Suara stiletto Grace menggema di lorong. Langkahnya luwes dengan postur tubuh yang proporsional, ditambah dengan wajah cantik yang mempesona, layak membuat semua orang menoleh. Sesekali Grace membalas sapaan yang datang dengan senyuman tipis.
Dia masuk lift dan menekan tombol delapan di panel. Begitu pintu tertutup, Grace menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. Rapat, revisi desain, dan segala detail kecil untuk persiapan Jakarta Fashion Week dua bulan lagi membuat kepalanya penuh.
Suara ponselnya yang berdering nyaring membuyarkan lamunannya. Grace membuka mata, merogoh tasnya, dan melihat nama Aska tertera dilayar ponselnya.
“Halo Aska?”
“Hai Grace, Maaf ya aku di jalan jadi agak bising.” Suara sepupunya itu terdengar di seberang.
“Ada apa? kalau kamu sibuk, hubungi aku nanti saja,” balas Grace.
“Aku di Bandung sekarang. Bisa kita bertemu sebentar? ada yang ingin aku bicarakan.”
Grace menghela napas. “Aku harus ketemu klien jam dua. Tapi kalau sebentar saja, boleh.”
“Janji, cuma sebentar,” ujar Aska cepat.
“Baiklah.” Grace langsung menutup telepon tanpa menunggu balasan.
Beberapa menit kemudian, lift berhenti di lantai delapan. Dia keluar dan langsung disambut oleh asistennya.
“Grace, ini daftar model untuk show nanti dan jangan lupa, jam dua kita meeting sama tim Meyta Collection,” katanya sambil menyerahkan berkas.
“Aku mau keluar sebentar. Pastikan semuanya siap,” ucap Grace.
"Kembali sebelum jam dua, jangan sampai terlambat!" kata Rania mengingatkan.
Grace hanya bergumam sebelum masuk ke ruang kerjanya untuk mengambil barang-barang yang diperlukan.
**********
Taksi yang ditumpangi Grace berhenti di depan kafe bertema monokrom. Grace masuk dan memandang sekeliling. Kafe itu cukup ramai, tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria dengan kemeja biru muda yang duduk dekat jendela.
“Aska,” panggilnya.
Aska menoleh dan tersenyum. “Hai,” ucapnya kemudian.
Mereka duduk berhadapan. “Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Grace tanpa basa-basi.
“Wah, kamu terlihat tidak terlalu senang bertemu denganku,” ucap Aska terkekeh. “Padahal aku rindu,” lanjutnya setengah bercanda.
Grace tertawa pelan. “Bukan begitu, aku hanya penasaran apa yang mau kamu bicarakan.”
“Benarkah? kalau begitu pesanlah sesuatu, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Grace tersenyum tipis kemudian memanggil salah satu pelayan. “Aku ingin pesan colossal carrot cake dan vanilla sweet cream.” Pelayan tersebut mencatat pesanan Grace dan segera pergi.
“Bagaimana kabar paman dan bibi? Alina juga?” tanya Grace.
“Mereka semua baik. Kamu sendiri gimana? Apa kamu tidak merasa kesepian tinggal sendirian di sini?
“Aku baik-baik saja, dan aku sangat sibuk sampai tidak punya waktu untuk merasa kesepian,” jawab Grace.
Aska memperhatikan wajah Grace. Dia tentu menyadari bahwa sepupunya ini semakin tertutup dan sangat sulit untuk dipahami. Seperti ada jarak yang tak kasat mata diantara mereka. Seolah Grace sengaja membangun tembok tinggi yang tidak mudah ditembus oleh siapapun.
“Sesekali pulang, ya. Ayah dan ibu pasti senang. Dan soal Alina… jangan dipikirkan.”
Grace mengangguk. “Aku akan pulang saat liburan,” jawab Grace seadanya.
Percakapan mereka terhenti sejenak saat seorang pelayan datang membawa pesanan Grace. “Selamat menikmati,” kata pelayan tersebut dengan ramah.
