mulutnya malah tertutup rapat. Pemikiran yang tadinya tampak konyol sekarang tiba-tiba terasa masuk akal.“Grace, ceritakan padaku semuanya! kenapa h
Grace tapak gelisah, entah sudah berapa kali dia menarik napas panjang lalu memnghembuskannya lagi untuk menenangkan dirinya.Sudah dua hari berlalu sejak insiden mual tiba-tiba di restoran Faldi. Sampai detik ini, rasa mual itu tak kunjung hilang sepenuhnya dan pikiran buruk pun mulai memenuhi kepala Grace.Dan baru sekarang, Grace berani untuk melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sejak rasa mual itu datang.Dengan tangan gemetar, dia membuka bungkus testpack. Matanya tak berkedip saat melihat strip putih kecil itu menyerap cairan di atasnya. Waktu seolah berjalan lambat dan Grace merasa dia seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri.Beberapa menit kemudian…Dua garis merah.“Ya Tuhan!” Grace sontak terduduk lemas di lantai kamar mandi. Dinding dingin menopang tubuhnya yang gemetar. Napasnya terasa berat."Aku hamil," bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.Tiba-tiba rasa mual datang lag
Faldi Arviano Salah satu teman dekat Grace yang berdarah campuran Indonesia-Thailand. Ibunya adalah orang Thailand sedangkan ayahnya adalah orang Indonesia.Grace mengenal Faldi lewat Rania saat masih menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di Bandung. Kemudian mereka bertiga akhirnya menjadi teman dekat sampai detik ini. Walaupun Grace dan Faldi sering ssekali berbeda pendapat.Faldi mengambil jurusan kuliner. Sehingga begitu lulus, dia langsung terjun ke bidang kuliner dan membagun restorannya sendiri. Karena terlahir di keluarga kaya, Faldi sering sekali membeli restoran atau kafe yang sudah hampir bangkrut, kemudian dia akan mendesain ulang konsep dari restoran atau kafe tersebut sehingga lebih menarik dan bisa mendatangkan pelanggan yang lebih banyak lagi.Salah satunya adalah restoran yang didatangi Grace dan Rania saat ini. Sekitar tiga bulan lalu, restoran ini hampir tutup karena sama sekali tidak ada pelanggan yang datang. Tapi, begitu Faldi
Grace terbangun lagi dengan mimpi buruk. Lagi dan lagi, dia merasa sejak kepulangannya dari Bali satu bulan lalu, hanya kegelisahan yang menguasai hatinya. Tidak terhitung sudah berapa banyak mimpi buruk yang dia alami.Grace menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia terus mengulang hal itu sampai merasa lebih tenang.Setelah cukup tenang, Grace memutuskan untuk segera bersiap-siap. Hari ini dia punya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi lebih baik jika dia bergegas ke kantor agar bisa mulai bekerja.Tak butuh waktu lama, Grace kini sudah duduk dengan nyaman di dalam taksi yang akan membawanya ke kantor tempat dia bekerja.Jalanan kota Bandung cukup sepi pagi ini dan hanya butuh beberapa menit, taksi yang ditumpangi oleh Grace berhenti di depan sebuah gedung tinggi yang merupakan gedung kantor Grace. Setelah membayar, Grace segera keluar dari taksi.Seperti biasa, saat Grace memasuki gedung kantor, pa
Rain terduduk di atas sofa dengan tatapan tajam yang mengarah ke pintu keluar. Sampai akhir, Grace tetap menolak pernikahan yang dia tawarkan. Wanita itu bersikeras memintanya untuk melupakan hubungan satu malam di antara mereka.Rain ingin mendesak Grace lebih jauh agar mau mempertimbangkan tawarannya tersebut, tapi melihat cara Grace menatapnya, Rain jadi tidak tahu harus berkata apa atau harus bersikap bagaimana. Sama seperti delapan tahun lalu, tatapan mata Grace membuat Rain membeku dan tidak bisa mengerakkan kakinya untuk menyusul wanita itu dan menahannya agar tidak pergi.“Grace.” Rain mengucapkan nama Grace dengan nada lirih sarat akan keputusasaan.“Kenapa sangat sulit sekali untuk mencegahmu agar tidak pergi kemana-mana,” gumam Rain.Matanya terpejam rapat dengan perasaan berkecamuk yang memenuhi hatinya.***Grace masuk ke dalam kamarnya yang berseberangan dengan kamar Rania. Dia menutup pintu dan berjalan tergesa-gesa untuk mengambil koper di samping lemari, setelah itu d
Grace bisa merasakan kepalanya mulai berdenyut sakit. Tangannya terangkat memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit. Rain benar-benar sudah tidak waras, lelaki itu seperti sakit jiwa.Bagaimana bisa Rain mengatakan bahwa dia akan menikahi Grace dengan santai tanpa beban, seolah apa yang dia katakan adalah hal wajar yang sangat biasa dan memang sudah seharusnya dilakukan.Grace menghembuskan napas panjang, harus ada yang bisa berpikir jernih di antara mereka saat ini. Jika Rain tidak bisa, maka Grace yang melakukannya.“Jangan bercanda, Rain.” Grace berkata dengan tegas, matanya menatap Rain dengan tajam.“Aku tidak bercanda Grace,” balas Rain dengan cepat. Dia melemparkan tatapan serius ke arah Grace, berharap Grace percaya bahwa saat ini dia sedang tidak main-main dan apa yang barusan dia katakan bukanlah sebuah candaan.Napas Grace mulai tidak beraturan. Dia berusaha untuk mengendalikan dirinya, membahas tentang perni