Bakri berdiri di lorong, menunggu salah seorang pelayan lewat. Beberapa pelayan sudah berlalu lalang di depannya. Diantara mereka ada yang mengurus kebersihan kamar, laundry dan selebihnya beberapa pelayan lain yang baru saja di panggil oleh penghuni kamar lainnya di lantai itu. Beberapa menit berlalu, seorang pelayan wanita datang mendorong kereta makanan.
Akhirnya yang sudah lama ditunggu pun muncul.
"Apa kau akan membawa ini ke kamar 304?"
Pelayan yang memegang pendorong kereta makanan itu, tampak gemetar gugup. "I-iya pak"
Dari sekali pandang, Bakri langsung menangkap keganjilannya. "Berapa banyak wanita itu membayar mu?"
Pelayan wanita itu membelalakkan matanya. "A-apa m-maksud bapak? Membayar apa? Saya bekerja sangat profesional di sini"
Mata Bakri berkilat tajam, menekan pelayan wanita itu dengan tatapannya. Bibirnya yang berkedut, tersenyum samar. "Kenapa jawaban mu terkesan seperti ingin membuktikan sesuatu? Padahal aku hanya bertan
"Kenapa anda makan sedikit sekali?" Kalista mengambil tisu dan menyapu mulutnya yang berminyak. Gerakannya cukup anggun dan bermartabat. "Saya tidak terbiasa makan makanan yang bukan olahan rumah" Jawab Zayyad, nada suaranya terdengar kaku. "Ternyata benar dugaan saya, anda adalah pria rumahan yang sangat peduli akan pola hidup sehat. Karena itu lah saya sengaja memesan kan jus alpukat ini khusus untuk anda. Ini cukup baik untuk jantung" Kalista tersenyum, mempersilahkan Zayyad untuk meminum jus alpukat yang dipesannya. "Oh!" Zayyad hanya mengangguk pelan. Mengambil gelas jus alpukat itu, ia menempelkan di bibirnya. Menunjukkan tampilan seakan ia sudah mencicipinya sedikit. "Alpukat ini rasanya agak pahit!" Zayyad meletakkan gelas itu di atas meja. Kalista yang melihat itu berpikir, 'Apakah pria ini menyadari sesuatu?' "Ah..saya rasa alpukat yang di miliki dapur hotel ini sedikit buruk. Sayang sekali, mereka tidak begitu mendetil dalam
Berbagai percakapan antara Zayyad dan Kalista pun mulai terputar satu persatu. Kalista yang berusaha bangun dari lantai, matanya membulat terkejut ketika mendengar percakapan mereka sebelumnya terulang begitu saja. Ketika ia menoleh kearah Alina, melihat sebuah benda kecil ditangannya. Ia membelalakkan matanya dengan tatapan tak percaya. "Cepat tandatangani!" "Sebelum itu, masih ada satu hal lagi yang harus kau penuhi!" "Katakan!" "Tidur lah dengan ku!" "Saya pria yang sudah menikah! Tidak pernah menduga ternyata nona Kalista serendah ini" "Kau salah! Selera ku sangat tinggi dan berkelas" "Pria seperti mu ini cukup langka. Aku merasa tertarik mencoba melakukan 'itu' padamu" Tap! Alina mematikan alat perekam suara itu, tersenyum puas. Kalista dengan wajah memerah menahan amarah, mengulurkan tangannya untuk merampas benda kecil itu. Tapi Alina dengan cepat menyelipkan benda itu ke saku blus nya. "Tunggu aku di lounge, lan
Sehari setelah kejadian itu, Kalista benar-benar melakukan persyaratan yang diajukan Alina. Akhirnya berita panas tentang Bara yang tak berkompeten dan menganggap perusahaan hanyalah bank penghasil uang untuk ia bersenang-senang pun tersebar hingga di seluruh penjuru kota besar. Berita itu pun mulai merisaukan para invetaris dan pemegang saham. Rapat besar pun di gelar. Akhirnya dewan komisaris pun memutuskan untuk menurunkan Bara dari posisi direktur utama, menjadi kepala di divisi perencanaan. Itu jelas seperti pukulan berkali-kali lipat begitu berat bagi Bara. Bara yang berusaha keras untuk menggapai posisi CEO sampai mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk menjatuhkan Zayyad. Menemukan malah dirinya yang kembali jatuh berlipat-lipat kali lebih rendah dari posisinya sebelumnya. "Arghh..." Jerit Bara histeris. Ia dengan marah menyapu semua benda yang ada di meja kerjanya, hingga berjatuhan di atas lantai. Mengepalkan tangannya, ia menghantam
Alina perlahan bangun dari duduknya. Jika ia tidak bergerak sekarang, maka neneknya akan menasehatinya panjang lebar seperti biasanya. Alina terlalu malas menerima tekanan itu, karena saat ini ia hanya ingin bersantai. Jadi dengan terpaksa ia berjalan pelan mendatangi Zayyad. "Sayang...kau pulang awal hari ini?" Alina menarik kedua sudut bibirnya selebar mungkin, memaksa seulas senyum. Zayyad tidak bodoh untuk menyadari kalau itu hanyalah tipu muslihat Alina untuk menyenangkan hati neneknya. Tapi ia akan memanfaatkan situasi ini untuk lebih memastikan. Apakah benar kini Alina menjadi satu-satunya pengecualian? "Iya, aku pulang awal hari ini" Zayyad mengangkat tangannya dan memegang kedua belah pipi Alina lembut. Secarik senyuman terbit di wajah tampannya dan mata coklatnya menatap Alina hangat. Alina yang menerima perlakuan itu, membulatkan matanya terkejut. Ia dengan cepat mengangkat tangannya untuk menyingkirkan tangan Zayyad. Tapi Zayyad yang menya