Grace tersenyum senang merasakan colossal carrot cake di dalam mulutnya. Ada sedikit rasa asin, tapi sangat pas disandingkan dengan vanilla sweet cream yang dia pesan.
Aska tertawa pelan melihat Grace begitu menikmati makanannya. “Aku akan menikah,” ujar Aska dengan lugas.
Grace tertegun. “Menikah? serius? dengan siapa? kamu punya pacar yang bisa diajak menikah?”
Aska terperangah, tak lama dia tertawa. “Menurutmu aku tidak punya pacar yang bisa diajak menikah?” tanyanya kemudian.
Grace mengangkat bahu. “Pacarmu sebelumnya tak ada yang serius.”
“Yang satu ini beda. Kamu akan mengerti kalau bertemu dia,” kata Aska sambil tersenyum.
“Aku jadi penasaran,” gumam Grace pelan, “Jadi kapan tepatnya kamu akan menikah?” tanyanya kemudian.
“Dua minggu lagi, dan kamu harus datang tidak ada alasan. Undangan resminya menyusul nanti,” jelas Aska.
Grace terdiam. Pikirannya langsung tertuju pada seseorang.
“Maaf Aska, tapi aku tidak yakin bisa datang.”
Aska mengelus lembut rambut Grace. “Sudah delapan tahun, Grace. Rain kini tunangan Alina dan kamu tak bisa terus menghindar karena pada akhirnya kalian akan bertemu.”
Grace menarik napas dalam, kemudian menjawab, “Aku hanya takut, Aska. Terlebih karena dia adalah tunangan Alina. Hubunganku dengan Alina sudah cukup buruk dan aku tidak mau membuatnya semakin buruk.”
Aska menatap Grace dengan lekat. “Apa yang membuatmu takut? apa kamu masih memiliki perasaan pada Rain?”
Pertanyaan itu membuat Grace membeku. Dia ingin menjawab ‘tidak’ tapi tiba-tiba tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Waktu berlalu lebih cepat dari yang Grace kira. Rasanya baru kemarin dia sibuk di studio memantau pemotretan, dan sekarang dia sudah berdiri di Bandara Ngurah Rai, menarik koper bersama Rania yang tampak sibuk melirik kanan-kiri.Begitu melewati pintu kedatangan, pandangan Grace langsung tertumbuk pada seorang pria yang berdiri sambil memegang papan bertuliskan namanya. Grace pun segera menghampiri pria tersebut.“Selamat sore, Nona Grace. Saya Adam, ditugaskan Tuan Aska untuk menjemput Anda.”“Baik,” jawab Grace singkat.“Mari lewat sini,” ujar Adam, lalu berjalan di depan mereka.Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan hotel bintang lima yang berdiri megah. Rania bersiul pelan. “Wah, sepupumu serius sekali dengan pernikahannya. Hotelnya segini mewah.”Grace hanya tersenyum tipis. “Kelihatannya begitu.”Adam menyerahkan kunci kamar. “Ini kamar Nona Grace, dan yang di seberangnya untuk Nona Rania. Bila perlu bantuan, staf hotel siap 24 jam.”“Terima kasih,” ucap Grace
Setelah terdiam cukup lama, Grace akhirnya menjawab pelan, “Aku… tidak tahu, tapi sepertinya tidak.”Aska menatapnya tajam. “Jawaban macam apa itu? Kamu harus memastikannya sendiri. Berhenti menghindari Rain!”Grace mengangguk pelan. Dia tahu Aska benar. Selama ini, dia terlalu banyak menghindar. Padahal sekarang Rain sudah menjadi tunangan Alina.Aska memperhatikan wajah Grace yang tampak resah.“Grace, jangan terlalu dipikirkan. Kalau ternyata kamu masih punya perasaan pada Rain… itu tidak apa-apa.”“Apanya yang tidak apa-apa?” potong Grace cepat. “Rain itu tunangannya Alina.”Aska tersenyum menatap Grace dengan lekat. “You know nothing,” gumamnya kemudian.Grace memilih diam. Dia menyesap sisa minumannya tanpa berniat menanggapi Aska lagi.“Jadi, kamu akan datang ke pernikahanku, kan?” tanya Aska memastikan.“Iya,” jawab Grace singkat. “Boleh aku membawa temanku?”Aska mengangkat alis. “Teman? Teman yang mana?”“Rania, dia asistenku.”Aska mengangguk. “Boleh. Aku akan siapkan satu