Alina baru saja akan naik ke tempat tidur, tapi melihat Zayyad yang berjalan kearahnya. Alina pun menghentikan niatnya dan mematung di tempat. Alina melihat Zayyad malam ini mengenakan jubah tidur longgar bewarna biru gelap, itu membungkus tubuh kekarnya dengan begitu menawan. Memperjelas bentuk dada bidangnya dan membangun aura pria tampan yang begitu menggoda. Begitu saja, pipi Alina memerah. 'Ah, apa yang kupikirkan!' Diam-diam Alina mengutuk pikiran kotornya. Zayyad sudah berdiri tepat di depan Alina. Melihat tubuh kurus wanita itu yang tampak begitu kecil dalam balutan piyama putih polos dengan pita kecil di kerahnya. Tiba-tiba melihat kedua pipi Alina yang memerah, Zayyad dengan cemas bertanya. "Alina, apa kau demam?" Zayyad mengambil beberapa langkah maju ke depan, berniat untuk menyentuh kening halus wanita itu. Alina yang melihat Zayyad mengulurkan tangannya ke depan, dengan panik menghindar. "Diam di sana!" Katanya, gugup. Za
Pertanyaan itu membuat Alina terdiam. Apakah ia malu? Jelas tidak. Hanya saja ia tidak ingin membiarkan pria itu mengambil kesempatan darinya. Menarik nafasnya, Alina menghelanya perlahan. Lalu ia dengan tenang menjawab pertanyaan Zayyad. "Tidak!" "Lalu kenapa kau tidak mau berbagi ranjang dengan ku?" Tanya Zayyad lagi. "Karena aku tidak mau membiarkan mu mengambil kesempatan dari ku" Kata Alina, lugas dan berterus terang. Zayyad membatu beberapa detik. Mengambil kesempatan? Setelah memutar otaknya dengan keras dan mengaitkannya dengan beberapa perkataan Alina sebelumnya, perlahan ia mulai mengerti. "Alina..kau berpikir terlalu jauh!" Alina memperhatikan wajah Zayyad dan berpikir. 'Mungkinkah aku berpikir terlalu jauh?' Menyadari kekonyolan yang telah ia lakukan, Alina tidak tau harus bersikap seperti apa. "Ap-apanya ber-berpikir terlalu jauh" Menggigit bibir bawahnya, Alina berkata dengan gugup, berusaha mengelak dari apa yang dikatakan Zayya
"Ini untuk kesejahteraan kedua belah pihak" Jelas Alina. Zayyad yang sudah memakai penutup mata, sama sekali tidak bisa melihat apapun lagi. Segalanya hitam dan gelap. Ketika mendengar Alina mengatakan 'kesejahteraan kedua belah pihak', ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya itu. Tapi tiba-tiba saja Zayyad merasakan telapak tangan kecil yang agak kasar, meraih kedua pergelangan tangannya. "Alina...kau ingin melakukan apa?" Zayyad yang tak dapat melihat apa yang dilakukan Alina padanya, mengerutkan keningnya penuh tanya. Alina tidak menjawab, diam-diam ia tersenyum kecil melihat sikap Zayyad yang sangat penurut seperti biasa. Alina yang sudah memegang kedua tangan Zayyad, perlahan mulai mengikatnya dengan dasi. Zayyad yang akhirnya menyadari apa yang dilakukan Alina, sontak terkejut. "Alina.. kenapa kau mengikat tangan ku?" Zayyad dengan cemas melawan. Ia tidak ingin tangannya diikat dengan dasi. Itu adalah mimpi buruk yang tak ingin dialaminya la
"Tahan..satu, dua, tiga, empat..." Alina meluruskan punggungnya, berdiri tegap dengan satu buku tebal di atas kepala. Wajahnya yang masam, rasanya seperti ingin menggigit seseorang. Dalam dua jam ini, ia sudah sangat frustasi mengikuti semua arahan madam Ranti. Seorang pelatih yang di siapkan Zayyad untuk mengajarinya berdansa. "Rentangkan tangan!" Suara lantang madam Ranti, memecah ruang tamu besar yang sunyi. Wanita paruh baya itu sungguh mengingatkan Alina dengan guru matematika killer nya semasa sekolah dulu. Tubuhnya sangat proporsional, tinggi dan langsing. Rambut hitamnya tersanggul rapi, raut wajahnya tirus seperti telur dan kerutan penuaannya tersamarkan cukup baik dengan polesan bedak tipis. "Madam.. sepertinya kita tidak perlu melakukan semua latihan dasar ini. Langsung saja—" "Cepat lakukan!" Puk! Tongkat kayu kecil jatuh memukul bokong Alina. "Aduh!" Alina mengiris nyeri dan merasa sangat kesal. Dulu ia mendapatkan