Suara stiletto Grace menggema di lorong. Langkahnya luwes dengan postur tubuh yang proporsional, ditambah dengan wajah cantik yang mempesona, layak membuat semua orang menoleh. Sesekali Grace membalas sapaan yang datang dengan senyuman tipis.Dia masuk lift dan menekan tombol delapan di panel. Begitu pintu tertutup, Grace menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. Rapat, revisi desain, dan segala detail kecil untuk persiapan Jakarta Fashion Week dua bulan lagi membuat kepalanya penuh.Suara ponselnya yang berdering nyaring membuyarkan lamunannya. Grace membuka mata, merogoh tasnya, dan melihat nama Aska tertera dilayar ponselnya.“Halo Aska?”“Hai Grace, Maaf ya aku di jalan jadi agak bising.” Suara sepupunya itu terdengar di seberang.“Ada apa? kalau kamu sibuk, hubungi aku nanti saja,” balas Grace.“Aku di Bandung sekarang. Bisa kita bertemu sebentar? ada yang ingin aku bicarakan.”Grace menghela napas. “Aku harus ketemu klien jam dua. Tapi kalau sebentar saja, boleh.”“Janji, cuma
Setelah hari itu, Grace tak pernah bertemu lagi dengan Rain. Dari cerita Aska, Grace tahu bahwa Rain adalah sahabat sepupunya. Tapi dia tak berani bertanya lebih jauh.Hari ini rumah terasa sepi. Paman Alan dan Bibi Elsa sedang ke Bali untuk urusan bisnis. Aska belum pulang sejak kemarin. Sebenarnya Grace masih punya sepupu lain namanya Alina—adik Aska. Tapi gadis itu tak menyukainya.Langit sore tampak cerah dan Grace memutuskan untuk pergi ke taman labirin di belakang rumah. Taman itu luas dan penuh bunga. Tempat paling tenang yang bisa dia datangi.Angin lembut membawa aroma manis bunga-bunga. Grace menarik napas dalam dan tersenyum tipis."Grace?" Grace tertegun melihat orang yang barusan memanggilnya.“Kita belum sempat berkenalan, kan? Aku Rainhard Gibraltar. Panggil saja Rain,” ujarnya.“Ah... aku Grace.” Grace terdiam, “Grace Kannelite,” lanjutnya salah tingkah.Rain tersenyum sambil menatap Grace lekat-lekat. “Sepertinya kamu baik-baik saja sekarang.”"Ya, berkatmu. Terima ka
Awan gelap menyelimuti langit. Suasana taman terasa sendu. Sama seperti raut wajah Grace yang duduk di tepi kolam, menatap air tenang yang tak memantulkan apa pun selain bayangan dirinya.Angin sore menyentuh pelan rambutnya. Mata itu tampak lelah. Seolah sudah kehilangan arah untuk berharap.Bagaimana kalau semuanya selesai di sini saja? Suara itu muncul begitu saja di dalam kepala Grace. Lembut, tapi tajam.Grace berdiri perlahan, menatap bayangannya di permukaan air. Lalu melangkah ke ujung kolam. Tanpa pikir panjang, dia menjatuhkan tubuhnya sendiri dan dalam sekejap air langsung menelan seluruh tubuhnya.Jika ini akhirnya, biarlah begini saja. Tidak ada yang melihat juga jadi anggap saja ini kecelakaan yang tidak disengaja. Suara itu lagi-lagi muncul di benak Grace yang tampak pasrah.Tapi Grace salah. Di kejauhan, seseorang berdiri terpaku, seorang laki-laki yang tak sengaja melihat kejadian itu dari jarak yang bisa dibilang cukup dekat.Pandangannya terpaku pada riak yang baru